Tumor Ginekologi
Disusun Oleh:
Fika Rizqiah
1102014092
Pembimbing:
dr. Yedi, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga pada akhirnya penulis dapat mennyelesaika presentasi kasus mata dengan judul
“Tumor Ginekologi”.
Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Obstetri dan Ginekologi di
RSUD Kabupaten Bekasi. Penyelesaian tugas ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih kepada pembimbing dr.
Nandi Nurhandi, Sp.OG.
Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh karena itu
penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan tugas ini dan sebagai bekal
penulis untuk menyusun tugas-tugas lainnya di kemudian hari. Semoga referat ini banyak memberi
manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi pada organ reproduksi dapat terjadi bukan hanya karena penularan lewat hubungan
seksual saja, namun juga karena masalah kebersihan/higiene dan perawatan yang kurang baik,
disamping faktor-faktor dari luar yang mempengaruhinya. Struktur organ reproduksi yang
berbeda pada perempuan dan pria menyebabkan perbedaan pula dengan gejala yang ditimbulkan.
Dalam keseharian seseorang dengan infeksi organ reproduksi cenderung tidak memeriksakan
dirinya ke dokter, atau berusaha mengobati sendiri lewat nasehat teman yang belum tentu benar
dan lewat iklan di media, disamping masih adanya rasa malu bagi seseorang untuk pergi ke
dokter dan tenaga medis lain karena kuatnya stigma dan tabu, rasa malu dan jengah seseorang
bila memiliki persoalan seputar organ reproduks.
Pada tahun 2008 dilaporkan terdapat 224.747 kasus baru tumor ganas ovarium di dunia
dengan 125.226 kasus di negara kurang berkembang dan 99.521 kasus didiagnosis di negara
berkembang. Di Indonesia, tumor ganas ovarium berada di urutan keenam dari seluruh tumor
ganas yang menyerang Universitas Sumatera Utara laki-laki dan perempuan serta menjadi urutan
ketiga dari tumor ganas yang menyerang perempuan. Dari beberapa penelitian di Indonesia,
tingkat kejadian tumor ganas ovarium adalah 30,5% di Yogyakarta, 7,4% di Surabaya, 13,8% di
Jakarta dan 10,64% di Medan dari seluruh angka kejadian keganasan di Indonesia.
BAB II
1. TUMOR GINEKOLOGI
A. Definisi
Myoma uteri adalah neoplasma jinak yang tersusun dari otot polos uteri dan jaringan ikat yang
menumpangnya dan sering juga disebut sebagai fibromioma, leiomioma, fibroid.1
B. Etiologi
Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma uteri banyak
ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia menopause, dan belum
pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga penyebab timbulnya mioma uteri paling
banyak oleh stimulasi hormon estrogen.1
Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri, atau memakai mediator
masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan banyak sekali mediator didalam
mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor – 1 (IGF-1). Awal mulanya
pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini
mencakupi rentetan perubahan pada kromosom, baik secara parsial maupun secara keseluruhan.1
C. Klasifikasi
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya adalah dari korpus
uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi
4 jenis antara lain mioma submukosa, mioma intramural, mioma subserosa, dan mioma
intraligamenter. Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa
(48,2%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%).2
1. Mioma submukosa
Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini di jumpai
6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma uteri jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma
submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu
kuret, dikenal sebagai Currete bump. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada
mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa
yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan
nama mioma geburt atau mioma yang di lahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi, dan
infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.2
2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor,
jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah semacam simpai yang mengelilingi
tumor. Bila didalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai
bentuk yang berdungkul dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding
depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih keatas,
sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
3. Mioma subserosa
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus diliputi
oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi
mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau
omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus. Jarang sekali ditemukan satu macam
mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran serviks
sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak
bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan
(whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak
karena pertumbuhan sarang mioma ini.
D. Gambaran Mikroskopik
Pada pembelahan jaringan mioma tampak lebih putih dari jaringan sekitarnya. Pada pemeriksaan
secara mikroskopik dijumpai sel-sel otot polos panjang, yang membentuk bangunan yang khas
sebagai kumparan. Inti sel juga panjang dan bercampur dengan jaringan ikat. Pada pemotongan
tranversal, sel berbentuk polihedral dengan sitoplasma yang banyak mengelilinginya. Pada
pemotongan longitudinal inti sel memanjang, dan ditemukan adanya mast cells diantara serabut
miometrium sering diinterprestasi sebagai sel tumor atau sel raksasa (giant cells).2
E. Perubahan Sekunder
1. Atrofi.
Sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan berakhir mioma uteri menjadi kecil.
2. Degenerasi hialin.
Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita usia lanjut. Tumor kehilangan struktur
aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil dari padanya
seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
3. Degenerasi kistik.
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga
terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi
pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan
konsistansi yang lunak tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
4. Degenerasi membatu.
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi.
Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan
memberikan bayangan pada foto rontgen.
5. Degenerasi merah.
Perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis diperkirakan karena
suatu nekrosis subakut akibat gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat terlihat sarang
mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan
hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda yang disertai
emesis dan haus, sedikit demam dan kesakitan, tumor dan uterus membesar dan nyeri pada
perabaan. Penampilan klinik seperti ini menyerupai tumor ovarium terpuntir atau mioma
bertangkai.
6. Degenerasi lemak.
Keadaan ini jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi pada degenerasi hialin yang lanjut, dikenal
dengan sebutan fibrolipoma.3
F. Diagnosis
Diagnosis mima uteri ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
- Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air besar.
- Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan tumor tersebut
menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobil, permukaan tumor umumnya rata.
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala yang terjadi
berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :
a. Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)
b. Perut terasa penuh dan membesar
c. Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Nyeri bisa terjadi saat menstruasi, setelah berhubungan seksual, atau ketika terjadi
penekanan pada panggul. Nyeri terjadi karena terpuntirnya mioma yang bertangkai, pelebaran
leher rahim akibat desakan mioma atau degenerasi (kematian sel) dari mioma. Gejala lainnya
adalah:
- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran kemih
menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis (pembesaran ginjal)
- Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang mengakibatkan konstipasi (sulit
BAB) atau sumbatan usus
- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri hebat, luka, dan
infeksi
Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan tromboflebitis
sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)7
4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor dapat terbatas atau
bebas.
5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau bebas dan
ini biasanya ditemukan secara kebetulan.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium. Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang
mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya
hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap
ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi
pembentukan eritropoetin ginjal.
USG, untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan
adnexa dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI, tetapi
kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG. Untungnya,
leiomiosarkoma sangat jarang karena USG tidak dapat membedakannya dengan mioma dan
konfirmasinya membutuhkan diagnosa jaringan.
Dalam sebagian besar kasus, mioma mudah dikenali karena pola gemanya pada beberapa
bidang tidak hanya menyerupai tetapi juga bergabung dengan uterus; lebih lanjut uterus
membesar dan berbentuk tak teratur.
Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai
fungsi ginjal dan perjalanan ureter. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma
submukosa disertai dengan infertilitas. Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
G. Diagnosis Banding
Pada mioma subserosa, diagnosa bandingnya adalah tumor ovarium yang solid, atau kehamilan
uterus gravidus. Sedangkan pada mioma submucosum yang dilahirkan diagnosa bandingnya
adalah inversio uteri. Kemudian, pada mioma intramural, diagnosa bandingnya adalah
adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau sarcoma uteri. 1,2,3
H. Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan mioma tergantung umur pasien, paritas, status kehamilan, keinginan untuk
mendapatkan keturunan lagi, keadaan umum dan gejala serta ukuran lokasi serta jenis mioma
uteri itu sendiri.
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun medikamentosa
terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan. Penanganan
konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan
konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi setiap
minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan menghilangkan
gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan keadaan hipoestrogenik
yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause. Efek maksimum dalam
mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
- Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena memberikan
beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama pembedahan, dan dapat
mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
- Baru-baru ini, progestin dan antipprogestin dilaporkan mempunyai efek terapeutik.
Kehadiran tumor dapat ditekan atau diperlambat dengan pemberian progestin dan
levonorgestrol intrauterin.
2. Pengobatan Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.
Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa :
a. Enukleasi Mioma
Dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan anak atau mempertahankan
uterus demi kelangsungan fertilitas. Sejauh ini tampaknya aman, efektif, dan masih menjadi
pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila ada kemungkinan terjadinya karsinoma
endometrium atau sarkoma uterus, juga dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya
dibatasi pada tumor dengan tangkai dan jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila
miomektomi menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan endometrium,
kehamilan berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea.
Kriteria preoperasi menurut American College of Obstetricians Gynecologists (ACOG)
adalah sebagai berikut :
Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab kegagalan kehamilan dan keguguran
yang berulang.
b. Histerektomi
Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang memiliki
leiomioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria ACOG untuk histerektomi
adalah sebagai berikut:
Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar dan
dikeluhkan olah pasien.
Perdarahan uterus berlebihan :
Perdarahan yang banyak bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari.
Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi :
Nyeri hebat dan akut.
Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis.
Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulang dan tidak disebabkan infeksi
saluran kemih.
c. Penanganan Radioterapi
- Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient).
- Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
- Bukan jenis submukosa.
- Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum.
- Tidak dilakukan pada wanita muda, sebab dapat menyebabkan menopause.
- Maksud dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan.
I. Komplikasi
1. Perdarahan sampai terjadi anemia.
2. Degenerasi ganas. Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32 – 0,6
% dari seluruh mioma serta merupakan 50 – 75 % dari semua sarkoma uterus. Keganasan
umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat.
Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi
pembesaran sarang mioma dalam menopause.2,3
3. Torsi. Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut
sehingga mengalami nekrosis. Keadaan ini dapat terjadi pada semua bentuk mioma tetapi
yang paling sering adalah jenis mioma submukosa pendinkulata.
B. Lokasi Endometrosis
4) Kanalis inguinalis;
5) Apendiks;
6) Umbilikus;
C. Epidemiologi
Keseluruhan prevalensi endometriosis masih belum diketahui secara pasti, terutama karena
operasi merupakan satu-satunya metode yang paling dapat diandalkan untuk diagnosis
pasti endometriosis. Selain itu, operasi umumnya tidak dilakukan tanpa gejala atau ciri-ciri
fisik yang mengacu pada dugaan endometriosis. Prevalensi endometriosis tanpa gejala
didapat sekitar 4% pada wanita yang pernah menjalani operasi sterilisasi. Kebanyakan
perkiraan prevalensi endometeriosis berkisar antara 5% - 20% pada para wanita penderita
nyeri pelvik, dan antara 20% - 40% pada wanita subfertil. Prevalensi umum berkisar antara
3% - 10%, terutama pada wanita dalam usia reproduktif.
Usia rata-rata wanita yang menjalani diagnosis bervariasi antara 25 – 30 tahun.
Endometriosis jarang ditemui pada gadis yang berada pada tahap menjelang haid
(premenarcheal), tetapi dapat diidentifikasi pada minimal 50% gadis atau wanita muda
berusia kurang dari 20 tahun yang mempunyai keluhan-keluhan seperti nyeri pelvik dan
dyspareunia. Kebanyakan kasus yang terjadi pada wanita muda berusia kurang dari 17
tahun berkaitan dengan anomali duktus mullerian dan gangguan servik atau vagina.
Kurang dari 5% wanita postmenopause membutuhkan operasi endometriosis, dan
kebanyakan wanita pada usia tersebut telah menerima terapi estrogen. Di sisi lain,
prevalensi endometriosis tanpa gejala mungkin lebih rendah pada wanita berkulit hitam
dan lebih tinggi pada wanita berkulit putih di wilayah Asia.
D. Etiopatogenesis
Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori implantasi
jaringan endometrium yang viable (hidup) dari John Sampson (1921). Teori ini didasari atas
3 asumsi :
- Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii Hasil penelitian dengan
laparoskopi ditemukan darah haid dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita
dengan tuba falopii paten saat menstruasi.
- Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga
peritoneum
- Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel ke
peritoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi.
Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini
menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel
mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura).
Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi,
hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini terbukti dengan ditemukannya
endometriosis pada perempuan premenarke dan pada daerah yang tidak berhubungan
langsung dengan refluks haid seperti di rongga paru. Disamping itu, endometrium eutopik
dan endometrium ektopik adalah dua bentuk yang jelas berbeda, baik secara morfologi
maupun fungsional.
Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang kurang hati-
hati seperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan episotomi, dapat
mengakibatkan timbulnya jaringan endometriosis pada bekas parut operasi dan pada
perineum bekas perbaikan episotomi tersebut.
Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu dan anak
dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu dasar genetik.
Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan matriks
ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan pertumbuhan endometrium
baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan
biasanya ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP
dikaitkan dengan penyakit-penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita
endometriosis, MMP yang disekresi oleh endomtreium luar biasa resisten terhadap
penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menteap didalam sel-sel endometrium yang
terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasive terhadap endometrium yang
berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan selanjutnya
terjadi proliferasi sel.
Pada endometriosis terdapat gangguan respon imun yang menyebabkan
pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif. Makrofag merupakan
bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun yang tidak antigen spesifik dan
tidak mencakup memori imunologik. Makrofag mempertahankan tuan rumah melalui
pengenalan, fagositosis dan penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak
sebagai pemakan, membantu untuk membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris.
Makrofag mensekresi berbagai macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan
prostaglandin dan membantu fungsi-fungsi faktor diatas disamping merangsang
pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum
normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada
penderita endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar
teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan dan
sitokin yang merangsang proliferasi dari endometriumektopik dan menghambat fungsi
pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam proses
terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas terlihat pada wanita
dengan stadium endometriosis yang lanjut.
e. Faktor Hormonal
Bukti juga mendukung konsep endometriosis berasal dari limfatik atau penyebaran
pembuluh darah jaringan endometrium. Temuan endometriosis di lokasi yang tidak biasa ,
seperti perineum atau selangkangan , mendukung teori ini. Daerah retroperitoneal
memiliki sirkulasi limfatik berlimpah. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma
endometrium menyebar melalui limfatik, hal tini menunjukkan bahwa endometrium dapat
terbawa melalui sistem limfatik. Meskipun teori ini tetap menarik, beberapa studi telah
eksperimen dievaluasi bentuk transmisi endometriosis.
E. Gejala Klinis
1. Nyeri. Endometriosis menimbulkan gangguan fungsi biologis yang cukup serius dan
berpusat pada organ reproduksi dan daerah pelvik (panggul). Penyakit ini dimulai tanpa
keluhan, tersembunyi tetapi membahayakan sehingga tidak diperhatikan pada awal mulanya.
Berangsur-angsur timbul keluhan nyeri berkaitan dengan haid. Selama haid, sejumlah darah
haid ada yang berbalik masuk melalui Tuba Falloppii atau saluran telur mengalir ke dalam
rongga panggul dan selaput rongga perut (peritoneum). Di dalam darah haid tersebut terbawa
serta debris dan sel endometrium masuk ke dalam rongga perut menempel di atas organ-organ
panggul dan selaput rongga perut. Akibat dari keadaan tersebut terjadi proses inflamasi
dengan peningkatan leukosit dan defek imunologi dengan peningkatan aktivitas makrofag di
dalam zalir peritoneum (D’Hooghe, 1996). Terjadi penyimpangan ekspresi dari berbagai
sitokin oleh aktivitas makrofag antara lain interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-8 (IL-8). Tumor Necrosis Factors-a (TNF-a) dalam zalir peritoneal kesemuanya
itu merubah lingkungan zalir peritoneal yang memungkinkan sel endometrium berimplantasi
dan bertumbuh menjadi endometriosis.
Keluhan nyeri pada endometriosis dapat berupa dismenorea (nyeri sebelum, selama dan
sesudah haid), nyeri pelvis atau nyeri panggul terasa pada perut bagian bawah. Keluhan nyeri
baik dismenorea maupun nyeri pelvis dapat menetap atau hilang timbul atau semakin lama
semakin hebat. Keluhan tersebut akan terasa lebih sakit pada saat perempuan beraktivitas
seperti berjalan dan berdiri terlalu lama. Nyeri panggul dapat berupa Iritable Bowel
Syndrome (IBS) biasanya terasa sesudah makan. Nyeri pada endometriosis dapat pula terasa
berhubungan dengan lokasi endometriosis di dalam tubuh penderita. Endometriosis yang
terletak pada ligamentum sakrouterinum atau serabut saraf presakral akan menimbulkan
keluhan nyeri punggung, nyeri tungkai bawah, tungkai atas, menjalar sampai ke pangkal
paha dan nyeri saat bersanggama.
2. Dispareunia (nyeri saat bersanggama) merupakan gejala yang sering dijumpai,
disebabkan oleh karena adanya endometriosis di cavum douglasi.
3. Nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid atau yang disebut juga dengan
diskezia. Diskezia disebabkan adanya endometriosis pada dinding rekstosigmoid.
Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar. Endometriosis kandung
kemih jarang terjadi, gejala-gejalanya ialah gangguan miksi dan hematuria pada waktu
haid.
4. Poli dan hipermenorea. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis
apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.
5. Infertilitas. Endometriosis sangat erat kaitannya dengan infertilitas, dan diperkirakan
20% sampai 40% perempuan infertil menderita endometriosis. Pada endometriosis berat
terjadi distorsi dari anatomi panggul, perubahan bentuk anatomi dari tuba, falloppii dan
dapat pula terjadi obstruksi dari tuba falloppii. Pada endometriosis berat terbentuk
endometrioma yang besar kadang berganda yang merusak jaringan ovarium, secara
mekanis mengganggu ovulasi dan fertilisasi. Dengan kondisi seperti ini dengan mudah
dapat dijelaskan bahwa gangguan mekanis sangat berperan terhadap fungsi reproduksi.
Endometriosis ringan yang pada pengamatan dengan laparoskop tidak terjadi distorsi
seperti pada endometriosis berat tetapi dapat menimbulkan infertilitas. Mekanisme
infertilitas pada endometriosis ringan masih banyak silang pendapat di antara para ahli.
Infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis dapat dijelaskan melalui mekanisme
(Speroff, 2005) :
a. Distorsi anatomi dari adnexsa, menghalangi atau mencegah
penangkapan ovum sesudah ovulasi.
b. Gangguan pertumbuhan oosit atau embryogenesis.
F. Klasifikasi
Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi,
yaitu :
a. Peritoneal endometriosis
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan
dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika
kavum Douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada
lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya,
biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
1. Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang disertai
infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Endometrium pada
organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga
lokasi penyakit dapat diduga.
Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini
bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk
mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara
perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik telah diperlihatkan
berhubungan dengan endometriosis.
2. Berdasarkan gejala
Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala pada endometriosis
biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan endometriosis, yang dipengaruhi hormon
ovarium selama siklus haid, berupa nyeri pada daerah pelvik, akibat dari:
melimpahnya darah dari endometrium sehingga merangsang peritoneum.
kontraksi uterus akibat meningkatnya kadar prostaglandin (PGF2 alpha dan PGE)
yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis itu sendiri.
3. Pemeriksaan Fisik
Jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada
daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang
letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa
pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma,
abses dan hematom.
4. Pemeriksaan Penunjang
5. Laparoskopi
Inspeksi visual biasanya adekuat tetapi konfirmasi histologi dari salah satu lesi
idealnya tetap dilakukan. Pada pemeriksaan histopatologis dapat dijumpai endometriosis
yang menyebuk dalam dan makrofag yang termuati hemosiderin dapat dikenal pada 77%
bahan biopsi endometriosis. Secara histopatologis, endometriosis ada beberapa bentuk
(distrofik, glanduler, stroma, atau diferensiasi progresif). Diagnosis pasti endometriosis
dapat dibuat hanya dengan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologis, yang
menampilkan kelenjar-kelenjar endometrium dan stroma.
7. Magnetic Resonance Imaging
Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Stratton dkk mengenai penggunaan MRI
untuk mendiagnosis endometriosis peritoneum, didapatkan sensitifitas 69% dan
spesifisitas 75%. Sebagai kesimpulan MRI tidak berguna untuk mendiagnosis atau
mengeksklusi endometriosis peritoneum.
8. Pemeriksaan Marka Biokimiawi
H. Penatalaksanaan
2. Terapi Medis
3. Pengobatan hormonal
J. Prognosis
Ada 2 tipe sel dalam serviks, squamos dan glanduler. Pertemuan dua sel di
squamo-columner junction, bagian antara bibir luar dan dalam leher rahim, bisa
mengubah sel menjadi abnormal. Celakanya ini adalah bagian yang selalu
berubah jika terjadi haid, hamil atau menopause. Di bagian inilah, sela-sel
berubah cepat dan bisa jadi abnormal. Sel –sel yang rusak itu berubah bentuk dan
warna dan akhirnya menjadi tumor dan selanjutnya kanker yang mematikan.
Kanker servik makin ganas dari bulan kebulan dan tahun ke tahun. Pada masa pra
kanker (setelah sel berubah menjadi abnormal), ada tiga tahapan perubahan sel,
Cervical Intraepithel Neoplasma (CIN) 1, CIN 2 dan CIN 3. Setelah CIN 3, sel
yang abnormal itu menjadi sangat tebal dan akhirnya menjadi kanker.Tetapi
kanker tersebut tidak serta merta, dari terindikasi ada virus HPV hingga mencapai
CIN 2 atau 3 jarak waktunya 5 tahun, maka deteksi dini sangat penting.
C. ETIOLOGI
Pada umumnya, kanker bermula pada saat sel sehat mengalami mutasi
genetic yang mengubahnya dari sel normal menjadi sel abnormal. Sel sehat
tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang teratur. Sel kanker tumbuh dan
bertambah banyak tanpa control dan mereka tidak mati. Adanya akumulasi sel
abnormal akan membentuk suatu massa (tumor). Sel kanker menginvasi jaringan
sekitar dan dapat berkembang dan tersebar di tempat lain di dalam tubuh
(metastasis)
Kanker serviks paling sering bermula dengan sel datar, tipis yang
membentuk dasar selviks (sel skuamosa). Karsinoma sel squamosa merupakan
80% dari kasus kanker serviks. Kanker serviks dapat juga terjadi pada sel kelenjar
yang membentuk bagian atas dari cerviks. Dapat disebut dengan adenocarcinoma,
prevalensi kanker ini yaitu 15% dari kanker serviks. Kadang-kadang kedua tipe
sel ditemukan pada kanker serviks. Terdapat kanker lain pada sel lain di serviks
namun persentasenya sangat kecil.
Apa yang menyebabkan sel skuamos atau sel glandular menjadi abnormal
dan berkembang menjadi kanker belum begitu jelas. Namun, telah jelas bahwa
Human papiloma virus (HPV) pada infeksi menular seksual berperan. Bukti
bahwa HPV ditemukan pada hampir semua kanker serviks. Namun, HPV
merupakan virus yang sangat umum dan kebanyakan wanita dengan HPV tidak
pernah mengidap kanker serviks. Ini berarti faktor resiko lainnya, seperti faktor
genetik, lingkungan, dan gaya hidup, juga menentukan apakah seseorang akan
terkena kanker serviks.
99,7 % kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus
(HPV), khususnya HPV tipe 16 dan 18, yang ditularkan melalui kontak kulit
kelamin.
D. EPIDEMIOLOGI
Diantara tumor ganas ginekologi, kanker serviks masih menduudki
peringkat pertama di Indonesia. Umur penderita antara 30-60 th, terbanyak antara
45-50 th. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasive memakan
waktu sekitar 10 th. Hanya 9% dari wanita berusia < 35 th menunjukan kanker
serviks yang invasive pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat
pada wanita dibawah usia 35 th. Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita
sepakat secara nasional melacak (mendeteksi dini) setiap wanita sekali saja
setelah melewati usia 30th dan menyediakan sarana penanganannya, untuk
berhenti sampai usia 60th. Yang penting dalam pelacakan ini adalah cakupannya
(coverage). Bahkan direncanakan melatih tenaga sukarelawati (dukun, ibu-ibu
PKK) untuk mengenali bentuk portio yang mencurigakan untuk dapat di Pap
smear oleh dokter atau bidan di Puskesmas atau Puskesling sebagaimana
disarankan oleh WHO.
E. FAKTOR RESIKO
Mulai melakukan hubungan seks pada usia muda
Melakukan hubungan sex sebelum umur <16 tahun meningkatkan resiko
untuk terkena HPV. Sel imatur cenderung lebih rentan untuk mendapatkan
perubahan pre-kanker yang disebabkan oleh HPV.
Berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom
Semakin banyak jumlah partner seks (dan semakin banyak jumlah partner
sex dari partner sex pasien), semakin besar kemungkinan untuk terkena
HPV.
Sering menderita infeksi di daerah kelamin
Jika pasien memiliki IMS lainnya — seperti chlamydia, gonorrhea,
syphilis atau HIV/AIDS — pasien akan memiliki kemungkinan yang besar
terkena HPV.
Melahirkan banyak anak
Kebiasaan merokok (resikonya 2x lebih besar)
Mekanisme pasti yang menghubungkan antara rokok dengan kanker
serviks juga belum diketahui dengan jelas, namun merokok meningkatkan
perubahan pre-kanker dan terjadi pada servik. Merokok dan infeksi HPV
dapat membuat kemungkinan kanker serviks semakin meningkat tinggi.
Defisiensi vitamin A, C, E dan zat gizi
Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat
dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta
mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita
yang makanannya rendah beta karoten dan retinol (vitamin A).
Infeksi Clamidia
Beberapa riset menemukan bahwa wanita yang memiliki sejarah atau
infeksisaat ini berada dalam resiko kanker serviks lebih tinggi.
Pemakaian AKDR
Pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks, bermula dari
adanya erosi serviks kemudian menjadi infeksi berupa radang yang terus
menerus. Hal ini dapat sebagai pencetus kanker serviks.
Pemakaian pil KB
Penggunaan pil KB dalam jangka panjang dapat meningkatkan resiko
terjadinya kanker serviks. Riset menemukan bahwa resiko kanker serviks
meningkat sejalan dengan semakin lama wanita tersebut
menggunakan pil kontrasepsi tersebut dan cenderung menurun
pada saat pildihentikan.
Pemakaian DES (Dietylstilbestrol)
DES adalah obat hormon yang pernah digunakan antara tahun
1940-1971 untuk beberapa wanita yang berada dalam bahaya keguguran.
Anak-anak wanita dari parawanita yang menggunakan obat ini,
ketika mereka hamil berada dalam resiko terkena
kanker serviks dan vagina sedikit lebih tinggi.
F. PATOFISIOLOGI
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel ektoserviks (porsio) dan
endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai Squamo-Columnar Junction
(SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari porsio
dengan epitel kuboid /silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis
serviks. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedang
pada wanita usia>35 tahun SCJ berada di dalam kanalis servikalis. Maka untuk
melakukan pap smear yang efektif, yang dapat mengusap zona transformasi, harus
dikerjakan dengan skraper ayre atau cytobrush sikat khusus. Pada awal
perkembangannya kanker serviks tidak memberi tanda dan keluhan. Pada
pemeriksaan dengan spekulum tampak sebagai porsio yang erosif (metaplasi
skuamosa) yang fisiologik atau patologik.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel
serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian ini disebut proses
metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Akibat proses
metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 lapisan skuamo kolumnar,
yaitu lapisan skuamo kolumnar asli dan lapisan skuamo kolumnar baru yang
menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.
Daerah di antaranya ini disebut daerah transformasi. Masuknya mutagen atau
bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara genetik pada saat fase aktif
metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi ganas. Perubahan ini
biasanya terjadi di daerah transformasi. Mutagen tersebut berasal dari agen-agen
yang ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa human papilloma
virus (HPV) memegang peranan penting. Sel yang mengalami mutasi tersebut
dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang
disebut displasia. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang
mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma
in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma
invasif tetapi membrana basalis masih utuh.
Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks
(NIS) untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari:
1) NIS 1, untuk displasia ringan;
2) NIS 2, untuk displasia sedang;
3) NIS 3, untuk displasia berat dan karsinoma in-situ.
Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang
dimulai dari displasia ringan, sedang, berat dan karsinoma in-situ untuk kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif. Beberapa penelitian menemukan bahwa
30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal dari NIS 1/NIS 2. Karena
tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi progresif dan
mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas
sehingga harus ditatalaksanai sebagaimana mestinya.
Tumor dapat tumbuh : 1) eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai
masa proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis ; 2) endofitik
mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk
mengadakan infiltrasi menjadi ulkus ; 3) ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung
merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk
menjadi ulkus yang luas.
Umumnya fase prainvasif antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10 tahun). Perubahan
epitel diplastik serviks secara kontinyu masih memungkinkan terjadinya regresi
spontan dengan pengobatan/ tanpa diobati itu dekenal dengan unitarian concept
dari Richart. Histopatologik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau
squamous cell carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clearcell carcinoma/
mesonephroid carcinoma, dan yang paling jarang adalah sarkoma.
Tingkatan pra-maligna
Porsio yang erosif dengan ektropion bukan termasuk lesi pramaligna,
selama tak ada bukti adanya perubahan diplastik dari SCJ. Penting untuk dapat
menggaet sel-sel dari SCJ untuk pemeriksaan eksfoliatif sitologi, meski pada
pemeriksaan ini ada kemungkinan terjadi false negative/ false positive.
Penanganan / terapi hanya boleh dilakukan atas dasar bukti histopatologik. Oleh
karena itu untuk konfirmasi hasil pap smear perlu tindak lanjut upaya diagnostik
biopsi serviks.
G. PENYEBARAN
Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3
arah:
a. kearah fornises dan dinding vagina
b. kearah korpus uterusl
c. kearah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi
septum rektovaginal dan kandung kemih.
Melalui pembuluh darah getah bening dalam parametrium kanan dan kiri
sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliak luar dan kelenjar iliak dalam
(hipogastrika). Penyebaran melalui pembuluh darah (bloodborne metastasis) tidak
lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja.
Tergantung dari kondisi imunulogik tubuh penderita KIS akan berkembang
menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman
invasi lebih dari 1mm dan sel tumor belum terlihat dalam pembuluh limfa atau
darah. Jika sel tumor sudah terdapat lebih dari 1mm dari membrana basalis, atau
lebih dari 1mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfe atau darah,
maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin telah menginfiltrasi stroma
serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang
demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor
menjadi invasif, penyebaran secara limfogen menuju kelenjar limfa regional dan
secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornises vagina, korpus uterus,
rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat
menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke
perimetrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum,
kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya
secara teoretis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus dikanan danvena subklavia
di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang, dan otak.
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan oleh
perdarahan-perdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh
karena obstruksi ureter ditempat ureter masuk ke dalam kandung kemih.
H. MANIFESTASI KLINIK
Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar
dari vagina ini makin lama kan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
Dalam hal demikian, pertumbuhan menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami
segera sehabis senggama (perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma
serviks (75-80%)
Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama
akan lebih sering terjadi, juga diluar senggama (perdarahan spontan). Perdarahan
spontan umumnya terjadi pada tinkat klinik lebih lanjut ( II atau III ), terutama
pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita yang sudah usia lanjut yang
sudah tak melayani suami secara seksual, atau janda yang sudah mati haid
(menopause) bilamana mengidap kanker serviks serin terlambat datang meminta
pertolonga. Perdarahan spontan saat defekasiakibat tergesernya tumor eksofitik
dari serviks oleh skibala, memaksa mereka datang ke dokter. Adanya perdarahan
spontan pervaginam saat berdefekasi, perlu dicurigai kemingkinan adanya
karsinoma serviks tingkat lanjut. Adanya bau busuk khas memperkuat dugaan
karsinoma. Anemia akan menyertai sebagai akibat perdarahan pervaginam
berulang. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor keserabut saraf, memerlukan
pembiusan umum untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam yang cermat.,
khususnya pada lumen vagina yang sempit dan dinding yang sklerotik dan
meradang. Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang disebabkan oleh
metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal
akibat perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal (CRF = Chronic Renal
Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang
menyebabkan obstruksi total. Membuat diagnosis karsinoma serviks uterus yang
klinis sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang menjadi masalah adalah bagaimana
mendiagnosa dalam tingkat yang sangat awal, misalnya dalam tingkat pra invasif,
lebih baik bila dapat menangkapnya dalam tingkatan pra-maligna
(displasia/diskariosis serviks)
Hasil pemeriksaan sitologi ekploratif dari ekto dan endo-serviks yang
positif tidak boleh dianggap doiagnosis pasti. Diagnosis harus dipastikan dengan
pemeriksaan histologik memuaskan, dari jaringan yang diperoleh dengan
melakukan biopsi. Agar hasil pemeriksaan histologik memuaskan biopsi harus
terarah (targeted biopsy). Dengan bimbingan kolposkop bila sarana
memungkinkan. Secara sederhana , dapat dikerjakan dengan sebelumnya
memulas porsio dengan larutan lugol dan jaringan yang diambil hendaknya pada
batas antara jaringan normal (berwarna coklat tua karena menyerap iodium)
dengan porsio yang pucat ( haringan abnormal yang tidak menyerap iodium).
Kemudian jaringan direndalm dalam larutan formalin10% untuk dikirim ke lab
Anatomi. Perlu disadari mengerjakan biopsi yang benar dan tidak mengambil
bagian yang nekrotik. Pada tingkat klinik O, Ia, Ib-occ, penentuan tingkat
keganasan secara klinis didasarkan atas hasil pemeriksaan histologik. Oleh karena
itu untuk konfirmasi diagnosis yang tepat sering diperlukan tindak lanjut seperti
kuretase endoserviks ( ECC = Endo-Cervical Curettage ) atau konisasi serviks.
I. DIAGNOSIS
Jika seseorang mengalami tanda dan gejala kanker serviks, pasien dapat
menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Untuk
menegakkan diagnosis, dokter dapat melakukan :
1. Memeriksa serviks. Selama pemeriksaan yang disebut kolposkopi, dokter dapat
menggunakan mikroskop khusus (colposcope) untuk memeriksa serviks dari sel
abnormal. Jika terlihat area yang tidak biasanya, dapat diambil sample sel untuk
analisis (biopsy).
J. PENATALAKSANAAN
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang
sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim onkologi).
Pada tingkat klinik (KIS) tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau
elektrofulgerasi, bedah krio (cryosurgery) atau dengan sinar laser, kecuali bila
yang menangani seorang ahli dalam kolposkopi dan penderitanya masih muda dan
belum mempunyai anak. Dengan biopsi kerucut (conebiopsy) meskipun untuk
diagnostik acapkali untuk terapetik. Ostium uteri internum tidak boleh sampai
rusak karenanya. Bila penderita cukup tua atau sudah mempunyai cukup anak,
uterus tidak perlu ditinggalkan, agar penyakitnya tidak kambuh (relapse) dapat
dilakukan histerektomi sederhana (simple vaginal hysterectomy).
Pada kasus tertentu dimana operasi merupakan suatu kontraindikasi aplikasi
radium dengan dosis 6500-7000 rads/cGy di titik A tanpa penambahan penyinaran
luar, dapat dilakukan.
Pada tingkat klinik Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang
invasif. Bila kedalaman invasif kurang atau hanya 1 mm dan tidak meliputi area
yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfa atau pembuluh darah,
penanganannya dilakukan seperti pada KIS di atas.
Pada klinis Ib, Ib occ dan IIa dilakukan histerektomi radikal dengan
limfadenektomi panggul. Pasca bedah biasanya dilanjutkan dengan penyinaran
tergantung ada/ tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfe regional yang diangkat.
Pada tingkat IIb, III dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah.
Untuk ini primer adalah radioterapi. Pada tingkat klinik IVa dan IVb penyinaran
hanya bersifat paliatif. Pemberian khemoterapi dapat dipertimbangkan. Pada
kasus yang kambuh 1 tahun sesudah penanganan lengkap, dapat dilakukan operasi
jika terapi terdahulu adalah radiasi dan prosesnya masih terbatas pada panggul.
Bila proses sudah jauh atau operasi tak mungkin dilakukan, harus dipilih
khemoterapi bila syaratnya terpenuhi. Untuk ini tak dilakukan sitostatika tunggal,
tetapi kombinasi beberapa sitostatika (polikemotherapi). Jika terapi terdahulu
adalah operasi sebaiknya dilakukan penyinaran bila prosesnya masih terbatas
dalam panggul (lokoregional), sedangkan kalau penyinaran tak mungkin
dikerjakan atau penyebaranya sudah lanjut, maka dipilih polikhemoterapi bila
syaratnya terpenuhi. Penyinaran ulang pada kasus yang sebelumnya pernah
mendapat radiasi, dengan mesin Linac dan di tangan yang ahli, hasilnya tidak
selalu mengecewakan. Penggunaan imunoterapi masih dalam tahap eksperimen
K. PENCEGAHAN
Resiko terjadinya kanker serviks dapat dilakukan dengan menghindari
infeksi HPV. HPV menyebar melalui kontak kulit dengan bagian badan yang
terinfeks – tidak hanya dengan hubungan seks. Menggunakan kondom setiap
melakukan hubungan dapat mengurangi resiko terkena infeksi HPV.
Sebagai tambahan dari penggunaan kondom, cara terbaik untuk mencegah
kanker serviks yaitu :
Menghindari hubungan sex pada umur muda.
Memiliki partner seks tunggal
Menghindari merokok
a. Vaksin HPV
Suatu vaksin baru disebut Gardasil memberikan perlindungan dari tipe
HPV yang paling berbahaya. The national Advisory Committee on Immunization
Practices merekomendasikan vaksinasi pada wanita umur 11 dan 12 tahun,
sebagaimanapula pada wanita umur 13 hingga 26 tahun jika mereka belum
menerima vaksin. Vaksin ini paling efektif diberikan sebelum wanita aktif secara
seksual.
Walaupun vaksin dapat mencegah hingga 70 % kasus kanker serviks,
vaksin ini tidak dapat mencegah infeksi dari virus lain yang dapat juga
menyebabkan kanker serviks. Pap Smear secara rutin untuk skrining kanker
serviks lah yang paling penting.
Cara kerja Vaksin HPV
a. Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus tak beselaput dengan DNA
rantai ganda yang memerlukan organisme lain untuk berkembang biak
b. Vaksin HPV dibuat dari HPV yang sudah tidak memiliki DNA dan hanya
terdiri atas selubung protein (kapsid) L1 yang bisa memancing tubuh
membentuk sistem kekebalan terhadap HPV.
c. Vaksin disuntikkan ketubuh dan masuk ke aliran darah
d. Didalam darah, vaksin bekerja membentuk antibodi dan sel memori (sel
yang natinya akan membentuk antibodi terhadap HPV). Makin muda usia,
makin tinggi kadar antibodi yang terbentuk
e. Antibodi akan menangkap HPV yang masuk ke tubuh sehingga tidak dapat
masuk ke sel servik (leher rahim).
b. Penggunaan Kondom
Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka punya
bukti pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi risiko penularan virus
penyebab kutil kelamin (genital warts) dan banyak kasus karsinoma leher rahim.
Hasil pengkajian atas 82 orang yang dipublikasikan di New England Journal of
Medicine memperlihatkan bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu
menggunakan kondom saat berhubungan seksual kemungkinannya 70 persen
lebih kecil untuk terkena infeksi human papillomavirus (HPV) dibanding wanita
yang pasangannya sangat jarang (tak sampai 5 persen dari seluruh jumlah
hubungan seks) menggunakan kondom. Hasil penelitian memperlihatkan
efektivitas penggunaan kondom di Indonesia masih tergolong rendah. Dari survey
Demografi Kesehatan Indonesia pada 2003 (BPS-BKKBN) diketahui bahwa
ternyata penggunaan kondom pada pasangan usia subur di negara ini masih
sekitar 0,9 persen.
L. PROGNOSIS
Kanker leher rahim menempati peringkat pertama kanker pada
perempuan di Indonesia. Ada 15.000 kasus baru pertahun dengan kematian
8000 pertahun. Angka harapan hidup lima tahun jika kanker ini diketahui dan
diobati pada stadium I adalah 70-75 persen, pada stadium 2 adalah 60 persen,
pada stadium 3 tinggal 25 persen, dan pada stadium 4 penderita sulit
diharapkan bertahan.
BAB III
1. SERVITIS
A. DEFINISI
b) Servisitis Kronika
F. PEMERIKSAAN KHUSUS:
2. METRITIS
A. DEFINISI
Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang
biasanya menyerang endometrium hingga miometrium. Metritis dapat disebabkan
oleh infeksi peripartus atau post partus yang biasanya disertai septicemia sehingga
disebut juga sebagai metritis septika puerpuralis. Metritis juga dapat bersifat akut
yang biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis yang jelas atau disebut juga
sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya disertai dengan
pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak fungsional lagi
metritis ini sering disebut dengan metritis sklerotik
B. Etiologi
Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak steril,
laserasi akibat distokia, kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal
yang menyebabkan system kekebalan pada uterus terganggu. Dapat juga
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pada saat proses perkawinan alami maupun
IB.
C. Patogenesis dan Gejala klinis
Pada kasus metritis puerpurium biasanya didahului terjadinya inersia
uterine dan retensi plasenta hal ini dapat memicu perkembangan mikroorganisme
infeksius seperti C. pyogenes, Stapilococcus hemolitik dan Streptococcus grup C
yang akan berkolonisasi pada dinding uterus sehingga terjadi infiltrasi sel radang
yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan pada dinding uterus. Beberapa
bakteri tersebut dapat menghasilkan toksin yang sebagian dari itu akan terserap
tubuh dan sebagian yang lain akan keluar bersama lochia. Bila bakteri memasuki
aliran darah akan menimbulkan septicemia yang dimanisfestasikan dalam gejala
berupa demam, gejala lain yang dapat timbul diantaranya depresi, anoreksia,
penurunan produksi susu, diare yang disebabkan toksin dari bakteri tersebut,
vulva vaguna biasa tampak bengkak dan kongesti, peritonitis, pneumonia,
poliartritis (radang sendi)
D. Perubahan Patologi
Pada metritis sklerotik lapisan endometrium biasanya akan berubah menjadi
jaringan ikat tebal berlapisan padat, yang disertai foci dari infeksi, dan eksudat
purulen, terjadi nekrosis pada karunkula.
E. Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis dan palpasi perektal. Pada kasus metritis sklerotis
biasanya uterus akan teraba tebal dan keras mirip kartilago atau jaringan fibrosa
padat.
F. Terapi
Pada metritis puerpuralis sebelum dilakukan terapi, terlebih dahulu
dilakukan pengeluaran plasenta yang masih retensi. Pemberian injeksi intravena
hormone oksitosin 10 ml. dan untuk mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi
hormone esterogen dalam bentuk stilbestrol sebanyak 10-15 mg, pemberian kedua
hormone ini bertujuan untuk memicu involusi uterus. Untuk mengatasi bakteri
yang tersisa dilakukan pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram streptomycin
dalam 40 ml larutan fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari
post partus hingga leleran lochia kembali normal.
3. KEPUTIHAN
1. Definisi
3. Patogenesis Keputihan
4. Gejala Keputihan
gejala yang timbul akibat keputihan beraneka ragam sesuai dengan faktor
penyebabnya. Cairan yang keluar bisa saja
sangat banyak, sehingga harus berkali-kali mengganti celana dalam, bahkan
menggunakan pembalut, namun dapat pula sangat sedikit. Sebagian penderita
mengeluhkan rasa gatal, hal ini dipengaruhi oleh kondisi lembab karena
banyaknya cairan yang keluar disekitar paha, sehingga kulit dibagian itu mudah
mengalami lecet.
Keputihan juga berpengaruh terhadap kondisi psikologis dikarenakan rasa
malu, sedih atau rendah diri, sehingga mengakibatkan kehilangan rasa percaya
diri dan mulai menarik diri dari pergaulan. Bahkan, kondisi ini dapat
menimbulkan kecemasan yang berlebihan karena takut akan terkena penyakit
kanker.
5. Penyebab Keputihan
1) Grandnerella
Keputihan yang timbul berwarna putih keruh keabu-abuan, agak lengket dan
berbau amis seperti ikan, disertai rasa gatal dan panas pada vagina.
Menimbulkan peradangan pada vagina yang tidak spesifik dan menghasilkan
asam amino yang akan diubah menjadi senyawa amin. Peradangan yang
ditimbulkan oleh bakteri ini disebut Vaginosis bakterial.
2) Gonococcus
Bakteri ini sudah lebih dahulu dikenal sebagai penyebab penyakit mata yang
disebut Trakoma, namun ternyata bisa juga ditemukan dalam cairan vagina
yang menyebabkan penyakit uretritis non-spesifik (non-gonore). Keputihan
yang ditimbulkan bakteri ini tidak begitu banyak dan lebih encer bila
dibandingkan dengan Gonorrhea. Namun, bila infeksinya terjadi bersamaan
dengan bakteri gonococcus, bisa menyebabkan peradangan panggul yang
berat, kemandulan, hingga kehamilan diluar kandungan.
b. Jamur Candida
Keputihan yang timbul berwarna putih susu, bergumpal seperti susu basi, di
sertai rasa gatal dan kemerahan pada kelamin dan di sekitarnya. Keputihan
yang disebabkan oleh jamur candida, paling sering oleh spesies albicans.
Peradangan yang ditimbulkan oleh jamur ini disebut Kandidosis vaginalis.
Pada keadaan normal jamur ini terdapat di rongga mulut, usus besar maupun
dalam liang kemaluan wanita. Namun, pada keadaan tertentu, jamur ini
meluas sehingga menimbulkan keputihan. Beberapa faktor dapat
mempermudah seseorang terinfeksi jamur ini, seperti saat haid, hamil, minum
antibiotika dalam jangka waktu lama, kontrasepsi oral (pil KB), obat
kortikosteroid, dan penyakit kencing manis (diabetes mellitus).
c. Parasit
Keputihan jenis ini bersifat khas yaitu jumlah banyak, warna kuning
kehijauan, bau tak sedap, sakit saat melakukan hubungan seksual dan gatal.
Penularan terjadi melalui hubugan seksual. Peradangan yang ditimbulkan
oleh parasit ini disebut Trichomoniasis.
d. Virus
Keputihan akibat infeksi virus sering disebabkan oleh Virus Herpes Simplex
(VHS) tipe-2 dan Human Papilloma Virus (HPV). Infeksi HPV dapat
meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis, dan vulva. Sedangkan HPV
tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping. HPV dapat menimbulkan penyakit
Kondiloma akuminata yang disebut juga genital warts, kutil kelamin, veneral
warts ( jengger ayam).
6. Pemeriksaan Keputihan
7. pencegahan Keputihan
8. Pengobatan Keputihan
a. Jika keputihan masih ringan, bisa menggunakan sabun atau larutan antiseptik
khusus pembilas vagina seperlunya. Penggunaan berlebihan akan mematikan flora
normal dan mengganggu keasaman vagina. Konsultasi ke dokter, sehingga akan
diperoleh cara pengobatan paling tepat untuk mengatasi gangguan keputihan
patologis dan infeksi sesuai dengan penyebabnya. Jenis obat dapat berupa sediaan
oral berupa tablet atau kapsul, topical seperti krim yang dioleskan dan yang
langsung dimasukkan ke liang vagina.
b. Bagi yang sudah berkeluarga, lakukan pemeriksaan bersama pasangan.
Jika masih belum sembuh, lakukan uji resistensi obat dan mengganti dengan
obat lain. Ada kemungkinan kuman ternyata resisten terhadap obat yang di
berikan.
c. Bagi penderita yang sudah menikah dan melakukan hubungan seksual secara rutin,
apalagi berusia lebih dari 5 tahun, lakukan papsmear. Idealnya papsmear dilakukan
setahun sekali.
d. Jika positif terkena virus, bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan mulut rahim.
e. M
elakukan pola hidup sehat agar daya tahan tubuh mendukung proses pengobatan.
4. ENDOMETRITIS
1. DEFINISI
3. Etiologi
Endometritis adalah penyakit polymicrobial yang melibatkan rata-rata 2-3 organisme.
Dalam kebanyakan kasus, hal ini timbul dari infeksi dari organisme yang ditemukan
pada flora normal vagina pada masyarakat awam.
4. Epidemiologi
Insiden setelah bersalin endometritis di Amerika Serikat bervariasi tergantung pada
rute pengiriman dan populasi pasien. Setelah pengiriman vagina, insiden adalah 1-
3%. Mengikuti cesarean pengiriman, berkisar Insiden 13-90%, tergantung pada faktor
risiko yang hadir dan apakah profilaksis antibiotik perioperative telah diberikan.
Dalam populasi nonobstetric, seiring endometritis dapat terjadi di hingga 70-90% dari
kasus salpingitis.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan klinis, sebagai berikut:
Demam
Sakit perut bagian bawah
Lochia berbau busuk
Pendarahan abnormal vagina
Dyspareunia (mungkin ada pada pasien dengan penyakit inflammatory panggul
[PID])
Dysuria (mungkin ada pada pasien dengan PID)
Malaise
Dalam kasus setelah bersalin, pasien merasa demam, menggigil, sakit perut bagian
bawah, dan lochia berbau busuk. Pasien dengan PID hadir dengan Sakit perut bagian
bawah, dyspareunia, dysuria, demam, dan tanda-tanda sistemik lain. Namun, PID
disebabkan oleh Chlamydia cenderung menjadi lamban, dengan gejala konstitusional
tidak signifikan.
Suhu oral 38 °c atau lebih tinggi dalam 10 hari pertama setelah bersalin atau 38,7
°C dalam 24 jam pertama setelah bersalin diperlukan untuk memastikan diagnosis
endometritis setelah bersalin. Untuk PID, kriteria diagnostik minimum tenderness
bagian bawah perut, tenderness leher rahim, atau tenderness adnexal. Dalam kasus-
kasus yang parah, pasien mungkin muncul septik.
Keberadaan perangkat intrauterine: perangkat partus bisa berfungsi sebagai jalur bagi
organisme untuk masuk ke dalam rahim
Adanya cairan menstruasi dalam rahim
Terkait cervicitis sekunder untuk gonore atau infeksi Chlamydia
Terkait bakterial vaginosis
Sering douching
Aktivitas seksual yang tidak dilindungi
Seks bebas
Ektopi serviks
6. Penanganan
Setelah membuat diagnosis endometritis dan tidak termasuk sumber-sumber lain dari
infeksi, dokter harus segera memulai antibiotik spektrum yang luas. Perbaikan akan
dicatat dalam 48-72 jam di hampir 90% dari wanita diperlakukan dengan rejimen
yang disetujui.
Terapi antibiotik
Kombinasi Klindamisin dan gentamicin secara intravena setiap 8 jam telah dianggap
sebagai kriteria standar perawatan. Beberapa studi telah menunjukkan keberhasilan yang
memadai. Kombinasi dari generasi kedua atau ketiga cephalosporin dengan
metronidazole adalah pilihan populer yang lain.
Perbaikan dicatat dalam 48-72 jam di hampir 90% dari perempuan. Terapi Parenteral
dilanjutkan sampai demam pasien reda selama lebih dari 24 jam. Jika pemeriksaan fisik
temuan jinak, pasien mungkin habis pada waktu itu. Terapi antibiotik rawat jalan lebih
lanjut telah terbukti tidak perlu diberikan. Jika pasien tidak membaik dalam periode 48-
72 jam, evaluasi kembali komplikasi seperti abses.
7. Prognosis
Hampir 90% dari perempuan diperlakukan dengan peningkatan catatan rejimen
disetujui dalam 48-72 jam. Keterlambatan dalam inisiasi terapi Faktor resiko
Wanita sangat rentan terhadap endometritis setelah kelahiran atau aborsi. Risiko
meningkat karena mulut serviks terbuka, kehadiran jumlah besar darah dan alat-alat
partus.
8. Komplikasi
Komplikasi yang potensial dari endometritis adalah sebagai berikut:
Luka infeksi
Karena peritonitis
Infeksi Adnexal
Parametrial phlegmon
Panggul abses
Panggul lebam
Septic pelvic thrombophlebitis
Penyebaran infeksi dari endometrium tabung saluran indung telur, indung telur, atau
rongga peritoneal dapat mengakibatkan, salpingitis, oophoritis, karena peritonitis
lokal atau abses tuba ovarium. Salpingitis kemudian mengarah ke dysmotility tabung
dan pelekatan yang mengakibatkan infertilitas, insiden yang lebih tinggi dari
kehamilan ektopik, dan nyeri panggul kronis.
DAFTAR PUSTAKA