Anda di halaman 1dari 17

Referat

HALAMAN JUDUL
KADAR HORMON TIROID DAN HUBUNGANNYA DENGAN
CHORIONIC GONADOTROPIN PADA
PENDERITA MOLA HIDATIDOSA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kebidanan dan Kandungan
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh :

Yulia Agustina
2207501010001

Pembimbing :
dr. Cut Rika Maharani, Sp.OG

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT DR ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Kadar
Hormon Tiroid dan Hubungannya dengan Chorionic Gonadotropin pada
Penderita Mola Hidatidosa”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada
Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan.

Penyusunan referat ini adalah sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kebidanan dan
Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada dr. Cut Rika Maharani, Sp.OG yang telah bersedia meluangkan
waktu membimbing penulis dalam penulisan referat ini.

Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi
para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada
umumnya dan ilmu kesehatan kebidanan dan kandungan khususnya. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk referat
ini.

Banda Aceh, 5 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

• Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1. Mola Hidatidosa ..................................................................................... 3
2.1.1 Definisi ................................................................................................................ 3
2.1.2 Etiologi ................................................................................................................ 3
2.1.3 Klasifikasi ........................................................................................................... 4
2.1.4 Epidemiologi ..................................................................................................... 4
2.1.5 Patofisiologi ...................................................................................................... 5
2.1.6 Manifestasi Klinis ............................................................................................ 6
2.1.7 Diagnosis ............................................................................................................ 7
2.1.8 Tatalaksana ...................................................................................................... 8
2.2 Hubungan Hormon Tiroid dan hCG pada Mola Hidatidosa ........... 10
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Gestational trophoblastic disease (GTD) atau penyakit trofoblastik


gestasional merupakan spektrum penyakit yang saling berhubungan, namun secara
histologi berbeda dimana asal tumor yang berasal dari plasenta. Penyakit ini
memiliki karakteristik nilai tumor marker yang cenderung normal, yaitu subunit β-
human chorionic gonadotropin (β-hCG) dan memiliki tendensi untuk invasi lokal
dan menyebar. Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) merupakan bagian dari
GTD yang berkembang sebagai sekuele malignan. Tumor ini membentuk staging
formal dan respon pada kemoterapi. Prognosis untuk terjadinya fertilitas dan
kehamilan biasanya baik. Meskipun GTD jarang ditemui, karena kesempatan untuk
penyembuhan baik, klinisi harus familiar dengan presentasi, diagnosis dan
penanganan.1
Insidensi dan faktor etiologi yang berkontribusi terhadap perkembangan
GTD sulit untuk diidentifikasi. Masalah dalam mengakumulasi data epidemiologi
dapat mempengaruhi jumlah faktor, seperti definisi kasus yang inkonsisten,
ketidakmampuan untuk mengkarakteristik populasi berisiko, basis data yang tidak
tersentralisasi, kurangnya kelompok kontrol yang dipilih untuk dibandingkan pada
kelompok faktor risiko, dan jarangnya kasus ini. 2
Salah satu bentuk yang sering ditemukan adalah kasus mola hidatidosa
dimana jumlah kasus ditemukan 1 – 2 dari 1000 kehamilan. Studi epidemiologi
melaporkan variasi regional pada insidensi mola hidatidosa. Diperkirakan pada
Asia Tenggara dan Jepang memiliki insidensi 2 dari 1000 kehamilan. Faktor risiko
yang berpotensi yang paling besar yaitu usia ibu hamil yang ekstrem dan risiko
kehamilan mola. Pada ibu yang berusia sangat muda memiliki kecenderungan
terjadi mola hidatidosa komplit. Dibandingkan wanita berusia 21-35 tahun,
memiliki risiko sebesar 1,9 lebih tinggi disbanding wanita usia 35 tahun dan 7,5
kali lebih tinggi dibandingkan wanita usia 40 tahun. Selain usia, faktor risiko
lainnya yaitu usia gestasi, tinggi fundus atau ukuran uterus dan derajat diferensiasi
histopatologi. 1

1
Ciri umum dari semua lesi trofoblastik ini adalah lesi ini menghasilkan
human chorionic gonadotropin (hCG), yang berfungsi sebagai penanda untuk
adanya penyakit trofoblas yang persisten atau progresif. Karena lesi ini, terutama
penyakit trofoblas postmolar, sering diobati dengan tidak adanya diagnosis
histologis, mereka mungkin secara klinis diklasifikasikan sebagai GTD tanpa
penunjukan subtipe morfologis. Meskipun demikian, identifikasi dan pemisahan
berbagai bentuk patologis penyakit adalah penting, karena mereka memiliki
presentasi klinis dan perilaku yang berbeda. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mola Hidatidosa


2.1.1 Definisi
Mola hidatidosa yang dikenal awam sebagai hamil anggur merupakan
kehamilan abnormal berupa tumor jinak yang terjadi sebagai akibat kegagalan
pembentukan bakal janin, sehingga terbentuk jaringan permukaan membran (villi)
yang mirip gerombolan buah anggur.3 Mola hidatidosa merupakan penyakit
trofoblas gestational yang ditandai dengan abnormalitas vili korialis yang
mengalami degenerasi hidropik sehingga terlihat seperti buah anggur yang
bergerombol. Pada mola hidatidosa terdapat proliferasi sel trofoblas yang
berlebihan dan adanya edema stroma vilus. Secara makroskopis mola hidatidosa
terlihat seperti gelembung-gelembung, transparan, dan berisi cairan jernih yang
ukurannya bervariasi.1

Gambar 1. (A) Mola hidatidosa lengkap, ditandai dengan vili yang membesar, hidrofik, dan
beberapa mengalami pembentukan sisterna dan kavitasi sentralis dengan vili edematosa di
dalamnya. Mola hidatidosa lengkap juga dapat menunjukkan gambaran proliferasi trofoblastik,
bisa fokal atau tersebar. (B) Gambaran plasenta normal yang menunjukkan vili yang lebih kecil,
tidak edematosa dan tidak ada profiferasi trofoblas.1

2.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya mola hidatidosa sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Namun faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan ini
adalah:2
a. Faktor ovum
b. Imunoselektif dari trofoblas
c. Kehamilan usia lanjut (>35 tahun) atau terlalu muda (<20 tahun)

3
d. Paritas tinggi
e. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
f. Faktor infeksi
g. Sosial ekonomi rendah yang berpengaruh pada hygiene, nutrisi dan
pendidikan
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, histopatologi, dan kariotipenya, mola hidatidosa
dibagi menjadi mola komplit dan mola parsial. Pada mola komplit, secara umum
vili korialis terlihat sebagai vesikel-vesikel jernih yang ukurannya bervariasi. Mola
hidatidosa komplit disebabkan ovum dibuahi oleh sperma haploid yang
menduplikasikan kromosomnya sendiri setelah meiosis, sedangkan kromosom
ovum tidak ada sehingga menyebabkan kariotipe menjadi 46,XX dengan 2 set
kromosom berasal adari ayah. Pada keadaan lain dapat juga terjadi pola kromosom
mungkin menjadi 46,XY karena fertilisasi dispermik.4
Pada mola hidatidosa parsial terdapat bagian dari janin ditambah dengan
adanya degenerasi hidropik, edema vili, dan proliferasi sel trofoblas yang bersifat
fokal dan bervariasi. Kariotipe biasanya triploid yaitu 69,XXX , 69, XXY , atau
69, XYY. Kariotipe terdiri dari satu set kromosom haploid ibu dan dua set
kromosom haploid ayah.4
Tabel 1. Klasifikasi Mola Hidatidosa1
Perbedaan Mola komplit Mola parsial
Kariotipe 46,XX atau 46,XY 69,XXX atau 69,XXY
Patologi
Fetus/embrio Tidak ada Ada
Vilus edema Difus Fokal
Proliferasi trofoblas Dapat ditandai Fokal dan minimal
p57Kip2 immunostaining Negatif Positif
Presentasi klinis
Diagnosis tipikal Gestasi molar Missed abortion
Postmolar malignant sequelae 15-20% 4-6%

2.1.4 Epidemiologi
Predisposisi etnik terlihat pada mola hidatidosa, dan didapatkan prevalensi
yang lebih tinggi pada Asia, Hispanics, dan Amerika-India. Insidensi pada Amerika
Serikat konstan di angka 1:1000 kelahiran.
Diperkirakan pada Asia Tenggara dan Jepang memiliki insidensi 2 dari 1000
kehamilan. Faktor risiko yang berpotensi yang paling besar yaitu usia ibu hamil

4
yang ekstrem dan risiko kehamilan mola. Pada ibu yang berusia sangat muda
memiliki kecenderungan terjadi mola hidatidosa komplit. Dibandingkan wanita
berusia 21-35 tahun, memiliki risiko sebesar 1,9 lebih tinggi dibanding wanita usia
35 tahun dan 7,5 kali lebih tinggi dibandingkan wanita usia 40 tahun. Selain usia,
faktor risiko lainnya yaitu usia gestasi, tinggi fundus atau ukuran uterus dan derajat
diferensiasi histopatologi.5
2.1.5 Patofisiologi
Mola hidatidosa terjadi akibat fertilisasi yang terjadi pada kromosom
abnormal. Mola komplit memiliki komposisi kromosom diploid dan hasil dari
androgenesis, yang artinya set kromosom bersifat paternal, sementara ovum yang
dibuahi tidak memiliki komposisi kromosom apapun. Ovum kosong tersebut
dibuahi oleh sperma haploid, kemudian melakukan duplikasi kromosom dengan
sendirinya setelah meiosis. Pola kromosom yang sering terjadi adalah 46,XX,
tetapi, 46,XY dapat terjadi karena pembuahan dispermik, namun hal ini jarang
terjadi.
Mola parsial memiliki komposisi kromosom triploid, yaitu 69,XXX,
69,XXY, dan yang paling jarang adalah 69,XYY. Pada mola parsial terjadi
pembuahan dispermik pada satu sel ovum maternal. Pembuahan oleh sel sperma
diploid 46,XY dapat terjadi, namun jarang. Zigot triploid yang tercipta
menghasilkan suatu perkembangan embrionik letal.

Gambar 2. Skema patofisiologi mola komplit (A) dan mola parsial (B)

5
2.1.6 Manifestasi Klinis
1. Perdarahan uteri
Gejala perdarahan lebih menonjol pada mola komplit daripada mola
parsial. Kehamilan mola yang tidak tertangani akan selalu menyebabkan
perdarahan yang bervariasi mulai dari spotting ke perdarahan berlebih.
Perdarahan dapat menjadi pertanda aborsi molar spontan, namun lebih
seringnya hal tersebut terjadi dalam beberapa minggu atau bulan setelahnya.
2. Anemia defisiensi besi
3. Mual muntah
4. Denyut jantung janin
Pada mola komplit, tidak didapati denyut jantung janin,
dikarenakan tidak adanya zigot. Sementara pada mola parsial, dapat
dijumpai denyut jentung janin, dikarenakan terdapat zigot triploid yang
mengalami perkembangan embrionik letal.1
5. Tinggi fundus uteri
Pada mola komplit, tinggi fundus uteri lebih dari usia gestasi, hal
ini terjadi karena pada mola kompplit proliferasi trofoblas bersifat
difus. Sementara pada mola parsial tinggi fundus uteri kurang dari usia
gestasi, hal ini terjadi karena adanya bagian dari janin yang fetal
(pertumbuhannya terhambat bahkan kematian) dan proliferasi trofoblas
yang bersifat fokal.1
6. Kista teka-lutein
Kista teka lutein lebih sering terjadi pada mola komplit dan
merupakan hasil dari stimulasi berlebih ovarium oleh tingginya kadar
hCG. Karena hCG dan LH berbagi reseptor yang sama, keduanya dapat
menstimulasi sel teka yang mengelilingi folikel.1
7. Hipertensi dalam kehamilan
Eklampsia dan preeklampsia berat sering terjadi pada kehamilan
molar. 1
8. Hipertiroidisme
hCG memiliki thyrotropine-like effects sehingga dapat
meningkatkan kadar tiroksin bebas (fT4) dan menurunkan kadar TSH.6

6
2.1.7 Diagnosis
1. Pengukuran kadar β-hCG
Pada mola komplit, umumnya kadar β-hCG meningkat diatas
rerata usia kehamilan. Peningkatan β-hCG menjadi jutaan bukan
merupakan masalah yang aneh. Nilai tinggi ini dapat menjadikan
antibody sel target jenuh dan menghasilkan pembacaan false negative.
2. Ultrasonografi
Pada 1000 pasien dengan kehamilan molar, USG mampu
mendeteksi dengan sensitivitas sebesar 44%, dan spesifitas sebesar
74%. Dengan grayscale sonography, mola komplit muncul sebagai
gambaran massa ekogenik yang memenuhi kabitas endometrium uteri
dan dikelilingi oleh myometrium normal. Massa berisikan banyak kosta
anekoik dengan berbagai ukuran dabn bentuk, namun tanpa fetus atau
selaput ketuban. Gambaran mola disebut juga dengan snowstorm.
Penggunaan color doppler dapat menunjukkan vaskularisasi
myometrium sekitar.7

A B
Gambar 3. Gambaran sonografi pada mola hidatidosa. (A) Gambaran melintang pada uterus
dengan mola komplit, menunjukkan gambaran snowstorm appearance, menunjukkan massa
ekogenik dan tanpa adanya fetus atau selaput ketuban. (B) Gambaran potongan sagital pada mola
parsial, menunjukkan kepala fetus (panah) yang terbaring pada sebuah plasenta yang besar dan
multikistik.7

Sedangkan pada mola parsial menunjukkan gambaran plasenta yang


tebal, polikistik dengan fetus atau jaringan fetus. Septa tipis dapat ditemukan
pada kantung kehamilan. Fetus yang terlibat biasanya mati pada trimester
oertama. Gambaran lainnya dapat berupa restriksi pertumbuhan,
oligohidramnion, dan defek ekstremitas atau sistem saraf pusat.7

7
Pada kehamilan awal, gambaran USG pada mola komplit menunjukkan
masa polypoid hiperekoik dengan sedikit kista dikelilingi cairan anekoik.8

Gambaran yang sering didapati pada mola parsial adalah missed


abortion atau incomplete abortion. Kehamilan molar juga sering diartikan
sebagai kehamilan multifetal adau lemiomioma uteri dengan degenerasi kista.
1

2.1.8 Tatalaksana
1. Terminasi kehamilan molar
Tanpa melihat ukuran uteri, evakuasi kehamilan molar dengan
kuretase-suction adalah pilihan tatalaksana yang bisa dilakukan. Dilatasi
serviks preoperative dengan dilator osmotic direkomendasikan jika serviks
berdilatasi minimal. Perdarahan intraoperative dapat terjadi lebih besar pada
kehamilan molar daripada kehamilan non-molar. Dengan mola yang besar,
anestesi adekuat, jalur intravena yang memadai dan support bank darah akan
sangat mendukung.
Untuk evakuasi molar, dilatasi serviks secara mekanikal dilakukan
untuk memungkinkan masuknya kanula suction Karman yang besar.
Bergantung pada ukuran uteri, berkisar pada diameter 10-14 mm. Saat
evakuasi dimulai, oksitosin dimasukkan untuk membatasi perdarahan. USG
intra-operatif sering direkomendasikan untuk membantu meyakinkan
pengosongan kavum uteri dan meminimalisir risiko perforasi. Ketika
myometrium berkontraksi, kuretase dengan kuret Sims Loop besar yang
tajam dapat dilakukan. Apabila evakuasi sudah dilakukan, oksitosin sudah
disuntikkan dan perdarahan masih berlanjut, maka dapat diberikan agen
uterotonik lainnya (Metilergonovine 0,2mg = 1 mL = 1 ampul IM setiap 2
jam (prn); Carboprost tromethamine (PGF2α): 250ug = 1 mL = 1 ampul IM
setiap 15-90 menit (prn); Misoprostol (PGE1) : 200mg tablet perrektal, 800-
1000mg sekali beri).
Anti-D immunoglobulin diberikan kepada ibu RhD-negatif karena
jaringan fetus dengan mola parsial dapat mengandung sel merah dengan D-
antigen. Ibu-ibu dengan sangkaan mola komplit diberikan tatalaksana yang
sama karena diagnosis definitive mola komplit dan parsial tidak dapat

8
ditegakkan hingga pemeriksaan histopatologis pada jaringan yang dievakuasi
selesai.
Prognosis ibu dengan mola hidatidosa tidak meningkat dengan
profilaksis kemoterapi, malah toksisitas kemoterapi dapat terjadi sehingga hal
tersebut tidak direkomendasikan secara rutin.9
Metode selain kuretase-suction dapat dipertimbangkan dalam beberapa
kasus. Histerektomi tanpa ooforektomi dapat dipertimbangkan pada ibu yang
sudah selesai mengandung dan menderita mola komplit dengan risiko tinggi.
Pada ibu berusia 40-49 tahun, hingga 50% akan mengalami gestational
trophoblastic neoplasia (GTN) dan histerektomi dipercaya dapat mengurangi
hal ini.10 Pada histerektomi, kista teka-lutein tidak dibuang karena akan
berangsur-angsur mengalami kemunduran setelah terminasi molar. Di
Amerika Serikat, induksi persalinan atau histerotomi tidak dianjurkan karena
diduga dapat meningkatkan perdarahan dan insidensi penyakit trofoblas
persisten. 11
2. Surveilans postevakuasi
Surveilans biokimia pada neoplasia gestasional persisten dilakukan
pada setiap evakuasi mola hidatidosa. Pemeriksaan rutin serum β-hCG
bertujuan untuk mendeteksi proliferasi trofoblas baru atau persisten. Sebagai
sebuah glikoprotein, hCG menunjukkan heterogenitas struktural dan
terwujud dalam bentuk yang berbeda. Kemudian, pemeriksaan hCG yang
dapat mendeteksi semua bentuk hCG harus digunakan. Hal ini berbeda dari
yang digunakan saat kunjungan antenatal. Kadar β-hCG inisial diperoleh
dalam 48 jam paskaevakuasi. Kemudian kadar inisial dijadikan baseline, yang
dibandingkan dengan β-hCG kuantifikasi setiap 1-2 minggu, dan terus diikuti
hingga kadarnya tidak dapat terdeteksi lagi.12
Median waktu resolusi adalah 7 minggu untuk mola komplit dan 6
minggu untuk mola parsial. Sebanyak 95% pasien memiliki kadar β-hCG
normal dalam waktu 14 minggu postevakuasi dan 99% dalam 25 minggu.
Ketika β-hCG sudah tidak terdeteksi lagi, maka pemeriksaan dilanjutkan
dalam 6 bulan kedepan.13

9
Kontrasepsi menjadi sangat penting untuk menghindari keraguan dari
peningkatan kadar β-hCG dari kehamilan yang baru. Kombinasi kontrasepsi
hormonal yang sangat direkomendasikan, medroxyprogesterone injeksi atau
implant progestin. Kontrasepsi intrauterine tidak digunakan hingga β-hCG
tidak terdeteksi karena risiko perforasi uterus jika sebelumnya terdapat mola
invasif. Setelah 6 bulan, pengawasan dihentikan dan boleh hamil kembali.14
Selama surveilans β-hCG, harus periksa GTN secara berkala. Jika ibu
tidak hamil, dapat menandakan proliferasi trofoblas mengarah kepada
keganasa. Beberapa factor predisposisi pasien mengarah kepada GTN setelah
evakuasi mola. Mola komplit memiliki 15-20% insidensi sekuel keganasan,
dibandingkan dengan mola parsial yang berkisar antara 1-5%. Faktor risiko
GTN lainnya adalah usia kehamilan yang tua, kadar β-hCG preevakuasi >105
mIU/mL, tinggi fundus yang melebii usia kehamilan, kista teka-lutein>6 cm,
dan penurunan β-hCG yang lambat.15
2.2 Hubungan Hormon Tiroid dan hCG pada Mola Hidatidosa
Hiperfungsi tiroid trofoblastik adalah komplikasi yang jarang pada mola
hidatidosa. Kelebihan hormon gonadotropin manusia yang menjadi ciri kehamilan
molar dan yang memiliki aktivitas perangsang tiroid intrinsik menginduksi
hiperfungsi tiroid. Gonadotropin korionik manusia adalah glikoprotein yang terdiri
dari subunit "a" dan subunit "b". Subunit "a" mirip dengan TSH dan gonadotropin
(LH dan FSH). Analogi dalam struktur antara hCG dan TSH dapat menyebabkan
reaktivitas silang dengan reseptornya. Tingkat stimulasi tiroid dan tingkat
keparahan hipertiroidisme klinis berbanding lurus dengan konsentrasi HCG.
Reseptor LH/HCG memiliki 45% homologi dengan reseptor TSH. TSH dan hCG
karena mimikri molekuler dan memiliki efek yang sama pada tiroid. Kadar HCG
yang tinggi merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid dengan
menekan pelepasan TSH hipofisis. Diperkirakan bahwa konsentrasi serum HCG di
atas 200.000 mIU / ml menekan TSH pada 67% kasus, dan tingkat di atas 400.000
mIU / ml menginduksi penekanan pada 100% kasus. 16
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan proporsional
tidak langsung antara TSH dan hCG dengan tingkat puncak hCG sekitar 10-12
minggu kehamilan (pada kehamilan normal), dan tingkat puncak ini berhubungan

10
dengan peningkatan kadar hormon tiroid (T3 bebas dan T4 bebas). Pada gambar,
dapat dilihat bahwa bersamaan dengan puncak hCG, kadar serum TSH ditekan
"dalam bayangan cermin". Sebagai konsekuensinya pada trimester pertama, batas
normal TSH adalah sekitar 0,03-0,08 mIUL-1 yang disebabkan oleh mimikri dan
aktivitas tirotropik hCG.16

Gambar 4. Perubahan pola serum TSH dan hCG seiring waktu16

Status hipertiroid dapat bervariasi dari hiperfungsi tanpa gejala hingga badai
tiroid. Gambaran klinis hiperfungsi tiroid yang diinduksi molar terdiri dari
kelelahan, penurunan berat badan, kelemahan otot, keringat berlebih, gugup,
peningkatan laju metabolisme, intoleransi terhadap panas, hiperaktif, tremor, transit
usus yang lebih cepat, peningkatan nafsu makan, ketidakmampuan, kelemahan otot,
takikardia, dan pembesaran kelenjar tiroid yang minimal. Oftalmopati belum
pernah ditemukan. Kardiomiopati dapat terjadi dan refleks menjadi hiperreaktif. 16
Komplikasi ibu yang paling parah akibat kondisi hipertiroid adalah gagal
jantung dan badai tiroid. Badai tiroid ditandai dengan hipertermia, hiperpireksia,
dehidrasi berat, takikardia, takipnea, diaforesis, diare, fibrilasi atrium, kecemasan
yang ekstrem, delirium, koma, dan ketidakstabilan hemodinamik yang
menyebabkan edema paru akut yang berhubungan dengan gagal jantung. 16
Badai tiroid merupakan kejadian yang jarang terjadi namun memiliki angka
kematian yang tinggi hingga 15%. Prevalensi hipertiroidisme dapat mencapai
hingga 7% pada kasus mola hidatiform. Mekanisme patofisiologis induksi
hipertiroidisme pada kehamilan mola adalah multifaktorial. Aspek terpenting yang
dibahas adalah mimikri molekuler dengan TSH dan peningkatan nilai hCG. 16

11
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit trofoblas gestasional adalah suatu kondisi yang mencakup


sekelompok tumor yang ditentukan oleh proliferasi trofoblas yang tidak normal.
Mola hidatiform adalah bentuk tumor trofoblas gestasional yang paling sering
terjadi dan terjadi pada 1:1000 kehamilan. Kehamilan mola terjadi akibat proses
pembuahan yang tercemar. Mola hidatidosa terbagi menjadi dua, mola komplit dan
mola parsial.
Perubahan hormon tiroid pada pasien dengan kehamilan mola relatif umum
terjadi. Hipertiroidisme akibat kehamilan molar tergantung pada tingkat hCG.
Kadar hCG yang tinggi berbanding lurus dengan manifestasi klinis hipertiroidisme.
Hipertiroid jarang berpotensi mengancam jiwa dan membutuhkan pengobatan
dengan obat anti obat anti tiroid dan obat simtomatik seperti β-blocker. Fungsi tiroid
diharapkan akan kembali ke normal dengan cepat setelah pengobatan yang
mendasari kehamilan mola dan penurunan kadar HCG. Kesadaran akan kondisi ini
penting untuk diagnosis dan pengobatan.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffman BL, Schorge JO, Halvorson LM, Hamid CA, Corton MM, Schaffer
JI. Williams Gynecology. 4th editio. Vol. 13, Nucl. Phys. New York:
McGraw-Hill Education; 2020. 227 p.

2. Zulhij DI, Parewasi H, Sabir M. Wanita 21 Tahun dengan Mola Hidatidosa:


Laporan Kasus. J Med Prof. 20AD;2(2):118–23.

3. Munawarah M, Widiono. Pengetahuan Wanita Usia Subur tentang Mola


Hidatidosa di Padangsidimpuan Utara. J Inf Kesehat Indones. 2019;12:179–
87.

4. Hui P, Buza N, Murphy KM, Ronnett BM. Hydatidiform Moles: Genetic


Basis and Precision Diagnosis. Annu Rev Pathol Mech Dis. 2017;12:449–
85.

5. Amelia V, Sari RDP. Penyakit Trofoblastik Gestasional: Varian


Histopatologi Mola Hidatidosa. Med Prof J Lampung. 2020;10(3):514–9.

6. Blick C, Schreyer K. Gestational Trophoblastic Disease-induced Thyroid


Storm. Clin Pract Cases Emerg Med. 2019;3(4):409–12.

7. Cavoretto P, Cioffi R, Mangili G, Petrone M, Bergamini A, Rabaiotti E, et


al. A Pictorial Ultrasound Essay of Gestational Trophoblastic Disease. J
Ultrasound Med. 2020;39(3):597–613.

8. Jauniaux E, Collins S, Burton GJ. Placenta accreta spectrum:


pathophysiology and evidence-based anatomy for prenatal ultrasound
imaging. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2018;218(1):75–87. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2017.05.067

9. Wang Y, Cheng Q, Meng L, Hu H, Zhang J, Cheng J, et al. Clinical


application of SNP array analysis in first-trimester pregnancy loss: a
prospective study. Clin Genet. 2016;91(6):849,858.

10. Elias KM, Berkowitz RS, Horowitz NS. State-of-the-art workup and initial
management of newly diagnosed molar pregnancy and postmolar gestational
trophoblastic Neoplasia. JNCCN J Natl Compr Cancer Netw.
2019;17(11):1396–401.

11. Tidy JA, Gillespie AM, Bright N, Radstone CR, Coleman RE, Hancock BW.
Gestational trophoblastic disease: A study of mode of evacuation and
subsequent need for treatment with chemotherapy. Gynecol Oncol.
2000;78(3 I):309–12.

12. Chevrier J, Harley KG, Bradman A, Gharbi M, Sjödin A, Eskenazi B.


Polybrominated diphenyl ether (PBDE) flame retardants and thyroid
hormone during pregnancy. Environ Health Perspect. 2010;118(10):1444–9.

13
13. Eysbouts Y, Brouwer R, Ottevanger P, Massuger L, Sweep F, Thomas C, et
al. Serum human chorionic gonadotropin normogram for the detection of
gestational trophoblastic neoplasia. Int J Gynecol Cancer. 2017;27(5):1035–
41.

14. Tuncer ZS, Bernstein MR, Goldstein DP, Lu KH, Berkowitz RS. Outcome
of pregnancies occurring within 1 year of hydatidiform mole. Obstet
Gynecol. 1999;94(4):588–90.

15. Kang WD, Choi HS, Kim SM. Prediction of persistent gestational
trophobalstic neoplasia: The role of hCG level and ratio in 2 weeks after
evacuation of complete mole. Gynecol Oncol [Internet]. 2012;124(2):250–
3. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ygyno.2011.10.035

16. Filipescu GA, Solomon OA, Clim N, Milulescu A, Boiangiu AG, Mitran M.
Molar pregnancy and thyroid storm - literature review. ARS Medica
Tomitana. 2017;23(3):121–5.

14

Anda mungkin juga menyukai