Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas
Disusun oleh:
Kelompok 9
1. Dian Hardianti
2. Ibnu Nawawi
3. Mumtaz Muzayyanah
4. Nur Arofah (19084)
5. Rian Sagita
2B
Jalan Walet No.21 Kedawung, Cirebon, Jawa Barat 45153 Telp. (0231) 201942
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Penyusunan makalah
ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas.
Dalam proses penulisan makalah ini tak lepas dari bantuan dan arahan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya
dalam makalah ini.
Demikian apa yang bisa penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan untuk penulis sendiri khususnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi wanita memberi pengaruh yang besar dan berperan penting
terhadap kelanjutan generasi penerus bagi suatu negara. Kesehatan reproduksi remaja
juga merupakan parameter kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat (Lilyani, 2012).
Kelenjar ini juga terhubung dengan kelenjar hormonal lain di otak yang disebut
hipotalamus (Savitri, 2015). Dipercayai bahwa mioma merupakan sebuah tumor
monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang
berada di antara otot polos miometrium. Sel-sel mioma mempunyai abnormalitas
kromosom. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mioma, disamping faktor
predisposisi genetik, adalah beberapa hormon seperti estrogen, progesteron, dan human
growth hormone (Salim, 2015).Hormon estrogen dan progesteron berperan dalam
perkembangan mioma uteri.Mioma jarang timbul sebelum masa pubertas, meningkat
pada usia reproduktif, dan mengalami regresi setelah menopause. Semakin lama terpapar
dengan hormon estrogen seperti obesitas dan menarche dini, akan meningkatkan kejadian
mioma(Apriyani dan Sumarni,2013)
Kejadian mioma uteri juga menimbulkan gelaja atau keluhan yang berbeda-beda
tergantung pada jenis, ukuran, lokasi, dan adanya kehamilan(Salim, 2015).Mioma uteri
memiliki gejala yang tidak terlalu menonjol dirasakan penderitanya. Mioma uteri yang
sampai menimbulkan gejala hanya dirasakan oleh 35-50% dari penderita mioma uteri.
Mioma uteri dapat mengakibatkan permukaan endometrium yang lebih luas dari pada
biasanya. Perdarahan mioma uteri dapat berdampak pada ibu hamil dan penderita mioma
uteri itu sendiri. Ibu hamil akan mengalami dampak berupaabortus spontan, persalinan
premature, dan malpresentasi. Pada penderita mioma uteri akan mengalami perdarahan
yang banyak dan dapat mengakibatkan anemia (Aspiani, 2017). Pendarahan juga dapat
terjadi pada pencernaan karena perluasan dan pembesaran mioma uteri sehingga pasien
mioma uteri tidak hanya dilakukan operasi pada alat kelamin tetapi juga dapat dilakukan
operasi pencernaan (colostomy).
pada usia 40 tahun ke atas. Rata-rata mioma uteri didiagnosis pada rentang usia 33,5
hingga 36,1 tahun (Pasinggi, 2015).Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum
menarche setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2011-2012, angka
kasus mioma uteri sebesar 20 per 1000 wanita dewasa. Dalam 1 tahun, ada 49.598 wanita
mengalami mioma uteri (Kemenkes RI, 2014).Di Indonesia, mioma uteri ditemukan 2,30-
11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Mioma uteri merupakan tumor
pada pelvis yang paling sering. Perkiraan statistik penderita mioma uteri sebesar 30%
dari kelainan kandungan yang lain. Diperkirakan 1 banding 4 atau 5 wanita yang berumur
lebih dari 35 tahun terdapat mioma uteri. Meskipun umumnya mioma tidak menunjukkan
gejala, diperkirakan 60% dari laparotomi pelvis pada wanita dikerjakan dengan alasan
mioma (Apriyani dan Sumarni, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mioma uteri ?
2. Bagaimana etiologi mioma uteri ?
3. Apa saja klasifikasi mioma ?
4. Bagaimana patofisiologi mioma uteri ?
5. Bagaimana respon tubuh terhadap perubahan fisiologis ?
6. Bagaimana penanganan mioma uteri ?
7. Bagaimana komplikasi mioma uteri ?
8. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan mioma uteri ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mioma uteri
2. Untuk mengetahui etiologi mioma uteri
3. Untuk mengetahui klasifikasi mioma uteri
4. Untuk mengetahui patofisiologi mioma uteri
5. Untuk mengetahui respon tubuh terhadap perubahan fisiologis
6. Untuk mengetahui penanganan mioma uteri
7. Untuk mengetahui komplikasi mioma uteri
8. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan mioma uteri
BAB II
PEMBAHASAN
B. ETIOLOGI
Menurut Aspiani ada beberapa faktor yang diduga kuat merupakan faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri.
1) Umur
Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia produktif dan sekitar 40%-
50% pada wanita usia di atas 40 tahun. Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarche
(sebelum mendapatkan haid).
2) Hormon Endogen (endogenous hormonal)
Konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi dari pada jaringan
miometrium normal.
3) Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan dengan tingkat pertama dengan penderita mioma
uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan
wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.
4) Makanan
Makanan di laporkan bahwah daging sapi, daging setengah matang (red meat),
dan daging babi meningkatkan insiden mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan
insiden menurunkan mioma uteri.
5) Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen
dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Hal ini mempercepat
pembesaran mioma uteri. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan
dengan respon dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi
reseptor progesteron, dan faktor pertumbuhan epidermal.
6) Paritas
Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita multipara dibandingkan dengan wanita yang
mempunyai riwayat melahirkan 1 (satu) kali atau 2 (dua) kali
1) Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Sering kali, pertumbuhan tumor yang
cepat selama kehamilan terjadi dan dilakukan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan
mengecil pada saat menopouse dan oleh pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak
ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Enzim
hidrxydesidrogenase mengungbah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estrogen
(estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga
mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak dari pada miometrium normal.
2) Progesteron
3) Hormon
Pertumbuhan (growth hormone) Level hormon pertumbuhan menurun selama
kehamilan, tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, yaitu
HPL, terlihat pada periode ini dan memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari
leimioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL
dan estrogen.
C. Klasifikasi Mioma
Mioma umumnya digolongkan berdasarkan lokasi dan kearah mana mioma tumbuh.
1. Lapisan Uterus Mioma uteri terdapat pada daerah korpus. Sesuai dengan lokasinya,
mioma ini dibagi menjadi tiga jenis.
a. Mioma Uteri Intramural
Mioma uteri merupakan yang paling banyak ditemukan. Sebagian besar tumbuh
diantara lapisan uterus yang paling tebal dan paling tengah (miometrium). Pertumbuhan
tumor dapat menekan otot disekitarnya dan terbentuk sampai mengelilingi tumor
sehingga akan membentuk tonjolan dengan konsistensi padat. Mioma yaang terletak pada
dinding depan uterus dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung
kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
Mioma uteri ini tumbuh keluar dari lapisan uterus yang paling luar yaitu serosa
dan tumbuh ke arah peritonium. Jenis mioma ini bertangkai atau memiliki dasar lebar.
Apa bila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol kepermukaan uterus
diliputi oleh serosa. Mioma serosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum
latum menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada
jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari
uterus sehingga disebut wandering parasitis fibroid.
Mioma ini terletak di dinding uterus yang paling dalam sehingga menonjol ke
dalam uterus. Jenis ini juga dapat bertangkai atau berdasarkan lebar. Dapat tumbuh
bertangkai menjadi polip, kemudian di keluarkan melalui saluran seviks yang disebut
mioma geburt. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan
perdarahan, tetapi mioma submukosa walaupun kecil sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa
yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal
dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan.
D. Patofisiologi
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil didalam miometrium dan
lambat laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium mendesak menyusun
semacam pseudokapsula atau sampai semua mengelilingi tumor didalam uterus mungkin
terdapat satu mioma akan tetapi mioma biasanya banyak. Bila ada satu mioma yang
tumbuh intramural dalam korpus uteri maka korpus ini tampak bundar dan konstipasi
padat. Bila terletak pada dinding depan uterus mioma dapat menonjol kedepan sehingga
menekan dan mendorong kandung kemih keatas sehingga sering menimbulkan keluhan
miksi (Aspiani, 2017).
Secara makroskopis, tumor ini biasanya berupa massa abu-abu putih, padat,
berbatas tegas dengan permukaan potongan memperlihatkan gambaran kumparan yang
khas. Tumor mungkin hanya satu, tetapi umumnya jamak dan tersebar di dalam uterus,
dengan ukuran berkisar dari benih kecil hingga neoplasma masif yang jauh lebih besar
dari pada ukuran uterusnya. Sebagian terbenam didalam miometrium, sementara yang
lain terletak tepat di bawah endometrium (submukosa) atau tepat dibawah serosa
(subserosa). Terakhir membentuk tangkai, bahkan kemudian melekat ke organ
disekitarnya, dari mana tumor tersebut mendapat pasokan darah dan kemudian
membebaskan diri dari uterus untuk menjadi leimioma “parasitik”. Neoplasma yang
berukuran besar memperlihatkan fokus nekrosis iskemik disertai daerah perdarahan dan
perlunakan kistik, dan setelah menopause tumor menjadi padat kolagenosa, bahkan
mengalami kalsifikasi (Robbins, 2007).
6. Degenerasi lemak
Lemak ditemukan dalam serat otot polos.
7. Degenerasi sarkomatous (transformasi maligna)
Terjadi pada kurang dari 1% mioma. Kontraversi yang ada saat ini adalah apakah hal ini
mewakili sebuah perubahan degeneratif ataukah sebuah neoplasma spontan.
Leimiosarkoma merupakan sebuah tumor ganas yang jarang terdiri dari sel-sel yang
mempunyai diferensiasi otot polos.
F. Penanganan Mioma Uteri
Penanganan mioma uteri dilakukan tergantung pada umur, paritas, lokasi, dan
ukuran tumor. Oleh karena itu penanganan mioma uteri terbagi atas kelompok-kelompok
berikut.
1. Penanganan konservatif dilakukan jika mioma yang kecil muncul pada pra dan
postmenopause tanpa adanya gejala. Cara penanganan konsevatif adalah sebagai berikut.
a. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
b. Jika terjadi anemia kemungkinan Hb menurun.
c. Pemberian zat besi.
d. Penggunaan agonis GnRH (gonadotropin-releasing hormone) leuprolid asetat 3,75
mg IM pada hari pertama sampai ketiga menstruasi setiap minggu, sebanyak tiga kali.
Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan menghilangkan gejala. Obat ini
menekan sekresi gonodotropin dan menciptakan keadaan hipoestrogenik yang serupa
ditemukan pada periode postmenopause. Efek maksimum dalam mengurangi ukuran
tumor diobsevasi dalam 12 minggu.
2. Penanganan operatif, dilakukan bila terjadi hal-hal berikut.
a. Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
b. Pertumbuhan tumor cepat.
c. Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
d. Dapat mempersulit kehamilan berikutnya.
e. Hiperminorea pada mioma submukosa.
f. Penekanan organ pada sekitarnya.
3. Operasi
Jenis operasi yang dilakukan untuk mengatasi mioma uteri dapat berupa langkah-langkah
berikut.
a. Enukleusi
Mioma Enuklesia mioma dilakukan pada penderita yang infertil yang masih
menginginkan anak, atau mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas. Enukleasi
dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya karsinoma endometrium atau sarkoma uterus
dan dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor dengan
tangkai dan tumor yang dengan mudah dijepit dan diikat. Bila miomektomi menyebabkan
cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan endometrium, maka kehamilan
berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea.
4. Histeroktomi
Histerektomi dilakukan jika pasien tidak menginginkan anak lagi dan pada pasien
yang memiliki leimioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria ACOG
untuk histerektomi adalah sebagai berikut.
a. Terdapat satu sampai tiga leimioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar
dan dikelukan oleh pasien.
b. Perdarahan uterus berlebihan.
c. Perdarahan yang banyak, bergumpal-gumpal, atau berulang-ulang selama lebih dari
delapan hari.
d. Anemia akut atau kronis akibat kehilangan darah.
5. Rasa tidak nyaman pada daerah pelvis akibat mioma meliputi hal-hal berikut.
a. Nyeri hebat dan akut.
b. Rasa tertekan yang kronis dibagian punggung bawah atau perut bagian bawah.
c. Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulangdan tidak disebabkan
infeksi saluran kemih.
6. Penanganan radioterapi
Tujuan dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan. Langkah ini dilakukan
sebagai penanganan dengan kondisi sebagai berikut.
a. Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient).
b. Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
c. Bukan jenis submukosa.
d. Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum.
e. Tidak dilakukan pada wanita muda karena dapat menyebabkan menopause.
G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita mioma uteri adalah sebagai berikut :
1. Pendarahan sampai terjadi anemia
2. Torsi tangkai mioma dari :
a. Mioma uteri subserosa
b. Mioma uteri submukosa
3. Nekrosis dan infeksi, setelah torsi dapat terjadi nekrosis dan infeksi
4. Pengaruh timbal balik mioma dan kehamilan.
a. Pengaruh mioma terhadap kehamilan
1) Infertilitas
2) Abortus
3) Persalinan prematuritas dan kelainan letak
4) Inersia uteri
5) Gangguan jalan partum
6) Perdarahan post partum
7) Retensi plasenta
b. Pengaruh kehamilan terhadap mioma uteri
1) Mioma cepet membesar karena rangsangan estrogen
2) Kemungkinan torsi mioma uteri bertangkai
a. Nyeri akut berhubungan dengan nekrosis atau trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder akibat tumor
b. Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
c. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun tubuh sekunder akibat
gangguan hematologis (perdarahan)
d. Retensi urine berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasma
pada organ sekitarnya, gangguan sensorik motorik.
e. Resiko Konstipasi berhubungan dengan penekanan pada rectum (prolaps rectum)
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status peran, ancaman pada status
kesehatan, konsep diri (kurangnya sumber informasi terkait penyakit)
. 3. Rencana keperawatan
4. Implementasi keperawatan
Impelementasi adalah pelaksanaan dari rencanaan intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu
pasienmencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping (Nursalam, 2017). Menurut Kozier, B., Erb, G., Berman, A.,
& Snyder (2010), pada proses keperawatan, implementasi terdiri atas melakukan
dan mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan khusus yang
diperlukan untuk melaksanakan intervensi (program keperawatan). Perawat
melaksanakan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap
perencanaan lalu mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respon pasien terhadap tindakan yang diberikan.
Implementasi keperawatan yang digunakan untuk pasien dengan nyeri akut
adalah sebagaiberikut.
a. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
b. Mengidentifikasi skala nyeri
c. Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
d. Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
e. Memberikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri (misalnya
akupresure, terapi pijat, kompres hangat/dingin).
f. Jelaskan penyebab, periode,dan pemicu nyeri.
g. Mengkolaborasikanpemberian analgesi.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahap terakhir dari proses keperawatan.
Evaluasi keperawatan ialah evaluasi yang dicatat disesuaikan dengan setiap
diagnosis keperawatan. Evaluasi keperawatan terdiri dari dua tingkat yaitu
evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif yaitu evaluasi respons
(jangka panjang) terhadap tujuan, dengan kata lain, bagaimana penilaian terhadap
perkembangan kemajuan ke arah tujuan atau hasil akhir yang diharapkan.
Evaluasi formatif atau disebut juga dengan evaluasi proses, yaitu evaluasi
terhadap respon yang segera timbul setelah intervensi keperawatan di lakukan.
Format evaluasi yang digunakan adalah SOAP. S (Subjective) yaitu pernyataan
atau keluhan dari pasien, O (Objective) yaitu data yang di observasi oleh perawat
atau keluarga, A (Analisys) yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif, P
(Planning) yaitu rencana tindakan yang akandilakukan berdasarkan analisis
(Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, & Tutiany, 2013).
S (Subjektif) Data yang diperoleh dari respon pasien secara verbal misalnya ;
a. Pasien mengetahui penyebab dan tanda nyeri
b. Pasien mengatakan nyeri berkurang
c. Pasien mengetahui skala, intensitas dan frekuensi nyeri
O (Objektif) Data yang di peroleh dari respon pasien secara nonverbal atau
melalui pengamatan perawat misalnya ;
a. Pasien mampu mengontrol nyeri
A (Anlisis) Tindak lanjut dan penentuan apakah implementasi akan dilanjutkan
atau sudah terlaksana dengan baik misalnya ;
a. Tujuan tercapai apabila respon pasien sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil
b. Tujuan belum tercapai apabila respon tidak sesuai dengantujuan yang telah
ditentukan.
P (Planning) misalnya ;
a. Pertahankan kondisi pasien apabila tujuan tercapai
b. Lanjutkan intervensi apabila terdapat tujuan yang belum mampu dicapai oleh
pasien
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang berasal dari otot polos dan jaringan ikat
fibrous serta sering ditemukan pada traktus genitalia wanita terutama di lapisan
miometrium (Aspiani, 2017). Tumbuhnya mioma uteri menimbulkan penekanan pada
pembuluh darah dan organ disekitar ovarium mengalami penekanan dan penyempitan
serta mengalami penurunan fungsinya. Pertumbuhan mioma uteri juga dapat
mengakibatkan anemia karena kehilangan darah (eritrosit) dalam sirkulasi darah sehingga
tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan
(Tarwono, dkk 2007). Sedangkan menurut manuaba) mioma uteri dalam kehamilan dapat
menyebabkan infertilitas, dapat menyebabkan abortus, dapat menyebabkan gangguan
jalan persalinan, dapat menyebabkan perdarahan postpartum dan kehamilan dapat
mempercepat pembesaran mioma uteri karena rangsangan estrogen.
Tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan implementasi dari rencana
tindakan keperawatan yang telah disusun dengan harapan hasil yang dicapai sesuai
dengan tujuan dan kriteria yang telah ditetapkan.
Evaluasi keperawatan selama hari rawatan dilakukan secara komprehensif dengan
acuan rencana asuhan keperawatan NANDA International, (2015-. Hasil yang didapatkan
adalah masalah keperawatan ada yang dapat teratasi dan ada yang belum teratasi.
B. SARAN
Bagi institusi pendidikan bisa digunakan Sebagai tambahan informasi dan bahan
kepustakaan dalam pemberian asuhan keperawatan maternitas dengan pasien mioma
uteri. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan peneliti selanjutnya lebih aktif dalam
memberikan asuhan keperawatan khususnya pada pasien mioma uteri dan sebagai bahan
tambahan bagi mahasiswa keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyani, Yosi.Analisa Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Mioma Uteri
di RSUD dr. Adhyatma Semarang. Jurnal Kebidanan. Vol. 2 No. 5
Aspiani, Y, R. (). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: TIM Aimee, et al.
(). Association of Intrauterine and Early-Life Exposures with Diagnosis of Uterine
Leimyomata by 35 Years of Age in the Sister Study.Environmental Health
Perpectives. Volume 118. No 3 pages 375-Bararah, T.,
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4747/3/BAB%20II%20Tinjauan
%20Pustaka.pdf
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/ARMAN_143110206.pdf