Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

MARET 2023

PENGARUH INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA


INFERTILITAS WANITA

Disusun oleh:
dr.Nabila Malawat

Pembimbing
dr. Devi Gandatama, Sp.OG (K)

Pendamping :
dr. Maryam K Hasan, MM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS ILMIAH


PESERTA INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD JAILOLO KABUPATEN HALMAHERA BARAT
PROVINSI MALUKU UTARA
BATCH II TAHUN ANGKATAN 2022/2023
DAFTAR ISI

Halaman

COVER.......................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Infertilitas.........................................................................3

1. Definisi.........................................................................3

2. Epidemiologi................................................................4

3. Etiologi dan faktor resiko.............................................5

4. Patofisiologi IMS dan Infertilitas.................................21

B. Infeksi Menular Seksual..................................................28

1. Definisi.........................................................................28

2. Epidemiologi................................................................29

3. Patogen dan Penyakit IMS...........................................29

C. IMS pada Infertilitas Wanita .........................................35

1. Definisi.........................................................................35

2. Klasifikasi....................................................................38

BAB III Kesimpulan..............................................................................56

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….57
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mempunyai keturunan adalah salah satu fungsi luhur dari makhluk


hidup, termasuk manusia. Seluruh makhluk hidup, termasuk manusia
berkeinginan untuk menjaga kelangsungan garis keturunannya dengan cara

mempunyai keturunan. Salah satu gangguan kesehatan reproduksi yang


terjadi ada usia subur adalah infertilitas.

Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat

disebabkan oleh faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya. Infertilitas

dapat juga tidak diketahui penyebabnya yang dikenal dengan istilah

infertilitas idiopatik.1 Masalah infertilitas dapat memberikan dampak besar

bagi pasangan suami-istri yang mengalaminya, selain menyebabkan

masalah medis, infertilitas juga dapat menyebabkan masalah ekonomi

maupun psikologis. Secara garis besar, pasangan yang mengalami

infertilitas akan menjalani proses panjang dari evaluasi dan pengobatan,

dimana proses ini dapat menjadi beban fisik dan psikologis bagi pasangan

infertilitas.

Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat

menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.

Beberapa penyakit menular seksual (PMS), termasuk Chlamydia

trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae, telah di telaa dapat mempengaruhi


kejadian salpingitis dan infertilitas. Selain itu, beberapa patogen lain seperti

Trichomonas vaginalis,dan mikroorganisme lain dalam mikroba vagina juga

dapat berperan dalam kerusakan tuba dan potensi penyebab infertilitas

lainnya. vagina masing-masing, semuanya dapat memengaruhi kemampuan

wanita untuk hamil.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infertilitas

1. Defenisi Infertilitas

Infertilitas merupakan ketidakmampuan pasangan menikah atau yang

tidak menikah untuk mengandung sampai melahirkan bayi hidup setelah

satu tahun melakukan hubungan seksual yang teratur dan tidak

menggunakan alat kontrasepsi apapun setelah memutuskan untuk

mempunyai anak.1,2

Disebut Infertilitas primer jika seorang wanita yang telah menikah

belum pernah mengalami kehamilan meskipun hubungan seksual dilakukan

secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi untuk selang waktu paling

kurang 12 bulan sedangkan infertilitas sekunder tidak terdapat kehamilan

dalam waktu 1 tahun atau lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga

dengan berusaha berhubungan seksual secara teratur tanpa perlindungan

kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil.1

Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh infeksi vagina seperti

vaginitis dan trikomonas vaginalis akan menyebabkan infeksi lanjut pada

portio, serviks, endometrium bahkan sampai ke tuba yang dapat


menyebabkan gangguan pergerakan silia tuba dan penyumbatan pada tuba

sebagai organ reproduksi vital untuk terjadinya konsepsi.1,2,3

2. Epidemiologi Infertilitas

Penelitian mengenai infertilitas menunjukan bahwa kesuburan menurun

sesuai dengan bertambahnya umur. Sebanyak 11% wanita tidak melahirkan

anak setelah umur 40 tahun 34,33% infertile pada umur 40 tahun dan 87%

infertil pada umur 45 tahun walapun dengan atau tanpa kontrasepsi.1

Di seluruh dunia, 186 juta orang mengalami infertilitas dan mayoritas

adalah penduduk negara-negara berkembang. WHO secara global

memperkirakan adanya kasus infertil pada 8%-10% pasangan, jika dari

gambaran global populasi maka sekitar 5080 juta pasangan (1 dari 7

pasangan) atau sekitar 2 juta pasangan infertil baru setiap tahun dan

jumlahnya terus meningkat. Berdasarkan National Survey of Family Growth

(NSFG) di Amerika Serikat, persentase wanita infertil pada tahun 1982,

tahun 1988 hingga tahun 1995 terus mengalami peningkatan dari 8.4%

menjadi 10.2% (6.2 juta). Kejadian ini diperkirakan akan terus meningkat

hingga mencapai 7.7 juta pada tahun 2025. Dibeberapa wilayah di dunia,

seperti Asia Selatan, beberapa negara Afrika sub- Sahara, Timur Tengah
dan Afrika Utara, Eropa Tengah dan Timur dan Asia Tengah, tingkat

infertilitas mencapai 30%.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 kejadian

infertil di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Prevalensi

pasangan infertil di Indonesia tahun 2013 adalah 15-25% dari total populasi

usia reproduksi7. Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI)

mencatat bahwa penduduk usia reproduktif di Indonesia sebanyak 75,7 juta

jiwa, dan diperkirakan terdapat sekitar 7,5 juta penduduk usia reproduktif

yang mengalami infertilitas. Di Jawa Barat, populasi infertil diperkirakan

sebesar 1,3 juta jiwa.4

3. Etiologi dan Faktor-faktor yang mempengaruhi infertilitas

pada perempuan

Penyebab infertilitas pada wanita dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok, yaitu: Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus

haid, insufiensi ovarium primer. Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan

ovulasi dapat diklasifikasikan berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer

atau sekunder. Namun tidak semua pasien infertilitas dengan gangguan

ovulasi memiliki gejala klinis amenorea, beberapa diantaranya

menunjukkan gejala oligomenorea.2,3

WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 3 kelas, yaitu:


1. Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin

hipogonadism) Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang

rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini

terjadi sekitar 10% dari seluruh kelainan ovulasi.

2. Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism)

Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin

namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85% dari

seluruh kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan

kelompok ini adalah oligomenorea atau amenorea yang banyak

terjadi pada kasus sindrom ovarium polikistik (SOPK). Delapan

puluh sampai sembilan puluh persen pasien SOPK akan mengalami

oligomenorea dan 30% akan mengalami amenorea.

3. Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism) Karakteristik

kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan kadar

estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari seluruh gangguan

ovulasi. 2,3

Gangguan tuba dan pelvis

Kerusakan tuba dapat disebabkan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea,

TBC) maupun endometriosis. Gejala yang sering ditemukan pada pasien

dengan endometriosis adalah nyeri panggul, infertilitas dan ditemukan

pembesaran pada adneksa. Dari studi yang telah dilakukan, endometriosis

terdapat pada 25%-50% perempuan, dan 30% sampai 50% mengalami

infertilitas. Hipotesis yang menjelaskan endometriosis dapat menyebabkan


infertilitas atau penurunan fekunditas masih belum jelas, namun ada

beberapa mekanisme pada endometriosis seperti terjadinya perlekatan dan

distrorsi anatomi panggul yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat

kesuburan. Perlekatan pelvis pada endometriosis dapat mengganggu

pelepasan oosit dari ovarium serta menghambat penangkapan maupun

transportasi oosit. 2,3

Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:

1. Ringan/ Grade 1

-Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal
tanpa ada distensi.4

-Mukosa tampak baik.

-Perlekatan ringan (perituba-ovarium)

2. Sedang/Grade 2

-Kerusakan tuba berat unilateral

3. Berat/Grade 3

-Kerusakan tuba berat bilateral

-Fibrosis tuba luas

-Distensi tuba > 1,5 cm

-Mukosa tampak abnormal

-Oklusi tuba bilateral

-Perlekatan berat dan luas


Gangguan uterus, Gangguan uterus termasuk mioma submukosum, polip

endometrium, leiomyomas, sindrom asherman.

Gambar 1. Penyebab infertilitas pada perempuan

B. Infeksi Menular Seksual

1. Defenisi

(IMS) Infeksi Menular Seksual memiliki lebih dari 30 jenis patogen

dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis

bervariasi menurut jenis kelamin dan umur. Meskipun infeksi menular

seksual (IMS) terutama ditularkan melalui hubungan seksual, namun

penularan dapat juga terjadi dari ibu kepada janin dalam kandungan atau

saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah

tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan. 2,4


Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu penyakit yang

masih menjadi masalah penting dalam kesehatan masyarakat. Data dari

seluruh dunia melaporkan, IMS yang populer adalah Trichomoniasis,

Chalamydia, Genital, Human Papiloma Virus, Gonorrhoe, dan Herpes

Genital. Prevalensi IMS pada wanita di negara berkembang jauh lebih tinggi

dari pada di negara maju. Dilaporkan di Indonesia, prevalensi IMS yang

secara tidak sengaja ditemukan pada pemeriksaan Pap Smear terhadap 600

wanita usia 25-45 tahun dari 6 klinik di Jakarta mencapai 29%. Adapun

penelitian lain disebuah klinik di Bali pada tahun 1987-1988 menemukan

bahwa dari 695 wanita yang mengalami abortus, 53%nya diketahui

mengalami infeksi saluran reproduksi dan IMS. 2,4

IMS menyebabkan infeksi alat reproduksi yang harus dianggap serius.

Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar, sakit berkepanjangan,

kemandulan dan kematian. Remaja perempuan perlu menyadari bahwa

risiko untuk terkena IMS lebih besar dari pada laki-laki sebab alat

reproduksi perempuan lebih rentan. Dan seringkali berakibat lebih parah

karena gejala awal tidak segera dikenali, sedangkan penyakit berlanjut ke

tahap lebih parah. Misalnya keputihan yang lebih disebabkan oleh kuman

atau bakteri yang masuk ke vagina, akibat pemeliharaan kebersihan yang

buruk. 2,4

2. Epidemiologi
Tantangan lainnya dalam program pengendalian IMS adalah

meningkatnya kemampuan patogen untuk menjadi resisten terhadap

antibiotik dan meningkatnya dengan cepat prevalensi beberapa patogen

yang menjadi kofaktor penting dalam transmisi HIV, seperti infeksi HSV-2,.

Pada negara berkembang, angka isolat Neisseria gonorrhoeae yang resisten

terhadap antibiotik yang sering digunakan didapatkan tinggi. Dengan

demikian, diperlukan regimen yang dapat mengatasi hal ini sesuai dengan

keadaan lokal masing-masing. Tidak seperti di negara maju yang rutin

mengadakan surveilans terhadap kepekaan N. gonorrhoeae, di negara 32

berkembang data berkelanjutan jarang diperoleh, dan hal ini masih menjadi

tantangan dalam pengendalian IMS terutama gonore. 2,3,4

3. Patogen dan Penyakit IMS

Dalam suatu populasi, distribusi penyebaran IMS tidaklah bersifat

statis. Dari waktu ke waktu. Secara umum, pada awal suatu epidemi di suatu

daerah, patogen IMS mulai ditularkan dari atau di dalam populasi risiko

tinggi dengan laju infeksi yang tinggi dan pertukaran pasangan yang cepat

(core group). Seiring dengan berkembangnya epidemi, patogen mulai

disebarkan kepada populasi dengan risiko lebih rendah (bridging

population), yang merupakan penghubung seksual penting antara core group

dengan populasi umum. 2,4


Berbagai konsidi sosial atau ekonomi dari kelompok bridging

population tersebut akan meningkatkan kerentanan untuk mendapatkan IMS

dan mengelompokkan mereka sebagai populasi penghubung. Jaringan

seksual bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, namun secara

umum, pasangan seksual dari individu dengan laju infeksi lebih tinggi

(seperti bridging population) selanjutnya akan menginfeksi pasangan

seksualnya, seperti suami atau istrinya dan pasangan tetapnya yang berada

pada populasi umum. Skema dinamika transmisi IMS. 2,4


Tabel 1.Patogen penyebab dan jenis IMS yang ditimbulkan1
Tabel 2.Patogen penyebab dan jenis IMS yang ditimbulkan1
C. Infeksi Menular Seksual pada Infertilitas Wanita

1. Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae

a. Defenisi Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae

Chlamydia trachomatis (CT) termasuk salah satu penyebab

infeksi genital. nonspesifik baik pada pria maupun wanita. Infeksi

CT merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual yang

paling sering ditemukan di dunia. World Health Organization

(WHO) memperkirakan sebanyak 89 juta kasus baru terjadi pada

tahun 2001. 1

Gonore merupakan the second most commonly reported

communicable disease Pada wanita, infeksi N. gonorrhoeae sering

asimtomatis sampai terjadi komplikasi misalnya penyakit radang

panggul (PRD) akibat skar pada tuba yang bisa menyebabkan

infertilitas dan kehamilan ektopik, dan bisa menyebabkan kebutaan

pada neonatus yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Gonore juga

dapat memfasilitasi infeksi Human immunodeficiency virus (HIV). 1

b. Epidemiologi Chlamydia trachomatis dan Neisseria

gonorrhoeae

Prevalensi infeksi CT di Indonesia pada kalangan pekerja seks

komersial didapatkan cukup tinggi berkisar antara 20-34%


Sebagian besar individu yang terinfeksi CT bersifat asimtomatik

dan dapat menjadi sumber penularan infeksi. Infeksi oleh CT juga

dapat menyebabkan komplikasi serius seperti Pelvic Inflamatory

Disease (PID) atau penyakit radang panggul, infertilitas dan

kehamilan ektopik.2,3,4

Di Indonesia menunjukkan 38,42% dari 2.678 PSK pada

pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) swab vagina

positif terdapat N. gonorrhoeae.Infeksi gonore terutama

terkonsentrasi di lokasi dan komunitas spesifik. Male who have sex

with male (MSM) merupakan kelompok yang mempunyai risiko

tinggi terkena infeksi N. gonorrhoeae. Faktor risiko tambahan

gonore antara lain penggunaan kondom yang tidak konsisten pada

individu yang tidak monogami, pernah atau sedang menderita

infeksi menular seksual (IMS), atau melakukan hubungan seksual

demi uang atau obat. .2,3,4

c. Patofisiologi Chlamydia trachomatis dan Neisseria

gonorrhoeae pada Infertilitas

C.trachomatis dan N.gonorrhoeae telah terbukti berkaitan

dengan infertilitas, dengan menyebabkan peradangan pada tuba.

Spekulasi awal mengenai efek dari N. Gonorrhoeae tentang

kesuburan wanita dimulai pada tahun 1870-an, Jerman Emil


Noeggarath mengklaim revolusionernya tentang gonore sebagai

penyebab infertilitas. Gonore Laten pada Jenis Kelamin Wanita.

Meskipun dia mungkin terlalu melebih-lebihkan dampaknya

(gonore menyebabkan 90% infertilitas wanita), teorinya akhirnya

memicu dimulainya penyelidikan lebih lanjut. Ketika bakteri

N.gonorrhoeae akhirnya diisolasi, studi Noeggarath yang dilakukan

lebih dari satu abad kemudian telah menunjukkan dampak

infertilitas. .2,3,4

Chlamydia trachomatis, merupakan salah satu penyakit yang

paling umum dilaporkan di Amerika Serikat, namun infeksi

C.trachomatis tidak menunjukkan gejala pada sebagian besar

wanita, sehingga infeksi ini sering tidak diketahui, tidak diobati, dan

tidak dilaporkan. Selama hampir 40 tahun, studi menunjukkan

bahwa infeksi C.trachomatis dapat menyebabkan kerusakan

permanen pada tuba falopi termasuk oklusi tuba proksimal dan

distal sehingga menyebabkan infertilitas. Peningkatan jumlah

protein (hsp60) yang disintesis oleh C.trachomatis menginduksi

respon imun proinflamasi pada epitel tuba falopi manusia, bakteri

tersebut mampu naik ke saluran genital bagian atas dan

menyebabkan morbiditas reproduksi yang parah. Secara khusus

N.gonorrhoeae menyerang sel epitel tuba falopi, pada awalnya

menempel pada sel mukosa yang tidak bersilia sampai sel mukosa

yang bersilia. Kerusakan silia dapat menghalangi kemampuan tuba


falopi untuk mengangkut sel ovum untuk pembuahan di dalam tuba

dan implantasi di dalam rahim sehingga pada akhirnya

meningkatkan risiko infertilitas dan kehamilan ektopik. Jaringan

parut dan oklusi tuba merupakan kerusakan tuba falopi dan dapat

dikonfirmasi dengan laparoskopi atau histerosalpingografi. .2,3,4

Penelitian ekstensif juga menunjukkan bahwa infeksi

C.trachomatis dapat menyebabkan PID. C.trachomatis

menyumbang sekitar 50% kasus PID akut di negara maju. Di antara

pasien PID, jika sebelumnya pernah terinfeksi C.trachomatis

terbukti lebih mungkin mengalami infertilitas berikutnya dari pada

mereka yang tidak memiliki riwayat infeksi C.trachomatis.

d. Klinis Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae

Hampir 70% wanita dengan infeksi Chlamydia tidak

mengeluhkan gejala apapun, namun dapat ditemukan kelainan

apabila dilakukan pemeriksaan di daerah serviks. Infeksi awal akan

terjadi pada serviks atau uretra. Keluhan yang timbul berupa duh

tubuh yang abnormal (sekret jernih-keruh) dan rasa terbakar saat

buang air kecil (morning drop). Sedangkan infeksi Neisseria

gonorhoea klinis sekret kental. Adanya perdarahan yang muncul

setelah kontak seksual ataupun perdarahan pada pertengahan siklus

menstruasi dapat merupakan gejala tunggal infeksi ini. Pemeriksaan

venereologik serviks dapat terjadi perdarahan pada saat dilakukan


apusan atau kerokan dengan spatula. Secara klinis gejala dan tanda

yang ada pada infeksi Chlamydia sulit dibedakan dengan infeksi

genital lainnya. .2,3,4

e. Penegakan Diagnosis

Neisseria gonorrhoeae (N.gonorrhoeae) dan Chlamydia

trachomatis (C.trachomatis) dapat dilakukan pengobatan dengan

membedakan duh tubuh dan periksaan serentak terhadap kedua jenis

kuman penyebab tersebut. Bila ada fasilitas laboratorium yang

memadai, kedua kuman penyebab tersebut dapat dibedakan, dan

selanjutnya pengobatan secara lebih spesifik dapat dilakukan.

Pemeriksaaan dapat dilakukan adalah dengan laboratorium

sederhana melalui pewarnaan Gram atau Giemsa. dan pemeriksaan

serologis. Kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas namun

sulit dilakukan. .2,3,4

Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan untuk

mendiagnosis infeksi CT (Chlamydia trachomatis), kecuali infeksi

pada neonatus, pasien dengan infertilitas dengan faktor tuba.

Pemeriksaan ini tidak memberikan manfaat untuk diagnosis infeksi

genitalia oleh CT karena antibodi yang ada akan bertahan dalam


jangka waktu yang lama dan adanya uji antibodi yang positif tidak

dapat membedakan infeksi lama ataupun baru. Pemeriksaan serum

fase konvalesen dapat membantu diagnosis, adanya peningkatan

titer antibodi sebanyak 4 kali dapat menunjukkan adanya infeksi

aktif. Antibodi kemudian dapat bertahan selama 1 bulan atau lebih

lama dan kemudian meningkat. Pada pasien dengan infertilitas

berhubungan dengan adanya hambatan pada tuba, pemeriksaan

serologis dapat membantu penegakan diagnosis. Pada kasus ini

didapatkan adanya antibodi terhadap CT pada 70% wanita

sedangkan pada kontrol sebesar 26%. Pada studi oleh Kruse et al

tahun1997 yang dilakukan pada 1303 pasangan subfertil didapatkan

adanya peningkatan titer antibodi IgG pada 20,8% wanita dan

12,6% pria tanpa adanya gejala infeksi saluran genitalia. Studi oleh

Cateset al tahun 1991 dan Westrom et al tahun 1981 menunjukkan

peningkatan hubungan antara infeksi CT sebelumnya dengan

infertilitas tuba dan kehamilan ektopik. .2,3,4

f. Tatalaksana Chlamydia trachomatis dan Neisseria

gonorrhoeae
Siprofloksasin dan ofloksasin sudah menunjukan angka resistensi

yang tinggi di beberapa kota, sehingga tidak di anjurkan lagi.1

2. Mycoplasma Genitalium

a. Defenisi Mycoplasma Genitalium

Mycoplasma genitalium adalah salah satu penyebab penting infeksi

menular seksual (IMS) pada laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1981,

untuk pertama kali dua varian Mycoplasma diisolasi dari dua laki-laki

dengan uretritis non-gonokokus.

b. Epidemiologi Mycoplasma Genitalium

Prevalensi M.genitalium pada populasi risiko rendah sekitar 1-3%,

sedangkan pada populasi risiko tinggi dilaporkan 10-41% pada laki-laki

dan 7,3-14% pada perempuan. Mycoplasma genitalium menjadi

penyebab 15-20% kasus uretritis non-spesifik pada pria dan 30% uretritis

persisten atau rekuren. Infeksi M.genitalium juga meningkatkan risiko

penularan HIV terutama pada homoseksual dan yang sebelumnya pernah

diterapi dengan azitromisin. .2,3,4


c. Patofisoilogi Mycoplasma Genitalium pada infertilitas

infeksi Mycoplasma Genitalium menyebabkan inflamasi, kerusakan, dan

oklusi tuba. Mekanisme yang M. genitalium dapat menyebabkan jaringan

parut tuba dan menyebabkan infertilitas. Mycoplasma Genitalium

menyebabakan endosalpingitis parah, eksudat luminal dan adhesi antara

lipatan mukosa di tuba falopi, mekanismenya mirip dengan perubahan tuba

yang disebabkan oleh infeksi klamidia . .2,3,4

d. Klinis Mycoplasma Genitalium

Gejala klinis infeksi M. genitalium bervariasi, dapat asimptomatik

atau simptomatik berupa keluarnya duh tubuh uretra, duh tubuh vagina,

duh tubuh endoserviks mukopurulen dan perasaan terbakar ketika

berkemih. Pada laki–laki, gejala paling umum berupa nyeri saat berkemih

atau keluarnya duh dari uretra. Perempuan terinfeksi dapat mengalami

perdarahan setelah berhubungan seksual. Sebuah studi meta-analisis

menunjukkan bahwa infeksi M. genitalium meningkatkan risiko servisitis

sampai dua kali lipat, juga untuk penyakit radang panggul, persalinan

preterm, abortus spontan, dan infertilitas. .2,3,4

e. Penegakan Diagnosis Mycoplasma Genitalium

Mycoplasma genitalium membutuhkan waktu lama untuk tumbuh

sehingga sulit dikultur. Pada pewarnaan Gram sediaan duh tubuh genital
didapati jumlah leukosit PMN ≥5/LPB pada laki – laki atau >30/LPB

pada perempuan. .2,3,4

Pemeriksaan penunjang spesifik untuk mendeteksi M. genitalium

adalah tes amplifikasi asam nukleat. Aptima Mycoplasma genitalium

Assay adalah tes amplifikasi asam nukleat pertama yang diautorisasi US

Food and Drug Administration (FDA) untuk mendeteksi M. genitalium.

Spesimen dapat diambil dari swab vagina, uretra, endoserviks, dan urin,

juga dianjurkan pemeriksaan resistensi mutasi makrolid pada spesimen

yang positif M. genitalium. .2,3,4

f. Tatalaksana Mycoplasma Genitalium

Antibiotik golongan makrolid (azitromisin) dianjurkan sebagai terapi

lini pertama untuk infeksi M. genitalium di Indonesia, Amerika Serikat,

Australia, dan Eropa. Namun, sebuah studi meta-analisis menemukan

penurunan efektivitas azitromisin dari 85% sebelum tahun 2009 menjadi

67% setelah tahun 2009, dengan tingkat resistensi tertinggi di kawasan

Asia Pasifik. Prevalensi resistensi mutasi makrolid sebesar 40-60%

berdasarkan studi di Jerman, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat

pada tahun 2016. .2,3,4

Moksifloksasin dianjurkan untuk pengobatan M. genitalium yang

resisten terhadap makrolid; tetapi resistensi mutasi fluorokuinolon yang


berhubungan dengan kegagalan terapi dilaporkan sebanyak 15% di

Australia dan 47% di Jepang. Harga moksifloksasin cukup tinggi dan

tidak dianjurkan untuk ibu hamil. .2,3,4

Rejimen pengobatan alternatif antara lain:

a) Doksisiklin 100 mg selama 7 hari dilanjutkan pristinamisin 1 g

oral 4x sehari selama 10 hari

b) Pristinamisin 1 g oral 4 x sehari selama 10 hari

c) Doksisiklin 100 mg 2 x sehari selama 14 hari

d) Minosiklin 100 mg oral 2 x sehari selama 14 hari

Pengobatan yang sedang berkembang

Sitafloksasin yang merupakan generasi keempat fluorokuinolon

menunjukkan aktivitas in vitro terhadap M.genitalium serupa

moksifloksasin. Sitafloksasin dosis 100 mg 2x sehari selama 7-10 hari

dapat menyembuhkan >95% pasien uretritis dan servisitis di Jepang

yang disebabkan oleh M. genitalium, termasuk pasien dengan riwayat

gagal terapi dengan antibiotik lain. .2,3,4

3. Trichomonas vaginalis

a. Defenisi Trichomonas vaginalis


Trichomonas vaginalis ditularkan melalui hubungan seksual, yang

dapat menyebabkan vaginitis pada wanita dan uretritis non-gonococcoal

pada pria. Pada wanita penularan penyakit ini dapat terjadi secara

langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung terutama melalui

hubungan seksual dan penularan secara tidak langsung dapat terjadi pada

penggunaan fasilitas umum yang kurang terjaga kebersihannya seperti

toilet, kolam renang, pakaian dan air sungai yang telah

terkontaminasi. .2,3,4

b. Epidemiologi Trichomonas vaginalis

Golongan masyarakat yang beresiko tinggi terinfeksi Trichoonas

vaginalis adalah golongan-golongan yang sering berganti pasangan, salah

satu golongan terebut adalah PSK. PSK ini bisa menularkan parasit ke

pelanggannya. Pada wanitaTrichomonas vaginalis sering diketemukan

pada kelompok usia 20 – 49 tahun, berkembang pada usia muda dan usia

lanjut dan jarang terjadi pada anak gadis. Pada penelitihan sekitar tahun

enam puluhan angka infeksi Trichomonas vaginalis mencapai tiga kali

lipat dari infeksi candida. .2,3,4

c. Patofisoilogi Trichomonas vaginalis pada infertilitas


Perubahan inflamasi endometrium yang ditimbulkan oleh infeksi

T.vaginalis, bukti imunohistokimia menunjukkan infeksi T.vaginalis

dapat berkontribusi pada peradangan saluran genital bagian atas. Secara

patologis T.vaginalis telah terbukti mampu naik ke saluran genital bagian

atas dan telah dikaitkan dengan kasus salpingitis akut hingga 30%.

T.vaginalis telah terbukti berhubungan secara klinis dengan penyakit

endometritis, salpingitis, dan PID atipikal, hal ini menunjukkan bahwa

T.vaginalis merupakan patogen penting infertilitas. .2,3,4

d. Klinis Trichomonas vaginalis

Trichomonas vaginalis secara primer dapat menimbulkan peradangan

ringan pada penderita, kadang-kadang terlihat adanya pendarahan kecil

pada proses lanjut, yaitu proses granulasi. Permukaan vagina tertutup

oleh cairan yang seropurulen. Penderita mengalami tanda-tanda radang

vagina dan serviks, mengeluh rasa gatal dan panas serta mengeluarkan

cairan flour albus atau keputihan (leukorrhoea) yang banyak dan gatal.

. 2,3,4

Perempuan yang terinfeksi parasit Trichomonas akan mengeluarkan

cairan dari vagina berwarna kuning kehijauan atau abu- abu serta berbusa

dalam jumlah banyak, kadangkala disertai pendarahan dan bau tidak

sedap, gatal pada vulva sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Sering
buang air kecil dan terasa sakit, pembengkakan vulva, rasa tidak nyaman

selama berhubungan seksual dan sakit di wilayah perut. .2,3,4

Pada mukosa vagina dan serviks terdapat bercak merah, disertai

infiltrasi limposit, sel neutrofil dan plasma, terjadi strawberry vagina.

Permukaan vagina terdapat sekret berbusa, eropulen berwarna

kekuningan, terutama pada fornix posterior. Pada ikfeksi kronis, gejala-

gejala yaitu pruritus dan dispareunia, sedangkan sekresi vagina sangat

sedikit dan bercampur dengan mukus. .2,3,4

e. Penegakan Diagnosis Trichomonas vaginalis

Beberapa cara diagnosis :

1. Pewarnaan

Pewarnaan ini menggunakan pewarnaan Gram, Giemsa,

Papanicolaou, Periodic Acid Schiff, Acridine Orange, Fluorescein,

Netral red dan Imunoperoxidase. Bila ditemukan Trichomonas

vaginalis pada spesimen berarti positif.

2. Kultur

Teknik kultur menggunakan berbagai cairan dan media merupakan

salah satu cara untuk diagnosis. Biasanya dengan menggunakan

medium Feinberg-Whittington memberikan hasil yang dapat

dipercaya. Teknik kultur ini mempunyai sensitifitas kira-kira 97%.

3. Metode serologi
Beberapa studi mengatakan bahwa uji serologis kurang sensitif dari

pada kultur atau sediaan basah. Pada metode serologi ini dapat

digunakan teknik ELISA, tes latex aggulination yang menggunakan

antibodi poliklonal. Antigen detection immunoassay yang

menggunakan antibodi monoklonal dan nucleic acid base test. .2,3,4

f. Tatalaksana Trichomonas vaginalis

PEMERIKSAAN INFERTILITAS PADA WANITA

Pemeriksaan pada perempuan

a. Pemeriksaan ovulasi

1) Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada

seorang perempuan.

2) Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang teratur

setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi.

3) Perempuan yang memiliki siklus menstruasi teratur dan telah

mengalami infertilitas selama 1 tahun. di anjurkan untuk

mengkomfirmasi terjadinya ovulasi dengan cara mengukur kadar

progesteron serum fase luteal (hari ke 21-28).


4) Pemeriksaan kadar progresteron serum perlu dilakukan pada

perempuan yang memiliki siklus haid panjang (polimenorea).

pemeriksaan dilakukan pada siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang

tiap minggu sampai siklus haid berikutnya.

5) Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonodatropin

(FSH dan LH).

6) Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk lihat

apakah ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis.

7) Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian

dari pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak

terdapat bukti bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan

kehamilan. .2,3,4

Untuk pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dapat digunakan

adalah AMH dan folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB

yang dapat digunakan:

1. Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml

2. Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)

3. Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)

b. Penilaian kelainan tuba

1) Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul

(PID), kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk


melakukan histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya

oklusi tuba.

2) Pemeriksaan ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan

laparaskopi.

3) Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi

dapat dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif.

Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba,

dianjurkan untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki

riwayat penyakit radang panggul.2

Table 3. Beberapa teknik pemeriksaan tuba yang dapat dilakukan

c. Pemeriksaan kasus Infertilitas Idiopatik

Dalam tatalaksana infertilitas perbandingan antara biaya yang

dikeluarkan dan efektifitas pemeriksaan sangat penting dipertimbangkan

dalam pengambilan keputusan klinik. National Institute for Health and

Clinical Excellence in the UK and the American Society of Reproductive

Medicine merekomendasikan pemeriksaan yang penting sebagai berikut :


analisis semen, penilaian ovulasi dan evaluasi patensi tuba dengan

histerosalpingografi atau laparoskopi. Peran HSG atau laparoskopi terus

menjadi perdebatan, laparoskopi perlu dipertimbangkan pada kecurigaan

adanya endometriosis berat, perlekatan organ pelvis atau kondisi penyakit

pada tuba. .2,3,4

Histeroskopi

Histeroskopi meruapakan baku emas dalam pemeriksaan yang

mengevaluasi kavum uteri. Meskipun Fayez melaporkan pemeriksaan HSG

sama akuratnya dengan histeroskopi dalam hal diagnosis. Peran histeroskopi

dalam pemeriksaan infertilitas adalah untuk mendeteksi kelaianan kavum

uteri yang dapat mengganggu proses implantasi dan kehamilan serta untuk

mengevaluasi manfaat modalitas terapi dalam memperbaiki endometrium.

.2,3,4

Oliveira melaporkan kelainan kavum uteri yang ditemukan dengan

pemeriksaan histeroskopi pada 25 % pasien yang mengalami kegagalan

berulang fertilisasi in vitro (FIV). Semua pasien tersebut memiliki HSG

normal pada pemeriksaan sebelumnya. Penanganan yang tepat akan

meningkatkan kehamilan secara bermakna pada pasien dengan kelainan

uterus yang ditemukan saat histeroskopi. 2

Histeroskopi memiliki keunggulan dalam mendiagnosis kelainan

intra uterin yang sangat kecil dibandingkan pemeriksaan HSG dan USG
transvaginal. Banyak studi membuktikan bahwa uterus dan endometrium

perlu dinilai sejak awal pada pasien infertilitas atau pasien yang akan

menjalani fertilisasi in vitro. .2,3,4

Laparoskopi

Tindakan laparoskopi diagnostik dapat dilakukan pada pasien

infertilitas idiopatik yang dicurigai mengalami patologi pelvis yang

menghambat kehamilan. Tindakan ini dilakukan untuk mengevaluasi rongga

abdomino-pelvis sekaligus memutuskan langkah penanganan

selanjutnya. .2,3,4

Studi menunjukkan bila hasil HSG normal, tindakan laparoskopi

tidak perlu dilakukan Laparoskopi diagnostik dapat dipertimbangkan bila

hingga beberapa siklus stimulasi ovarium dan inseminasi intra uterin pasien

tidak mendapatkan kehamilan. Mengacu pada American Society of

Reproductive Medicine (ASRM), laparoskopi diagnostik hanya dilakukan

bila dijumpai bukti atau kecurigaan kuat adanya endometriosis pelvis,

perlengketan genitalia interna atau oklusi tuba. Tindakan laparoskopi

diagnostik pada pasien infertilitas idiopatik tidak dianjurkan bila tidak

dijumpai faktor risiko patologi pelvis yang berhubungan dengan infertilitas.

Kebanyakan pasien akan hamil setelah menjalani beberapa siklus stimulasi

ovarium dan atau siklus FIV.2

Tatalaksana
Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu:

WHO kelas I

Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan peningkatan

berat badan menjadi normal akan membantu mengembalikan ovulasi dan

kesuburan. Pengobatan yang disarankan untuk kelainan anovulasi pada

kelompok ini adalah kombinasi rekombinan FSH (rFSH)- rekombinan LH

(rLH), hMG atau hCG. Penggunaan kombinasi preparat gonadotropin (rFSH

dan rLH) dilaporkan lebih efektif dalam meningkatkan ovulasi

dibandingkan penggunaan rFSH saja (Evidence level 2a). \.2,3,4

WHO Kelas II

Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat

dilakukan dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti

estrogen (klomifen sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan

gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan

menggunakan insulin sensitizer seperti metformin.

Perempuan dengan gangguan ovulasi WHO kelas II dianjurkan

untuk mengkonsumsi klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama

maksimal 6 bulan. Efek samping klomifen sitrat diantaranya adalah

sinddrom hiperstilmulasi, rasa tidak nyaman di perut, serta kehamilan

ganda. Pada pasien SOPK dengan IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat
dapat dikombinasi dengan metformin karena diketahui dapat meningkatkan

laju ovulasi dan kehamilan.

penggunaan klomifen sitrat dapat meningkatkan laju kehamilan per siklus

(OR 3.41, 95% CI 4.23 to 9.48) melalui efek peningkatan ovulasi (OR 4.6,

95% CI 2.84 to 7.45). (Evidence level 1a) Tindakan drilling ovarium per-

laparaskopi dengan tujuan menurunkan kadar LH dan androgen adalah suatu

tindakan bedah untuk memicu ovulasi perempuan SOPK yang resisten

terhadap klomifen sitrat.

Review sistematik terhadap empat penelitian acak melaporkan

bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam laju kehamilan (OR 1.42; 95%

CI 0.84 to 2.42) atau laju keguguran (OR 0.61; 95% CI 0.17 to 2.16) antara

6-12 bulan pasca tindakan drilling ovarium per- laparaskopi dibandingkan

3-6 siklus pemicu ovulasi menggunakan gonadotropin pada perempuan

SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat. (Evidence Level 1a)

WHO Kelas III

Pada pasien yang mengalami gangguan ovulasi karena kegagalan

fungsi ovarium (WHO kelas III) sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang

cukup kuat terhadap pilihan tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang

baik perlu dilakukan pada pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO

kelas III sampai kemungkinan tindakan adopsi anak.


WHO Kelas IV

Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat

membuat pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga

gangguan ovulasi dapat teratasi.2

Tatalaksana gangguan tuba

Review sistematik lima penelitian acak (n=588) melaporkan tidak

ada peningkatan laju kehamilan pada tindakan hidrotubasi pasca operasi

(OR 1.12; 95% CI 0.57 to 2.21), hidrotubasi dengan steroid (OR 1.10; 95%

CI 0.74 to 1.64), atau hidrotubasi dengan antibiotik (OR 0.67; 95% CI 0.30

to 1.47) Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas tuba

derajat ringan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan. .2,3,4

Tatalaksana endometriosis

Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat

mengurangi rasa nyeri namun belum ada data yang menyebutkan bahwa

pengobatan dapat meningkatkan fertilitas. Beberapa penelitian acak

melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak dapat

meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang.

.2,3,4
Penelitian acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat

ringan sampai sedang melaporkan laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama

dengan laju kehamilan bila diberikan agonis GnRH selama 6 bulan.

Review sistematik dan meta analisis 16 penelitian acak yang

dilakukan pada kelompok yang menggunakan obat-obatan penekan ovulasi

dibandingkan dengan kelompok tanpa pengobatan atau danazol, melaporkan

bahwa pengobatan obat-obatan penekan ovulasi (medroksi- progesteron,

gestrinone, pil kombinasi oral, dan agonis GnRH) pada perempuan

infertilitas yang mengalami endometriosis tidak meningkatkan kehamilan

dibandingkan kelompok tanpa pengobatan (OR 0.74; 95% CI 0.48 to 1.15)

atau dengan danazol (OR 1.3; 95% CI 0.97 to 1.76). .2,3,4

Tatalaksana infertilitas idiopatik Manajemen ekspektatif

Kemungkinan hamil spontan yang relatif tinggi pada pasangan

infertilitas idiopatik mendukung strategi penanganan secara ekspektatif.

Pasangan dapat diberi pengertian tentang masa subur, dan disarankan untuk

melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Data yang mendukung

strategi ini diperkuat oleh berbagai sumber. Snick dkk melaporkan angka

kehamilan kumulatif sebesar 27.4% selama 12 bulan pada pasangan yang

ditemui secara kohort di layanan primer. Collins dkk mengobservasi

kelahiran hidup sebesar 14.3% selama 12 bulan tanpa terapi pada kasus

infertilitas idiopatik di layanan sekunder dan tersier. Studi terbaru di

Belanda menjumpai banyak kehamilan spontan terjadi pada pasangan yang


mengalami infertilitas idiopatik. lama infertilitas 30 bulan, mendapatkan

kehamilan spontan serta kelahiran hidup 6 bulan pasca manajemen

ekspektatif. Analisis ekonomi-kesehatan berdasarkan data yang sama

menunjukkan bahwa selain tidak ekonomis, terapi empirik klomifen sitrat

dan inseminasi intra uterin (IIU) tanpa stimulasi tidak memberikan hasil

yang lebih baik. .2,3,4

Penelitian acak jangka panjang di Belanda pada pasien yang

memiliki prognosis sedang melaporkan tidak perbedaan bermakna dalam

angka kehamilan 6 bulan pasca manajemen ekspektatif atau IIU (dengan

stimulasi). Penghematan biaya sebesar 2616 euro dijumpai pada kelompok

pasien yang menjalani tatalaksana ekspektatif. .2,3,4

Klomifen Sitrat

Klomifen sitrat dapat mengatasi kasus infertilitas idiopatik dengan

cara memperbaiki disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan

folikel multipel. Pasien dianjurkan untuk memulai terapi inisial 50 mg

sehari mulai pada hari ke-2-6 siklus haid. Pemantauan folikel dengan USG

transvaginal dilakukan pada hari ke 12 untuk menurunkan kemungkinan

terjadinya kehamilan ganda. Pasangan disarankan untuk melakukan

hubungan seksual terjadwal dari hari ke-12 siklus haid. Pada kejadian di

mana dicurigai adanya respon ovarium yang berlebihan, siklus dibatalkan

dan pasangan diminta tidak melakukan hubungan seksual sampai siklus haid

berikutnya.
Penggunaan klomifen telah dikenal oleh semua pasangan infertilitas

karena murah, non-invasif, dan tidak membutuhkan pemantauan klinis yang

banyak. Kejadian kehamilan ganda dan risiko terjadinya kanker ovarium

dijadikan dasar dalam pertimbangan risiko dan manfaat. Studi RCT yang

membandingkan klomifen dengan manajemen ekspektatif melaporkan

bahwa kelahiran hidup pada kedua grup tidak jauh berbeda (OR 0.79, 95%

CI 0.45 dan 1.38). Hal ini menunjukkan tidak ada manfaat yang diperoleh

dari penggunaan klomifen sitrat pada kelompok infertilitas idiopatik..


BAB III

Kesimpulan

Infertilitas bukan semata-mata bukan disebabkan oleh faktor yang

berasal dari wanita, seperti infeksi vagina, disfungsi seksual, lingkungan

vagina yang terlalu asam, kelainan serviks, sumbatan di tuba falopii dan

gangguan ovulasi. Faktor-faktor pada diri pria juga dapat berperan, seperti

faktor koitus, kelainan anatomi,spermatogenesis abnormal, masalah

ejakulasi, faktor pekerjaan, infeksi dan masalah interaktif.

Sesuai dengan judul singkatnya, beberapa penelitian telah di lakukan

terhadap penyakit IMS (infeksi menular sekseual) secara umum antara lain

infeksi Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, Mycoplasma

Genitalium dan Trikomonas vaginalis, penyakit ini memeliki keterkaitan

dengan infertilitas meskipun Penelitian tambahan diperlukan untuk

memperkuat hal tersebut diatas.

Sangat direkomnedasikan studi serologis tambahan pada beragam

sampel wanita usia reproduksi sambil mengontrol riwayat PMS lainnya.

Studi prospektif yang menilai faktor demografi dan perilaku, dampak

koinfeksi, dan dampak mikrobioma vagina sangat diperlukan untuk

memilah hubungan antara patogen ini dan gangguan kesuburan serta hasil
kehamilan nanti. Tentunya pada penyakit infeksi menular seksual diatas

alangkah baiknya diterapi sedini mungkin agardapat menekan kejadian

infertilitas.

REFERENSI

1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/hasil/riskesdas

2 013.pdf. Diakses pada tanggal 13 Desember 2016

2. PERFITRI, 2017. Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

http://www.jabarprov.go.id/index.php/news/24166/1_3_Juta_Jiwa_

War ga_Jabar_Alami_Infertilitas. Diakses pada tanggal 20/02/2019

Anda mungkin juga menyukai