Anda di halaman 1dari 50

Laboratorium Obgyn Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

MOLA HIDATIDOSA DAN PERKEMBANGANNYA MENJADI


PENYAKIT TROFOBLAS GANAS LOW RISK

Oleh
Grasia Angger Ayu Wilujeng
1810029030

Dosen Pembimbing Klinik


dr. I.G.A.A. Sri M. Montessori, Sp.OG

LAB / SMF OBGYN


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , berkat
rahmatNya penyusun dapat menyelesaikan Laporan Kasus tentang “Mola
Hidatidosa”. Laporan ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Obstertri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. I.G.A.A. Sri M.
Montessori, Sp.OG selaku Dosen Pembimbing Klinik yang telah memberikan
bimbingan kepada penyusun dalam penyelesaian Laporan Kasus ini. Penyusun
menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam laporan ini, sehingga penyusun
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga dapat
bermanfaat bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, 07 Januari 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 5
1.3. Manfaat ......................................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................. 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 16
2.1. Definisi…………………………………………………………………….. 16
2.2. Epidemiologi ………………………………………………………………. 16
2.3. Sifat Kista…………………………………………………………………... 17
2.4. Klasifikasi Kista …………………………………………………………… 18
2.5. Etiologi …………………………………………………………………….. 33
2.6. Patofisiologi ……………………………………………………………….. 34
2.7. Tanda dan Gejala ………………………………………………………….. 35
2.8. Diagnosis ………………………………………………………………….. 35
2.9. Penatalaksanaan …………………………………………………………… 36
2.10. Prognosis …………………………………………………………………. 36
BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………………….. 37
BAB V PENUTUP ……………………………………………………………. 41
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 42

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal ditandai dengan villi korialis
yang mengalami perubahan hidrofobik membentuk kelompok-kelompok
menyerupai buah anggur. Mola hidatidosa merupakan salah satu tipe penyakit
trofoblas gestasional (Gestational Trophoblast Disease, GTD), yakni penyakit
berasal dari sel yang pada keadaan normal berkembang menjadi plasenta pada
masa kehamilan, meliputi berbagai penyakit yang berasal dari sel-sel trofoblast
yang diklasifikasikan World Health Organization (WHO) sebagai mola hidatidosa
parsial (Partial Mola Hydatid, PMH), mola hidatidosa komplit (Complete Mola
Hydatid, CMH), koriokarsinoma, mola invasif, dan placental site trophoblastic
tumors. Mola hidatidosa adalah tipe penyakit tropoblas gestasi (GTD) tersering
ditemukan dan merupakan neoplasma jinak dari sel trofoblast. Mola dianggap
sebagai lesi prakanker karena 15-20% dari mola hidatidosa komplit (CMH) dan
1% dari mola hidatidosa parsial (PMH) mengalami transformasi maligna.1,2

Gambaran klinis mola hidatidosa biasanya ditandai dengan adanya


keluhan tidak haid (amenorea) disertai dengan pembesaran uterus yang tidak
sesuai dengan usia kehamilannya disertai peningkatan kadar serum human
chorionic gonadotrophyn (hCG), dapat pula seorang yang mengalami mola
hidatidosa datang dengan keluhan perdarahan pervaginam yang masif sehingga
menyebabkan anemia, selain itu terdapat gejala lain dari mola hidatidosa yaitu
hipertensi, hiperemesis gravidarum, dan tirotoksiskosis.3

Studi epidemiologi melaporkan variasi regional yang luas pada insidensi


mola hidatidosa. Perkiraan dari studi yang dilakukan di Amerika Utara, Australia,
New Zealand, dan Eropa menunjukkan bahwa kasus mola hidatidosa muncul
dengan angka dari 0.57-1.1 per 1000 kehamilan, sedangkan studi di Asia
Tenggara dan Jepang menunjukkan kejadian sebesar 20 per 1000 kehamilan.
Terdapat kemungkinan perbedaan etnis dan ras yang berkontribusi pada
peningkatan kasus mola hidatidosa pada suku Indian Amerika, Eskimo, (John,
2010). Untuk insiden mola hidatidosa komplit di Asia yang tertinggi adalah di
Indonesia yaitu 1 dari 77 kehamilan dan 1 dari 57 persalinan.4

4
Terdapat beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan kejadian mola
hidatidosa, diantaranya usia, paritas dan riwayat mola sebelumnya, dalam
beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya masih terdapat beberapa
perbedaan hasil penelitian. Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan
kejadian mola hidatidosa yakni usia reproduksi yang rentan yaitu wanita dengan
usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun, riwayat mola hidatidosa
sebelumnya serta status ekonomi yang rendah. Wanita dengan usia reproduksi
kurang dari 20 tahun memiliki risiko 1,5-2 kali lipat mengalami mola hidatidosa,
wanita usia lebih dari 40 tahun memiliki risiko 5 kali lipat. Dilaporkan bahwa
wanita dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya memiliki risiko 10 kali lebih
tinggi untuk mengalami kehamilan mola kedua dan 1000 kali lebih tinggi untuk
menderita koriokarsinoma dibandingkan wanita dengan riwayat hamil normal.3,4,5

Sekitar 40 % kasus mola hidatidosa berkembang menjadi proses keganasan


(penyakit trofoblas ganas) yang memerlukan tatalaksana lebih lanjut. Penyakit
Trofoblas Ganas (PTG) meliputi mola invasif, koriokarsinoma dan placental site
trophoblastic tumor.1,2 Penyakit trofoblas ganas (PTG) adalah suatu tumor ganas
yang berasal dari sito dan sinsiotrofobals yang menginvasi miometrium, merusak
jaringan disekitarnya dan pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan.
Risiko terjadinya PTG yang nonmetastase 75% didahului oleh mola hidatidosa
dan sisanya oleh abortus, kehamilan ektopik atau kehamilan aterm. Risiko
terjadinya PTG yang metastase 50% didahului oleh molahidatidosa, 25% oleh
abortus, 22% oleh kehamilan aterm dan 3% oleh kehamilan ektopik. Pada jenis
invasif mola 12,5% berasal dari mola komplit dan 1,5% berasal dari mola parsial.
Pada koriokarsinoma 1,7% berasal dari mola komplit dan 0,2% dari mola parsial,
koriokarsinoma setelah kehamilan normal lebih sering terjadi dibandingkan mola
invasif.

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang Mola Hidatidosa yang berkembang menjadi Penyakit
Trofoblas Ganas dan perbandingan antara teori dengan kasus nyata penyakit
tersebut.
1.2.2. Tujuan Khusus

5
1. Mengetahui teori tentang Mola Hidatidosa yang mencakup definisi,
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, tanda dan gejala, diagnosis,
penatalaksanaan, dan prognosis.
2. Mengetahui faktor risiko Mola Hidatidosa menjadi Penyakit Trofoblas Ganas
3. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata Mola Hidatidosa
yang menjadi Penyakit Trofoblas Ganas yang terjadi di Ruang Nifas- Mawar
RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda.

1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran
terutama bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang Mola Hidatidosa.
1.3.2. Manfaat bagi Pembaca
Laporan ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca
mengenai Mola Hidatidosa.

6
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesa
a) Identitas Pasien
Nama : Ny. A. K
Usia : 28 tahun.
Alamat : Samarinda
Pekerjaan : Ibu rumah tangga.
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
MRS : 17 Desember 2018 pukul 16.00 WITA

b) Identitas Suami
Nama : Tn. K.Y
Usia : 33 Tahun
Alamat : Samarinda
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Agama : Islam

c) Keluhan Utama:
Badan Lemas sejak 2 bulan yang lalu.

d) Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang datang ke Poli Kandungan dan Kebidanan RSUD AWS.
Samarinda dengan keluhan badan lemas sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
merupakan rujukan dari RS Dirgahayu dengan diagnosis mola hidatidosa.
Pasien mengatakan keluhan yang awalnya muncul adalah muncul flek disertai
darah segar yang hilang-timbul sejak awal kehamilan. Pasien mengatakan
pada kehamilan ini sering mengalami mual dan muntah disertai penurunan
berat badan sebanyak 8 kg. Pasien mengatakan bahwa kehamilan kali ini
ukuran perutnya lebih besar dari biasanya. Pasien mengatakan hari pertama
haid terakhirnya adalah tanggal 28 juli 2018. Pasien datang ke dokter

7
kandungan dan saat dilakukan USG dinyatakan mengalami hamil anggur dan
disarankan untuk kuret. Pasien mengatakan setelah dilakukan kuret yang
pertama masih mengalami perdarahan dengan jumlah darah 1 kali ganti
pembalut dalam satu hari. Pasien dirujuk oleh dokter yang bersangkutan untuk
dilakukan kuretase yang kedua.

e) Riwayat Haid
Menarche pada usia 14 tahun, lama haid ± 4 hari, siklus haid 28-30 hari
teratur, jumlah darah haid 1-2 kali ganti pembalut dalam sehari. HPHT :
28 juli 2018

f) Status Pernikahan
Pasien menikah 1 kali sejak usia 22 tahun. Lama usia pernikahan sekarang
adalah 6 tahun.

g) Riwayat Kontrasepsi
Pasien pernah menggunakan KB suntik 3 bulan selama 4 tahun

h) Riwayat Obstetri
Umur Penolong Jenis
Tahun Tempat Jenis
No kehamil Persalina Kelamin Ket.
Partus Partus Persalinan
an n Anak/ BB
1 2013 Klinik Aterm Spontan Bidan L / 2800 gr Hidup
Mola
2 2018
Hidatidosa

i) Riwayat Penyakit Dahulu


DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-)

j) Riwayat Penyakit Keluarga


DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-)

8
2.2 Pemeriksaan Fisik
a) Berat badan : 45 kg
b) Tinggi badan : 150 cm
c) Keadaan umum : Lemah
d) Kesadaran : Komposmentis (E4V5M6)
e) Tanda vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 96 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36.5 0C
f) Status generalisata
Kepala / leher : konjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-)
Thorax
- Pulmo
Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris
Palpasi : fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas kanan ICS 2 parasternal line dextra
batas kiri ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat +/+

g) Status ginekologi :
 Inspeksi : Abdomen distensi (-), bentuk abdomen cembung (+), bekas
operasi (-), striae (+), linea nigra (-), massa (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Pemeriksaan VT tidak dilakukan

9
2.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium:
a) Hematologi (07/12/2018)
Hasil Nilai rujukan
Leukosit 9600 4.800-10.800
Eritrosit 4.080.000 4.200.000 – 5.400.000
Hematokrit 32,8% 37,0%-54,0%
Trombosit 381.000 150.000-450.000
Hemoglobin 9,8 12.0-16.0
BT 2 1-6
CT 8 1-15

b) Kimia Klinik (07/12/2018)


Hasil Nilai rujukan
Creatinin 0.5 0,5-1,1 mg/dL
Ureum 20.2 19.3-49.2 mg/dL
Glukosa puasa 88 70-100 mg/dL
G2PP 105 70-150
Albumin 4.7 3.5-5.55 mmol/L
SGOT 16 <32 mmol/L
SGPT 10 <33 mmol/L

c) Urinalisa
Hasil Nilai rujukan
Berat jenis 1.020 1.003-1.300
Sel epitel +2 Sedikit
Leukosit 2-5 0-1
Eritrosit 10-20 0-1
pH 6.0 4.8-7.8

10
d) Imuno-Serologi (07/12/2018)
Hasil Nilai rujukan
Ab HIV Non Reaktif -
HbsAg Non Reaktif <0.90
Ca 125 11,24 <35.00
βHCG Serum 25970.00 Mensturasi : <4
mlU/ml, Menopuse :
<13 mlU/ml, Trimester
I: <190000, Trimester
II : 2800-176100,
Trimester III : 2800-
144400.

2. USG Abdomen Post Kuret (23/11/2018)

Kesimpulan USG :
- Tidak terdapat jaringan sisa
- Terdapat sisa darah pada uterus

11
3. USG Abdomen (6/12/2018)

Kesimpulan USG :
- Terdapat gambaran honey comb atau snow strom
- Terdapat gambaran hipoechoic yang menandakan adanya kista luteal dengan
ukuran 3,45x 3,03cm.

12
4. USG Abdomen (12/12/2018)

Kesimpulan USG :
- Terdapat peningkatan vaskularisasi pada tumor
- Terdapat gambaran hipoechoic yang menandakan adanya kista lutein bilateral
dengan ukuran 6,59 dan 5,0 cm.

13
6. Foto torax

Cor : besar dan bentuk normal


Pulmo : Coin lession/nodul (-)
Kedua sinus tajam
Kesimpulan : Proses metastase (-)

7. Hasil Kuretase 22/11/2018


Makroskopis :
Diterima jaringan tidak teratur 3gr warna putih coklat rapuh
Mikroskopis :
Menunjukan jaringan terdiri dari villi chorealis yang edematous dan avaskular.
Villi tersusun oleh sel trophoblast yang proliferative. Pada bagian sentral villi
terdapat bentuk cysterna.
Kesimpulan :
Bahan Kuretase
Mola Hidatidosa Komplit

14
2.4 Diagnosis
PTG Low Risk
2.5 Penatalaksanaan
Rencana Kemoterapi MTX
Observasi keluhan dan tanda vital

2.6 Follow Up
Rencana tindakan dan
Tanggal Follow up
Penatalaksanaan
17/12/2018 Menerima pasien dari Poli kandungan P:
16.00 WITA S : Badan lemas  Rencana kemoterapi MTX
NIFAS O : KU lemah, Kesadaran komposmentis  Observasi KU dan Tanda
TD: 110/80 mmHg, HR: 82x/mnt vital.
RR: 19x/mnt, Temp: 36,8ºC
A : PTG low risk

18/12/2018 S:- P:
08.00 WITA O : KU baik, Kesadaran komposmentis  Rencana kemoterapi MTX
NIFAS TD: 120/80 mmHg, HR: 75x/mnt  Observasi KU dan Tanda
RR: 20x/mnt, Temp: 36,5ºC vital.
A : PTG low risk .

19/12/2018 S:- P:
08.00 WITA O : KU baik, Kesadaran komposmentis  Kemoterapi MTX hari 1
NIFAS TD: 110/70 mmHg, HR: 80x/mnt  Observasi KU dan Tanda
RR: 20x/mnt, Temp: 36,2ºC Vital
A : PTG low risk

20/12/2018 S:- P:
08.00 WITA O : KU baik, Kesadaran komposmentis  Kemoterapi MTX hari 2
NIFAS TD: 120/80 mmHg, HR: 82x/mnt  Observasi KU dan Tanda
RR: 20x/mnt, Temp: 36,0ºC Vital

15
A : PTG low risk

21/12/2018 S:- P:
08.00 WITA O : KU baik, Kesadaran komposmentis  Kemoterapi MTX hari 3
NIFAS – TD: 120/80 mmHg, HR: 80x/mnt  Observasi KU dan Tanda
IBS RR: 21x/mnt, Temp: 36,0ºC Vital
A : : PTG low risk

22/12/2018 S:- P:
08.00 WITA O : KU baik, Kesadaran komposmentis  Kemoterapi MTX hari 4
NIFAS TD: 110/80 mmHg, HR: 78x/mnt  Observasi KU dan Tanda
RR: 19x/mnt, Temp: 36,0ºC Vital
A : PTG low risk

23/12/2018 S:- P:
08.00 WITA O : KU baik, Kesadaran komposmentis  Kemoterapi MTX hari 5
NIFAS TD: 120/80 mmHg, HR: 79x/mnt  Observasi KU dan Tanda
RR: 18x/mnt, Temp: 36,0ºC Vital
A : PTG low risk  Pasien Boleh Pulang

16
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal ditandai dengan villi korialis


yang mengalami perubahan hidrofobik membentuk kelompok-kelompok
menyerupai buah anggur. Mola hidatidosa merupakan salah satu tipe penyakit
trofoblas gestasional (Gestational Trophoblast Disease, GTD), yakni penyakit
berasal dari sel yang pada keadaan normal berkembang menjadi plasenta pada
masa kehamilan, meliputi berbagai penyakit yang berasal dari sel-sel trofoblast
yang diklasifikasikan World Health Organization sebagai mola hidatidosa parsial
(Partial Mola Hydatid, PMH), mola hidatidosa komplit (Complete Mola Hydatid,
CMH), koriokarsinoma, mola invasif, dan placental site trophoblastic tumors.1,8

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar


dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidrofik. Menurut Vassilakos, mola komplit dan
mola parsial merupakan kesatuan yang berbeda, antara keduanya ada perbedaan
klinik, histopatologik, sitogenik maupun prognostik.4

2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan variasi regional yang luas pada insidensi
mola hidatidosa. Perkiraan dari studi yang dilakukan di Amerika Utara, Australia,
New Zealand, dan Eropa menunjukkan bahwa kasus mola hidatidosa muncul
dengan angka dari 0,57-1,1 per 1000 kehamilan. Sedangkan di Meksiko mola
hidatidosa terjadi sekitar 1 per 200 kehamilan dan di Paraguay terjadi 1 per 5000
kehamilan. Kemudian studi di Asia Tenggara dan Jepang menunjukkan kejadian
sebesar 2 per 1000 kehamilan.2,5.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat insiden kejadian


Molahidatidosa yang tertinggi yang dilaporkan, 1 dari 77 Kehamilan (1 dari 57
kelahiran). Secara umum dipaparkan bahwa insiden tertinggi penyakit tropoblas
gestasional terjadi pada kelompok penduduk non-white Hispanics, american

17
indians , Eskimo dan Asia . Penduduk asli Alaska tampaknya memiliki angka
insidensi 3 sampai 4 kali lebih besar dari orang Amerika Kaukasia. Di Hawaii,
Jepang wanita Filipina memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada orang bule asli
, tapi Hawaii Jepang memiliki tingkat yang lebih rendah daripada penduduk
Jepang asli.2,5,7

2.3. Etiologi & Faktor Risiko

2.3.1 Etiologi

Hingga kini belum diketahui penyebab pasti dari mola hidatidosa.


Berbagai teori telah diajukan, antara lain4 :
1. Teori missed abortion
Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Karena itu
terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam
jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-
gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan
kekurangan gizi berupa asam folat dan histidine pada kehamilan hari ke 13
dan 21. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan angiogenesis.
2. Teori Neoplasma dari Park
Menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai
fungsi abnormal juga, dimana terjadi proses resorpsi cairan yang berlebihan
ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan
peredaran darah dan kematian mudigah.

2.3.2 Faktor Risiko

2.3.2.1 Usia

Usia ibu secara konsisten telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting .
Mola hidatidosa meningkat pada usia reproduksi yang rentan. Artinya, remaja
punya tingkat insiden yang lebih tinggi, dan wanita usia subur berusia 40 tahun
atau lebih tua memiliki tingkat kejadian yang jauh lebih tinggi . Sehubungan
dengan tingkat usia tertentu, risikonya sedikit lebih tinggi untuk wanita berusia
15-20 tahun, dan sekitar 20 kali lipat lebih tinggi remaja di bawah usia 15 tahun.
Peningkatan risiko 10 kali lipat pada wanita berusia di atas 40 tahun , sehingga
untuk wanita berusia di atas 50 tahun, risiko terjadinya mola hidatidosa menjadi

18
200 kali lebih besar dari pada wanita berusia 20 sampai 35 tahun . Tren spesifik
usia ini mempengaruhi wanita yang lebih muda dan lebih tua.9

Sebuah penelitian yang dilakukan di rumah sakit di Maroko didapatkan


bahwa kejadian mola hidatidosa sekitar 32% pada mereka dengan usia <25 tahun,
26% pada 25-34 tahun, 14% pada 35-44 tahun dan 28% pada >45 tahun . Bahwa
cacat pada fungsi ovoid (ova yang prematur atau post-mature) merupakan salah
satu faktor etiologi yang berkontribusi terhadap risiko GTD. Hipotesis pola usia
ini ditemukan konsisten terjadi pada semua wilayah dan ras (Khachani et al.,
2017). Usia ayah juga dilaporkan sebagai faktor risiko yang signifikan meskipun
data tidak konsisten . Satu penelitian studi di Jepang, usia ayah tampaknya tidak
memainkan peran penting Usia ibu di kedua ujung spektrum reproduksi adalah
faktor risiko untuk kehamilan mola. Secara spesifik, remaja dan wanita berusia
40 tahun memiliki risiko dua kali lipat dan mereka yang berusia lebih dari 40
tahun hampir sepuluh kali lipat.9,10

2.3.2.2 Paritas

Sebagian besar pasien mola hidatidosa ialah mereka multipara (51%) hal
ini sesuai dengan penelitian lainnya, namun terdapat perbedaan dengan penelitian
yang menyatakan bahwa kasus mola hidatidosa banyak terjadi pada wanita
nullipara. Kejadian mola hidatidosa banyak terjadi pada mereka yang nullipara
(42%), multipara (2-4 anak) 40% dan primipara 18%.11

Di Rhode Island (AS) dan di Italia, paritas tidak ditemukan terkait dengan
peningkatan risiko mola hidatidosa. Namun, studi lain di Italia menemukan
peningkatan risiko mola hidatidosa pada wanita nulipara dengan riwayat
keguguran. Dalam studi yang sama, kesulitan dalam konsepsi secara signifikan
lebih banyak umum pada wanita yang kemudian mengalami kehamilan mola,
namun dalam penelitian serupa dilakukan di Baltimore, tidak ditemukan ada
hubungan antara riwayat infertilitas dan masalah menstruasi dan mola hidatidosa
berikutnya (Choi et al., 2010). Hal ini menekankan bahwa paritas bukan
merupakan faktor independent untuk epidemiologi mola hidatidosa.11

19
2.3.2.3 Riwayat Kehamilan Mola hidatidosa Sebelumnya

Terdapat peningkatan risiko substansial untuk penyakit trofoblastik


rekuren. Dalam satu ulasan terhadap 12 penelitian yang mencakup total 5000
kehamilan mola, frekuensi mola rekuren adalah 1,3 persen. Risikonya adalah 1,5
persen untuk mola komplit dan 2,7 persen untuk mola parsial. Beberapa laporan
menunjukkan peningkatan risiko mola hidatidosa berikutnya yang bervariasi
antara 20 dan 40 kali pada populasi umum, terdiri dari antara 0,8 dan 2,9% dari
jumlah kehamilan berikutnya kehamilan. Riwayat kehamilan mola hidatidosa
sebelumnya tampaknya menjadi faktor predisposisi yg kuat yang mempengaruhi
kehamilan mola berikutnya. Risiko mola hidatidosa meningkat seiring dengan
adanya riwayat mola hidatidosa sebelumnya. Risiko relatif untuk mola rekuren
adalah 20 sampai 40 kali untuk populasi umum . Setelah mola pertama, kehamilan
mola kedua terjadi pada 0,6-2,60% pada kehamilan. Wanita yang sudah
melahirkan anak kembar juga tampaknya berisiko tinggi. Dalam sebuah
penelitian, kejadian mola hidatidosa setelah kehamilan kembar secara substansial
lebih tinggi dari pada kehamilan populasi umum.5,12

2.4 Patogenesis

Mola hidatidosa secara patofisiologi dan sitogenetik dibagi dalam dua tipe
yaitu mola hidatidosa komplit (complete mole) dan mola hidatidosa parsial
(partial mole). Mola hidatidosa komplit berasal dari fertilisasi ovum tanpa
nukleus atau nukleusnya tidak aktif sehingga tumbuh kembang didominasi inti
spermatozoa. Struktur histologik mola hidatidosa komplit mempunyai sifat :
degenerasi hidrofik dan pembengkakan stroma vili, tidak terdapat pembuluh darah
didalam vili yang bengkak, proliferasi sel epitel trofoblast dengan derajat yang
beragam, serta tidak terdapat janin dan amnion. Komposisi kromosom yang paling
sering ditemukan pada mola hidatidosa komplit adalah 46,XX dengan kromosom
seluruhnya berasal dari paternal.

Mola hidatidosa parsial terdapat perubahan hidrofik pada sebagian vili,


masih ada gambaran vaskuler, proliferasi hanya terjadi pada lapisan
sinsiotrofoblast, dan kadang terdapat janin yang normal. Komposisi kromosom
pada mola hidatidosa parsial adalah triploid (69 XXX, 69 XXY, atau 69 XYY)

20
dengan komposisi satu dari maternal dan dua dari paternal Hingga kini belum
diketahui penyebab pasti dari mola hidatidosa. 11,1

Berbagai teori telah diajukan, antara lain.

Gambar 1. Formasi Genetik pada Mola Hodatidosa

Pada (gambar 1) diatas dapat kita lihat bahwa untuk suatu proses
pembuahan normal itu berasal dari satu sperma dengan kromosom 23X atau 23Y
yang membuahi satu sel telur 23X, sehingga terbentuk kromosom 46XY atau
46XX. (A) mola hidatidosa komplit paling sering berasal dari pembuahan sel telur
kosong oleh satu sperma yang kemudian kromosomnya mengalami duplikasi. (B)
Yang jarang terjadi ialah mola hidatidosa komplit berasal dari dua sperma
(dispermia), dimana dua sperma membuahi satu sel telur yang kosong. (C) mola
hidatidosa parsial berasal dari dua sperma yang membuahi satu sel telur (ovum)

Sebagian kecil mola hidatidosa komplit memiliki kromosom 46XY, atau


memiliki kromosom 46 XX, yang mana hal ini berasal dari dua sel sperma yang
membuahi satu sel telur yang kosong sehingga terbentuk penyatuan 2 nukleus dari
ayah. Mola hidatidosa dengan kromosom 46YY tidak ditemukan, hal ini
menggambarkan bahwa hal itu merupakan suatu kondisi yang letal dengan angka
kehidupan yang terbatas. Angka mola hidatidosa komplit sekitar 15% adalah

21
dispermia. Mola hidatidosa yang triploid dan tetraploid jarang terjadi. Ini juga
berasal semata-mata dari DNA ayah. Sebagai perbandingan, mola hidatidosa
parsial biasanya bersifat triploid. Mereka berasal dari pembuahan satu sel telur
dengan dua sperma, yang mana perbandingan kromosom ayah dibandingkan ibu
ialah 2:1 (Gambar C). Jadi, mola hidatidosa parsial umumnya 69XXX, 69XXY,
atau jarang 69XYY.15

Tabel 1. Perbedaan Mola hidatidosa Komplit dan Parsial

Gambaran Mola hidatidosa parsial Mola hidatidosa


komplit

Kariotipe Triploid (69 XXX atau Diploid (46 XX atau 46


69 XXY) XY)

Patologi

Embrio – fetus Ada Tidak ada

Amnion, RBC fetus Ada Tidak ada

Edema vili Fokal, variable Difus (menyeluruh)

Trofoblastik hyperplasia Fokal Difus (menyeluruh)

Inklusi stroma trofoblas Ada Tidak ada

Gambaran Klinis

Ukuran uterus Lebih kecil dari usia 50% lebih besar dari
kehamilan usia kehamilan

Kista teka-lutein Jarang 25-30%

Peningkatan β-Hcg 0,5% 20%

Komplikasi Jarang Sering

Penyakit gestasional 0,5% 20%


ganas

Cunningham et al., 2009

22
2.5 Diagnosis

2.5.1 Manifestasi Klinis

Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan


kehamilan biasa, yaitu mual, muntah, pusing dan lain-lain, hanya saja derajat
keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga
pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Perdarahan uterus
merupakan gejala utama mola.4

Perdarahan uterus hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari


bercak sampai perdarahan berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum
abortus atau, yang lebih sering terajdi secara intermiten selama beberapa minggu
sampai bahkan bulan. Efek dilusi akibat hipervolemia yang cukup berat
dibuktikan terjadi pada sebagian wanita yang molanya lebih besar. Kadang-
kadang terjadi perdarahan berat yang tertutup di dalam uterus.3

Keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah


sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh
dengan rata-rata 12-14 minggu. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola
hidatidosa masuk dalam kedaan anemia.4 Dalam hal ini anemia yang terjadi ialah
anemia defisiensi zat besi sering dijumpai dan kadang-kadang terdapat
eritropoeisis megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi karena mual
dan muntah disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat
berproliferasi.3

Pada mola hidatidosa komplit gejala yang dominan adalah perdarahan


vagina. Tanda klasik dari mola hidatidosa selain perdarahan vaginal adalah tidak
adanya denyut jantung janin dan ukuran uterus yang lebih besar dari perkiraan
usia getasi sehingga menimbulkan keluhan nyeri perut . Pada mola hidatidosa
parsial gejala yang banyak terjadi adalah perdarahan ireguler. Berbeda dengan
mola hidatidosa komplit, mola hidatidosa parsial biasanya tidak menyebabkan
terjadinya pembesaran ukuran uterus. Namun, janin dapat hidup berdampingan
dengan mola hidatidosa parsial. Pada umumnya, pasien dengan mola hidatidosa
parsial datang dengan gejala missed abortion atau abostus inkomplit dan baru
dapat di diagnosis setelah dilakukan pemeriksaan histologi dari hasil kuret.3,4

23
2.5.2 Gambaran Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonografi kebanyakan mola sudah dapat dideteksi pada


trimester awal kehamilan sebelum onset tanda klasik muncul dengan bantuan alat
penunjang ultrasonografi (USG) yang beresolusi tinggi. Karakteristik USG mola
adanya gambaran badai salju (snowstorm) yang mengindikasikan villi korialis
yang hidrofik. Pencitraan ultrasonografi merupakan pemeriksaan pilihan untuk
awal diagnosa untuk selanjutnya diperkuat dengan hasil pemeriksaan laboratorium
dengan nilai β-hCG yang tinggi (>100,000 mIU per milliliter) dan dari hasil
pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan doppler arteri intrauterin pada kehamilan
normal menunjukkan bentuk gelombang impedansi tinggi dengan kecepatan
diastolik rendah selama trimester pertama. Aliran dengan impedansi rendah hanya
muncul di lokasi implantasi, mungkin terkait dengan invasi vaskular fisiologis
jaringan trofoblas. Saat kehamilan berlanjut sampai trimester kedua invasi lebih
lanjut arteri oleh jaringan trofoblas terjadi, hal tersebut akan berlanjut mereduksi
impedansi vaskular. Pada trimester ketiga, invasi vaskular fisiologis berkembang
sedemikian rupa dengan kecepatan tinggi, pola aliran impedansi rendah. Pada
kehamilan mola, invasi arteri miometrium oleh jaringan trofoblas juga terjadi,
tetapi proses ini diSdominasi oleh proliferasi trofoblas yang abnormal.2,16

Pemeriksaan doppler menunjukkan kecepatan aliran yang tinggi,


impedansi aliran rendah pada trimester awal dan kedua. Meskipun adanya
jaringan mola pada ultrasonografi skala abu-abu, dikombinasikan dengan tingkat
hCG meningkat, merupakan diagnostik mola hidatidosa, temuan doppler
memberikan peranan penting dalam konfirmasi diagnosis.12

2.5.3 Gambaran Histopatologi

2.5.3.1 Mola hidatidosa komplit

Struktur histologi mola hidatidosa komplit mempunyai sifat: degenerasi


hidrofik dan pembengkakan stroma vili, tidak terdapat pembuluh darah didalam
vili yang bengkak, proliferasi sel epitel trofoblast dengan derajat yang beragam,
serta tidak terdapat janin dan amnion. Komposisi kromosom yang paling sering
ditemukan pada mola hidatidosa komplit adalah 46,XX dengan kromosom
seluruhnya berasal dari paternal.16

24
2.5.3.2 Mola hidatidosa parsial
Mola hidatidosa parsial terdapat perubahan hidrofik pada sebagian vili,
masih ada gambaran vaskuler, proliferasi hanya terjadi pada lapisan
sinsiotrofoblast, dan kadang terdapat janin yang normal. Komposisi kromosom
pada mola hidatidosa parsial adalah triploid (69 XXX, 69 XXY, atau 69 XYY)
dengan komposisi satu dari maternal dan dua dari paternal.16

2.6 Penatalaksanaan

1. Perbaikan keadaan umum

Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk


memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit
seperti preeklamsia dan tirotoksikosa. Preeklamsia di obati seperti pada kehamilan
biasa sedang tirotoksikosa diobati sesuai dengan protokol bagian Penyakit Dalam,
antara lain dengan indera.4

2. Pengeluaran jaringan mola

Ada dua cara yaitu: a) vakum kuretase dan b) histerektomi

a) Vakum kuretase. Setelah kedaan umum diperbaiki dilakukan vakum


kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan
pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan sendok kuret
biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja,
asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Sebelum
tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga
kemungkinan perdarahan yang banyak.4,16
b) Histerektomi. Tindakan ini dilakukan pada wanita yang cukup umur
dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi
ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai
adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang tampak
adanya tanda - tanda keganasan berupa mola invasif. Ada beberapa
ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui
histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah di
tinggalkan.4,16

25
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Terapi profilaksis diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi akan
terjadinya hamil ini histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang
mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexate atau actinomycin D. Ada
beberapa ahli yang tidak menyetujui terapi profilaksis ini dengan alasan bahwa
jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika profilaksis
dapat menghindarkan keganasan dengan metastasis, serta mengurangi
koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.4,13,8

4. Pemeriksaan tindak lanjut


Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah
mola hidatidosa. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk
tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk hamil
dulu dengan menggunakan kondom, diafragma atau pil anti hamil. Mengenai
pemberian pil anti hamil ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Satu
pihak mengatakan bahwa pil kombinasi, disamping dapat menghindarkan
kehamilan juga dapat menahan Luteinizing Hormone (LH) dari hipofisis sehingga
tidak terjadi reaksi silang dengan HCG. Pihak lain menentangnya justru karena
estrogen dapat mengaktifkan sel-sel trofoblas. Bagshawe beranggapan bila pil anti
hamil diberikan sebelum kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita itu
mendapat koriokarsinoma, maka biasanya resisten terhadap sitostatika. Sampai
sekarang belum ada kesepakatan penderita mola dapat dianggap sehat kembali.
Curry menyatakan sehat bila HCG dua kali berturut - turut normal. Ada pula yang
mengatakan bila sudah melahirkan anak yang normal. Selama pengawasan, secara
berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar Human Chorionic
Gonadotrophin (HCG) dan radiologi.

Cara yang paling peka untuk menentukan adanya keganasan dini ialah
pemeriksaan HCG yang menetap untuk beberapa lama, apalagi kalau meninggi.
Hal ini menunjukan masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum
dipakai sekarang ialah dengan radioimmunoassay terhadap hCG B-sub unit. Di
negara berkembang pemeriksaan tindak lanjut ini sukar dilakukan oleh karena
jarang yang mau datang untuk kontrol. Di samping itu pemeriksaan hCG dengan
radioimmunoassay (RIA) mahal. Dengan demikian diagnosis dini keganasan
sukar ditegakkan 4,13,8

26
2.7 Komplikasi
Mola hidatidosa merupakan penyakit yang memiliki vaskularisasi yang
sangat banyak, yang dapat menyebabkannya perdarahan setelah biopsi atau
dimulainya kemoterapi. Emboli paru yang luas pada jaringan tumor yang
mengalami nekrosis dapat terlihat saat dimulainya terapi. Metastasis pulmonal
dapat menyebabkan terjadinya sesak napas (dispneu), batuk, hemoptisis dan
hipertensi pulmonal. Molekul hCG dapat bereaksi silang dengan reseptor Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) dan menyebabkan tirotoksikosis.8

Mola hidatidosa dapat berkembang menjadi suatu Penyakit Tropobalst


Ganas (PTG), yang mana pada keadaan ini jaringan mola pasca evakuasi tetap ada
didalam tubuh bahkan bertambah banyak, dapat pula disertai dengan adanya
metastasis jaringan mola.4

2.8 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi,
eklampsia, payah jantung, atau tirotoksikosa. Di negara maju, kematian karena
mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu
berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian besar dari pasien mola akan segera sehat
kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang
kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Persentase
keganasan yang di laporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda - beda, berada
berkisar antara 5,56%. Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari
sampai 3 tahun pasca mola , tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama.
Ada wanita yang pernah menderita mola hidatidosa, kemudian pada kehamilan
berikutnya mendapat mola lagi. Kejadian mola berlangsung ini agak jarang .
Martaadisoebrata, di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung hanya menemui 4 dari
323 kasus atau 1.23%. Angka ini tidak banyak berbeda dengan di kepustakaan.
Ada yang mengatakan bahwa mola berulang mempunyai risiko lebih tinggi untuk
menjadi koriokarsinoma, terapi pengalaman di Bandung tidak menunjukan hal
demikian. Untuk menetukan kapan kembalinya fungsi reproduksi setelah mola
hidatidosa, sebetulnya agak sukar, karena umumnya mereka di haruskan memakai
kontrasepsi. Walaupun demikian banyak yang tidak mematuhi. Karena ternyata di
Rumah Sakit Hasan Sadikin, 41,5% telah hamil lagi dalam jangka waktu satu
tahun. Bila tidak di haruskan memakai kontrasepsi tentu lebih banyak lagi.

27
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan reproduksi pasca
mola, tidak banyak berbeda dari kehamilan lainnya. Anak-anak yang dilahirkan
setelah mola hidatidosa ternyata umumnya normal.2,4,

2.9 Follow Up
Sekitar 20% pasien dengan mola komplit dan 5% dari parsial mola akan
menjadi suatu penyakit residual, sehingga diperlukan suatu pemeriksaan secara
ketat setelah dilakukan kuretase mola. Pemeriksaan kadar β-hCG kuantitatif harus
dilakukan selama periode ini. Kadar β-hCG harus diperiksakan setiap minggu
sampai kadarnya tidak terdeteksi selama 3 minggu berturut turut kemudian
dilanjutkan pemeriksaan setiap bulan sampai kadarnya tidak terdeteksi selama 6
bulan berturut turut. Kadar dari β-hCG setelah dilakukan terapi kuretase
seharusnya menurun dan tidak pernah mengalami peningkatan, dan diperkirakan
sekitar 9-11 minggu kadar β-hCG sudah tidak terdeteksi lagi setelah dilakukan
tindakan kuretase. Peningkatan kadar β-hCG hendaknya dapat diperhatikan secara
seksama dan dilakukan pemeriksaan pelvis dan pemeriksaan lanjutan guna dapat
mendeteksi apakah terjadi suatu penyakit yang menetap atau bahkan terjadi suatu
metastasis.
Penggunaan kontrasepsi dianjurkan selama periode pemantauan (follow
up) setelah evakuasi jaringan mola, dimana dianjurkan selama 6 bulan sampai 1
tahun. Alasan penggunaan kontrasepsi ini ialah, jika terjadi kehamilan maka akan
membuat suatu kerancuan (ketidakpastian) dikarenakan saat terjadi kehamilan
kadar β-hCG akan mengalami peningkatan selama 9 bulan yang mana hal ini akan
membuat kebingungan apakah peningkatan ini disebabkan karena kehamilannya
atau terdapat mola yang persisten.
Penggunaan Intra Uterine Device (IUD) tidak dianjurkan karena dapat
memicu terjadinya ruptur uterus pada kasus mola invasif. Penggunaan Pil KB
kombinasi juga tidak dianjurkan sebelum kadar β-hCG kembali normal,
kontrasepsi mantap (KONTAP) sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak ingin
memiliki anak lagi, namun kondom merupakan pilihan utama bagi mereka yang
masih menginginkan anak.13

28
2.10 Penyakit Trofoblas Ganas

Penyakit trofoblas ganas (PTG) adalah suatu tumor ganas yang berasal dari
sito dan sinsiotrofobals yang menginvasi miometrium, merusak jaringan
disekitarnya dan pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan

PTG dapat didahului oleh proses fertilisasi (molahidatidosa, kehamilan biasa


abortus, dan kehamilan ektopik) bahkan dapat merupakan produk langsung dari
hasil konsepsi atau yang bukan didahului oleh suatu kehamilan. PTG yang
didahului proses pembuahan sel telur digolongkan sebagai “khoriokarsinoma
dengan kehamilan” (gestational choriocarcinoma) sedangkan yang tidak didahului
pembuahan sel telur dikenal sebagai koriokarsinoma tanpa kehamilan (non
gestational choriocarcinoma) yakni yang berasal dari tumor sel germinal pada
ovarium.18

2.10.1 Epidemiologi

Penyakit ini sering terjadi pada usia 14-49 tahun dengan rata-rata 31,2 tahun.
Risiko terjadinya PTG yang nonmetastase 75% didahului oleh molahidatidosa
dan sisanya oleh abortus, kehamilan ektopik atau kehamilan aterm. Risiko
terjadinya PTG yang metastase 50% didahului oleh molahidatidosa, 25% oleh
abortus, 22% oleh kehamilan aterm dan 3% oleh kehamilan ektopik.

Pada jenis invasif mola 12,5% berasal dari mola komplit dan 1,5% berasal
dari mola parsial. Pada koriokarsinoma 1,7% berasal dari mola komplit dan 0,2%
dari mola parsial, koriokarsinoma setelah kehamilan normal lebih sering terjadi
dibandingkan mola invasif.18,19,20

2.10.2 Etiologi

Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum jelas diketahui,


namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma epitel korion meskipun
pertumbuhan dan metastasisnya menyerupai sarkoma. Selain itu, pada umumnya
penyakit ini disebabkan oleh adanya kehamilan anggur atau molahidatidosa.18

2.10.3 Patogenesis

29
1. Teori missed abortion.

Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Karena itu terjadi
gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan
mesenkim dan villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung.Menurut
Reynolds, kematian disebabkan kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine
pada kehamilan hari ke 13 dan 21, menyebabkan gangguan angiogenesis.21,22

2. Teori Neoplasma, dari Park

Sel-sel tropoblas yang abnormal mempunyai fungsi yang abnormal pula,


dimana resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung,
menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.20,22

2.10.4 Klasifikasi

Penyakit trofoblas ganas dibedakan atas 2, yaitu22,23,24:

1. Penyakit trofoblas ganas non-metastatik

A. Mola invasif (korioadenoma destruens)

B. Placental site trophoblastic tumor

2. Penyakit trofoblas ganas metastatik

1. Mola Invasif

Ditemukan sekitar 15% sesudah pengeluaran mola dan lebih rendah pada
pasca kehamilan normal. Gejala-gejala klinis yang dapat ditemukan ialah:

• Perdarahan vaginal yang tidak teratur


• Adanya kista teka lutein
• Subinvolusi uterus atau pembesaran asimetris
• Sel-sel tumor trofoblas dapat menyebabkan perforasi miometrium sehingga
terjadi perdarahan intraperitoneal
• Infeksi tumor yang nekrosis dapat menyebabkan sekret purulen dan nyeri
pelvis akut.
2. Placental Site Trophoblasyic

30
Jarang ditemukan, tetapi merupakan varian penting dari koriokarsinoma.
Ditemukan kurang dari 1% pada penderita penyakit trofoblas. Tumor tumbuh
lokal dengan infiltrasi ke miometrium atau berupa polip yang tumbuh ke dalam
kavum uterus.

3. Penyakit Trofoblas Ganas Metastasis

Ditemukan sekitar 4% sesudah pengeluaran mola dan lebih rendah pada


pasca kehamilan normal. Gejala-gejala klinis yang dapat ditemukan ialah:

• Gabungan perdarahan spontan & fokus metastasis


• Paru-paru : nyeri dada, batuk, hemoptisis,sesak, hipertensi pulmonal
• Vagina : perdarahan ireguler & sekret purulen
• Hati : nyeri epigastrik atau nyeri kwadran kanan atas,
perdarahan intraperitoneal hebat

• SSP : kelainan otak & gangguan neurologik fokal bila terjadi


perdarahan spontan.

Pada pembagian lain secara klinis PTG di bagi 2, yaitu:

1. PTG terdapat hanya dalam uterus invasif mola


Adalah tumor atau suatu proses seperti tumor yang menginvasi miometrium
dengan hiperplasia trofoblas disertai struktur vili yang menetap. Terminologi lain
untuk keadaan ini yang tidak lagi dipakai ialah malignant mola, mola detruens,
korio adenoma detruens.

2. PTG meluas keluar uterus koriokarsinoma


a. Gestasional koriokarsinoma adalah karsinoma yang terjadi dari sel-sel
trofoblas dengan melibatkan sitotrofoblas dan sinsiotrofoblas. Hal ini biasa
terjadi dari hasil konsepsi yang berakhir dengan lahir hidup, lahir mati
(still birth), abortus, kehamilan ektopik, molahidatidosa atau mungkin juga
oleh sebab yang tidak diketahui.
b.
Non gestasional koriokarsinoma adalah suatu tumor ganas trofoblas yang
terjadi tanpa didahului oleh suatu fertilisasi, tetapi berasal dari germ sel
ovarium. Brewer mengatakan bahwa non gestasional koriokarsinoma juga
dapat merupakan bagian teratoma.

31
Tabel 1. Stadium PTG berdasarkan FIGO 2000
Stadium Keterangan
I Pasien dengan peningkatan kadar hCG persisten dan
tumor terbatas pada korpus uterus.
II Pasien dengan metastasis pada vagina dan/atau pelvik.
III Pasien dengan metastasis paru dengan atau tanpa
keterlibatan uterus, vaginal atau pelvik.
Diagnosis berdasarkan peningkatan kadar hCG
dengan adanya lesi-lesi pulmoner pada foto radiologik
dada.
IV Pasien yang mengalami penyakit lanjut dengan
keterlibatan otak, hati, ginjal, atau saluran
gastrointestinal.
Masuk dalam kategori risiko-paling tinggi,oleh karena
sebagian besar resisten terhadap kemoterapi.
Pada banyak kasus penyakit timbul setelah kehamilan
non-mola dan memiliki gambaran histologik
koriokarsinoma.

Tabel 2.Skor Indeks Prognosis oleh WHO

Skor FIGO 0 1 2 4

Usia (tahun) ≤ 39 >39 - -

Kehamilan sebelumnya Mola Abortus aterm

Jarak dari kehamilan ( <4 4-6 7-12 >12


bulan)

Kadar β hCG pretreatment < 1.000 1000- >10.000- >


10.000 100.000 100.000

Besar tumor termasuk < 3 3-5 >5


uterus (cm)

Letak metastasis Paru,vagina Lien, Tr, Otak,


ginjal gatrointestinal hati

Jumlah metastasis 0 1-4 4-8 >8

32
Riwayat gagal kemoterapi - - Regimen 2 atau
tunggal lebih

Penilaian: Bila nilai total: ≤ 4 = risiko rendah

5-7 = risiko sedang

≥8 = risiko tinggi

Tabel 3. Klasifikasi PTG menurut Hammond

Kategori Kriteria

Non metastasis Tidak ditemukan metastasis

Metastasis Terdapat metastasis ekstrauterin

a. Prognosis baik Tidak ada faktor risiko :

Durasi < 4 bulan

Kadar β hCG pre terapi < 40.000mIU/ml

Tidak terdapat metastasis otak atau hati

Bukan kehamilan aterm sebelumnya

Belum pernah kemoterapi

b. Prognosis buruk
Ada faktor risiko

Durasi ≥ 4 bulan sejak kehamilan sebelumnya

Kadar β hCG preterapi ≥ 40.000 mIU/ml

Metastasis otak atau hati

Kehamilan aterm sebelumnya

Pernah kemoterapi

33
2.10.5 Gejala dan Tanda

Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu kehamilan dan


dimana terdapat subinvolosio uteri juga perdarahan dapat terus menerus atau
intermiten dengan perdarahan mendadak dan terkadang masif. Pada pemeriksaan
ginekologi ditemukan uterus membesar dan lunak. Kista tekalutein bilateral. Lesi
metastasis di vagina dan organ lain. Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi
metastasis ditandai dengan: nyeri perut, batuk darah, melena, dan peningkatan
tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang, dan hemiplegia.25,26

Kadar β hCG paska mola setelah menurun, tidak menurun malahan dapat
meningkat lagi atau titer β hCG yang meninggi setelah terminasi kehamilan, mola
atau abortus. Pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan adanya lesi yang
metastasis. Pada sediaan histopatologis dapat ditemukan villus namun demikian
dengan tidak memperlihatkan gambaran patologik tidak dapat menyingkarkan
suatu keganasan.26

2.10.6 Diagnosis

Diagnosis penyakit trofoblas ganas secara klinis ditegakkan berdasarkan26,27:

a. Anamnesis.
 Perdarahan yang terus menerus setelah evakuasi mola atau kehamilan
sebelumnya
 Bila terjadi perforasi uterus, ditemukan adanya keluhan nyeri perut
 Bila ada lesi metastasis, maka dapat ditemukan gejala hemptoe, sakit kepala,
kejang, dan hemiplegia.
b. Pemeriksaan fisis
 Uterus besar dan irreguler
 Dapat terlihat adanya lesi metastasis di vagina atau organ lain
 Ditemukan kista lutein bilateral yang persisten
c. Pemeriksaan penunjang
 Ditemukan kadar β hCG yang menetap atau meninggi
 Pada foto thorax dapat terlihat adanya lesi metastasis

34
 USG pelvis, hati dan ginjal untuk melihat adanya metastasis
 Bila ada metastasis di hati maka dapat ditemukan gangguan fungsi hati
 CT scan kepala bila ada indikasi kelainan saraf
2.10.7 Penatalaksanaan

Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan


operasi. Indikasi kemoterapi yaitu26,27:

1. Meningkatnya β hCG setelah evakuasi


2. Titer β hCG sangat tinggi setelah evakuasi
3. β hCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi
4. Meningginya β hCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi lambat
5. Metastasis ke paru-paru, vulva, vagina kecuali kalau β hCGnya turun
6. Metastasis ke bagian organ lainnya (hepar, otak)
7. Perdarahan vaginal yang berat atau adanya perdarahan gastrointestinal
8. Gambaran histologi koriokarsinoma
Operatif merupakan tindakan utama dalam penanganan dini PTG, walaupun
tumor sudah lama bila masih terlokalisir di uterus tindakan histerektomi baik
dilakukan. Pasien-pasien dengan perdarahan pervaginam yang terus menerus,
setelah abortus, mola, dan persalinan yang normal dengan uterus sebesar
kehamilan ≤ 12 minggu dan tidak ruptur operasinya diutamakan histerektomi. Bila
penyakit telah meluas maka histerektomi dilakukan hanya atas dasar perdarahan
dari uterus yang hebat atau resisten terhadap kemoterapi.27

Bila tergolong risiko rendah, maka diberikan kemoterapi tunggal, sedang


bila tergolong risisko sedang dan tinggi diberikan kemoterapi kombinasi.

 Stadium I:

Jika penderita tidak menginginkan anak lagi, maka histerektomi dengan


adjuvant kemoterapi tunggal merupakan pengobatan yang utama. Bila penderita
masih menginginkan anak, maka diberikan kemoterapi tunggal.26

Kemoterapi tunggal tersebut adalah:

a. Methotrexate (MTX): dosis 10-20 mg/m IV/IM tiap hari selama 5 hari diulang
tiap 2-3 minggu, jika dalam 2 minggu tidak ada tanda-tanda depresi sum-sum

35
tulang/ kelainan darah (Hb, leukosit, trombosit) maka segera diberikan seri
berikutnya.
b. Actinomycin D (ACT.D): dosis 12 µg/kgBB/IV tiap hari selama 5 hari diulang
tiap 2-3 minggu, jika tidak ada depresi sum-sum tulang. Kemoterapi diberikan
sampai kadar β hCG dalam darah menjadi normal, kemudian dilanjutkan 1-2
seri.
Jika kadar β hCG meningkat atau menetap setelah pemberian sitostatika
sebanyak 1 seri, maka dianggap resisten/ tidak dilanjutkan lagi untuk seri
berikutnya kemudian diganti dengan kemoterapi kombinasi.25,27

Penderita stadium I harus:

1. Kontrol β hCG tiap minggu sampai normal tiaga minggu berturut-turut


kemudian dilanjutkan setiap bulan sampai normal 12 kali berturut-turut.
2. Menggunakan kontrasepsi selama evaluasi
 Stadium II dan III:

Ditentukan apakah tergolong risiko rendah, sedang atau tinggi. Jika


tergolong rendah maka diberikan kemoterapi tunggal seperti pada penderita
stadium I. Bila tergolong risiko sedang atau tinggi, maka diberikan terapi
kombinasi.26

Kemoterapi kombinasi tersebut adalah:

1. Untuk risiko sedang:


Kombinasi: Vincristine 1 mg/m/IV dan Cyclophosphamide 600 mg/m/IV.

Diberikan pada hari 1 dan hari ke 3 dengan interval 1 minggu, bila penekanan
sum-sum tulang sudah pulih

2. Untuk risiko tinggi


Kombinasi: Vincristine 1 mg/m/IV dan Cyclophosphamide 600 mg/m/IV.

Diberikan pada hari 1 dan hari ke-3 dengan interval 1 minggu bila penekanan
sum-sum tulang sudah pulih

Pemantauan penderita stadium II dan III sama dengan penderita stadium I

36
 Stadium IV

Semua penderita stadium IV diberi kemoterapi kombinasi sama dengan yang


tergolong risiko tinggi.25,27

Pemantauan penderita stadium IV berupa:

1. Pemeriksaan kadar β hCG setiap sampai mencapai kadar normal 3 minggu


berturut-turut.
2. Pemeriksaan kadar β hCG dilanjutkan setiap bulan sampai kadar normal 24
bulan berturut-turut.
Berikut ini adalah bagan penatalaksanaan medis yang harus dilakukan
pada pasien dengan penyakit trofoblas ganas:

37
2.10.8 Prognosis

Makin dini diagnosis dibuat dan makin dini pengobatan dimulai makin baik
prognosisnya. Prognosis penyakit trofoblas ganas jenis villosum lebih baik
daripada jenis non villosum.27,26,24

Prognosis memburuk dijumpai pada:

1. Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang


2. β hCG yang tinggi
3. Pengobatan tidak sempurna
4. Adanya nak sebar pada otak dan hepar
5. Daya tahan tubuh penderita
6. Diagnosis terlambat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan.
Setelah ditemukannya kemoterapi kasus-kasus PTG risiko rendah 100%
dapat bertahan untuk hidup lebih lama, sedangkan kasus risiko tinggi hanya 30-
50% dapat bertahan lebih lama.24,26

38
2.10.9 Follow Up

Pasien-pasien penyakit tropoblas ganas dianjurkan mengikuti jadwal berikut.


Pasien harus dievaluasi selajutnya karena adanya risiko kambuh.26,27,28

1. Pemeriksaan kadar β hCG tiap minggu sampai didapatkan negatif dalam 3


minggu.

2. Pemeriksaan kadar β hCG tiap bulan sampai didapatkan negatif dalam 12 bulan
(non metastatik atau penyakit dengan metastatik risiko rendah atau dalam 24
bulan (metastasis risiko tinggi).

3. Kontrasepsi yang efektif

4. Pemeriksaan radiologi atas indikasi (mis: CT thoraks untuk melihat metastasis


paru, MRI kepala untuk melihat metastasis serebral.

39
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Mola hidatidosa secara umum : Gejala Mola hidatidosa yang
- Mual dan muntah hebat. didapatkan pada kasus :
- Uterus lebih besar dari umur - Pasien mengalami flek disertai darah
kehamilan. segar yang hilang-timbul sejak awal
- Perdarahan merupakan gejala utama kehamilan.
mola - Pasien mengatakan pada kehamilan
PTG secara umum : ini sering mengalami mual dan
- Perdarahan yang tidak teratur setelah muntah
berakhirnya suatu kehamilan - Paisen mengalami penurunan berat
- nyeri badan sebanyak 8 kg.
- sakit kepala - Pasien mengatakan bahwa kehamilan
- gejala metastase seperti batuk, sesak, kali ini ukuran perutnya lebih besar
kejang, hemiplegia dan lain-lain dari biasanya.
Gejala PTG yang didapat pada kasus :
- Post kuret yang pertama masih
mengalami perdarahan yang hilang
timbul.

4.2 Faktor Risiko


Teori Fakta
Faktor risiko terjadinya mola Faktor risiko terjadinya mola
hidatidosa : hidatidosa pada kasus :

- Usia: - Usia pasien 28 tahun


- Primipara
Usia dengan risiko tinggi adalah
- Tidak ada riwayat mola hidatidosa
dibawah 15 tahun dan diatas 40 tahun.
sebelumnya

40
- Paritas

Kejadian mola hidatidosa banyak


terjadi pada mereka yang nullipara
(42%), multipara (2-4 anak) 40% dan
primipara 18%.

- Riwayat Kehamilan Mola hidatidosa


Sebelumnya

4.3 Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
Mola Hidatidosa secara umum : Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Perut membesar tidak sesuai usia Frekuensi nadi : 96 x/menit
kehamilan. Frekuensi napas : 20 x/menit
- Tidak ditemukan adanya denyut Temperatur : 36.5º C
jantung janin -Konjungtiva anemis (+)
- Anemia
PTG secara umum : PTG dalam kasus :
- Uterus besar dan irreguler - Inspeksi : Abdomen distensi (-),
- Dapat terlihat adanya lesi metastasis bentuk abdomen cembung (+),
di vagina atau organ lain bekas operasi (-), striae (+), linea
nigra (+), massa (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Pemeriksaan VT tidak dilakukan

41
4.4 Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Pemeriksaan penunjang Mola Pemeriksaan penunjang pada kasus
Hidatidosa : Mola Hidatidosa :
1. USG 1. USG
- Karakteristik USG mola adanya - USG saat pasien mengalami mola
gambaran badai salju (snowstorm) yang tidak ada.
mengindikasikan villi korialis yang
hidrofik. .

2. Patologi Anatomi 2. Patologi Anatomi

Untuk memastikan Diagnosa pasti mola Makroskopis :


hidatidosa Diterima jaringan tidak teratur 3gr
warna putih coklat rapuh
Mikroskopis :
Menunjukan jaringan terdiri dari villi
chorealis yang edematous dan
avaskular. Villi tersusun oleh sel
trophoblast yang proliferative. Pada
bagian sentral villi terdapat bentuk
cysterna.
Kesimpulan :
Bahan Kuretase
Mola Hidatidosa Komplit

Pemeriksaan Penunjang PTG : Pemeriksaan Penunjang PTG :

- Ditemukan kadar β hCG yang - β hCG serum : 25970.00

menetap atau meninggi - Tidak nampak adanya lesi metastasis

- Pada foto thorax dapat terlihat adanya paru.

lesi metastasis - Pada USG abdomen ditemukan kista

- Pada USG dapat ditemukan kista lutein bilateral

lutein bilateral - CT scan kepala tidak dilakukan

- USG pelvis, hati dan ginjal untuk karena tidak ada indikasi.

melihat adanya metastasis

42
- Bila ada metastasis di hati maka dapat
ditemukan gangguan fungsi hati
- CT scan kepala bila ada indikasi
kelainan saraf

4.5 Scoring untuk Penegakan Diagnosis


Teori Fakta
Stadium PTG berdasarkan FIGO Stadium PTG berdasarkan FIGO
2000 2000
I : Pasien dengan peningkatan kadar Pada kasus ini pasien masuk pada
hCG persisten dan tumor terbatas
stadium 1 sebab tumor hanya terbatas
pada korpus uterus.
II : Pasien dengan metastasis pada pada uterus dan tidak ditemukan lesi
vagina dan/atau pelvik metastasis.
III : Pasien dengan metastasis paru
dengan atau tanpa keterlibatan uterus,
vaginal atau pelvik.
Diagnosis berdasarkan peningkatan
kadar hCG dengan adanya lesi-lesi
pulmoner pada foto radiologik dada
IV : Pasien yang mengalami penyakit
lanjut dengan keterlibatan otak, hati,
ginjal, atau saluran gastrointestinal.

Skor Indeks Prognosis oleh WHO : Skor Indeks Prognosis oleh WHO :

Usia : Usia : 28
≤ 39 tahun : 0
Kehamilan sebelumnya : Mola
> 39 tahun : 1
Jarak kehamilan : 4-6 bulan
Kehamilan sebelumnya :
Kadar β hCG : 25970.00
Mola : 0
Abortus : 1 Besar Tumor : >6
Aterm : 2
Letak metastasis : tidak ada
Jarak dari kehamilan (dalam bulan): Jumlah metastasis : 0
< 4 bulan : 0
Riwayat gagal kemoterapi: Tidak ada
4-6 bulan : 1
7-12 bulan : 2 Score total: 4
> 12 bulan : 4

Kadar β hCG :
< 1000 : 0
1000-10.000 : 1

43
>10.000 - 100.000 : 2
>100.000 : 4

Besar tumor termasuk uterus


<3 : 0
3-5 : 1
>5 : 2

Letak metastasis :
Paru dan vagina : 0
Lien dan ginjal : 1
Traktus gastrointestinal : 2
Otak dan hati : 4

Jumlah metastasis :
Tidak ada metastasis : 0
1-4 : 1
4-8 : 2
>8 : 4

Riwayat gagal kemoterapi :


Regimen tunggal : 2
dua regimen atau lebih : 4

Total score :
≤ 4 : risiko rendah
5-7 : risiko sedang
> 8 : risiko tinggi

44
4.6 Penatalaksanaan
Teori Fakta
Tatalaksana Mola Hidatidosa : Tatalaksana Mola Hidatidosa dalam
kasus ini :
- vakum kuretase
- vakum kuretase
Tatalaksana PTG : Tatalaksana PTG pada kasus :

Bila tergolong risiko rendah, maka Pasien termasuk golongan risiko rendah
diberikan kemoterapi tunggal, sedang menurut scoring FOGI dan stadium satu
bila tergolong risisko sedang dan tinggi menurut WHO dan mendapatkan terapi
diberikan kemoterapi kombinasi. tunggal MTX.

- Stadium I:
Diberikan kemoterapi tunggal
kemoterapi tunggal.

Kemoterapi tunggal tersebut adalah:

a. Methotrexate (MTX)
b. Actinomycin D (ACT.D

45
BAB 5
PENUTUP
Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus atas nama NY. A yang berusia 28 tahun. Datang
dengan keluhan badan lemas dengan riwayat kehamilan mola hidatidosa dan telah
dilakukan kuretase sebelumnya. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan hasil diagnosis Penyakit Trofoblas
Ganas Risiko Rendah. Pasien ini dilakukan kemoterapi dengan regimen tunggal
yaitu MTX. Secara umum penegakan diagnosis dan tatalaksana pada pasien
tersebut tepat sesuai dengan teori yang ada.

46
Daftar Pustaka

1. Garg, R. & Giuntoli, R. L. 2007. Gestational Trophoblastic Diseases. In:


Fortner, K. B., Szymanski, L. M., Fox, H. E. & Wallach, E. E. (eds.) The
Johns Hopkins Manual of Gynaecology & Obstetrics. Baltimore,Maryl&:
Lippincot Williams&Wilkins.
2. Tricia, M. & O'Quinn, A. 2003. Gestational Trophoblastic Diseases. In: AH, D.
& L, N. (eds.) Current Obstetric & Gynaecology Diagnosis & Treatment.
Los Angles: McGraw-Hill Companies.
3. Cunningham, F. G., Leveno, K. J. & Bloom, S. L. 2009. Anatomi Ibu. In:
Yoavita, Salim, N. & Setia, R. (eds.) Obstetri Williams. Jakarta: EGC.
4. Prawirohardjo, Hestiantoro, A., Soejoenoes, A., Halim, B., Aff&i, B., Luthan,
D. & Dkk 2014. Penyakit Tropoblast Gestasional. In: Anwar, M., Baziad,
A. & Prabowo, R. P. (eds.) Ilmu K&ungan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirodihardjo.
5.Choi, M. C., Lee, C., Smith, H. O. & Kim, S. J. 2010. Epidemiology of
Gestational Trophoblastic Diseases.
6.Sampson, G. J. & Bagshawe, K. D. 2010. Gestational Trophoblastic Diseases. 3.
7.John, L. 2010. Gestational Trophoblastic Diseases I:
Epidemiology,pathology,clinical presentation & diagnosis of gestational
trophoblastic diseases & management of hydatiform mole American
Journal Obstetrics & Gynaecology, 531-539.
8. Niemann, I., Vejerslev, L. O. & Froding, L. 2015. Gestational Trophoblastic
Diseases
Clinical guidelines for diagnosis, treatment, follow-up, & counselling.
Danish Medical Journal, 11, 1-19.
9. Aziz, N., SajidaYousfani, Soomro, I. & Mumtaz, F. 2012. Gestational
Trophoblast Diseases. J Ayub Med Coll Abbottabad, 24.
10. Lazovic, B. & milenkovic, V. 2012. Changes in the Incidence of Gestational
Trophoblastic Disease ,2000-2010 ,Our Experience. Scientific Journal of
the Faculty of Medicine in Niš, 1, 31-34.
11. Khachani, I., Alami, M. H. & Bezad, R. 2017. Implementation & Monitoring
of Gestational Trophoblastic Diseases Management Program in a Tertiary
Hospital in Morocco :Opportunities & Challenges. Hindawi Journal, 1-8.
12. Sampson, G. J. & Bagshawe, K. D. 2010. Gestational Trophoblastic Diseases.
3.
13. Loh, K. Y., Sivalingam, N. & Suryani, M. Y. 2004. Gestational Trophoblastic
Tumor. Malaysia Medical Journal, 59, 697-702.

47
14. Berkowitz, R. & Goldstein, D. 2009. Presentation & Management of Molar
Pregnacy [Online]. Nejm.com. [Accessed].
15. Moore, L. E. 2016. Hydatiform Mole. Medscape.
16. Fraser, D., Jauniaux, E., Ngan, Y. & Sabire, N. 2010. The Management of
Gestational Trophoblastic Diseases. Royal Collage Obstetrics
Gynaecology.
17. Suheimi K. Laporan kasus ginekologi onkologi. [online]. 2008 Jul 06 [cited
2008 Oct 27]; [8 screens]. Available from: URL:
http://ksuheimi.blogspot.com/2008/07/laporan-kasus-ginekologi-
onkologi.html
18. Nguyen CP, Bristow R. Gestational trophoblastic disease. In: Bankowski BJ,
Hearne AE, Lambrou NC, Fox HE, Wallach EE, editors. The Johns
Hopkins manual of gynecology and obstetrics. 2nd ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2002. p. 577-89.
19. Soekimin. Penyakit tropoblas ganas. [online]. 2005 [cited 2008 Oct 27]; [6
screens]. Available from: URL: http://www.usu-repository.com/penyakit-
tropoblas-ganas.pdf.
20. Hernandez E. Gestational Trophoblastic Neoplasia. [online]. 2008 Sep 24
[cited 2008 Oct 27]; [15 screens]. Available from: URL:
http://www.eMedecine.com/gestational-trophoblastic-neoplasia.html.
21. Suheimi K. Penyakit serta kelainan plasenta dan selaput janin. [online]. 2008
Jun 24 [cited 2008 Oct 27]; [8 screens]. Available from: URL:
http://ksuheimi.blogspot.com/2008/06/penyakit-serta-kelainan-
plasenta.html
22. Penyakit tropoblas gestasional. [online]. 2008 [cited 2008 Oct 27]; [6 screens].
Available from: URL: http://www.indocancer.com/penyakit-tropoblas-
gestasional.html.
23. Rich WM. Gestational trophoblastic disease. [online]. 2008 [cited 2008 Oct
27]; [4 screens]. Available from: URL:
http://www.gyncancer.com/gest.html.
24. Barkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic neoplasia. In: Berek
JS, Hacker NF, editors. Practical gynecology oncology. 3nd ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2000. p. 780-810..
25. Stenchever MA, Droegenmueller W, Arthur H, Mishell DR, Herbst AL,
editors. Comprehensive gynecology. 4nd ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins Publishers; 2002. p. 1046-61..
26. Barkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic neoplasia. In: Berek
JS, editors. Novak’s gynecology. New York: Lippincott Williams &
Wilkins Publishers; 2002. p. 1536-60.

48
27. Budi A, Djuanna A. Penyakit tropoblas ganas. Ujung Pandang: SMF Obstetri
dan Ginekologi FKUH; 1999. p. 254-7.

49
50

Anda mungkin juga menyukai