Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

MIOMA UTERI

Oleh
Kirana Nadyatara
182011101059

Pembimbing
dr. Dion Juniar Fitra, Sp. OG

KSM/LAB OBSGYN RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LAPORAN KASUS

MIOMA UTERI

Oleh
Kirana Nadyatara
182011101059

Pembimbing
dr. Dion Juniar Fitra, Sp. OG

KSM/LAB OBSGYN RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
2.1 Definisi............................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi ................................................................................... 3
2.3 Anatomi Uterus ............................................................................... 4
2.4 Etiologi............................................................................................ 7
2.5 Faktor Predisposisi .......................................................................... 8
2.6 Klasifikasi ....................................................................................... 10
2.7 Manifestasi Klinis ........................................................................... 11
2.8 Perubahan Sekunder Mioma Uteri .................................................. 15
2.9 Diagnosis dan Diagnosis Banding .................................................. 17
2.10 Tata Laksana ................................................................................. 19
2.11 Komplikasi .................................................................................... 22
2.12 Prognosis ....................................................................................... 22
2.13 Pencegahan ................................................................................... 23
BAB 3. LAPORAN KASUS ............................................................................. 25
BAB 4. KESIMPULAN .................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 37

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

Mioma uteri yang juga dikenal dengan sebutan fibromioma, fibroid,


ataupun leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari lapisan otot
uterus (miometrium) dan jaringan ikat di sekitarnya. Dari seluruh wanita, insiden
mioma uteri diperkirakan terjadi sekitar 20% – 30%. Mioma uteri sering
ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% – 25%, angka kejadian ini
lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%. Tingginya kejadian
mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya hubungan antara
mioma uteri dengan hormon estrogen. Mioma uteri belum pernah dilaporkan
terjadi pada usia sebelum menarche sedangkan angka kejadian mioma uteri pada
wanita menopause hanya sekitar 10% (Hall, 2016).
Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87%
dari semua penderita ginekologi yang dirawat (Prawiroharjo, 2008). Di USA
wanita kulit hitam 3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri dibandingkan
wanita berkulit putih, sedangkan di Afrika wanita kulit hitam sedikit sekali
menderita mioma uteri (Baziad, 2003). Wanita yang sering melahirkan sedikit
kemungkinannya untuk perkembangan mioma uteri dibandingkan dengan wanita
yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil
satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras,
kegemukan, dan nullipara (Hoffman dkk., 2012).
Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi
yang efektif masih belum ditemukan karena sedikit sekali informasi mengenai
etiologi mioma uteri itu sendiri. Walaupun jarang menyebabkan mortalitas,
morbiditas yang ditimbulkan dari mioma uteri ini cukup tinggi karena mioma
uteri dapat menyebabkan nyeri perut dan perdarahan abnormal, serta diperkirakan
dapat menurunkan tingkat kesuburan wanita (Vollenhoven, 1998). Beberapa teori
menunjukkan bahwa mioma uteri bertanggung jawab terhadap rendahnya
kesuburan. Adanya hubungan antara mioma dan rendahnya kesuburan ini telah
2

dilaporkan oleh dua survei observasional yaitu dilaporkan sebesar 27% – 40%
wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas (Marshall dkk., 1998).
Ditemukan bahwa mereka yang menarche pada usia <10 tahun beresiko
mendapat penyakit reproduksi 10% lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang
memulai menstruasi pada usia 14 tahun. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan
meningkatkan resiko relatif mioma uteri 1,24 kali sedangkan menarche lambat
(>16 tahun) menurunkan resiko relatif mioma uteri (Indarti, 2004). Pemicu
terjadinya mioma uteri masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa ahli
memaparkan karena adanya pengaruh hormon esterogen berupa
ketidakseimbangan hormon esteogen yang dimulai sejak menarche. Semakin dini
usia menarche yang didapat seseorang maka semakin sering ketidakseimbangan
hormon estrogen yang terjadi saat menstruasi. Semakin lama seorang terpapar
hormon esterogen akan memicu timbulnya mioma uteri, jadi menarche dini bisa
disebut sebagai pemicu terjadinya mioma uteri. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa peningkatan pertumbuhan mioma uteri merupakan respon
dari stimulus estrogen. Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori
genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk terjadinya mioma uteri harus
terdapat dua komponen penting yaitu sel nest (sel muda yang terangsang) dan
estrogen (perangsang sel nest secara terus menerus).
Pengobatan mioma uteri dengan gejala klinik umumnya ialah tindakan
operatif berupa histerektomi (pengangkatan rahim) atau pada wanita yang ingin
mempertahankan kesuburannya dapat dilakukan miomektomi (pengangkatan
mioma) (Djuwantono, 2004).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mioma uteri adalah neoplasma otot polos jinak yang berasal dari
miometrium, terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan
kolagen. Mioma uteri disebut juga dengan leiomioma uteri atau fibromioma uteri,
karena jumlah kolagen mereka yang cukup besar dapat menciptakan konsistensi
yang berserat maka mereka sering disebut sebagai fibroid. Mioma uteri berbatas
tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous sehingga
mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan
berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan. Mioma uteri merupakan
neoplasma jinak yang paling umum dan sering dialami oleh wanita. Neoplasma
ini akan memperlihatkan gejala klinis berdasarkan pada besar dan letak mioma di
uterus.

2.2 Epidemiologi
Dari seluruh wanita, insiden mioma uteri diperkirakan terjadi sekitar 20%
– 30%. Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% –
25%, angka kejadian ini lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%.
Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya
hubungan antara mioma uteri dengan hormon estrogen. Mioma uteri belum
pernah dilaporkan terjadi pada usia sebelum menarche sedangkan angka kejadian
mioma uteri pada wanita menopause hanya sekitar 10% (Hall, 2016). Ditemukan
bahwa mereka yang menarche pada usia <10 tahun beresiko mendapat penyakit
reproduksi 10% lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang memulai
menstruasi pada usia 14 tahun. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan
meningkatkan resiko relatif mioma uteri 1,24 kali sedangkan menarche lambat
(>16 tahun) menurunkan resiko relatif mioma uteri (Indarti, 2004)
Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87 %
dari semua penderita ginekologi yang dirawat (Prawiroharjo, 2008). Di USA
wanita kulit hitam 3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri dibandingkan
4

wanita berkulit putih, sedangkan di Afrika wanita kulit hitam sedikit sekali
menderita mioma uteri (Baziad, 2003). Wanita yang sering melahirkan sedikit
kemungkinannya untuk perkembangan mioma uteri dibandingkan dengan wanita
yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil
satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras,
kegemukan, dan nullipara (Hoffman dkk., 2012).

2.3 Anatomi Uterus


Uterus merupakan organ yang tebal, berotot, berbentuk seperti buah pir,
sedikit gepeng kearah muka belakang dan terletak di dalam cavum pelvis antara
rektum (posterior) dan vesika urinaria (anterior). Dinding uterus terdiri dari otot
polos dengan ukuran panjang uterus sekitar 7-7,5 cm, lebar > 5,25 cm, dengan
tebal sekitar 1,25 cm. Berat uterus normal kurang lebih 57 gram. Pada masa
kehamilan uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama dibawah pengaruh
hormon estrogen dan progesteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini pada
dasarnya disebabkan oleh hipertrofi otot polos uterus diikuti serabut-serabut
kolagen yang ada menjadi higroskopik akibat meningkatnya kadar estrogen
sehingga uterus dapat mengikuti pertumbuhan janin. Setelah menopause, uterus
wanita nullipara maupun multipara, akan mengalami atrofi dan kembali ke ukuran
pada masa predolesen.
5

Pembagian Uterus
a. Fundus Uteri (dasar rahim) : bagian uterus yang proksimal yang terletak antara
kedua pangkal tuba uterina.
b. Korpus Uteri : bagian uterus yang membesar pada kehamilan. Korpus uteri
mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang
terdapat pada korpus uteri disebut kavum uteri.
c. Serviks Uteri (leher rahim): ujung serviks yang menuju puncak vagina disebut
porsio, hubungan antara kavum uteri dan kanalis servikalis disebut ostium uteri
yaitu bagian serviks yang ada di atas vagina.

Pembagian Dinding Uterus


a. Endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri.
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan jaringan dengan
banyak pembuluh-pembuluh darah yang berlekuk-lekuk. Pada masa haid
sebagian besar endometrium akan dilepaskan sedangkan pada masa kehamilan
endometrium akan tumbuh menebal diikuti dengan bertambah banyaknya
pembuluh darah yang diperlukan untuk memberi makanan pada janin.
b. Miometrium (lapisan otot polos)
Otot polos di bagian dalam miometrium berbentuk sirkuler sedangkan di
bagian luarnya berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan ini terdapat
6

lapisan otot oblik yang berbentuk anyaman. Lapisan otot polos ini merupakan
bagian yang paling penting pada proses persalinan karena setelah proses
lahirnya plasenta otot-otot ini akan berkontraksi dengan kuat guna menjepit
pembuluh-pembuluh darah yang ada di sekitarnya sehingga dapat mencegah
terjadinya perdarahan post partum.
c. Perimetirum atau lapisan serosa (peritoneum viseral)
Lapisan ini terdiri dari lima ligamentum yang berfungsi untuk mengfiksasi dan
menguatkan uterus yaitu:
1. Ligamentum kardinale kiri dan kanan, yakni ligamentum yang terpenting,
mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal, dan
berjalan dari serviks dan puncak vagina kearah lateral dinding pelvis.
Didalamnya ditemukan banyak pembuluh darah, antara lain vena dan arteria
uterine.
2. Ligamentum sakro uterinum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang
menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian
belakang kiri dan kanan kearah sarkum kiri dan kanan.
3. Ligamentum rotundum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan
uterus agar tetap dalam keadaan antofleksi, berjalan dari sudut fundus uteri
kiri dan kanan, ke daerah inguinal waktu berdiri cepat karena uterus
berkontraksi kuat.
4. Ligamentum latum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang meliputi tuba,
berjalan dari uterus kearah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat.
5. Ligamentum infundibulo pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba
fallopi, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya
ditemukan urat-urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.
7

2.4 Etiologi
Hingga saat ini penyebab pasti dari mioma uteri masih belum diketahui
dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Mioma merupakan sebuah tumor
monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik
tunggal yang berada di antara otot polos miometrium. Tumbuh mulai dari benih
multiple yang sangat kecil dan tersebar pada miometrium sangat lambat tetapi
progresif. Terdapat korelasi antara pertumbuhan tumor dengan peningkatan
reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri, serta adanya faktor
predisposisi yang bersifat herediter, faktor hormon pertumbuhan, dan Human
Placental Lactogen. Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi
somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan
kromosom baik secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom
ditemukan pada 23%-50% dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak
(36,6%) ditemukan pada kromosom 7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).
8

Pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma antara lain:


a. Estrogen
Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo
mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa
untuk terjadinya mioma uteri harus terdapat dua komponen penting yaitu sel
nest (sel muda yang terangsang) dan estrogen (perangsang sel nest secara terus
menerus). Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci
percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan
maupun pada tempat lain dalam abdomen. Hormon estrogen dapat diperoleh
melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal.
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen.
Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium.
Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan
wanita dengan sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan
kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada
mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi
ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.
b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang
siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural
dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara
yaitu mengaktifkan 17 - Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada tumor.

2.5 Faktor Predisposisi


a. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi terjadi antara usia 35-50
tahun yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah
20 tahun, sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan.
Pada usia sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia
9

reproduksi, serta akan turun pada usia menopause, pada wanita menopause
mioma uteri ditemukan sebesar 10%. Proporsi mioma meningkat pada usia 35-
45 tahun. Penelitian Chao-Ru Chen di New York menemukan wanita kulit
putih umur 40-44 tahun beresiko 6,3 kali menderita mioma uteri dibandingkan
umur < 30 tahun. Sedangkan pada wanita kulit hitam umur 40-44 tahun
beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika dibandingkan umur < 30
tahun.
b. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma
uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan
dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Pada wanita
tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih
tinggi.
c. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatase di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen
tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan
prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.
d. Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk
terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah
hamil atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri
berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali.
e. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan ditemukan sebesar 0,3% – 7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat
mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan
dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada
kemungkinan dapat mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat
10

juga mengurangi resiko mioma karena pada kehamilan hormon progesteron


lebih dominan.

2.6 Klasifikasi
 Mioma Subserosa
Mioma subserosa merupakan mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa
uterus dan dapat bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai, dapat hanya
sebagai tonjolan saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan
uterus melalui tangkai. Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam
ligamentum latum, dan disebut sebagai mioma intraligamen. Mioma yang
cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan
dengan omentum di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil
alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan
terputus, sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas
dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis
mondering atau parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma
saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu
saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila
mioma dibelah maka akan tampak bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos
dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan (whorle like pattern) dengan
pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena
pertumbuhan sarang mioma ini.
 Mioma intramural
Mioma intramural atau insterstisiel merupakan mioma yang berkembang di
antara miometrium dan biasanya multiple. Apabila masih kecil, mioma tidak
akan merubah bentuk uterus tetapi bila besar mioma akan menyebabkan uterus
berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat, uterus bertambah besar, dan
berubah bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti
kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah
bawah. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam
11

pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas,


sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
 Mioma submukosa
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus atau endometrium dan
tumbuh kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
dan besar kavum uteri. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan
endometrium menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Bila tumor ini
tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat keluar dan masuk ke dalam vagina
yang disebut mioma geburt, yang harus diperhatikan dalam menangani mioma
bertangkai (mioma submukosa pedinkulata) ialah kemungkinan terjadinya torsi
dan nekrosis sehingga risiko infeksi sangatlah tinggi. Mioma submukosa
walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina.
Perdarahan sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya dilakukan
histerektomi. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan tindakan
kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump
dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.

2.7 Manifestasi Klinis


Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari
lokasi, arah pertumbuhan, jenis, besar, dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada
35% – 50% saja mioma uteri menimbulkan keluhan sedangkan sisanya tidak
mengeluh apapun, terutama pada penderita dengan obesitas. Hipermenore,
12

menometroragia merupakan gejala klasik dari mioma uteri. Dari penelitian


multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44% gejala perdarahan,
yang paling sering ialah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita dengan
mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang.
Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih,
ureter, dan usus dapat terganggu, peneliti melaporkan keluhan disuri (14%) dan
keluhan obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya
dijumpai pada 2% – 10% kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi
mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma uteri menghalangi
pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang abnormal, dan
mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.
Berbagai keluhan penderita mioma uteri antara lain dapat berupa:
a. Massa di Perut Bawah
Penderita mengeluh merasakan adanya massa atau benjolan di perut
bagian bawah.
b. Perdarahan Abnormal
Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri mengalami kelainan
menstruasi berupa menoragia. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan
perdarahan ini berhubungan dengan peningkatan luas permukaan endometrium
atau karena meningkatnya insidens disfungsi ovulasi. Teori yang menjelaskan
perdarahan yang disebabkan mioma uteri menyatakan terjadi perubahan
struktur vena pada endometrium dan miometrium yang menyebabkan
terjadinya venule ectasia. Miometrium merupakan wadah bagi faktor endokrin
dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua jaringan ini
dan aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium memfasilitasi
interaksi ini. Growth factor yang merangsang stimulasi angiogenesis atau
relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada mioma uteri dapat
menyebabkan perdarahan uterus abnormal dan menjadi target terapi potensial.
Selain itu berkurangnya angiogenik inhibitory factor atau vasoconstricting
factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga menyebabkan terjadinya
perdarahan uterus yang abnormal.
13

Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi zat besi
dan bila berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk
dikoreksi dengan suplementasi zat besi. Perdarahan pada mioma submukosa
seringkali diakibatkan oleh hambatan pasokan darah endometrium, tekanan,
dan bendungan pembuluh darah di area tumor (terutama vena) atau ulserasi
endometrium di atas tumor. Tumor bertangkai seringkali menyebabkan
trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina
dan kaurm uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks).
Dismenore dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi, dan termasuk
hipoksia lokal miometrium.

c. Nyeri Perut (Pelvic Discomfort)


Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila
kemudian terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses
degenerasi akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau
kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma subserosa dari
kavum uteri, dalam hal ini sifatnya akut, disertai dengan rasa mual dan muntah-
muntah. Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri dapat disebabkan karena
14

tekanan pada saraf yaitu pleksus uterovaginalis yang rasa nyerinya menjalar
hingga ke pinggang dan tungkai bawah. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila
torsi berlanjut dengan terjadinya infark atau degenerasi merah yang mengiritasi
selaput peritoneum (seperti peritonitis). Mioma yang besar dapat menekan
rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengejan.
d. Pressure Effects (Efek Tekanan)
Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek tekanan pada organ-
organ di sekitar uterus. Gejala ini merupakan gejala yang tak biasa dan sulit
untuk dihubungkan langsung dengan mioma. Penekanan pada vesika urinaria
dapat menyebabkan pollakisuria dan dysuria, sedangkan penekanan pada uretra
dapat menimbulkan retensio urin yang apabila berlarut-larut dapat
menyebabkan hydroureteronephrosis. Tekanan pada rektum tidak begitu besar,
kadang-kadang menyebabkan konstipasi atau nyeri saat defekasi.
Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan terhadap organ
sekitar. Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna dan
perlekatannya dengan omentum menyebabkan strangulasi usus. Mioma serviks
dapat menyebabkan sekret serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan
infertilitas. Bila ukuran tumor lebih besar lagi, akan terjadi penekanan ureter,
kandung kemih dan rektum. Semua efek penekanan ini dapat dikenali melalui
pemeriksaan IVP, kontras saluran cerna, rontgen, dan MRI. Abortus spontan
dapat disebabkan oleh efek penekanan langsung mioma terhadap kavum uteri.
e. Penurunan Kesuburan dan Abortus
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan
masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27% – 40% wanita dengan mioma uteri
mengalami infertilitas. Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang
mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma
submukosa dapat memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga
uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat
menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan implasntasi embrio dapat terjadi
pada keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana
terjadi atrofi karena kompresi massa tumor. Apabila penyebab lain infertilitas
15

sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka


merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi.

2.8 Perubahan Sekunder Mioma Uteri


Bila terjadi perubahan pasokan darah selama pertumbuhannya, maka mioma dapat
mengalami perubahan sekunder atau degeneratif sebagai berikut (Prawiroharjo,
2008).
 Atrofi
Ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah persalinan
atau menopause.
 Degenerasi Hialin
Terjadi pada mioma yang telah matang atau tua dimana bagian yang semula
aktif tumbuh kemudian terhenti akibat kehilangan pasokan nutrisi dan berubah
warnanya menjadi kekuningan, melunak atau melebur menjadi cairan gelatin
sebagai tanda terjadinya degenerasi hialin. Perubahan ini sering terutama pada
penderita usia lanjut disebabkan karena kurangnya suplai darah. Jaringan
fibrous berubah menjadi hialin dan serabut otot menghilang. Mioma
kehilangan struktur aslinya dan menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian
besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu
kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
 Degenerasi Kistik
Setelah mengalami hialinisasi, hal tersebut berlanjut dengan cairnya gelatin
sehingga mioma konsistensinya menjadi kistik. Adanya kompresi atau tekanan
fisik pada bagian tersebut dapat menyebabkan keluarnya cairan kista ke kavum
uteri, kavum peritoneum, atau retroperitoneum.
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma
menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi
agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe
sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak tumor ini
sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
16

 Degenerasi Lemak
Disebut juga miksomatosa yang terjadi setelah proses degenerasi hialin dan
kistik. Degenerasi ini sangat jarang dan umumnya asimtomatik. Pada mioma
yang sudah lama dapat terbentuk degenerasi lemak. Di permukaan irisannya
berwarna kuning homogen dan serabut ototnya berisi titik lemak dan dapat
ditunjukkan dengn pengecatan khusus untuk lemak.
 Degenerasi Kalkareus (Calsireus Degeneration)
Disebut juga kalsifikasi, degenerasi ini terutama terjadi pada wanita usia lanjut
oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan
garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan
bayangan pada foto rontgen. Degenerasi ini umumnya terjadi pada mioma
subserosa yang sangat rentan terhadap defisit sirkulasi yang dapat
menyebabkan pengendapan kalsium karbonat dan fosfat di dalam tumor.
 Degenerasi Merah (Kaneus)
Degenerasi ini diakibatkan oleh trombosis yang dikuti dengan terjadinya
bendungan vena dan perdarahan sehingga menyebabkan perubahan warna
mioma. Degenerasi jenis ini seringkali terjadi bersamaan dengan kehamilan
karena kecepatan pasokan nutrisi bagi hipertrofi miometrium lebih
diprioritaskan sehingga mioma mengalami defisit pasokan dan terjadi
degenerasi septik dan infark. Degenerasi ini disertai rasa nyeri tetapi akan
menghilang sendiri (self limited). Terhadap kehamilannya sendiri, dapat terjadi
partus prematurus atau koagulasi diseminata intravaskuler (DIC).
Perubahan ini sering terjadi pada masa kehamilan dan nifas. Diperkirakan
karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada
pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah
disebabkan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak
khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit
demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan.
17

 Septik
Defisit sirkulasi dapat menyebabkan mioma mengalami nekrosis di bagian
tengah tumor yang berlanjut dengan infeksi yang ditandai dengan nyeri, kaku
dinding perut, dan demam akut.
 Degenerasi ganas
Transformasi ke arah keganasan (menjadi miosarkoma). Terjadi pada 0,1% –
0,5% penderita mioma uteri.

2.9 Diagnosis dan Diagnosis Banding


a. Anamnesis
Cari keluhan utama serta gejala klinis mioma, faktor risiko, serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir
yang dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat pervaginam terutama
pada wanita usia diatas 40 tahun.
b. Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus.
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh
satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus.
c. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-
kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus
menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan
penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang
menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi
pembentukan eritropoietin ginjal.
 Imaging
 Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi) transabdominal dan
transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.
18

Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang


kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui
ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan
gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur
maupun pembesaran uterus.

Gambaran tumor bentuk bulat atau bulat lonjong baik soliter maupun
multipel dengan hiperekoik homogen, dinding tegas, tanpa efek lateral
dan pantulan posterior, pembuluh darah diluar massa tumor.
 Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa,
jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat
diangkat.

 MRI (Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam


menggambarkan jumlah, ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang
diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas
tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat
19

mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,


termasuk mioma (Goodwin dkk., 2009).
Diagnosis banding mioma uteri antara lain kehamilan, neoplasma ovarium, dan
adenomyosis.

2.10 Tata Laksana


Penatalaksanaan mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas,
kehamilan, konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, dan gejala yang
ditimbulkan. Bila kondisi pasien sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang
diperlukan termasuk nutrisi, suplementasi zat esensial, ataupun transfusi. Pada
keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala abdominal akut, siapkan tindakan
bedah gawat darurat untuk menyelamatkan penderita. Pilihan prosedur bedah
terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau histerektomi.
a. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan,
tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari
kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada
tangkai, perlu diambil tindakan operasi. Terapi konservatif dilakukan bila
mioma uteri terjadi tanpa adanya keluhan dan tanda-tanda degenerasi ganas.
b. Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan
mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi
medikamentosa masih merupakan terapi tambahan (adjuvan) atau terapi
pengganti sementara dari operatif. Preparat yang selalu digunakan untuk terapi
medikamentosa adalah analog GnRHA (Gonadotropin Realising Hormon
Agonis), progesteron, androgen (danazol, gestrinon), tamoksifen, goserelin,
antiprostaglandin (NSAID), COCs (combination oral contraceptive pills),
agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine (Chegini dkk., 2003;
Parsanezhad dkk., 2012). GnRH agonis diberikan 3-6 kali setiap bulan sekali
yang dimulai pada hari ke-3 sampai 5 mentruasi dengan dosis 375 mg
intramuskuler gluteal.
20

Perempuan dengan dismenore memiliki kadar prostaglandin F2α dan E2


endometrium yang lebih tinggi dibandingkan wanita dengan mioma uteri tanpa
gejala. Dengan demikian, pengobatan dismenore dan menoragia terkait dengan
leiomioma didasarkan pada peran prostaglandin sebagai mediator dari gejala-
gejala ini, sehingga penggunaan NSAID dapat dikatakan efektif untuk
penderita dengan dismenore.
c. Operatif
Terapi operatif tergantung pada:
1. Adanya keluhan gangguan haid serta komplikasinya dan atau keluhan
pendesakan organ sekitar.
2. Infertilitas post terapi GnRH agonis
3. Nyeri pelvik kronis akibat pendesakan, perlekatan, dismenore, disparunea,
hemorhoid, disuria berulang, nyeri defekasi, dan manipulasi.
4. Ketentuan:
a. Umur penderita lebih dari 50 tahun adalah TAH-BSO atau SVH
tergantung kondisi serviks.
b. Menginginkan anak dilakukan miomektomi atau enukleasi mioma baik
post GnRH agonist maupun langsung.
c. Pada kasus dengan gangguan haid dimana umur lebih dari 40 tahun
d. Pendekatan operatif adalah laparotomi dan atau laparoskopi
Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi miomektomi, histerektomi,
dan embolisasi arteri uterus.
 Miomektomi merupakan tindakan pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma
submukosa dan mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.
 Histerektomi merupakan tindakan pengangkatan uterus yang paling umum
dilakukan pada kasus mioma uteri. Histerektomi total umumnya dilakukan
dengan alasan mencegah timbulnya mioma uteri berulang atau timbulnya
karsinoma servisis uteri. Histerektomi untuk mioma uteri dapat dilakukan
secara vaginally, abdominally, atau laparoscopically.
 Endometrial Ablation
21

 Hysteroscopy
 Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE) merupakan
injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang
nantinya akan menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan
nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih ringan daripada setelah pembedahan
mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi serta waktu penyembuhannya
lebih cepat (Swine, 2009).

d. Radiasi dengan radioterapi


Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada
beberapa kasus.

Alur Tata Laksana Mioma Uterus berdasarkan PPK OBSGYN UNUD 2015
22

Keluhan positif:
1. Infertilitas. Pada mioma uterus dengan keluhan infertilitas dilakukan
histerosalfingografi untuk mengetahui kavum uterus, patensi tuba, hidrosalfing,
dan tanda-tanda infeksi kronis.
2. AUB-L berupa menoragia, metroragia, dan menometroragia.
3. Komplikasi perdarahan seperti lemah, lesu, penyakit jantung, anemia, mudah
infeksi, penuruanan kinerja, dan konsentrasi.
4. Pendesakan ke organ pelviks sehingga menimbulkan gangguan seperti
gangguan berkemih dan defekasi, nyeri pelvik kronik, serta nyeri di regio
suprasimfisis.

2.11 Komplikasi
a. Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya sekitar 0,32% –
0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50% – 75% dari semua sarkoma
uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histopatologi
pada uterus yang telah diangkat. Curiga akan keganasan uterus apabila mioma
uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma saat
menopause.
b. Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami putaran atau torsi sehingga
timbul gangguan sirkulasi akut yang berujung nekrosis, dengan demikian
terjadilah sindroma abdomen akut, namun jika torsi terjadi secara perlahan
maka gangguan akut tidak terjadi.

2.12 Prognosis
Prognosis mioma uteri dengan lesi soliter biasanya sangat baik,
khususnya bila dilakukan eksisi. Fertilitas dapat terpengaruh, tergantung dari
ukuran dan lokasi mioma. Mioma uteri sendiri jarang bertransformasi menjadi
kanker. Tanda bahaya dari kanker yang paling umum adalah tumor yang tumbuh
23

secara cepat sehingga membutuhkan tindakan pembedahan. Tindakan operatif


histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma merupakan suatu tindakan
kuratif. Mioma uteri yang kambuh kembali (rekurens) setelah dilakukan
miomektomi terjadi pada 15% – 40% pasien dan 60% memerlukan tindakan lebih
lanjut.

2.13 Pencegahan
a. Pencegahan Primordial
Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche atau sebelum
terdapat resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan pencegahan awal sebelum seseorang menderita
mioma. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan penyuluhan mengenai
faktor-faktor resiko mioma terutama pada kelompok yang beresiko yaitu
wanita pada masa reproduktif. Selain itu tindakan pengawasan terhadap
pemberian hormon estrogen dan progesteron dengan memilih pil KB
kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron), pil kombinasi
mengandung estrogen lebih rendah dibanding pil sekuensil, oleh karena
pertumbuhan mioma uteri berhubungan dengan kadar estrogen.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena mioma uteri,
tindakan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Pencegahan
yang dilakukan adalah dengan melakukan diagnosa dini dan pengobatan yang
tepat.
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan upaya yang dilakukan setelah penderita
melakukan pengobatan. Pencegahan pada tahap ini berupa rehabilitasi untuk
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah timbulnya komplikasi. Pada
dasarnya hingga saat ini belum diketahui penyebab tunggal yang menyebabkan
mioma uteri, namun merupakan gabungan beberapa faktor atau multifaktor.
24

Tindakan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas hidup dan


mempertahankannya. Penderita pasca operasi harus mendapat asupan gizi yang
cukup dalam masa pemulihannya.
BAB 3. LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. M
Tanggal Lahir : 12 Juli 1972
Usia : 47 tahun
RM : 273198
Alamat : Krajan Barat Mlokorejo Puger 03/06 Jember
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku bangsa : Madura
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 11 November 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian kiri bawah hingga tembus ke punggung
bawah sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian kiri bawah hingga tembus ke
punggung bawah sejak 1 bulan yang lalu, sebelumnya pasien tidak pernah
mengeluhan nyeri seperti yang sedang dialami saat ini. Nyeri dirasakan terus
menerus sehingga pasien memutuskan untuk datang ke Poli Bedah RSD dr.
Soebandi pada tanggal 18 Oktober 2019. Di Poli Bedah dilakukan USG dan
didapatkan hasil USG kesan curiga myoma uteri dan ovarial cyst dextra, sehingga
dari Poli Bedah pasien dikonsulkan ke Poli Kandungan, dari hasil anamnesis serta
pemeriksaan bimanual dan USG di Poli Kandungan pasien didiagnosis dengan
myoma uteri dan susp. kista coklat sehingga pasien direncanakan untuk dilakukan
tindakan operasi pada tanggal 12 November 2019.
26

Pada tanggal 11 November 2019 pasien kembali datang ke RSD


Soebandi untuk persiapan operasi. Saat datang pasien masih mengeluh nyeri pada
perut bagian kiri bawah namun intensitasnya sedikit berkurang dan sifat nyerinya
hilang timbul, keluhan juga tidak disertai dengan keluarnya darah dari vagina.

Riwayat penyakit dahulu dan operasi


Pasien menyangkal adanya riwayat diabetes melitus, hipertensi,
perdarahan yang sulit berhenti maupun riwayat trauma. Pasien juga menyangkal
pernah dilakukan operasi.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada riwayat anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sehubungan dengan keluhan yang dialami pasien.

Riwayat sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pola makan pasien sehari-hari
baik dan teratur. Pasien mengaku tidak memiliki kecenderungan mengonsumsi
jenis makanan tertentu. Pasien tidak memiliki kebiasaan minum alkohol dan
merokok. Hubungan pasien dengan keluarga serta lingkungan sekitar baik.

Riwayat menarche : 11 tahun


Riwayat menstruasi : Teratur tiap bulan (siklus haid 30 hari), lama haid 4 hari,
dismenore (+)
Riwayat marital : Menikah 1 kali (usia pernikahan 15 tahun)
Riwayat obstetri : 1. Perempuan/14th/spontan/bidan/3500 gram
2. Perempuan/7th/spontan/bidan/3500 gram
Riwayat ANC :-
HPHT :-
HPL :-
Riwayat kontrasepsi : KB Suntik 3 bulan
27

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos mentis (GCS 4-5-6)
Kepala : Anemis (-) Ikterik (-) Sianosis (-) Dispneu (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
TD : 110/70 mmHg HR : 84x/menit
RR : 20x/menit Tax : 36,5 °C
Thorax/Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, ekstrasistol (-) gallop (-), murmur (-)
Paru : Vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-
Ekstremitas : Akral hangat +/+ Oedem -/-
TB : 155 cm
BB : 55 kg

Status Obstetri
Abdomen : Inspeksi : Flat, BSC (-)
Auskultasi : Bu (+) Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Soepel
Genitalia : Fluxus (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Dilakukan USG pada tanggal 18 Oktober 2019 di Instalasi Radiologi
28

Hasil Pemeriksaan USG:


Uterus tampak lesi solid hiperecoic dengan batas irreguler ukuran 6,8 cm di
corpus uteri disertai multiple kistik di adnexa kanan
Kesan: Susp. Mioma uteri disertai ovarial cyst dextra

Pemeriksaan Laboratorium
29

3.5 Resume
Pasien perempuan usia 47 tahun datang ke Poli Bedah RSD dr. Soebandi
karena mengeluh nyeri pada perut bagian kiri bawah yang tembus hingga ke
punggung bawah sejak 1 bulan yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus,
sebelumnya pasien tidak pernah mengeluhan nyeri seperti yang sedang dialami
saat ini. Di Poli Bedah pasien dilakukan USG dan didapatkan hasil USG kesan
curiga myoma uteri dan ovarial cyst dextra, sehingga dari Poli Bedah pasien
dikonsulkan ke Poli Kandungan, dari hasil anamnesis serta pemeriksaan bimanual
dan USG di Poli Kandungan pasien didiagnosis dengan myoma uteri dan susp.
kista coklat sehingga pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi pada
tanggal 12 November 2019. Pada tanggal 11 November 2019 pasien kembali
datang ke RSD Soebandi untuk persiapan operasi. Saat datang pasien masih
mengeluh nyeri pada perut bagian kiri bawah namun intensitasnya sedikit
berkurang dan sifat nyerinya hilang timbul, keluhan juga tidak disertai dengan
keluarnya darah dari vagina.

3.6 Diagnosis
Mioma uteri dan susp. kista coklat

3.7 Planning
 Diagnostik
 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan Bimanual
 Pemeriksaan Penunjang: USG, DL
 Monitoring
 Keluhan pasien
 TTV
 Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang
dilakukan serta prognosisnya
30

 Terapi
 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Pro operasi laparatomi

3.8 Prognosis
 Quo ad vitam : Bonam
 Quo ad functionam : Dubia
 Quo ad sanationam : Bonam

3.9 Follow UP
Observasi 11-11-2019
10.00 16.00 22.00
TD: 110/70 mmHg TD: 120/70 mmHg TD: 120/80 mmHg
HR: 84x/m HR: 88x/m HR: 80x/m
RR: 20x/m RR: 20x/m RR: 20x/m
Tax: 36,5oC Tax: 36,5oC Tax: 36,5oC
Fluxus (-) Fluxus (-) Fluxus (-)
Nyeri abdomen (+) Nyeri abdomen (+) Nyeri abdomen (+)

Terapi 11 November 2019


 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr

Observasi 12-11-2019
04.00 10.00
TD: 120/80 mmHg TD: 110/80 mmHg
HR: 76x/m HR: 92x/m
RR: 20x/m RR: 20x/m
Tax: 36,5oC Tax: 36,6oC
31

Fluxus (-) Fluxus (-)


Nyeri abdomen (+) Nyeri abdomen (+)

Terapi 12 November 2019


 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2 gr

Pada tanggal 12 November 2019 dilakukan operasi laparatomi dan didapatkan


uterus miomatik dan kista coklat pada ovarium dextra dan sinitra sehingga
diputuskan untuk dilakukan tindakan SVH + BSO serta dilakukan pemeriksaan
PA pada jaringan mioma uteri.

12-11-2019 Pukul 12.00 WIB (SOAP Post Op. SVH + BSO di Dahlia)
S : Post Op. SVH + BSO
O : Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Kompos mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 68x/menit
RR : 20x/menit
Tax : 36,5oC
K/L : A/I/C/D = -/-/-/-
Thorax : C/ S1 S2 tunggal, reguler, E/G/M = -/-/-
P/ Ves +/+ Rho +/+ Whz +/+
Abdomen : Flat, BU (-), timpani, soepel
Genital : Perdarahan (-)
A : Post SVH + BSO hari ke-0 ai mioma uteri + kista coklat
P : Puasa sampai dengan 6 jam post operasi / BU (+) / Flatus (+)
Cek DL 2 jam post operasi, jika Hb ≤ 8 gr/dL transfusi PRC
Mobilisasi
Injeksi Ceftriaxone 2x1gr
Injeksi Asam Tranexamat 3x250mg
32

Injeksi Santagesik 3x500mg


Injeksi Metoclopramide 3x10mg

Observasi 12-11-2019
16.00 22.00
TD: 100/70 mmHg TD: 110/70 mmHg
HR: 76x/m HR: 80x/m
RR: 20x/m RR: 20x/m
Tax: 36,6oC Tax: 36,6oC
Flatus (-) Flatus (-)
Fluxus (-) Fluxus (-)
Nyeri luka bekas operasi (+) Nyeri luka bekas operasi (+)
Hb: 10,8 gr/dL

Terapi 12 November 2019


 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Injeksi Asam Tranexamat 3x250mg
 Injeksi Santagesik 3x500mg
 Injeksi Metoclopramide 3x10mg

Observasi 13-11-2019
04.00 10.00 16.00 22.00
TD: 110/70mmHg TD: 110/80 mmHg TD: 120/80 mmHg TD: 120/80 mmHg
HR: 64x/m HR: 72x/m HR: 80x/m HR: 80x/m
RR: 20x/m RR: 20x/m RR: 20x/m RR: 20x/m
o o o
Tax: 36,6 C Tax: 36,6 C Tax: 36,6 C Tax: 36,6oC
Flatus (+) Flatus (+) Flatus (+) Flatus (+)
Fluxus (-) Fluxus (-) Fluxus (-) Fluxus (-)
Nyeri luka bekas Nyeri luka bekas Nyeri luka bekas Nyeri luka bekas
operasi berkurang operasi berkurang operasi berkurang operasi (-)
33

Terapi 13 November 2019


 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Injeksi Asam Tranexamat 3x250mg
 Injeksi Santagesik 3x500mg
 Injeksi Metoclopramide 3x10mg

Observasi 14-11-2019 dilakukan observasi


04.00 10.00 16.00 22.00
TD: 130/80mmHg TD: 120/80 mmHg TD: 120/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
HR: 68x/m HR: 80x/m HR: 84x/m HR: 88x/m
RR: 20x/m RR: 20x/m RR: 20x/m RR: 20x/m
o o o
Tax: 36,5 C Tax: 36,5 C Tax: 36,5 C Tax: 36,5oC
Fluxus (-) Fluxus (-) Fluxus (-) Fluxus (-)
Nyeri luka bekas Nyeri luka bekas Nyeri luka bekas Nyeri luka bekas
operasi (-) operasi (-) operasi (-) operasi (-)

Terapi 14 November 2019


 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Injeksi Asam Tranexamat 3x250mg
 Injeksi Santagesik 3x500mg
 Injeksi Metoclopramide 3x10mg

15-11-2019 dilakukan observasi


04.00 10.00
TD: 130/80mmHg TD: 120/80 mmHg
HR: 68x/m HR: 80x/m
RR: 20x/m RR: 20x/m
Tax: 36,5oC Tax: 36,5oC
34

Fluxus (-) Fluxus (-)


Nyeri luka bekas operasi (-) Nyeri luka bekas operasi (-)

Terapi 15 November 2019


 RL 20 tpm
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Injeksi Asam Tranexamat 3x250mg
 Injeksi Santagesik 3x500mg
 Injeksi Metoclopramide 3x10mg

Pasien KRS pada hari Jumat, 15 November 2019 pukul 11.00


Terapi saat pulang:
 Cefadroxil 3x500mg
 Asam mefenamat 3x500mg
 Kontrol Poli Kandungan 7 hari post operasi
BAB 4. KESIMPULAN

Mioma uteri yang juga dikenal sebagai leiomioma uteri atau fibromioma
uteri merupakan neoplasma otot polos jinak yang berasal dari miometrium.
Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% – 25%,
angka kejadian ini lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%.
Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya
hubungan antara mioma uteri dengan hormon estrogen. Di Indonesia angka
kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87 % dari semua penderita
ginekologi yang dirawat.
Hingga saat ini penyebab pasti dari mioma uteri masih belum diketahui
dan diduga merupakan penyakit multifaktorial selain itu terdapat juga korelasi
antara pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron
pada jaringan mioma uteri. Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan
De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan
bahwa untuk terjadinya mioma uteri harus terdapat dua komponen penting yaitu
sel nest (sel muda yang terangsang) dan estrogen (perangsang sel nest secara terus
menerus). Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen.
Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium.
Berdasarkan lokasi tumbuhnya mioma di miometrium, mioma uteri dapat
dibagi menjadi mioma submukosa, mioma intramural, dan mioma subserosa.
Gejala yang timbul akibat mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah
pertumbuhan, jenis, besar, dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 35% – 50%
saja mioma uteri yang menimbulkan keluhan sedangkan sisanya tidak mengeluh
apapun. Hipermenore dan menometroragia merupakan gejala klasik dari mioma
uteri, selain itu gejala lain yang dapat timbul ialah terasa adanya massa di perut
bawah, perdarahan abnormal, nyeri perut, efek penekanan, penurunan kesuburan,
serta abortus spontan.
36

Diagnosis mioma uteri dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan bimanual, serta pemeriksaan penunjang seperti USG.
Penatalaksanaan mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan,
konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, dan gejala yang ditimbulkan. Bila
kondisi pasien sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk
nutrisi, suplementasi zat esensial, ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat
akibat infeksi atau gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat
untuk menyelamatkan penderita. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma
uteri adalah miomektomi atau histerektomi.
Prognosis mioma uteri dengan lesi soliter biasanya sangat baik,
khususnya bila dilakukan eksisi. Fertilitas dapat terpengaruh, tergantung dari
ukuran dan lokasi mioma. Mioma uteri sendiri jarang bertransformasi menjadi
kanker. Tindakan operatif histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma
merupakan suatu tindakan kuratif.
DAFTAR PUSTAKA

Baziad, A. 2003. Endokrinologi Ginekologi. Edisi Kedua. Jakarta: Media


Aesculapius.

Chegini, N., J. Verala, X. Luo, J. Xu, dan R. S. Williams RS. 2003. Gene
expression profile of leiomyoma and myometrium and the effect of
gonadotropin releasing hormone analogue therapy. Journal of the Society
for Gynecologic Investigation. 10(3): 161-71.

Djuwantono, T. 2004. Terapi GnRH agonis sebelum histerektomi. Mioma:


Farmacia. 3:38-41.

Goodwin, S. C. dan T. B. 2009. Uterin fibroid embolization. New England


Journal of Medicine. 361: 690-697

Hadibroto, H. R. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. 38(3): 254-


259.

Hall, J. E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Edisi


Ketigabelas. Philadelphia: Elsevier, Inc.

Hoffman, B. L., J. O. Schorge, J. I. Schaffer, L. M. Halvorson, K. D. Bradshaw,


F. G. Cunningham. 2012. Williams Gynecology. Edisi Kedua. United States:
The McGraw-Hill Companies, Inc.

Indarti, J. 2004. Panduan Kesehatan Wanita. Jakarta: Puspa Swara.

Mardiyana, E., A. Novitasari, dan H. N. Anugrahini. 2016. Usia menarche pada


pasien mioma uteri di Poli Kandungan RSUD dr. M. Soewandhi Surabaya.
Jurnal Penelitian Kesehatan. 14(2): 75-78.

Marshall, L. M., D. Spiegelman, M. B. Goldman, J. E. Manson, G. A. Colditz, R.


L. Barbieri, dan D. J. Hunter. 1998. A prospective study of reproductive
factors and oral contraceptive use in relation to the risk of uterine
leiomyomata. Fertility and Sterility. 70(3): 432–439.

Onis, A. 2017. Clinical and Experimental Obstetrics & Gynecology. 44(5): 653-
803.

Parsanezhad, M. E., B. N. Jahromi, dan M. P. Nezhad. 2012. Medical


Management of Uterine Fibroids. Current Obstetrics and Gynecology
Reports. 1: 81-88.
38

Prabowo, P. 1994. PDT Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Surabaya:


UNAIR.

Prawiroharjo, S. 2008. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: YBP SP.

Scott, J. R., P. J. Disaia, C. B. Hammond, W. N. Spellacy, dan J. D. Gordon.


2002. Danforth Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Jakarta: EGC.

SMF Obstetri dan Ginekologi Universitas Udayana. 2015. PPK Obstetrik dan
Ginekologi. Bali: Universitas Udayana.

Vollenhoven, B. 1998. Introduction: the epidemiology of uterine leiomyomas.


Baillière’s Clinical Obstetrics and Gynaecology. 12(2): 169–176.

Anda mungkin juga menyukai