Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Seorang Anak Perempuan Berusia 10 tahun dengan


Meduloblastoma

Pembimbing :
dr. Harancang Pandih Kahayana Sp.A

Disusun oleh :
Muhammad Akbar Ramadhana Nasution (406202092)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 27 DESEMBER – 19 FEBRUARI 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus :

Disusun oleh :

Muhammad Akbar Ramadhana Nasution (406202092)

RSUD K.R.M.T Wongsonegoro


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Semarang, 5 Januari 2022

dr. Harancang Pandih Kahayana, Sp.A

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................i
Lembar Pengesahan.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
LAPORAN KASUS.................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................14
2.1 Definisi Meduloblastoma..................................................................................14
2.2 Epidemiologi Meduloblastoma.........................................................................14
2.3 Etiologi Meduloblastoma..................................................................................15
2.4 Patofisiologi Meduloblastoma..........................................................................15
2.5 Klasifikasi Meduloblastoma.............................................................................15
2.6 Staging Meduloblastoma..................................................................................20
2.7 Manifestasi Klinis Meduloblastoma.................................................................22
2.8 Diganosis Meduloblastoma..............................................................................23
2.9 Tatalaksana Meduloblastoma...........................................................................25
2.10 Prognosis Meduloblastoma.............................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29

iii
LAPORAN KASUS

Nama Mahasiswa (NIM) : Muhammad Akbar Ramadhana Nasution (406202092)

Tanggal : 5 Januari 2022

Dosen Pembimbing : dr. Harancang Pandih Kahayana Sp.A

IDENTITAS PASIEN
• Nama : An. Sylvia

• Usia : 10 tahun

• Tanggal lahir : 15 Maret 2011

• Jenis Kelamin : Perempuan

• Alamat : Jl. Lamper Tengah

IDENTITAS ORANGTUA

Ayah Ibu
Nama: Tn. B Nama: Ny. I
Usia: 47 tahun Usia: 45 tahun
Alamat: Jl. Lamper Tengah Alamat: Jl. Lamper Tengah
Pekerjaan: Pedagang Pekerjaan: Pedagang
Pendidikan: SMA Pendidikan: SMA
Suku: Jawa Suku: Jawa
Agama: Islam Agama: Islam
Anamnesis

Dilakukan secara aloanamnesa dengan keluarga pasien pada tanggal 5 Januari 2022 pukul
11.00 WIB di ruang PICU RSUD K.R.M.T Wongsonegoro.

Keluhan Utama

Rujukan RS kalijaga demak dengan penurunan kesadaran.

1
Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang anak perempuan berusia 10 tahun, rujukan dari RS kalijaga datang ke IGD dengan
keluhan penurunan kesadaran. Sebelumnya mengeluh nyeri kepala dan muntah-muntah.
Sempat kejang di RS perujuk. Ayah pasien mengaku, sebulan lalu awalnya pasien sering
mengalami mual & muntah, terutama setelah makan, serta mengalami nyeri kepala hebat.
Beberapa minggu setelahnya keluhan semakin memburuk, ditambah munculnya kelemahan
pada wajah sebelah kanan pasien. Pasien kemudian dirawat di RSUD Sunan Kalijaga sejak 1
minggu lalu. Ayah pasien mengaku selama dirawat di RSUD Sunan Kalijaga, pasien sempat
mengatakan rasa nyeri kepala yang sangat hebat dan setelahnya kejang sebanyak 3 kali.
Pasien juga sempat mengalami henti napas pada saat kejang yang ketiga. Setelah kejang,
ayah pasien mengaku pasien sudah tidak sadarkan diri dan akhirnya di rujuk ke RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, namun ayah pasien mengaku
sejak usia 7 tahun pasien seringkali mengalami pusing pada kepalanya. Riwayat kejang
disangkal. Riwayat hipertensi, DM, asma, alergi disangkal,

Riwayat Penyakit Keluarga:


Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini. Riwayat hipertensi, DM, asma,
alergi disangkal. Ayah pasien mengaku, di keluarga tidak ada yang pernah mengalami tumor.
Riwayat Pengobatan:
Pada saat pasien mengalami keluhan nyeri kepala dan mual muntah sebulan lalu, ayah pasien
mengaku sudah diberikan obat pereda nyeri dan obat mual muntah, namun keluhan tidak
membaik. Selama di RSUD Sunan Kalijaga, pasien diberikan obat anti mual, anti radang,
antibiotic, pereda nyeri, obat kejang serta infus cairan.
Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan.
Riwayat Imunisasi :
Pasien telah dilakukan imunisasi dasar di puskesmas, yang meliputi:

 Imunisasi Hepatitis B (HB-O)  saat baru lahir


 Imunisasi BCG, Polio 1  saat usia 1 bulan
 Imunisasi DPT-HB-Hib, Polio 2  saat usia 2 bulan
 Imunisasi DPT-HB-Hib 2, Polio 3  saat usia 3 bulan
 Imunisasi DPT-HB-Hib 3, Polio 4  saat usia 4 bulan
 Imunisasi Campak  saat usia 9 bulan
 Imunisasi DPT-HB-Hib lanjutan dan MR lanjutan  saat usia 18 bulan
 Imunisasi DT dan campak/MR  saat kelas 1 SD
 Imunisasi TD  saat kelas 2 SD
2
 Imunisasi TD  saat kelas 5 SD

Riwayat Perinatal :
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien lahir dengan persalinan spontan
dengan bidan. Riwayat penggunaan vakum. Pada saat lahir, pasien menangis, dengan BB
pasien 3200 gram, PB lupa. Riwayat trauma, demam, darah tinggi pada saat ibu hamil
disangkal. Pada saat hamil, ibu melakukan 2 kali ANC ke puskesma, 2 kali pada trimester
pertama, 1 kali pada trimester kedua dan 1 kali pada trimester ketiga.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Riwayat kepala menoleh ke samping kanan-kiri, bereaksi terhadap bunyi, menatap wajah ibu
saat usia 1 bulan, menegakkan kepala, bersuara aaa, tersenyum spontan saat usia 3 bulan,
tengkurap-terlentang saat usia 4 bulan, duduk tanpa berpegangan saat usia 6 bulan, berdiri
sambal berpegangan saat usia 10 bulan, memanggil mama papa saat berusia 13 bulan, berjalan
saat usia 15 bulan, berbicara beberapa kata saat berusia 1,5 tahun, menyebutkan warna benda
pada usia 3 tahun, berbicara singkat pada usia 3,5 tahun, naik sepeda roda empat saat usia 5
tahun, bisa berbicara dengan beberapa kalimat dan bisa memakai baju sendiri pada usia 7
tahun.

Riwayat Asupan Nutrisi :


Riwayat pemberian ASI eksklusif 6 bulan, bubur bayi mulai diberikan usia 6 bulan dilanjutkan
nasi tim usia 12 bulan dengan frekuensi 2-3 kali sehari. Pasien mengonsumsi menu keluarga
sejak usia 15 bulan dengan frekuensi 2-3 kali sehari. Sebelum sakit, pasien mengalami
penurunan nafsu makan, hanya makan jika dipaksa makan oleh orang tua. Saat makan, pasien
langsung mengalami mual muntah.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berobat dengan menggunakan BPJS

Riwayat Lingkungan Sekitar:


Ayah pasien mengaku merokok, namun tidak pernah merokok di depan anak – anaknya. Pasien
tinggal di lingkungan yang padat penduduk.

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 5 Januari 2022 pukul 11.30 WIB di PICU RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro.
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Koma, GCS 3 (E1 M1 VETT), Pasien terpasang ETT no. 5
kedalaman 15.
Tanda-Tanda Vital :
- Tekanan darah : 105/55 mmHg  hipotensi
- Nadi : 77 x/menit, lemah  nadi normal dengan pulsasi lemah
- Laju pernapasan : 30 x/menit  takipneu
- Suhu : 36 C  normal
3
- SpO2 : 100%  normal

Data Antropometri :
Berat badan : 21 kg
Tinggi badan : 130 cm
IMT : 12,42 kg/m2
BBs : 33 kg
TBs : 138 cm
BBi : 27 kg
Status gizi : gizi kurang
BB/U : 21/33 x 100% (< P5) = 63,63%  underweight
TB/U : 130/138 x 100% (P5 – P95) = 94,2%  normal
BB/TB : 21/27 x 100% = 77,77%  gizi kurang
IMT/U : 12,42 kg/m2 (< P5)  gizi kurang

4
AN SYLVIA 10 TH, BB : 21 kg, TB 130 cm

TBs

TBa

BBs

BBi

BBa

5
6
STATUS LOKALIS

Kepala

• Normocephali, tidak teraba benjolan, rambut berwarna hitam, rambut terdistribusi


merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan.

Mata

• Pupil anisokor (3mm/4mm), refleks cahaya -/-, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), injeksi konjungtiva (-/-), sekret (-/-)

Telinga

• Bentuk normal, liang telinga dextra et sinistra lapang, serumen (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-), nyeri tekan aurikula (-/-), sekret telinga (-/-)

Hidung

• Bentuk simetris, tidak ada deviasi septum, tidak tampak sekret pada kavum nasi, dan
mukosa hidung tidak hiperemis, nyeri tekan hidung (-), nyeri tekan paranasalis (-),
nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)

Mulut dan Faring

 Perioral sianosis (-), karies (-), pendarahan gusi (-), atrofi papil lidah (-), tonsil T1-T1,
dendtritus (-), kripta tidak melebar, faring hiperemis (-)

Leher

• Trakea ditengah, tidak ada deviasi, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kelenjar
limfa leher tidak ada pembesaran.

Jantung

• Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

• Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra,


tidak kuat angkat

7
• Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

• Auskultasi : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Paru

• Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris pada posisi statis dan dinamis,
retraksi interkostal (-)

• Palpasi : Nyeri tekan (-), stem fremitus normal, sama kuat dengan kiri

• Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

• Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (+/+),


wheezing (-/-)

Abdomen

• Inspeksi : Distensi abdomen (+), gerakan peristaltic (-), warna seperti


kulit sekitar, gerakan pulsasi (-), sikatriks (-), massa (-), jejas (-).

• Auskultasi : Bising usus (+) normal

• Palpasi : Tegang (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
pembesaran.

• Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen

Anus dan genitalia

• Bentuk normal, tidak tampak kelainan dari luar, ekskoriasi (-), dan hiperemis di ujung
preputium, edema (-) dan eksudat (-)

Ekstremitas

• Akral dingin (+/+), sianosis (-/-), CRT >3 detik, edema ekstremitas (-/-), nadi lemah
(+/+)
Tulang Belakang

• Tampak normal, tidak terdapat skoliosis, lordosis, kifosis, maupun gibbus

8
Kulit
Dbn, akral dingin (+)

Kelenjar Getah Bening:

• Tidak teraba membesar

Pemeriksaan Neurologis:
- Refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-), kaku kuduk (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil laboratorium :

Parameter Hasil Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.9 11 - 15 g/dL
Hematokrit 39.90 35 – 47 %
Leukosit 8.9 3.600 – 11.000 /𝜇L
Trombosit 257 150.000 – 400.000 /𝜇L

Eritrosit 5.04 4.2 – 5.4 / 𝜇L

APTT 24.5 26.0 – 34.0

CRP 12.40 < 5.0mg/L

ELEKTROLIT

GDS 111 20 – 110 mg/dl

Kalium 4.20 3.50 – 5.00 mmol/L

Natrium 144.0 135 – 147 mmol/L

Kalsium 1.33 1.00 – 1.15 mmol/L

2. Hasil Foto Thorax

9
Cor : ukuran tak membesar, letak dan bentuk normal
Pulmo : corakan bronkovaskuler meningkat
Tampak bercak – bercak di kedua paru
Diafragma dan sinus costophrenicus baik
Tulang dan jaringan lunak baik

Kesan :
- Ujung distal ETT setinggi VTh 2 – 3 (cukup baik)
- Cor : tak membesar
- Pulmo : bronchopneumonia
- Tulang dan jar lunak baik

3. Hasil CT-Scan

10
- Pada midline cerebellum tampak massa isodens (CT number 30 – 40 HU)
disertai bagian nekrotik dan kalsifikasi yang pada paska injeksi kontras tampak
enhancement, terukur kurang lebih AP 3,8 X LL 4,9 X CC 5,2 cm, massa
tampak menyebabkan obstruksi pada ventrikel IV
- Differensiasi substansia alba dan substansia grisea tampak kabur
- Sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak sempit
- Ventrikel lateral kanan – kiri, III tampak melebar
- Tak tampak midline shifting
- Pons baik

Kesan :
Cenderung gambaran medulloblastoma (terukur AP 3,8 X LL 4,9 X CC 5,2 cm)
yang menyebabkan hydrocephalus obstructive
RESUME
Seorang anak perempuan berusia 10 tahun, rujukan dari RS kalijaga datang ke IGD

11
dengan keluhan penurunan kesadaran. Sebelumnya mengeluh nyeri kepala dan
muntah-muntah. Sempat kejang di RS perujuk. Ayah pasien mengaku, sebulan lalu
awalnya pasien sering mengalami mual & muntah, terutama setelah makan, serta
mengalami nyeri kepala hebat. Beberapa minggu setelahnya keluhan semakin
memburuk, ditambah munculnya kelemahan pada wajah sebelah kanan pasien.
Pasien kemudian dirawat di RSUD Sunan Kalijaga sejak 1 minggu lalu. Ayah pasien
mengaku selama dirawat di RSUD Sunan Kalijaga, pasien sempat mengatakan rasa
nyeri kepala yang sangat hebat dan setelahnya kejang sebanyak 3 kali. Pasien juga
sempat mengalami henti napas pada saat kejang yang ketiga. Setelah kejang, ayah
pasien mengaku pasien sudah tidak sadarkan diri dan akhirnya di rujuk ke RSUD
K.R.M.T Wongsonegoro.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan KU lemah, kesadaran koma, GCS 3 (E1 M1
VETT), Pasien terpasang ETT no. 5 kedalaman 15. Pada pemeriksaan TTV ditemukan
tekanan darah 105/55 mmHg (hipotensi), Nadi 77 x/menit, lemah, laju pernapasan 30
x/menit (takipneu), suhu 36C, spO2 100%. Pada pemeriksaan antropometri ditemukan
gizi kurang. Pada pemeriksaan status lokalisata ditemukan pupil anisokor
(3mm/4mm), refleks cahaya (-/-), nyeri tekan (-). Pada pemeriksaan thorax ditemukan
ronkhi basah kasar (+/+). Pada pemeriksaan abdomen, ditemukan adanya distensi
abdomen (+), pada palpasi ditemukan abdomen tegang (+), tidak ada pembesaran
hepar dan lien. Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan akral dingin (+), CRT > 3
detik, nadi lemah (+/+). Tidak ada pembesaran KGB.
Pada pemeriksaan lab, ditemukan peningkatan pada CRP, kalsium dan GDS,
serta penurunan pada APTT. Pada pemeriksaan foto thorax ditemukan gambaran
bronkopneumonia dan pada pemeriksaan CT-SCAN kepala cenderung terdapat
gambaran medulloblastoma.

Diagnosis Kerja

- Meduloblastoma

Diagnosis Tambahan

- Hydrocephalus obstructive

12
Tatalaksana
- RL 3cc/kgbb/jam
- sp dopamin 5 meq
- inj ceftriaxone 1 gr / 12 jam
- inj ondsnetron 1/2 amp / 8 jam
- inj paracetamol 200 mg / 8 jam
- inj metyhlprednisolon 62,5 g / 8 jam
- inj diazepam 6 mg jika kejang

Rencana Evaluasi

- Cek DR, GDS

- Monitoring KU dan TTV

- Konsul dengan dokter Sp.BS

Edukasi
- Menjelaskan kepada orang tua mengenai penyakit dan terapi pada pasien

Prognosis

Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Meduloblastoma

13
Medulloblastoma adalah tumor embrional yang malignan, invasif, yang tumbuh di
serebelum, predominan pada anak-anak, dan memiliki tendensi untuk bermetastase
melalui likuor serebrospinalis.1 Pada anak-anak tumor ini umumnya tumbuh di area
vermis, sedangkan pada dewasa tumor ini umumnya tumbuh pada hemisfer serebeli,
terutama di bagian lateral.1
Medulloblastoma adalah jenis tumor embrional yang paling sering terjadi.
Tumor ini pertama kali dipresentasikan pada Juni 1942 oleh Harvey Cushing dan
Percival Bailey sebagai “spongioblastoma cerebelli” pada pertemuan American
Neurological Association, dimana mereka menjelaskan bahwa tumor ini tumbuh dari
sel-sel embrional yang tidak terdiferensiasi dalam atap dan lapisan ependym dari
ventrikel empat.2 Istilah spongioblastoma sendiri pada akhirnya ditinggalkan dan
digantikan oleh medulloblastoma yang lebih dulu disebutkan dalam paper oleh Shaper
pada tahun 1897, karena ditemukan bahwa medulloblast adalah satu dari 5 tipe populasi
stem cell pada tuba saraf primitif.3
2.2 Epidemiologi Meduloblastoma
Dalam presentasinya pada tahun 1924, Cushing melaporkan kasus medulloblastoma
memiliki rerata umur 11 tahun, dimana kasus dengan tumor regio
midserebelar dan vermis memiliki rerata umur 8.3 tahun, sementara regio hemisfer
serebeli lateral memiliki rerata umur 31 tahun. 3 Sekitar 70% kasus terjadi pada pasien
dengan umur di bawah 15 tahun, dengan puncaknya pada umur 3-6 tahun. (Peris-Bonet
et al., 2006) American Brain Tumor Association pada 2015 menyebutkan bahwa
medulloblastoma umumnya terjadi pada kelompok anak umur empat tahun atau lebih
muda, disusul oleh kelompok umur 5-14 tahun, dengan median tujuh tahun. Sebanyak
70% kasus medulloblastoma anak didiagnosa sebelum umur 10 tahun dan sebanyak dua
per tiga kasus adalah laki-laki.
Sejauh ini belum ada faktor risiko lingkungan yang teridentifikasi. 4
Medulloblastoma dihubungkan dengan beberapa sindrom genetik familial seperti
sindroma Li-Fraumeni, sindroma Gorlin, sindroma Turcot, dan sindroma Rubinstein-
Taybi.5
2.3 Etiologi Meduloblastoma
Tidak ada etiologi yang jelas untuk medulloblastoma. Beberapa penelitian telah
menemukan hubungan antara diet ibu dan kelainan darah/imunitas selama kehamilan.6

14
Penelitian lain melaporkan hubungan dengan infeksi virus, misalnya, infeksi
virus John Cunningham (JC) atau infeksi human cytomegalovirus (CMV) di masa
kanak-kanak.6
Medulloblastoma mungkin memiliki hubungan familial dan juga diketahui
terkait dengan:

 Gorlin syndrome
 Fanconi anemia
 Turcot syndrome
 Li-Fraumeni syndrome
2.4 Patofisiologi Meduloblastoma
Diperkirakan berasal dari prekursor external germinal layer (EGL) dari medulla yang
sedang berkembang, pertumbuhan tumor dimulai di ventrikel keempat dan dapat
tumbuh sepenuhnya. Setelah itu, tumor menyebar ke vermis serebelar dan batang otak,
hingga sumbu kraniospinal. Medulloblastoma adalah tumor yang sangat ganas dengan
kecenderungan untuk invasi lokal dan penyebaran metastasis jauh melalui sistem
subarachnoid.6
Metastasis ekstraneural pada medulloblastoma pediatrik jarang terjadi (sekitar
7%). Tempat yang paling sering dari metastasis ekstraneural pada anak-anak termasuk
tulang (78%), kelenjar getah bening (33%), hati (15%), dan paru-paru (11%). Waktu
rata-rata untuk berkembang setelah reseksi bedah maksimal adalah sekitar 20 bulan.6
Khususnya, mutasi sitogenetik yang paling umum ditemui pada
medulloblastoma adalah isokromosom 17q, yang dihasilkan dari hilangnya lengan (p)
dengan perolehan materi genetik yang dihasilkan dari lengan (q). Delesi di lengan (p)
juga telah sering dilaporkan, menyebabkan hilangnya heterozigositas 17p, (yaitu,
17pLOH). Gen supresor tumor, TP53, yang terletak pada kromosom 17p, jarang
bermutasi pada medulloblastoma.6
2.5 Klasifikasi Histologi dan Subtipe Molekular
Asal dari pertumbuhan sel medulloblastoma masih menjadi perdebatan. Umumnya
diduga bahwa tumor ini berasal dari dua grup sel embrio yang berbeda, yakni: sel zona
ventrikular (VZ) yang akan berdiferensiasi menjadi sel Purkinje, sel keranjang, dan sel
glia dan neuron dari serebelum, dan sel dari lapisan germinal eksterna (EGL) yang
memproduksi sel-sell granula serebelum. Kedua jenis sel ini kelak diketahui
memberikan subtipe yang berbeda pada medulloblastoma, contohnya sel VZ merupakan

15
sel muasal dari subtipe wingless (WNT) dan sel EGL merupakan muasal dari tipe sonic
hedgehog (SHH).7
Tabel 2.1 Tipe Meduloblastoma

Klasifikasi WHO terbaru tahun 2007 membagi medulloblastoma menjadi lima


subtipe, yakni: klasik (80% dari keseluruhan kasus medulloblastoma anak, dan 70% dari
medulloblastoma dewasa), desmoplastik (15% pada anak, 30 - 40% pada dewasa),
anaplastik (10-20% kasus), sel-sel besar (2-4%), dan noduler ekstensif (3%).
Klasifikasi yang hampir sama dengan klasifikasi WHO dikeluarkan juga oleh ABTA,
namun pada klasifikasi ini ditambahkan jenis gambaran melanotic
medulloblastoma.8

16
Tabel 2.2 Perbedaan Meduloblastoma Anak dan Dewasa

Perbedaan antara kasus medulloblastoma pada anak dan dewasa terletak pada
gambaran histologinya, dimana gambaran histologi ini juga merupakan faktor
prognostik. Subtipe desmoplastik dan nodular memiliki prognosis yang lebih baik pada
anak <5 tahun, sedangkan tipe anaplastik dan sel-sel besar dihubungkan dengan
prognosis yang jelek pada semua kategori umur. Pada anak, medulloblastoma terletak di
bidang median dari serebelum, sementara pada dewasa ia terletak pada bagian lateral.8

Penelitian mengungkapkan bahwa faktor genetik juga berperanan dalam


terjadinya tumor ini. Separuh dari kasus medulloblastoma pada anak memiliki mutasi
pada kromosom l7, sementara sekitar 10% kasus terjadi delesi soliter pada kromosom 6.
Penelitian juga mengungkapkan keterlibatan dari kromosom 1, 7, 8, 9, 10q, 11, dan 16.
Beberapa gen spesifik juga diketahui berperanan dalam tumbuhnya tumor ini. Meskipun

17
meduloblastoma familial amat sangat jarang, namun terdapat beberapa sindrom familial
seperti yang telah disebutkan sebelumya yang meningkatkan risiko berkembangnya
medulloblastoma. Mutasi gen Patched atau PTCH1 pada sindroma Gorlin; gen APC
pada sindroma Turcot; dan gen TP53 pada sindroma Li-Fraumeni adalah contoh dari
gen spesifik ini. Pasien-pasien dengan sindrom ini memiliki kecenderungan menderita
polip kolon dan tumor otak yang ganas. Menariknya, meskipun kesemua sindroma di
atas adalah sifatnya diturunkan, namu tidak sama halnya dengan medulloblastoma.
Sekitar 10% pasien medulloblastoma memiliki mutase pada gen PTCH1 namun tidak
menderita sindroma Gorlin. Gen PTCH1 ini ternyata diketahui berperanan dalam
aktivasi jalur SHH yang meningkatkan proliferasi sel di serebelum. Demikian juga
dengan mutase gen pada sindroma Turcot yang ternyata diketahui berperanan dalam
jalur WNT yang juga berfungsi dalam proliferasi sel.8
Sejak jalur WNT dan SHH diidentifikasi, klasifikasi medulloblastoma telah
dikembangkan tidak hanya berdasarkan gaambaran histopatologinya, namun juga dari
gambaran molekularnya. Beberapa studi bahkan menemukan bahwa terdapat klasikasi
molekular yang berbeda pada anak dan dewasa dengan implikasi pengembangan target
therapy. Northcott et al. pada tahun 2011 membagi medulloblastoma ke dalam empat
varian, yakni:
a. Medulloblastoma tipe WNT
Tipe ini diidentifikasi pada 10-15% pasien dan umumnya pada usia sekolah, dengan
rerata umur 10 tahun. Subtipe ini sedikit lebih banyak pada perempuan dan jarang
terjadi pada anak umur di bawah lima tahun. Tumor ini sering mendiami ventrikel
empat dan pada tingkat seluler, tumor ini menunjukkan akumulasi protein beta-katenin
di dalam nukelus yang bisa menyebabkan delesi kopi dari kromosom 6. Akumulasi
beta-katenin ini juga menyebabkan aktivasi jalur WNT. Pasien-pasien dengan tumor ini
menunjukkan keluaran yang baik dengan operasi, radiasi, dan kemoterapi.
b. Medulloblastoma tipe SHH
Sebanyak 25% dari medulloblastoma adalah subtipe SHH. Distribusinya bimodal
dengan puncak pada umur <5 dan >16 tahun. Tumor ini mendiami badan dari serebelum
dan umumnya terletak di sebelah lateral. Jalur SHH penting dalam pertumbuhan normal
serebelum, namun abnormalitas pada jalur ini menyebabkan pertumbuhan dari tumor.
Keluaran dari tumor ini bervariasi dan bergantung pada ada tidaknya metastase,

18
gambaran histologi, dan umur pada saat pertama kali didiagnosis.
c. Medulloblastoma grup 3
Tipe ini kira-kira merupakan 25% dari keseluruhan kasus dan yang paling sering terjadi
pada anak umur 1-10 tahun. Subtipe ini hampir tidak pernah ditemukan pada usia
dewasa. Metastase seringkali ditemukan pada saat pasien terdiagnosis dengan tumor ini.
Seperti tipe WNT, subtipe ini umumnya terdapat di ventrikel empat dan berasal dari
vermis. Secara mikroskopis, gambaran histologi yang sering pada subtipe ini adalah sel
besar/anaplastik, namun dapat juga dijumpai tipe klasik. Keluaran dari subtipe ini
adalah yang paling buruk di antara subtipe molekular yang lain.
d. Medulloblastoma grup 4
Subtipe ini merupakan yang paling sering ditemui, yakni sekitar 35-40% dari
keseluruhan kasus medulloblastoma. tumor ini bisa ditemui di semua kelompok umur,
namun paling sering dijumpai pada kelompok usia sekolah. Sama halnya dengan subtipe
WNT dan grup 3, tumor ini dijumpai di ventrikel empat. Abnormalitas pada kromosom
17 merupakan ciri khas dari subtipe ini, tapi sifatnya tidak eksklusif. Keluaran dari
subtipe ini umumnya cukup baik dengan 80% 5-years survival rate jika tanpa metastase.
Subtipe 3 dan 4 diberikan nama demikian karena masih belum diketahui
dengan jelas jalur apa yang berperanan dalam petumbuhan tumor tersebut. Sebuah
konsensus diciptakan untuk mencegah kerancuan dalam penamaan subtipe ini, dimana
disepakati bahwa yang sebelumnya disebut subtipe C dan D akan disebut sebagai grup 3
dan 4.
Meskipun klasifikasi molekular ini berbeda dengan histologi namun terdapat
overlapping, misalnya pada gambaran histologi klasik yang biasanya terlihat pada
subtipe WNT dan grup 4, sementara gambaran desmoplastik nodular dan nodular
ekstensif dijumpai pada subtipe grup 3. Fakta bahwa subtipe molekular yang berbeda
memiliki keluaran yang berbeda-beda pula merupakan penemuan yang sangat penting
dalam studi mengenai medulloblastoma, utamanya dalam hal terapi.
Tumor jenis SHH banyak ditemukan pada bayi dan dewasa, sementara tipe
WNT dan grup 4 ditemukan pada semua rentang usia. Grup 3 banyak ditemukan pada
anak-anak dan memiliki prognosis paling buruk terlepas dari status metastasenya.
Penelitian pada tahun 2013 menemukan bahwa survival rate dan progression-free
survival (PFS) lebih superior pada kelompok WNT dan SHH, sedangkan kelompok

19
subtipe D memiliki survival rate lebih rendah dan prognosis lebih buruk.9
Meskipun beberapa studi mengatakan grup 3 tidak ditemukan pada usia dewasa,
tetapi ada juga studi yang menemukan persentase kecil kasus (<2%) pada kelompok
usia dewasa. Subtipe yang paling banyak ditemui pada kelompok usia dewasa adalah
subtipe SHH (58% dari keseluruhan kasus medulloblastoma) meskipun menariknya,
tumor ini secara genetik berbeda dengan tumor anak-anak yang aktivasinya melalui
jalur SHH.9

2.6 Staging Meduloblastoma

Tidak seperti kebanyakan tumor primer di otak, medulloblastoma membutuhkan staging


karena sifatnya yang bisa menyebar di sepanjang aksis neural. Medulloblastoma
memiliki kapasitas untuk menginvasi dan bermetastase. mayoritas dari medulloblastoma
berasal dari fossa posterior, dimana tumor ini akan menginfiltrasi lapisan ependym
menuju ke batang otak atau menyebar melalui likuor serebrospinalis. Karena itulah,
staging membutuhkan hasil pemindaian yang lengkap dengan MRI untuk mengeksklusi
metastase subarakhnoid, dan pungsi lumbal untuk mendapatkan sitologi likuor yang
dikerjakan sebelum operasi atau setidaknya 10-14 hari sesudahnya sehingga sel yang
terlepas pada saat operasi tidak dimisinterpretasikan sebagai penyebaran. MRI kepala
disarankan dilakukan 24-48 jam paska operasi untuk menentukan seberapa banyak
jaringan tumor yang tersisa.10

20
2.3 Klasifikasi staging menurut Chang

Staging yang tepat amat sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat.
Metastase lebih tinggi insidennya pada anak-anak dibanding pada orang dewasa (13%
vs 8%) dan secara khas menyebar melalui likuor dan leptomeningen di sepanjang
medulla spinalis. Serebelum dan otak adalah lokasi metastase yang paling sering. Pada
metastase ekstrakranial dan atipikal yang paling sering adalah pada tulang ±80% baik
pada anak maupun dewasa, diikuti oleh paru-paru (dewasa) dan hati (anak-anak). Jarak
antara diagnosis dengan metastase biasanya lebih pendek pada anak-anak dibanding
pada dewasa (20 bulan vs 36 bulan).10
Chang mempublikasikan suatu sistem staging pada tahun 1969 dengan
menggunakan sistem T dan M, dimana T adalah ukuran dan keganasan tumor pada saat
reseksi, sedangkan M adalah penyebaran di luar fossa posterior. Pasien dengan M0-1
dan T1-2 memiliki prognosis yang lebih baik, dan hanya sekitar dari 30 pasien yang

21
tergolong ke dalam M2 atau M3. Dewasa ini, staging T tidak memiliki nilai prognostik
pada kasus medulloblastoma usia dewasa. Staging M memiliki nilai prognostik,
meskipun tidak terdapat banyak perbedaan antara prognosis M0 dengan M1. Modifikasi
dari Chang staging saat ini merupakan standar dalam menentukan staging
medulloblastoma. umumnya disepakati bahwa pasien tanpa metastase memiliki risiko
rekurensi lebih rendah.

2.7 Manifestasi Klinis Meduloblastoma

Karena medulloblastoma berasal dari fossa posterior, maka keluhan yang muncul adalah
gejala-gejala yang khas seperti vertigo, muntah, ataksia, nyeri kepala. Pasien dengan
lokasi tumor di mid-serebelum bisa mengalami gejala akibat penekanan pada nervi
kraniales seperti nystagmus, diplopia, penurunan fungsi pendengaran, paresis nervus
fasialis.

Gambar 2.1. Gambaran sun-setting pada bayi dengan hidrosefalus (Jallo, 2014)

Komplikasi yang sering terjadi adalah hidrosefalus akibat kompresi dari ventrikel
empat, yang akan menimbulkan gejala seperti nyeri kepala di pagi hari, mual dan
muntah, serta letargi. Pada bayi, membesarnya kranium, “sun-setting sign”, dan bayi
yang terus menerus merengek bisa menjadi pertanda awal. Pada anak-anak dan dewasa
gejala seperti nyeri kepala dan muntah setelah bangun tidur, yang membaik setelah
muntah dan seiring berjalannya hari. Gejala-gejala ini kemudian perlahan memberat dan
akan menimbulkan gejala yang memberikan red flag seperti nyeri kepala hebat yang

22
bisa membangunkan si penderita dari tidurnya dan drowsiness. Jika tumor menyebar ke
medulla spinalis, maka juga akan timbul defisit neurologis di perifer.8

2.8 Diagnosis Meduloblastoma

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Dari


anamnesis, bisa didapatkan keluhan-keluhan yang khas pada kelainan fossa posterior
seperti disebutkan di atas, dan bersifat kronis progresif.8
Pemeriksaan fisik bisa menemukan adanya defisit neurologis berupa hipotonia,
ataksia, gait yang abnormal; paresis nervus kranialis jika terjadi infiltrasi sampai ke area
batang otak; tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial jika terjadi hidrosefalus; atau
dapat juga tanda myelopati kompresi jika terjadi penyebaran ke medulla spinalis.8
Pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah dengan menggunakan MRI kepala
dengan kontras. Meski demikian, seringkali pemeriksaan radiologis yang dilakukan
pertama kali pada pasien-pasien yang dicurigai tumor adalah dengan menggunakan CT-
scan kepala dengan kontras. Gambaran medullobastoma pada CT-scan tanpa kontras
adalah gambaran massa hiperdens pada serebelum yang disertai midline shift. Massa ini
kemudian menyangat setelah diberikan kontras. Seringkali dijumpai pula gambaran
hidrosefalus akibat obstruksi pada ventrikel empat.8

Gambar 2.2. Gambaran CT-scan medulloblastoma (Jallo, 2014)

Gambaran MRI medulloblastoma memiliki ciri khas berupa massa tumor hipointens
pada T1-W di area fossa posterior. Sinyal T2 bervariasi, dari hiperintens sampai

23
hipointens. Penyangatan kontras, jika ada, derajatnya bervariasi. Pada DWI terdapat
peningkatan sinyal, yang mana bisa membantu dalam membedakan medulloblastoma
dengan pilositik-astrositoma dan ependimoma. Jika dicurigai suatu medulloblastoma,
maka selanjutnya dilakukan MRI whole spine dan pungsi lumbal untuk menentukan
apakah ada penyebaran ke medulla spinalis dan atau melalui likuor serebropinalis.8

Dari hasil MRI dan analisis sitologi dari LCS, ditentukan staging dari tumor.
Langkah selanjutnya adalah dengan biopsi yang didapatkan saat pembedahan.
Pemeriksaan patologi anatomi akan mengkonfirmasi gambaran histologi dan/atau
subtipe molekular dari tumor tersebut. Seyogyanya dilakukan MRI ulangan dalam 48
jam paska operasi dan pemeriksaan sitologi LCS setidaknya 14-20 hari sesudahnya
untuk melihat residual dari tumor. Pasien dikatakan risiko sedang jika paska operasi
tidak terdapat residual (didefinisikan sebagai massa >1.5 cm) dan tidak terdapat
metastasis, serta histologinya bukan sel-sel besar atau anaplastik. Pasien dikatakan
risiko tinggi jika terdapat metastasis, residual >1.5 cm dan atau gambaran histologinya
adalah sel-sel besar atau anaplastik.8

24
Gambar 2.3. Gambaran MRI medulloblastoma pada berbagai macam sinyal (Jallo,
2014)

Gambar 2.4. Gambaran metastase medulla spinalis pada MRI (Jallo, 2014)

2.9 Tatalaksana Meduloblastoma

Jika dicurigai suatu medulloblastoma, maka terapi yang akan diberikan adalah reseksi
dari jaringan tumor seoptimal mungkin, diikuti dengan radiasi kraniospinal dan/atau
kemoterapi.
2.8.1 Reseksi tumor/ operasi
Reseksi jaringan tumor merupakan langkah yang penting dalam terapi medulloblastoma.
ada tiga hal yang menjadi tujuan dari tindakan operasi pada medulloblastoma:
menurunkan tekanan intracranial akibat dari blok pada ventrikel; mengkonfirmasi
diagnosis dengan biopsi jaringan tumor; dan mereseksi sebanyak mungkin jaringan
tumor dengan meminimalisir kerusakan pada jaringan otak yang normal. Pemeriksaan
MRI pre-operasi dilakukan untuk memberikan pemetaan lokasi tumor sebaik mungkin
dan juga menentukan tingkat kesulitan dari operasi. Sebanyak sepertiga kasus terdapat

25
pertumbuhan tumor di batang otak, sehingga pada kasus-kasus ini reseksi total tidak
bisa dilakukan. Pemberian steroid seperti deksamethason digunakan sebagai anti edema.
Jika reseksi tumor tidak bisa memperbaiki aliran likuor, maka tindakan tambahan
seperti ventrikulotomi atau ventriculo-peritoneal shunt (VP shunt) diperlukan.8
2.8.2. Radioterapi
Cushing pada 2011 melaporkan bahwa pasien yang mendapatkan radioterapi setelah
tindakan reseksi mampu bertahan hingga lima tahun, dibandingkan pasien yang tidak
mendapatkan radioterapi dimana rata-rata survival rate-nya setelah tindakan reseksi
adalah enam bulan. Pada tahun 1953, Paterson dan Farr melaporkan bahwa 65% pasien
dengan radioterapi 50 Gy di fossa posterior dan 35 Gy di aksis kraniospinal memiliki
survival rate rata-rata tiga tahun. Memulai radioterapi dalam 28 hari setelah reseksi
tumor disebutkan memberikan keluaran yang lebih baik.
Dosis standar yang sering disebutkan dalam literature untuk medullolatoma
pediatrik adalah 36 Gy dalam 20 fraksi di aksis neurokraniospinal, dengan booster pada
fossa posterior dengan total sebesar 54-55.8 Gy. The French Society of Pediatric
Oncology (SFOP) membuat protokol M-SFOP 98 untuk pasien medulloblastoma
dengan risiko sedang dimana diberikan radiasi yang hiperfraksi (68 Gy dalam 68 fraksi)
dengan booster pada fossa posterior dibandingkan dengan fraksi standar (36 Gy dalam
36 fraksi) dan ditemukan bahwa 5-year survival rate-nya sebesar 89% dan 81% pada
masing- masing grup, dan tidak dibutuhkan kemoterapi. Jika dosisnya diturunkan, maka
survival rate-nya pun juga turun. Pada beberapa studi ditemukan bahwa pemberian
dengan dosis yang lebih rendah, 23.4 Gy dengan fokus pada tumor bed digabungkan
dengan kemoterapi, memiliki hasil yang cukup baik pada pasien anak dengan risiko
sedang. Iradiasi kraniospinal sering dikaitkan dengan peningkatan risiko keganasan
sekunder, disfungsi endokrin, penurunan IQ, tuli, infertilitas, penyakit kardiak, dan
gangguan neuropsikiatri. Karena sumsum tulang sebanyak 40% terletak di dalam
vertebrae, maka myelosupresi juga bisa menjadi salah satu komplikasi. Mengingat
banyaknya efek samping dari radioterapi ini, saat ini banyak yang menggunakan terapi
foton. Howell melaporan bahwa terapi dengan foton memiliki efek yang lebih rendah
terhadap esofagus, jantung, liver, tiroid, dan ginjal, dibandingkan dengan radioterapi
konvensional.
2.8.3 Kemoterapi

26
Evans et al. pada tahun 1990 melaporkan bahwa mayoritas pasien dengan risiko standar,
penambahan kemoterapi dengan CCNU (lomustine) dan vincristine pada pasien dengan
radioterapi tidak memberikan hasil yang signifikan. Pasien dengan kategori T3-4 dan
M1-3 yang mendapatkan kemoterapi memiliki Progressive-Free Survival (PFS) sebesar
46% dibandingkan dengan 0% pada pasien yang hanya menerima radioterapi. Studi oleh
Zeltzer et al. melaporkan bahwa pasien-pasien risiko tinggi yang diterapi dengan 8-in-1
chemotherapy (cisplatin, cytarabine, dacarbazine, hydrea, lomustine,
methylprednisolone, procarbazine, vincristine) lebih superior dibandingkan dengan
kemoterapi menggunakan vincristine, lomustine, dan prednison. Studi oleh Packer
melaporkan penggunaan lomustine, cisplatin, dan vincristine, dibandingkan dengan
siklofosfamid, cisplatin, dan vincristine, sama efektifnya jika digabungkan dengan
radioterapi 23.4 Gy kraniospinal dan 55.8 Gy di fossa posterior, pada pasien-pasien
dengan risiko sedang antara umur 3-21 tahun. (Shonka et al, 2012) Brandes melakukan
uji klinis prospektif dimulai tahun 2003 dan dipublikasikan hasilnya pada 2010, dimana
ia melakukan studi pada pasien pasien dengan T1-T3a, M0, tanpa tumor residual, dan
dikategorikan sebagai risiko rendah, diberikan radioterapi saja, dibandingkan dengan
pasien risiko tinggi yang diberikan siklus kemoterapi sebelum radioterapi, yang
kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lanjutan jika terdapat metastase. Hasilnya
didapatkan pada pasien risiko rendah, PFS pada 5 dan 10 tahun adalah 78% dan 46%,
sedangkan pada kelompok risiko tinggi didapatkan 50% dan 36%.10
Survival rate secara keseluruhan pada pasien dengan risiko rendah pada 5 dan 10
tahun adalah 92% dan 65%, sedangkan pada kelompok risiko tinggi adalah 58% dan
45%. Tidak ada kematian yang disebabkan oleh toksisitas kemoterapi pada studi ini.
Brandes juga menyebutkan bahwa angka rekurensi pada pasien risiko rendah berkurang
dengan penggunaan kemoterapi. Kemoterapi yang diteliti awalnya adalah regimen
nitrogen mustard, vincristine, prednisone, dan procarbazine, namun setelah tahun 1995
regimen diganti dengan cisplatin, etoposide, dan siklofosfamid.10
Seperti halnya radiasi, kemoterapi juga memberikan efek samping. Efek samping yang
paling sering dilaporkan adalah gangguan ginjal, tuli, gangguan hati, fibrosis pulmonal,
dan gangguan gastrointestinal. Efek samping ini sifatnya reversible, dan hilang setelah
kemoterapi dihentikan, namun pada penggunaan methotrexate dilaporkan
leukoensefolapati nekrotik yang sifatnya irreversible.10

27
2.8.5 Terapi Pada Tumor Rekuren
Agen kemoterapi yang umumya digunakan untuk tumor rekuren adalah regimen
berbasis nitrosurea, etoposide, dacarbazine, temozolomide, dan bevacizumab,
dikarenakan medulloblastoma mengekspresikan vascular endothelial growth factor
(VEGF), dan reseptor VEGF (VEGFR)-1 dan VEGFR-2 Inhibitor SHH seperti
vismodegib (Erivedge) dan LDE225 (Erismodegib) juga diteliti bisa digunakan untuk
terapi medulloblastoma rekuren, namun pada model hewan diketahui angka resistensi
pada inhibitor SHH cukup tinggi, sehingga saat ini diteliti terapi kombinasi yang
diharapkan bisa lebih efektif. 11-12
2.10 Prognosis
Seberapa baik respon terapi pada pasien medulloblastoma dipengaruhi secara umum
oleh umur pada saat pertama kali terdiagnosis; ukuran dan penyebaran tumor; jumlah
massa yang bisa direseksi; dan level dari metastase (M stage). Central Brain Tumor
Registry of the United States melaporkan pasien pediatrik yang tergolong risiko tinggi
pun, dengan penanganan yang tepat bisa mencapai 5-years survival rate sebesar 60%-
65%.8
Medulloblastoma grup 3 dan 4 memiliki prognosis yang paling buruk di antara
subtipe lainnya. Grup 3 memiliki kesempatan untuk berkembang menjadi metastase
sebesar 45%, dan memiliki angka 5-years survival rate yang lebih rendah dari subtipe
lain. Pasien bayi dengan histologi desmoplastic dan SHH memiliki prognosis yang lebih
baik, dan diketahui efektif diterapi dengan kemoterapi saja tanpa radiasi.8

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Louis D., Ohgaki H., et al. WHO classification of tumours of the central
nervous system. Lyon: International Agency for Research on Cancer; 2007.
2. Kunschner L.J. Harvey Cushing and medulloblastoma. Arch Neurol. 2002;59:642-5.
3. Rutka J.T., Hoffman H.J. Medulloblastoma: a historical perspective and overview. J
Neurooncol. 1996;29:1-7.
4. Mellemkjaer L., Hasle H., et al. Risk of cancer in children with the diagnosis
immaturity at birth. Paediatr Perinat Epidemiol. 2006;20:231-7.
5. Louis D., Ohgaki H., et al. WHO classification of tumours of the central
nervous system. Lyon: International Agency for Research on Cancer; 2007.
6. Ahapatra S, Amsbaugh MJ. Medulloblastoma. [Updated 2021 Jul 2]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431069/
7. Fan X., Eberhart C.G. Medulloblastoma stem cells. J Clin Oncol. 2008;26:2821–7.
8. American Brain Tumor Association (ABTA). Medulloblastoma. Available from:
http://www.abta.org/. Accessed December 12, 2012.
9. Northcott P.A., Korshunov A., et al. Medulloblastoma comprises four distinct
molecular variants. J Clin Oncol. 2011;29:1408-14.
10. Shonka N.A., Brandes A.A. Adult Medulloblastoma, From Spongioblastoma Cerebelli
to the Present Day: A Review of Treatment and the Integration of Molecular
Markers. Brain Tumor Onco. 2012;11.
11. Yauch R.L., Dijkgraaf G.J., et al. Smoothened mutation confers resistance to a
Hedgehog pathway inhibitor in medulloblastoma. Science. 2009;326:572-4.
12. Rudin C.M., Hann C.L., et al. Treatment of medulloblastoma with hedgehog pathway
inhibitor GDC-0449. N Engl J Med. 2009;361:1173-8.

29

Anda mungkin juga menyukai