Anda di halaman 1dari 61

REFERAT

Tumor Ginekologi

Disusun Oleh:
Fika Rizqiah
1102014092

Pembimbing:
dr. Yedi, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD KABUPATEN BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga pada akhirnya penulis dapat mennyelesaika presentasi kasus mata dengan judul
“Tumor Ginekologi”.
Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Obstetri dan Ginekologi di
RSUD Kabupaten Bekasi. Penyelesaian tugas ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih kepada pembimbing dr.
Nandi Nurhandi, Sp.OG.
Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh karena itu
penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan tugas ini dan sebagai bekal
penulis untuk menyusun tugas-tugas lainnya di kemudian hari. Semoga referat ini banyak memberi
manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Cibitung, November 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi pada organ reproduksi dapat terjadi bukan hanya karena penularan lewat hubungan
seksual saja, namun juga karena masalah kebersihan/higiene dan perawatan yang kurang baik,
disamping faktor-faktor dari luar yang mempengaruhinya. Struktur organ reproduksi yang
berbeda pada perempuan dan pria menyebabkan perbedaan pula dengan gejala yang ditimbulkan.
Dalam keseharian seseorang dengan infeksi organ reproduksi cenderung tidak memeriksakan
dirinya ke dokter, atau berusaha mengobati sendiri lewat nasehat teman yang belum tentu benar
dan lewat iklan di media, disamping masih adanya rasa malu bagi seseorang untuk pergi ke
dokter dan tenaga medis lain karena kuatnya stigma dan tabu, rasa malu dan jengah seseorang
bila memiliki persoalan seputar organ reproduks.
Pada tahun 2008 dilaporkan terdapat 224.747 kasus baru tumor ganas ovarium di dunia
dengan 125.226 kasus di negara kurang berkembang dan 99.521 kasus didiagnosis di negara
berkembang. Di Indonesia, tumor ganas ovarium berada di urutan keenam dari seluruh tumor
ganas yang menyerang Universitas Sumatera Utara laki-laki dan perempuan serta menjadi urutan
ketiga dari tumor ganas yang menyerang perempuan. Dari beberapa penelitian di Indonesia,
tingkat kejadian tumor ganas ovarium adalah 30,5% di Yogyakarta, 7,4% di Surabaya, 13,8% di
Jakarta dan 10,64% di Medan dari seluruh angka kejadian keganasan di Indonesia.

BAB II
1. TUMOR GINEKOLOGI
A. Definisi
Myoma uteri adalah neoplasma jinak yang tersusun dari otot polos uteri dan jaringan ikat yang
menumpangnya dan sering juga disebut sebagai fibromioma, leiomioma, fibroid.1
B. Etiologi
Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma uteri banyak
ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia menopause, dan belum
pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga penyebab timbulnya mioma uteri paling
banyak oleh stimulasi hormon estrogen.1
Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri, atau memakai mediator
masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan banyak sekali mediator didalam
mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor – 1 (IGF-1). Awal mulanya
pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini
mencakupi rentetan perubahan pada kromosom, baik secara parsial maupun secara keseluruhan.1
C. Klasifikasi
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya adalah dari korpus
uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi
4 jenis antara lain mioma submukosa, mioma intramural, mioma subserosa, dan mioma
intraligamenter. Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa
(48,2%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%).2
1. Mioma submukosa
Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini di jumpai
6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma uteri jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma
submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu
kuret, dikenal sebagai Currete bump. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada
mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa
yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan
nama mioma geburt atau mioma yang di lahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi, dan
infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.2
2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor,
jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah semacam simpai yang mengelilingi
tumor. Bila didalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai
bentuk yang berdungkul dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding
depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih keatas,
sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
3. Mioma subserosa
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus diliputi
oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi
mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau
omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus. Jarang sekali ditemukan satu macam
mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran serviks
sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak
bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan
(whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak
karena pertumbuhan sarang mioma ini.

Gambar 1. Jenis-jenis mioma uteri

D. Gambaran Mikroskopik
Pada pembelahan jaringan mioma tampak lebih putih dari jaringan sekitarnya. Pada pemeriksaan
secara mikroskopik dijumpai sel-sel otot polos panjang, yang membentuk bangunan yang khas
sebagai kumparan. Inti sel juga panjang dan bercampur dengan jaringan ikat. Pada pemotongan
tranversal, sel berbentuk polihedral dengan sitoplasma yang banyak mengelilinginya. Pada
pemotongan longitudinal inti sel memanjang, dan ditemukan adanya mast cells diantara serabut
miometrium sering diinterprestasi sebagai sel tumor atau sel raksasa (giant cells).2
E. Perubahan Sekunder
1. Atrofi.
Sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan berakhir mioma uteri menjadi kecil.
2. Degenerasi hialin.
Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita usia lanjut. Tumor kehilangan struktur
aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil dari padanya
seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

3. Degenerasi kistik.
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga
terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi
pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan
konsistansi yang lunak tumor ini sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
4. Degenerasi membatu.
Terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi.
Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan
memberikan bayangan pada foto rontgen.
5. Degenerasi merah.
Perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis diperkirakan karena
suatu nekrosis subakut akibat gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat terlihat sarang
mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan
hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda yang disertai
emesis dan haus, sedikit demam dan kesakitan, tumor dan uterus membesar dan nyeri pada
perabaan. Penampilan klinik seperti ini menyerupai tumor ovarium terpuntir atau mioma
bertangkai.
6. Degenerasi lemak.
Keadaan ini jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi pada degenerasi hialin yang lanjut, dikenal
dengan sebutan fibrolipoma.3
F. Diagnosis
Diagnosis mima uteri ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
- Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air besar.
- Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan tumor tersebut
menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobil, permukaan tumor umumnya rata.
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala yang terjadi
berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :
a. Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)
b. Perut terasa penuh dan membesar
c. Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Nyeri bisa terjadi saat menstruasi, setelah berhubungan seksual, atau ketika terjadi
penekanan pada panggul. Nyeri terjadi karena terpuntirnya mioma yang bertangkai, pelebaran
leher rahim akibat desakan mioma atau degenerasi (kematian sel) dari mioma. Gejala lainnya
adalah:
- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran kemih
menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis (pembesaran ginjal)
- Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang mengakibatkan konstipasi (sulit
BAB) atau sumbatan usus
- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri hebat, luka, dan
infeksi
Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan tromboflebitis
sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)7
4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor dapat terbatas atau
bebas.
5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau bebas dan
ini biasanya ditemukan secara kebetulan.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium. Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang
mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya
hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap
ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi
pembentukan eritropoetin ginjal.
USG, untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan
adnexa dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI, tetapi
kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG. Untungnya,
leiomiosarkoma sangat jarang karena USG tidak dapat membedakannya dengan mioma dan
konfirmasinya membutuhkan diagnosa jaringan.
Dalam sebagian besar kasus, mioma mudah dikenali karena pola gemanya pada beberapa
bidang tidak hanya menyerupai tetapi juga bergabung dengan uterus; lebih lanjut uterus
membesar dan berbentuk tak teratur.
Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai
fungsi ginjal dan perjalanan ureter. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma
submukosa disertai dengan infertilitas. Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
G. Diagnosis Banding
Pada mioma subserosa, diagnosa bandingnya adalah tumor ovarium yang solid, atau kehamilan
uterus gravidus. Sedangkan pada mioma submucosum yang dilahirkan diagnosa bandingnya
adalah inversio uteri. Kemudian, pada mioma intramural, diagnosa bandingnya adalah
adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau sarcoma uteri. 1,2,3
H. Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan mioma tergantung umur pasien, paritas, status kehamilan, keinginan untuk
mendapatkan keturunan lagi, keadaan umum dan gejala serta ukuran lokasi serta jenis mioma
uteri itu sendiri.
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun medikamentosa
terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan. Penanganan
konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan
konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi setiap
minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan menghilangkan
gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan keadaan hipoestrogenik
yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause. Efek maksimum dalam
mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
- Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena memberikan
beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama pembedahan, dan dapat
mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
- Baru-baru ini, progestin dan antipprogestin dilaporkan mempunyai efek terapeutik.
Kehadiran tumor dapat ditekan atau diperlambat dengan pemberian progestin dan
levonorgestrol intrauterin.
2. Pengobatan Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.
Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa :
a. Enukleasi Mioma
Dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan anak atau mempertahankan
uterus demi kelangsungan fertilitas. Sejauh ini tampaknya aman, efektif, dan masih menjadi
pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila ada kemungkinan terjadinya karsinoma
endometrium atau sarkoma uterus, juga dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya
dibatasi pada tumor dengan tangkai dan jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila
miomektomi menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan endometrium,
kehamilan berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea.
Kriteria preoperasi menurut American College of Obstetricians Gynecologists (ACOG)
adalah sebagai berikut :
 Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
 Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
 Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab kegagalan kehamilan dan keguguran
yang berulang.
b. Histerektomi
Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang memiliki
leiomioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria ACOG untuk histerektomi
adalah sebagai berikut:
 Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar dan
dikeluhkan olah pasien.
 Perdarahan uterus berlebihan :
Perdarahan yang banyak bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari.
Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
 Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi :
Nyeri hebat dan akut.
Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis.
Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulang dan tidak disebabkan infeksi
saluran kemih.
c. Penanganan Radioterapi
- Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient).
- Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
- Bukan jenis submukosa.
- Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum.
- Tidak dilakukan pada wanita muda, sebab dapat menyebabkan menopause.
- Maksud dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan.
I. Komplikasi
1. Perdarahan sampai terjadi anemia.
2. Degenerasi ganas. Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32 – 0,6
% dari seluruh mioma serta merupakan 50 – 75 % dari semua sarkoma uterus. Keganasan
umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat.
Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi
pembesaran sarang mioma dalam menopause.2,3
3. Torsi. Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut
sehingga mengalami nekrosis. Keadaan ini dapat terjadi pada semua bentuk mioma tetapi
yang paling sering adalah jenis mioma submukosa pendinkulata.

J. Mioma Uteri dan Kehamilan


Pengaruh mioma uteri pada kehamilan adalah ³
- Kemungkinan abortus lebih besar karena distorsi kavum uteri khususnya pada mioma
submukosum.
- Dapat menyebabkan kelainan letak janin
- Dapat menyebabkan plasenta previa dan plasenta akreta
- Dapat menyebabkan HPP akibat inersia maupun atonia uteri akibat gangguan mekanik
dalam fungsi miometrium
- Dapat menganggu proses involusi uterus dalam masa nifas
- Jika letaknya dekat pada serviks, dapat menghalangi kemajuan persalinan dan menghalangi
jalan lahir.
Pengaruh kehamilan pada mioma uteri adalah :
- Mioma membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh estrogen yang
meningkat
- Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas seperti telah
diutarakan sebelumnya, yang kadang-kadang memerlukan pembedahan segera guna
mengangkat sarang mioma. Namun, pengangkatan sarang mioma demikian itu jarang
menyebabkan perdarahan.
- Meskipun jarang, mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi dengan gejala dan tanda
sindrom akut abdomen.
Terapi mioma dengan kehamilan adalah konservatif karena miomektomi pada kehamilan sangat
berbahaya disebabkan kemungkinan perdarahan hebat dan dapat juga menimbulkan abortus.
Operasi terpaksa jika lakukan kalau ada penyulit-penyulit yang menimbulkan gejala akut atau
karena mioma sangat besar. Jika mioma menghalangi jalan lahir, dilakukan SC (Sectio Caesarea)
disusul histerektomi tapi kalau akan dilakukan miomektomi lebih baik ditunda sampai sesudah
masa nifas.
K. Prognosis
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif. Miomektomi yang ekstensif dan
secara signifikan melibatkan miometrium atau menembus endometrium, maka diharuskan SC
pada persalinan berikutnya. Mioma yang kambuh kembali setelah miomektomi terjadi pada 15-
40% pasien dan 2/3-nya memerlukan tindakan lebih lanjut.1,3
2. ENDOMETRIOSIS
A. Definisi

Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih


berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri dari kelenjar-kelenjar dan
stroma terdapat di dalam myometrium ataupun di luar uterus, bila jaringan endometrium
terdapat di dalam myometrium disebut adenomiosis. Endometriosis paling sering
ditemukan pada wanita yang melahirkan diatas 30 tahun disertai dengan gejala menoragia
dan dismenorea yang progresif. Kejadian adenomiosis bervariasi antara 8-40% dijumpai
pada pemeriksaan dari semua specimen histerektomi. Dari 30% pasien ini diketemukan
adanya endometriosis dalam rongga peritoneum secara bersamaan.
Insidensi endometriosis di Amerika 5-10 % dari wanita usia reproduksi. Di
Indonesia sendiri, ditemukan 15-25% perempuan infertil disebabkan oleh endometriosis,
sedangkan prevalensi endometriosis pada perempuan infertil idiopatik mencapai 70-80%.
Endometriosis selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat
yaitu antara 5-15% dapat ditemukan diantara semua operasi pelvik.

B. Lokasi Endometrosis

Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat sebagai berikut :


1) Ovarium;
2) Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang
uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum, dan sigmoid.
3) Septum rektovaginal;

4) Kanalis inguinalis;

5) Apendiks;

6) Umbilikus;

7) Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum;


8) Parut laparotomi;

9) Kelenjar limfe; dan

10) Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha,


pleura, dan perikardium.

C. Epidemiologi

Keseluruhan prevalensi endometriosis masih belum diketahui secara pasti, terutama karena
operasi merupakan satu-satunya metode yang paling dapat diandalkan untuk diagnosis
pasti endometriosis. Selain itu, operasi umumnya tidak dilakukan tanpa gejala atau ciri-ciri
fisik yang mengacu pada dugaan endometriosis. Prevalensi endometriosis tanpa gejala
didapat sekitar 4% pada wanita yang pernah menjalani operasi sterilisasi. Kebanyakan
perkiraan prevalensi endometeriosis berkisar antara 5% - 20% pada para wanita penderita
nyeri pelvik, dan antara 20% - 40% pada wanita subfertil. Prevalensi umum berkisar antara
3% - 10%, terutama pada wanita dalam usia reproduktif.
Usia rata-rata wanita yang menjalani diagnosis bervariasi antara 25 – 30 tahun.
Endometriosis jarang ditemui pada gadis yang berada pada tahap menjelang haid
(premenarcheal), tetapi dapat diidentifikasi pada minimal 50% gadis atau wanita muda
berusia kurang dari 20 tahun yang mempunyai keluhan-keluhan seperti nyeri pelvik dan
dyspareunia. Kebanyakan kasus yang terjadi pada wanita muda berusia kurang dari 17
tahun berkaitan dengan anomali duktus mullerian dan gangguan servik atau vagina.
Kurang dari 5% wanita postmenopause membutuhkan operasi endometriosis, dan
kebanyakan wanita pada usia tersebut telah menerima terapi estrogen. Di sisi lain,
prevalensi endometriosis tanpa gejala mungkin lebih rendah pada wanita berkulit hitam
dan lebih tinggi pada wanita berkulit putih di wilayah Asia.
D. Etiopatogenesis

Mekanisme terjadinya endometriosis belum diketahui secara pasti dan sangat


kompleks, berikut ini beberapa etiologi endometriosis yang telah diketahui :
a. Teori retrograde menstruasi

Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori implantasi
jaringan endometrium yang viable (hidup) dari John Sampson (1921). Teori ini didasari atas
3 asumsi :
- Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii Hasil penelitian dengan
laparoskopi ditemukan darah haid dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita
dengan tuba falopii paten saat menstruasi.
- Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga
peritoneum
- Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel ke
peritoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi.

b. Teori metaplasia koelemik

Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini
menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel
mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura).
Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi,
hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini terbukti dengan ditemukannya
endometriosis pada perempuan premenarke dan pada daerah yang tidak berhubungan
langsung dengan refluks haid seperti di rongga paru. Disamping itu, endometrium eutopik
dan endometrium ektopik adalah dua bentuk yang jelas berbeda, baik secara morfologi
maupun fungsional.

c. Teori transplantasi langsung

Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang kurang hati-
hati seperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan episotomi, dapat
mengakibatkan timbulnya jaringan endometriosis pada bekas parut operasi dan pada
perineum bekas perbaikan episotomi tersebut.

d. Teori genetik dan imun

Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu dan anak
dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu dasar genetik.
Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang menghancurkan matriks
ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal dan pertumbuhan endometrium
baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan MMP meningkat pada awal siklus haid dan
biasanya ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP
dikaitkan dengan penyakit-penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita
endometriosis, MMP yang disekresi oleh endomtreium luar biasa resisten terhadap
penekanan progesteron. Tampilan MMP yang menteap didalam sel-sel endometrium yang
terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasive terhadap endometrium yang
berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan selanjutnya
terjadi proliferasi sel.
Pada endometriosis terdapat gangguan respon imun yang menyebabkan
pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif. Makrofag merupakan
bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun yang tidak antigen spesifik dan
tidak mencakup memori imunologik. Makrofag mempertahankan tuan rumah melalui
pengenalan, fagositosis dan penghancuran mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak
sebagai pemakan, membantu untuk membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris.
Makrofag mensekresi berbagai macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan
prostaglandin dan membantu fungsi-fungsi faktor diatas disamping merangsang
pertumbuhan dan proliferasi tipe sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum
normal dan jumlah serta aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada
penderita endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar
teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan dan
sitokin yang merangsang proliferasi dari endometriumektopik dan menghambat fungsi
pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting dalam proses
terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas terlihat pada wanita
dengan stadium endometriosis yang lanjut.

e. Faktor Hormonal

Aromatase, enzim pencetus produksi estrogen, telah ditemukan pada implantasi


endometriosis, walaupun belum ditemukan data bahwa aromatase juga ditemukan pada
endometrium normal. PGE2 berperan sebagai induksi terkuat produksi aromatase pada
implantasi endometriosis.
f. Penyebaran limfatik dan vaskuler (Halban-Navatril)

Bukti juga mendukung konsep endometriosis berasal dari limfatik atau penyebaran
pembuluh darah jaringan endometrium. Temuan endometriosis di lokasi yang tidak biasa ,
seperti perineum atau selangkangan , mendukung teori ini. Daerah retroperitoneal
memiliki sirkulasi limfatik berlimpah. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma
endometrium menyebar melalui limfatik, hal tini menunjukkan bahwa endometrium dapat
terbawa melalui sistem limfatik. Meskipun teori ini tetap menarik, beberapa studi telah
eksperimen dievaluasi bentuk transmisi endometriosis.

E. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah :

1. Nyeri. Endometriosis menimbulkan gangguan fungsi biologis yang cukup serius dan
berpusat pada organ reproduksi dan daerah pelvik (panggul). Penyakit ini dimulai tanpa
keluhan, tersembunyi tetapi membahayakan sehingga tidak diperhatikan pada awal mulanya.
Berangsur-angsur timbul keluhan nyeri berkaitan dengan haid. Selama haid, sejumlah darah
haid ada yang berbalik masuk melalui Tuba Falloppii atau saluran telur mengalir ke dalam
rongga panggul dan selaput rongga perut (peritoneum). Di dalam darah haid tersebut terbawa
serta debris dan sel endometrium masuk ke dalam rongga perut menempel di atas organ-organ
panggul dan selaput rongga perut. Akibat dari keadaan tersebut terjadi proses inflamasi
dengan peningkatan leukosit dan defek imunologi dengan peningkatan aktivitas makrofag di
dalam zalir peritoneum (D’Hooghe, 1996). Terjadi penyimpangan ekspresi dari berbagai
sitokin oleh aktivitas makrofag antara lain interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-8 (IL-8). Tumor Necrosis Factors-a (TNF-a) dalam zalir peritoneal kesemuanya
itu merubah lingkungan zalir peritoneal yang memungkinkan sel endometrium berimplantasi
dan bertumbuh menjadi endometriosis.

Keluhan nyeri pada endometriosis dapat berupa dismenorea (nyeri sebelum, selama dan
sesudah haid), nyeri pelvis atau nyeri panggul terasa pada perut bagian bawah. Keluhan nyeri
baik dismenorea maupun nyeri pelvis dapat menetap atau hilang timbul atau semakin lama
semakin hebat. Keluhan tersebut akan terasa lebih sakit pada saat perempuan beraktivitas
seperti berjalan dan berdiri terlalu lama. Nyeri panggul dapat berupa Iritable Bowel
Syndrome (IBS) biasanya terasa sesudah makan. Nyeri pada endometriosis dapat pula terasa
berhubungan dengan lokasi endometriosis di dalam tubuh penderita. Endometriosis yang
terletak pada ligamentum sakrouterinum atau serabut saraf presakral akan menimbulkan
keluhan nyeri punggung, nyeri tungkai bawah, tungkai atas, menjalar sampai ke pangkal
paha dan nyeri saat bersanggama.
2. Dispareunia (nyeri saat bersanggama) merupakan gejala yang sering dijumpai,
disebabkan oleh karena adanya endometriosis di cavum douglasi.
3. Nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid atau yang disebut juga dengan
diskezia. Diskezia disebabkan adanya endometriosis pada dinding rekstosigmoid.
Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar. Endometriosis kandung
kemih jarang terjadi, gejala-gejalanya ialah gangguan miksi dan hematuria pada waktu
haid.
4. Poli dan hipermenorea. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis
apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.
5. Infertilitas. Endometriosis sangat erat kaitannya dengan infertilitas, dan diperkirakan
20% sampai 40% perempuan infertil menderita endometriosis. Pada endometriosis berat
terjadi distorsi dari anatomi panggul, perubahan bentuk anatomi dari tuba, falloppii dan
dapat pula terjadi obstruksi dari tuba falloppii. Pada endometriosis berat terbentuk
endometrioma yang besar kadang berganda yang merusak jaringan ovarium, secara
mekanis mengganggu ovulasi dan fertilisasi. Dengan kondisi seperti ini dengan mudah
dapat dijelaskan bahwa gangguan mekanis sangat berperan terhadap fungsi reproduksi.
Endometriosis ringan yang pada pengamatan dengan laparoskop tidak terjadi distorsi
seperti pada endometriosis berat tetapi dapat menimbulkan infertilitas. Mekanisme
infertilitas pada endometriosis ringan masih banyak silang pendapat di antara para ahli.
Infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis dapat dijelaskan melalui mekanisme
(Speroff, 2005) :
a. Distorsi anatomi dari adnexsa, menghalangi atau mencegah
penangkapan ovum sesudah ovulasi.
b. Gangguan pertumbuhan oosit atau embryogenesis.

c. Penurunan reseptivitas atau kemampuan menerima endometrium. Pada


pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-
rekto-abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat
sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum
sakrouterinum dengan uterus dalam rerofleksi dan terfiksasi.

6. Tumor. Penderita endometriosis ada yang berlangsung tanpa keluhan (asimptomatik).


Endometriosis berat seringkali tidak menimbulkan nyeri yang hebat kadang hanya
keluhan ringan. Pada endometriosis berat terjadi perlekatan yang luas dan timbul kista
ovarii (endometrioma) yang cukup besar dan dapat berganda. Oleh karena keluhan yang
relatif ringan pada umumnya baru berobat setelah merasa ada benjolan pada perut bagian
bawah atau didapat secara kebetulan pada saat memeriksakan diri mengenai infertilitas.
Endometrioma pada umumnya dilakukan pembedahan dan dilanjutkan dengan pemberian
medika mentosa. Angka kejadian endometriosis pada perimenopause berkisar antara 5-
15% dan pada pascamenopause 3-5%. Endometriosis dapat berubah menjadi tumor ganas
ovarii, dengan angka kejadian keganasan berkisar 0,3%-1,6% dan jenis keganasan adalah
endometrioid atau clear cell ca.

F. Klasifikasi

Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi,
yaitu :

a. Peritoneal endometriosis

Pada awalnya lesi di peritoneum akan banyak tumbuh vaskularisasi sehingga


menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan timbulnya
perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehingga tumbuh jaringan fibrosis dan
sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah menjadi lesi hitam tipikal dan setelah itu lesi
akan berubah menjadi lesi putih yang kurang vaskularisasi dan ditemukan debris
glandular.

b. Ovarian endometrial cyst (Endometrioma)

Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium


setelah penimbunan debris mesntruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Kista
endometrium bisa besar (>3cm) dan multilokus, dan bisa tampak seperti kista coklat karena
penimbunan darah dan debris ke dalam rongga kista.

c. Deep nodular endometriosis

Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum rektovaginal


atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan ligamentum utero-ovarium.
Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan
yang menginfiltrasi. Jaringan endometriosis akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada
peradarahan secara klinis yang berhubungan dengan endometriosis nodular dalam.
G. Diagnosis

Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan
dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika
kavum Douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada
lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya,
biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
1. Anamnesis

Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang disertai
infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Endometrium pada
organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga
lokasi penyakit dapat diduga.

Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini
bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk
mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara
perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik telah diperlihatkan
berhubungan dengan endometriosis.

Endometriosis juga dijumpai ekstrapelvik, sehingga menimbulkan gejala yang tidak


khas. Dispareunia juga dirasakan pada daerah kavum douglas dan nyeri pinggang yang
semakin berat selama haid nyeri rektum dan saat defekasi juga dapat terjadi tergantung
daeran invasi jaringan endometriosisnya. Sering dirasakan nyeri pelvik siklik yang
mungkin berkaitan dengan nyeri traktus urinarius dan gastrointestinal.

Pada penderita endometriosis juga sering dijumpai infertilitas. Gangguan haid


berupa bercak prahaid atau hipermenore. Jika tidak tersedia pemeriksaan penunjang lain
yang lebih akurat untuk menegakkan diagnosis endometriosis, gejala, tanda fisis dan
pemeriksaan bimanual dapat digunakan.

2. Berdasarkan gejala

Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala pada endometriosis
biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan endometriosis, yang dipengaruhi hormon
ovarium selama siklus haid, berupa nyeri pada daerah pelvik, akibat dari:
 melimpahnya darah dari endometrium sehingga merangsang peritoneum.
 kontraksi uterus akibat meningkatnya kadar prostaglandin (PGF2 alpha dan PGE)
yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis itu sendiri.

3. Pemeriksaan Fisik

Jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada
daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang
letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa
pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma,
abses dan hematom.

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berguna untuk memeriksa penderita endometriosis


terutama bila dijumpai massa pelvis atau adnexa seperti endometrioma. Ultrasonografi
pelvis secara transabdomnial (USG-TA), transvaginal (USG-TV) atau secara transrektal
(TR), CT Scan dan pencitraan resonansi magnetik telah digunakan secara invasif untuk
mengenali implan endometriosis yang besar dan endometrioma. Tetapi hal ini tidak dapat
menilai luasnya endometriosis. Bagaimanapun, cara-cara tersebut masih penting untuk
menetapkan sisi lesi atau menilai dimensinya, yang mungkin bermanfaat untuk
menentukan pilihan teknik pembedahan yang akan dilakukan.

5. Laparoskopi

Merupakan gold standar yag harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis


endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga abdomen, yang mana
pada banyak kasus sering dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis.
Invasi jaringan endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina,
kavum douglasi, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvik yang berdekatan.
Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan kandung kemih dan
usus.
Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat
pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin
dari serpih haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi
atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih.
Diagnosis endometriosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan
pemastian histopatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvik kronik. Endometriosis
yang didapat dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti
18% dari pemeriksaan histopatologi.
Endometriosis superfisialis dan endometriosis ovarium merupakan marker adanya
penyakit yang luas. Dengan pemetaan pelvik secara terkomputerisasi ternyata penderita
endometriosis dengan keterlibatan ovarium memiliki lebih banyak daerah pelvik dan
intestinal dari pada tanpa keterlibatan pelvik.
Endometriosis ovarium atau endometrioma tampak sebagai kista coklat berdinding
lembut, gelap dan terkait erat dengan perlekatan, jika disayat akan keluar cairan coklat
peka. Endometriosis noduler biasanya terletak retroperitoneal dengan atau tanpa
keterlibatan peritoneum permukaan, yaitu pada septum rektovaginal dan uterovesikal di
susunan fibromuskuler pelvik. Keadaan ini berhubungan dengan adanya nyeri dan
infertilitas.
Endometriosis diklasifikasikan sebagai lesi dalam jika invasi lebih dari 5mm
dibawah permukaan peritoneum. Ukuran dan kedalaman sulit didapat dengan laparoskopi,
tetapi retraksi usus halus dapat mengarah pada adanya invasi yang dalam. Dua hal yang
harus diperhatikan pada saat dilakukan laparoskopi :
Pemeriksaan USG terhadap ovarium pralaparoskopi akan sangat membantu
menemukan abnormalitas yang tidak terlihat hanya dengan laparoskopi, misalnya: hanya
bagian permukaan ovarium yang terlihat dengan laparoskopi, sehingga keberadaan
endometrioma ovarium sering luput.
Seluruh permukaan ovarium harus terlihat dengan cara memutar ovarium, agar fossa
ovarika dan bagian yang tersembunyi terlihat.
6. Biopsi

Inspeksi visual biasanya adekuat tetapi konfirmasi histologi dari salah satu lesi
idealnya tetap dilakukan. Pada pemeriksaan histopatologis dapat dijumpai endometriosis
yang menyebuk dalam dan makrofag yang termuati hemosiderin dapat dikenal pada 77%
bahan biopsi endometriosis. Secara histopatologis, endometriosis ada beberapa bentuk
(distrofik, glanduler, stroma, atau diferensiasi progresif). Diagnosis pasti endometriosis
dapat dibuat hanya dengan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologis, yang
menampilkan kelenjar-kelenjar endometrium dan stroma.
7. Magnetic Resonance Imaging

Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Stratton dkk mengenai penggunaan MRI
untuk mendiagnosis endometriosis peritoneum, didapatkan sensitifitas 69% dan
spesifisitas 75%. Sebagai kesimpulan MRI tidak berguna untuk mendiagnosis atau
mengeksklusi endometriosis peritoneum.
8. Pemeriksaan Marka Biokimiawi

Endometriosis merupakan kelainan yang disebabkan oleh inflamasi. Sitokin,


interleukin, dan TNF-α mempunyai peran dalam pathogenesis endometriosis. Hal ini
dilihat dari meningkatnya sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan
endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk membedakan wanita dengan atau
tanpa endometriosis, dan untuk mengidentifikasi derajat dari endometriosis.
Pada penelitian yang dilakukan pada 95 wanita, yang dibagi dalam kelompok
kontrol (30 orang), dan kelompok pasien dengan endometriosis (65) yang terbagi dalam 2
derajat nyeri yaitu, ringan-sedang (MM) dan berat (MS), didapatkan bahwa serum IL-6
dan TNF-α secara signifikan meningkat pada pasien dengan endometriosis dibandingkan
dengan kontrol (P < 0,001). Serum IL-6 dan TNF-α secara signifikan meningkat pada
pasien dengan endometriosis MM, dibandingkan dengan pasien kontrol (P < 0,001) dan
dengan pasien endometriosis derajat MS (P < 0,006). Sedangkan serum CA-125, Hs-CRP
dan VEGF secara signifikan meningkat pada pasien dengan endometriosis dengan
endometriosis derajat MS dibandingkan dengan pasien derajat MM (P <0,01).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa IL-6 dan TNF-α merupakan penanda yang baik
untuk diagnosis endometriosis gejala ringan-sedang, karena penanda tersebut meningkat
pada derajat awal endometriosis. Sedangkan CA125, Hs-CRP dan VEGF secara signifikan
meningkat pada kasus yang sudah lama terjadi, sehingga tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis kasus baru endometriosis. Pada peneliatian
ini, pemeriksaan dilakukan pada sampel darah yang diambil dari pasien
pada saat puasa dan fase folekuler (hari ke 5-10), dan sampel cairan
peritoneum yang diambil dari kavum douglas.

H. Penatalaksanaan

Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, pengawasan,


terapi hormonal, pembedahan, dan radiasi.
I. Pencegahan

Meigs berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan yang


paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang
berkurang atau hilang pada waktu kehamilan dan sesudah kehamilan karena
regresi endometrium dalam sarang- sarang endometriosis. Selain itu jangan
melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu
haid, karena dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba
dan ke rongga panggul.

1. Observasi dan pemberian analgetika

Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita-wanita dengan


gejala dan kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah berumur,
pengawasan itu bisa dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu
gejala-gejala endometriosis akan hilang sendiri. Sikap yang sama dapat
diambil pada wanita yang lebih muda, yang tidak mempunyai persoalan
tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang ingin memiliki anak, jika
setelah ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap infertilitas. Pada observasi seperti diterangkan di atas,
harus dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur untuk meneliti
perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap ekspetatif. Dalam
masa observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa pemberian
analgetika untuk mengurangi rasa nyeri.

2. Terapi Medis

Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi : analgesik


(NSAID atau acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik
(danazol), agen progestogen, hormon pelepas gonadotropin (GnRH)
misalnya leuprolid, goserelin, triptorelin, nafarelin.

3. Pengobatan hormonal

Dasar pengobatan hormonal endometriosis adalah bahwa


pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan
endometrium yang normal, yang dapat dikontrol oleh hormon-hormon
steroid. Hal ini didukung oleh data klinik maupun laboratorium. Data klinik
tersebut adalah :

a) Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menarche

b) Menopouse, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya


menyebabkan kesembuhan
c) Sangat jarang terjadi kasus endometriosis baru setelah menopouse,
kecuali jika ada pemberian esterogen eksogen.

J. Prognosis

Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan


dengan histerektomi dan ooforektomi bilateral. Angka kejadian rekurensi
endometriosis setelah dilakukan teapi pembedahan adalah 20% dalam waktu
5 bulan. Ablasi komplit dari endometriosis efektif dalam menurunkan gejala
nyeri sebanyak 90% kasus. Beberapa ahli mengatakan eksisi lesi adalah
metode yang baik untuk menurunkan angka kejadian rekurensi dari gejala-
gejala endometriosis. Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah
berhubungan dengan tingkat berat ringannya penyakit. Pasien dengan
endometriosis sedang memiliki peluang untuk hamil sebanyak 60%,
sedangkan pada kasus endometriosis yang berat keberhasilannya hanya
35%.
4. KAKNKER SERVIKS
A. DEFINISI
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim
sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan
merusak jaringan normal disekitarnya.
B. ANATOMI HISTOLOGI
Cervix adalah bagian dari system reproduksi wanita, terletak di dalam
pelvis. Cervix bagian terbawah dekat dengan bagian dari uterus. Cervix adalah
suatu saluran:
a. Cervix, menghubungkan uterus ke vagina. Selama periode menstruasi,
darah mengalir dari uterus melalui cervix ke vagina. Vagina mengalirkan
darah keluar dari tubuh.
b. Cervix memproduksi mucus. Selama coitus mucus membantu sperma
bergerak dari vagina melalui cervix ke dalam uterus
c. Selama kehamilan, cervix tertutup rapat unutk membantu menjaga bayi
tetap di dalam uterus selama kehamilan.

Ada 2 tipe sel dalam serviks, squamos dan glanduler. Pertemuan dua sel di
squamo-columner junction, bagian antara bibir luar dan dalam leher rahim, bisa
mengubah sel menjadi abnormal. Celakanya ini adalah bagian yang selalu
berubah jika terjadi haid, hamil atau menopause. Di bagian inilah, sela-sel
berubah cepat dan bisa jadi abnormal. Sel –sel yang rusak itu berubah bentuk dan
warna dan akhirnya menjadi tumor dan selanjutnya kanker yang mematikan.
Kanker servik makin ganas dari bulan kebulan dan tahun ke tahun. Pada masa pra
kanker (setelah sel berubah menjadi abnormal), ada tiga tahapan perubahan sel,
Cervical Intraepithel Neoplasma (CIN) 1, CIN 2 dan CIN 3. Setelah CIN 3, sel
yang abnormal itu menjadi sangat tebal dan akhirnya menjadi kanker.Tetapi
kanker tersebut tidak serta merta, dari terindikasi ada virus HPV hingga mencapai
CIN 2 atau 3 jarak waktunya 5 tahun, maka deteksi dini sangat penting.

Karsinoma servik timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (


portio ) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squama-colimnar
junction ( SCJ ). Histologik antara epitel gepeng berlapis ( squamous compleks )
dari portio dengan epitel kuboid / silindris pendek selapis beersilia dari
endoserviks kanalis serviks. Pada wanita muda SCJ ini berada di luar ostium uteri
eksternum., sedang pada wanita berumur lebih dari 35 tahun, SCJ berada dalam
kanalis serviks. Maka untuk melakukan paps smear yang efgatif, yang dapat
mengusap zona transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari Ayre atau
cytobrush sikat khusus. Pada awal perkembangannya kanker serviks tak memberi
tanda-tanda dan keluhan. Pada pemeriksaan dengan speculum, tampak sebagai
porsio yang erosive (metapasi squamosa) yang fisiologik atau patologik.

C. ETIOLOGI
Pada umumnya, kanker bermula pada saat sel sehat mengalami mutasi
genetic yang mengubahnya dari sel normal menjadi sel abnormal. Sel sehat
tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang teratur. Sel kanker tumbuh dan
bertambah banyak tanpa control dan mereka tidak mati. Adanya akumulasi sel
abnormal akan membentuk suatu massa (tumor). Sel kanker menginvasi jaringan
sekitar dan dapat berkembang dan tersebar di tempat lain di dalam tubuh
(metastasis)
Kanker serviks paling sering bermula dengan sel datar, tipis yang
membentuk dasar selviks (sel skuamosa). Karsinoma sel squamosa merupakan
80% dari kasus kanker serviks. Kanker serviks dapat juga terjadi pada sel kelenjar
yang membentuk bagian atas dari cerviks. Dapat disebut dengan adenocarcinoma,
prevalensi kanker ini yaitu 15% dari kanker serviks. Kadang-kadang kedua tipe
sel ditemukan pada kanker serviks. Terdapat kanker lain pada sel lain di serviks
namun persentasenya sangat kecil.
Apa yang menyebabkan sel skuamos atau sel glandular menjadi abnormal
dan berkembang menjadi kanker belum begitu jelas. Namun, telah jelas bahwa
Human papiloma virus (HPV) pada infeksi menular seksual berperan. Bukti
bahwa HPV ditemukan pada hampir semua kanker serviks. Namun, HPV
merupakan virus yang sangat umum dan kebanyakan wanita dengan HPV tidak
pernah mengidap kanker serviks. Ini berarti faktor resiko lainnya, seperti faktor
genetik, lingkungan, dan gaya hidup, juga menentukan apakah seseorang akan
terkena kanker serviks.
99,7 % kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus
(HPV), khususnya HPV tipe 16 dan 18, yang ditularkan melalui kontak kulit
kelamin.

D. EPIDEMIOLOGI
Diantara tumor ganas ginekologi, kanker serviks masih menduudki
peringkat pertama di Indonesia. Umur penderita antara 30-60 th, terbanyak antara
45-50 th. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasive memakan
waktu sekitar 10 th. Hanya 9% dari wanita berusia < 35 th menunjukan kanker
serviks yang invasive pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat
pada wanita dibawah usia 35 th. Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita
sepakat secara nasional melacak (mendeteksi dini) setiap wanita sekali saja
setelah melewati usia 30th dan menyediakan sarana penanganannya, untuk
berhenti sampai usia 60th. Yang penting dalam pelacakan ini adalah cakupannya
(coverage). Bahkan direncanakan melatih tenaga sukarelawati (dukun, ibu-ibu
PKK) untuk mengenali bentuk portio yang mencurigakan untuk dapat di Pap
smear oleh dokter atau bidan di Puskesmas atau Puskesling sebagaimana
disarankan oleh WHO.

E. FAKTOR RESIKO
 Mulai melakukan hubungan seks pada usia muda
Melakukan hubungan sex sebelum umur <16 tahun meningkatkan resiko
untuk terkena HPV. Sel imatur cenderung lebih rentan untuk mendapatkan
perubahan pre-kanker yang disebabkan oleh HPV.
 Berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom
Semakin banyak jumlah partner seks (dan semakin banyak jumlah partner
sex dari partner sex pasien), semakin besar kemungkinan untuk terkena
HPV.
 Sering menderita infeksi di daerah kelamin
Jika pasien memiliki IMS lainnya — seperti chlamydia, gonorrhea,
syphilis atau HIV/AIDS — pasien akan memiliki kemungkinan yang besar
terkena HPV.
 Melahirkan banyak anak
 Kebiasaan merokok (resikonya 2x lebih besar)
Mekanisme pasti yang menghubungkan antara rokok dengan kanker
serviks juga belum diketahui dengan jelas, namun merokok meningkatkan
perubahan pre-kanker dan terjadi pada servik. Merokok dan infeksi HPV
dapat membuat kemungkinan kanker serviks semakin meningkat tinggi.
 Defisiensi vitamin A, C, E dan zat gizi
Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat
dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta
mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita
yang makanannya rendah beta karoten dan retinol (vitamin A).
 Infeksi Clamidia
Beberapa riset menemukan bahwa wanita yang memiliki sejarah atau
infeksisaat ini berada dalam resiko kanker serviks lebih tinggi.
 Pemakaian AKDR
Pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks, bermula dari
adanya erosi serviks kemudian menjadi infeksi berupa radang yang terus
menerus. Hal ini dapat sebagai pencetus kanker serviks.
 Pemakaian pil KB
Penggunaan pil KB dalam jangka panjang dapat meningkatkan resiko
terjadinya kanker serviks. Riset menemukan bahwa resiko kanker serviks
meningkat sejalan dengan semakin lama wanita tersebut
menggunakan pil kontrasepsi tersebut dan cenderung menurun
pada saat pildihentikan.
 Pemakaian DES (Dietylstilbestrol)
DES adalah obat hormon yang pernah digunakan antara tahun
1940-1971 untuk beberapa wanita yang berada dalam bahaya keguguran.
Anak-anak wanita dari parawanita yang menggunakan obat ini,
ketika mereka hamil berada dalam resiko terkena
kanker serviks dan vagina sedikit lebih tinggi.

F. PATOFISIOLOGI
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel ektoserviks (porsio) dan
endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai Squamo-Columnar Junction
(SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari porsio
dengan epitel kuboid /silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis
serviks. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedang
pada wanita usia>35 tahun SCJ berada di dalam kanalis servikalis. Maka untuk
melakukan pap smear yang efektif, yang dapat mengusap zona transformasi, harus
dikerjakan dengan skraper ayre atau cytobrush sikat khusus. Pada awal
perkembangannya kanker serviks tidak memberi tanda dan keluhan. Pada
pemeriksaan dengan spekulum tampak sebagai porsio yang erosif (metaplasi
skuamosa) yang fisiologik atau patologik.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel
serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian ini disebut proses
metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Akibat proses
metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 lapisan skuamo kolumnar,
yaitu lapisan skuamo kolumnar asli dan lapisan skuamo kolumnar baru yang
menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.
Daerah di antaranya ini disebut daerah transformasi. Masuknya mutagen atau
bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara genetik pada saat fase aktif
metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi ganas. Perubahan ini
biasanya terjadi di daerah transformasi. Mutagen tersebut berasal dari agen-agen
yang ditularkan secara hubungan seksual dan diduga bahwa human papilloma
virus (HPV) memegang peranan penting. Sel yang mengalami mutasi tersebut
dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang
disebut displasia. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang
mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma
in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma
invasif tetapi membrana basalis masih utuh.
Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks
(NIS) untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari:
1) NIS 1, untuk displasia ringan;
2) NIS 2, untuk displasia sedang;
3) NIS 3, untuk displasia berat dan karsinoma in-situ.
Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit yang
dimulai dari displasia ringan, sedang, berat dan karsinoma in-situ untuk kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif. Beberapa penelitian menemukan bahwa
30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal dari NIS 1/NIS 2. Karena
tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi progresif dan
mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas
sehingga harus ditatalaksanai sebagaimana mestinya.

Tumor dapat tumbuh : 1) eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai
masa proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis ; 2) endofitik
mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk
mengadakan infiltrasi menjadi ulkus ; 3) ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung
merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk
menjadi ulkus yang luas.
Umumnya fase prainvasif antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10 tahun). Perubahan
epitel diplastik serviks secara kontinyu masih memungkinkan terjadinya regresi
spontan dengan pengobatan/ tanpa diobati itu dekenal dengan unitarian concept
dari Richart. Histopatologik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau
squamous cell carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clearcell carcinoma/
mesonephroid carcinoma, dan yang paling jarang adalah sarkoma.
Tingkatan pra-maligna
Porsio yang erosif dengan ektropion bukan termasuk lesi pramaligna,
selama tak ada bukti adanya perubahan diplastik dari SCJ. Penting untuk dapat
menggaet sel-sel dari SCJ untuk pemeriksaan eksfoliatif sitologi, meski pada
pemeriksaan ini ada kemungkinan terjadi false negative/ false positive.
Penanganan / terapi hanya boleh dilakukan atas dasar bukti histopatologik. Oleh
karena itu untuk konfirmasi hasil pap smear perlu tindak lanjut upaya diagnostik
biopsi serviks.

G. PENYEBARAN
Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3
arah:
a. kearah fornises dan dinding vagina
b. kearah korpus uterusl
c. kearah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi
septum rektovaginal dan kandung kemih.
Melalui pembuluh darah getah bening dalam parametrium kanan dan kiri
sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliak luar dan kelenjar iliak dalam
(hipogastrika). Penyebaran melalui pembuluh darah (bloodborne metastasis) tidak
lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja.
Tergantung dari kondisi imunulogik tubuh penderita KIS akan berkembang
menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman
invasi lebih dari 1mm dan sel tumor belum terlihat dalam pembuluh limfa atau
darah. Jika sel tumor sudah terdapat lebih dari 1mm dari membrana basalis, atau
lebih dari 1mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfe atau darah,
maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin telah menginfiltrasi stroma
serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang
demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor
menjadi invasif, penyebaran secara limfogen menuju kelenjar limfa regional dan
secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornises vagina, korpus uterus,
rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat
menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke
perimetrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum,
kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya
secara teoretis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus dikanan danvena subklavia
di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang, dan otak.
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan oleh
perdarahan-perdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh
karena obstruksi ureter ditempat ureter masuk ke dalam kandung kemih.

H. MANIFESTASI KLINIK
Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar
dari vagina ini makin lama kan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
Dalam hal demikian, pertumbuhan menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami
segera sehabis senggama (perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma
serviks (75-80%)
Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama
akan lebih sering terjadi, juga diluar senggama (perdarahan spontan). Perdarahan
spontan umumnya terjadi pada tinkat klinik lebih lanjut ( II atau III ), terutama
pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita yang sudah usia lanjut yang
sudah tak melayani suami secara seksual, atau janda yang sudah mati haid
(menopause) bilamana mengidap kanker serviks serin terlambat datang meminta
pertolonga. Perdarahan spontan saat defekasiakibat tergesernya tumor eksofitik
dari serviks oleh skibala, memaksa mereka datang ke dokter. Adanya perdarahan
spontan pervaginam saat berdefekasi, perlu dicurigai kemingkinan adanya
karsinoma serviks tingkat lanjut. Adanya bau busuk khas memperkuat dugaan
karsinoma. Anemia akan menyertai sebagai akibat perdarahan pervaginam
berulang. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor keserabut saraf, memerlukan
pembiusan umum untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam yang cermat.,
khususnya pada lumen vagina yang sempit dan dinding yang sklerotik dan
meradang. Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang disebabkan oleh
metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal
akibat perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal (CRF = Chronic Renal
Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang
menyebabkan obstruksi total. Membuat diagnosis karsinoma serviks uterus yang
klinis sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang menjadi masalah adalah bagaimana
mendiagnosa dalam tingkat yang sangat awal, misalnya dalam tingkat pra invasif,
lebih baik bila dapat menangkapnya dalam tingkatan pra-maligna
(displasia/diskariosis serviks)
Hasil pemeriksaan sitologi ekploratif dari ekto dan endo-serviks yang
positif tidak boleh dianggap doiagnosis pasti. Diagnosis harus dipastikan dengan
pemeriksaan histologik memuaskan, dari jaringan yang diperoleh dengan
melakukan biopsi. Agar hasil pemeriksaan histologik memuaskan biopsi harus
terarah (targeted biopsy). Dengan bimbingan kolposkop bila sarana
memungkinkan. Secara sederhana , dapat dikerjakan dengan sebelumnya
memulas porsio dengan larutan lugol dan jaringan yang diambil hendaknya pada
batas antara jaringan normal (berwarna coklat tua karena menyerap iodium)
dengan porsio yang pucat ( haringan abnormal yang tidak menyerap iodium).
Kemudian jaringan direndalm dalam larutan formalin10% untuk dikirim ke lab
Anatomi. Perlu disadari mengerjakan biopsi yang benar dan tidak mengambil
bagian yang nekrotik. Pada tingkat klinik O, Ia, Ib-occ, penentuan tingkat
keganasan secara klinis didasarkan atas hasil pemeriksaan histologik. Oleh karena
itu untuk konfirmasi diagnosis yang tepat sering diperlukan tindak lanjut seperti
kuretase endoserviks ( ECC = Endo-Cervical Curettage ) atau konisasi serviks.

I. DIAGNOSIS
Jika seseorang mengalami tanda dan gejala kanker serviks, pasien dapat
menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Untuk
menegakkan diagnosis, dokter dapat melakukan :
1. Memeriksa serviks. Selama pemeriksaan yang disebut kolposkopi, dokter dapat
menggunakan mikroskop khusus (colposcope) untuk memeriksa serviks dari sel
abnormal. Jika terlihat area yang tidak biasanya, dapat diambil sample sel untuk
analisis (biopsy).

Gambar 1. Colposcopy untuk mengambil jaringan


yang abnormal
2. Mengambil sample sel serviks. Selama prosedur
biopsy dokter mengambil sample dari sel abnormal dari serviks dengan
menggunakan alat khusus. Pada punch out biopsy, dokter menggunakan pisau
sirkuler khusus untuk mengambil sebagian kecil dari serviks. Biopsi jenis lainnya
dapat digunakan tergantung dari lokasi dan ukuran dari area yang abnormal.

Gambar 2. perbandingan gambaran serviks yang normal dan abnormal


3. Stadium
Jika kanker serviks telah ditentukan, maka pasien akan manjalani pemeriksaan
lebih jauh lagi untuk menentukan apakah kanker telah menyebar dan sampai
dimana penyebarannya – suatu proses yang disebut stadium kanker. Stadium
kanker merupakan faktor kunci yang menentukan pengobatan.
Tabel 2.1 Tingkat keganasan klinik menurut FIGO, 1978
Tingkat Kriteria
0 Karsinoma In Situ (KIS) atau karsinoma intra epitel, membrana
basalis masih utuh.
I Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus
Ia uteri
Karsinoma mikro invasif; bila membrana basalis sudah rusak
dan sel tumor sudah memasuki stroma tak>3mm, dan sel tumor
Ib occ tidak terdapat dalam pembuluh limfa atau pembuluh darah.
Secara klinis tumor belum tampak sebagai karsinoma, tetapi
II pada pemeriksaan histologik ternyata sel tumor telah
mengadakan invasi stroma melebihi Ia.
IIa Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik
menunjukkan invasi ke dalam stroma serviks uteri.
IIb Proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3
bagian atas vagina dan ke parametrium, tetapi tidak sampai
dinding panggul.
III Penyebaran hanya ke vagina, perametrium masih bebas dari
infiltrat tumor.
IIIa Penyebaran ke parametrium, uni/bilateral tetapi belum sampai
dinding panggul.
IIIb Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina atau ke
parametrium sampai dinding panggul.
Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina, sedang ke
IV parametrium tidak dipersoalkan asal tidak sampai dinding
panggul.
Penyebaran sudah sampai dinding panggul, tidak ditemukan
IVa daerah bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul
(frozen pelvic) atau proses pada tingkat klinik I atau II, tetapi
IVb sudah ada gangguan faal ginjal.
Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan
melibatkan mukosa rektum dan/ atau kandung kemih
(dibuktikan secara histologik), atau telah terjadi metastasis
keluar panggul atau ke tempat- tempat yang jauh.
Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah
menginfiltrasi mukosa rektum dan/ kandung kemih.
Telah terjadi penyebaran jauh.

Tabel 2.2 Pembagian tingkat keganasan menurut sistem TNM


Tingkat Kriteria
T Tak ditemukan tumor primer
T1S Karsinoma pra-invasif, ialah KIS (Karsinoma In Situ)
T1 Karsinoma terbatas pada serviks, (walaupun adanya perluasan
ke korpus uteri)
Pra-klinik adalah karsinoma yang invasif yang dibuktikan
T1b dengan pemeriksaan histologik.
T2 Secara klinis jelas karsinoma yang invasif.
Karsinoma telah meluas sampai di luar serviks, tetapi belum
sampai dinding panggul, atau karsinoma telah menjalar ke
T2a vagina, tetapi belum sampai 1/3 bagian distal.
T2b Karsinoma belum menginfiltrasi parametrium.
T3 Karsinoma telah menginfiltrasi parametrium.
Karsinoma telah melibatkan 1/3 bagian distal vagina atau telah
NB : mencapai dinding panggul (tak ada celah bebas antara tumor
dengan dinding panggul).
Adanya hidronefrosis atau gangguan faal ginjal akibat stenosis
ureter karena infiltrasi tumor, menyebabkan kasus dianggap
T4 sebagai T3 meskipun pada penemuan lain kasus itu seharusnya
masuk kategori yang lebih rendah (T1 atau T2).
T4a Karsinoma telah menginfiltrasi mukosa rektum atau kandung
kemih, atau meluas sampai di luar panggul.
T4b Karsinoma melibatkan kandung kemih atau rektum saja dan
NB : dibuktiksn secara histologik.
NX Karsinoma telah meluas sampai di luar panggul.
Pembesaran uterus saja belum ada alasan untuk
memasukkannya sebagai T4.
N0 Bila tidak memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa
N1 regional. Tanda -/+ ditambahkan untuk tambahan ada atau tidak
adanya informasi mengenai pemeriksaan histologik, jadi NX+
N2 atau NX-.
Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi.
M0 Kelenjar limfa regional berubah bentuk sebagaimana
M1 ditunjukkan oleh cara diagnostik yang tersedia (misal
limfografi, CT Scan panggul).
Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul
dengan celah bebas infiltrat diantara massa ini dengan tumor.
Tidak ada metastasis berjarak jauh.
Terdapat metastasis berjarak jauh, termasuk kelenjar limfa di
atas bifurkasio arteri iliaka komunis.

4. Pemeriksaan visual pada kandung kemih atau rektal.


Dokter dapt menggunakan alat khusus untuk melihat kandung kemih secara
langsung (cystoscopy) dan rektum (proctoskopi).
5. Gambaran Radiologi
Pemerksaan seperti X-Ray, computerized tomography (CT) Scan atau MRI dapat
membantu untuk menentukan apakah kanker telah menyebar disekitar serviks.
Jika kanker serviks terdeteksi pada stadium yang lebih awal,
penatalaksanaan sepertinya lebih berhasil. Skrining kanker serviks regular dan
perubahan prekanker pada serviks direkomendasikan untuk semua wanita.
Kebanyakan panduan menganjurkan skrining pertama dalam waktu 3 tahun
pertama setelah aktif secara seksual, atau tidak lebih dari umur 21. Skrining dapat
berupa.
1. Pap test.
Selama Pap test, dokter mengambil sel dari serviks – leher sempit dari
uterus- dan mengirim sample tersebut ke lab. Sel ini kemudian diperiksa ada
tidaknya abnormalitas.
Pemeriksaan Pap Test dapat mendeteksi sel abnormal pada serviks.
Stadium prekanker terjadi pada saat sel abnormal terdapat hanya pada lapisan luar
dari serviks dan tidak menginvasi bagian lebih dalam. Jika tidak ditangani, sel
abnormal ini dapat berubah menjadi sel kanker, dimana dapat menyebar pada
beberapa tempat sekitar serviks, vagina bagian atas, area pelvis, dan bagian lain
dari tubuh. Kanker atau prekanker yang ditemukan pada stadium preinvasif jarang
membahayakan nyawa dan biasanya hanya membutuhkan pengobatan rawat jalan.
Pemeriksaan Pap Smear secara rutin adalah cara paling efektif untuk
mendeteksi kanker serviks pada stadium yang lebih dini. Panduan jadwal Pap
rutin adalah sebagai berikut :
a. Pap Smear pertama dilakukan pada 3 tahun pertama setelah hubungan sex
pertama atau pada umur 21 tahun (lakukan yang mana terjadi duluan)
b. Dari umur 21 hingga 29 tahun, lakukan pemeriksaan Pap rutin setiap satu
atau 2 tahun sekali.
c. Dari umur 30 hingga 69 tahun, Pemeriksaan Pap setiap 2 atau 3 tahun jika
pasien memiliki 3 kali berurutan pemeriksaan Pap yang normal.
d. Umur 70 keatas, jika 3 pemeriksaan Pap Smear negative maka Pap smear
sudah dapat dihentikan.
Jika pasien mempunyai resiko yang lebih besar terjadinya kanker seviks,
maka Pap Smear lebih sering dilakukan.
2. Tes HPV DNA.
Terdapat juga pemeriksaan HPV DNA untuk menentukan apakah seseorang
terinfeksi salah satu dari 13 jenis HPV yang sepertinya paling mungkin
menyebabkan kanker serviks. Seperti pada Pap tes, tes HPV DNA mengambil
jaringan dari serviks untuk diperiksa di lab. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
strain resiko tinggi HPV pada DNA sel sebelum perubahan pada sel serviks
dapat terlihat.
Pemeriksaan HPV DNA bukan merupakan pengganti skrining Pap dan
tidak digunakan untuk wanita lebih muda dari 20 tahun dengan hasil Pap yang
normal, kebanyakan infeksi HPV pada wanita pada kelompok ini sembuh sendiri
dan tidak dikaitkan dengan kanker serviks.
Dalam perkembangannya, banyak ahli dalam the American Cancer
Society, the American College of Obstetricians and Gynecologists, the American
Society for Colposcopy and Cervical Pathology, dan the US Preventive Services
Task Force menetapkan protokol skrining bersama-sama, sebagai berikut:

a. Skrining awal. Skrining dilakukan sejak seorang wanita telah melakukan


hubungan seksual (vaginal intercourse) selama kurang lebih tiga tahun
dan umurnya tidak kurang dari 21 tahun saat pemeriksaan. Hal ini
didasarkan pada karsinoma serviks berasal lebih banyak dari lesi
prekursornya yang berhubungan dengan infeksi HPV onkogenik dari
hubungan seksual yang akan berkembang lesinya setelah 3-5 tahun setelah
paparan pertama dan biasanya sangat jarang pada wanita di bawah usia 19
tahun.
b. Pemeriksaan DNA HPV juga dimasukkan pada skrining bersama-sama
dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian
dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA
HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak
hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan
umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan
dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS
hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28
tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita
muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring
dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditenukan
kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila ini dialami
pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan
risiko karsinoma serviks.
c. Skrining untuk wanita di bawah 30 tahun berisiko dianjurkan
menggunakan Thinprep atau sitologi serviks dengan liquid-base method
setiap 1-3 tahun.
d. Skrining untuk wanita di atas 30 tahun menggunakan Pap’s smear dan
pemeriksaan DNA HPV. Bila keduanya negatif maka pemeriksaan diulang
3 tahun kemudian.
e. Skrining dihentikan bila usia mencapai 70 tahun atau telah dilakukan 3
kali pemeriksaan berturut-turut dengan hasil negatif. Tidak dapat
dipungkiri, memang saat ini cara terbaik untuk mencegah karsinoma
serviks adalah dengan screening gynaecological dan jika dibutuhkan
dilengkapi dengan treatment yang terkait dengan kondisi pra-karsinoma.
Namun demikian, dengan adanya biaya dan rumitnya proses screening dan
treatment, cara ini hanya memberikan manfaat yang sedikit di negara-
negara yang membutuhkan penanganan.
3. IVA
IVA adalah skrining yang dilakukan dengan memulas serviks menggunakan
asam asetat 3-5% dan kemudian diinspeksi secara kasat mata oleh tenaga medis
yang terlatih. Setelah serviks diulas dengan asam asetat, akan terjadi perubahan
warna pada serviks yang dapat diamati secara langsung dan dapat dibaca sebagai
normal atau abnormal.

J. PENATALAKSANAAN
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang
sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim onkologi).
Pada tingkat klinik (KIS) tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau
elektrofulgerasi, bedah krio (cryosurgery) atau dengan sinar laser, kecuali bila
yang menangani seorang ahli dalam kolposkopi dan penderitanya masih muda dan
belum mempunyai anak. Dengan biopsi kerucut (conebiopsy) meskipun untuk
diagnostik acapkali untuk terapetik. Ostium uteri internum tidak boleh sampai
rusak karenanya. Bila penderita cukup tua atau sudah mempunyai cukup anak,
uterus tidak perlu ditinggalkan, agar penyakitnya tidak kambuh (relapse) dapat
dilakukan histerektomi sederhana (simple vaginal hysterectomy).
Pada kasus tertentu dimana operasi merupakan suatu kontraindikasi aplikasi
radium dengan dosis 6500-7000 rads/cGy di titik A tanpa penambahan penyinaran
luar, dapat dilakukan.
Pada tingkat klinik Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang
invasif. Bila kedalaman invasif kurang atau hanya 1 mm dan tidak meliputi area
yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfa atau pembuluh darah,
penanganannya dilakukan seperti pada KIS di atas.
Pada klinis Ib, Ib occ dan IIa dilakukan histerektomi radikal dengan
limfadenektomi panggul. Pasca bedah biasanya dilanjutkan dengan penyinaran
tergantung ada/ tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfe regional yang diangkat.
Pada tingkat IIb, III dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah.
Untuk ini primer adalah radioterapi. Pada tingkat klinik IVa dan IVb penyinaran
hanya bersifat paliatif. Pemberian khemoterapi dapat dipertimbangkan. Pada
kasus yang kambuh 1 tahun sesudah penanganan lengkap, dapat dilakukan operasi
jika terapi terdahulu adalah radiasi dan prosesnya masih terbatas pada panggul.
Bila proses sudah jauh atau operasi tak mungkin dilakukan, harus dipilih
khemoterapi bila syaratnya terpenuhi. Untuk ini tak dilakukan sitostatika tunggal,
tetapi kombinasi beberapa sitostatika (polikemotherapi). Jika terapi terdahulu
adalah operasi sebaiknya dilakukan penyinaran bila prosesnya masih terbatas
dalam panggul (lokoregional), sedangkan kalau penyinaran tak mungkin
dikerjakan atau penyebaranya sudah lanjut, maka dipilih polikhemoterapi bila
syaratnya terpenuhi. Penyinaran ulang pada kasus yang sebelumnya pernah
mendapat radiasi, dengan mesin Linac dan di tangan yang ahli, hasilnya tidak
selalu mengecewakan. Penggunaan imunoterapi masih dalam tahap eksperimen

K. PENCEGAHAN
Resiko terjadinya kanker serviks dapat dilakukan dengan menghindari
infeksi HPV. HPV menyebar melalui kontak kulit dengan bagian badan yang
terinfeks – tidak hanya dengan hubungan seks. Menggunakan kondom setiap
melakukan hubungan dapat mengurangi resiko terkena infeksi HPV.
Sebagai tambahan dari penggunaan kondom, cara terbaik untuk mencegah
kanker serviks yaitu :
 Menghindari hubungan sex pada umur muda.
 Memiliki partner seks tunggal
 Menghindari merokok
a. Vaksin HPV
Suatu vaksin baru disebut Gardasil memberikan perlindungan dari tipe
HPV yang paling berbahaya. The national Advisory Committee on Immunization
Practices merekomendasikan vaksinasi pada wanita umur 11 dan 12 tahun,
sebagaimanapula pada wanita umur 13 hingga 26 tahun jika mereka belum
menerima vaksin. Vaksin ini paling efektif diberikan sebelum wanita aktif secara
seksual.
Walaupun vaksin dapat mencegah hingga 70 % kasus kanker serviks,
vaksin ini tidak dapat mencegah infeksi dari virus lain yang dapat juga
menyebabkan kanker serviks. Pap Smear secara rutin untuk skrining kanker
serviks lah yang paling penting.
Cara kerja Vaksin HPV
a. Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus tak beselaput dengan DNA
rantai ganda yang memerlukan organisme lain untuk berkembang biak
b. Vaksin HPV dibuat dari HPV yang sudah tidak memiliki DNA dan hanya
terdiri atas selubung protein (kapsid) L1 yang bisa memancing tubuh
membentuk sistem kekebalan terhadap HPV.
c. Vaksin disuntikkan ketubuh dan masuk ke aliran darah
d. Didalam darah, vaksin bekerja membentuk antibodi dan sel memori (sel
yang natinya akan membentuk antibodi terhadap HPV). Makin muda usia,
makin tinggi kadar antibodi yang terbentuk
e. Antibodi akan menangkap HPV yang masuk ke tubuh sehingga tidak dapat
masuk ke sel servik (leher rahim).
b. Penggunaan Kondom
Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka punya
bukti pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi risiko penularan virus
penyebab kutil kelamin (genital warts) dan banyak kasus karsinoma leher rahim.
Hasil pengkajian atas 82 orang yang dipublikasikan di New England Journal of
Medicine memperlihatkan bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu
menggunakan kondom saat berhubungan seksual kemungkinannya 70 persen
lebih kecil untuk terkena infeksi human papillomavirus (HPV) dibanding wanita
yang pasangannya sangat jarang (tak sampai 5 persen dari seluruh jumlah
hubungan seks) menggunakan kondom. Hasil penelitian memperlihatkan
efektivitas penggunaan kondom di Indonesia masih tergolong rendah. Dari survey
Demografi Kesehatan Indonesia pada 2003 (BPS-BKKBN) diketahui bahwa
ternyata penggunaan kondom pada pasangan usia subur di negara ini masih
sekitar 0,9 persen.

c. Sirkumsisi pada pria


Sebuah studi menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria berhubungan
dengan penurunan resiko infeksi HPV pada penis dan pada kasus seorang pria
dengan riwayat multiple sexual partners, terjadi penurunan resiko karsinoma
serviks pada pasangan wanita mereka yang sekarang.

L. PROGNOSIS
Kanker leher rahim menempati peringkat pertama kanker pada
perempuan di Indonesia. Ada 15.000 kasus baru pertahun dengan kematian
8000 pertahun. Angka harapan hidup lima tahun jika kanker ini diketahui dan
diobati pada stadium I adalah 70-75 persen, pada stadium 2 adalah 60 persen,
pada stadium 3 tinggal 25 persen, dan pada stadium 4 penderita sulit
diharapkan bertahan.

BAB III

INFEKSI PADA ORGAN GENETALIA WANITA

1. SERVITIS
A. DEFINISI

Servisitis adalah peradangan dari selaput lendir dari kanalis servikalis.


karena epitel selaput lendir kanalis servikalis hanya terdiri dari satu lapisan sel
selindris sehingga lebih mudah terinfeksi disbanding selaput lendir vagina. (
gynekologi . FK UNPAD, 1998 ). Juga merupakan :

a. Infeksi non spesifik dari serviks


b. Erosi ringan ( permukaan licin ), erosi kapiler ( permukaan kasar ), erosi
folikuler ( kistik )
c. Biasanya terjadi pada serviks bagian posterior
B. ETIOLOGI

Servisitis disebabkan oleh kuman-kuman seperti : trikomonas vaginalis,


kandida dan mikoplasma atau mikroorganisme aerob dan anaerob endogen vagina
seperti streptococcus, enterococus, e.coli, dan stapilococus . kuman-kuman ini
menyebabkan deskuamasi pada epitel gepeng dan perubahan inflamasi kromik
dalam jaringan serviks yang mengalami trauma.

Dapat juga disebabkan oleh robekan serviks terutama yang menyebabkan


ectropion, alat-alat atau alat kontrasepsi, tindakan intrauterine seprti dilatasi, dan
lain-lain.
C. GEJALA KLINIS

a. Flour hebat, biasanya kental atau purulent dan biasanya berbau


b. Sering menimbulkan erusio ( erythroplaki ) pada portio yang tampak
seperti daerah merah menyala.
c. Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat flour yang
purulent keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio normal tidak ada
ectropion, maka harus diingat kemungkinan gonorhoe
d. Sekunder dapat terjadi kolpitis dan vulvitis
e. Pada servisitis kroniks kadang dapat dilihat bintik putih dalam daerah
selaput lendir yang merah karena infeksi. Bintik-bintik ini disebabkan oleh
ovulonobothi dan akibat retensi kelenjer-kelenjer serviks karena saluran
keluarnya tertutup oleh pengisutan dari luka serviks atau karena
peradangan.
f. Gejala-gejala non spesifik seperti dispareuni, nyeri punggung, dan
gangguan kemih
g. Perdarahan saat melakukan hubungan seks
D. KLASIFIKASI
a) Servisitis Akuta

Infeksi yang diawali di endoserviks dan ditemukan pada gonorroe,


infeksi postabortum, postpartum, yang disebakan oleh streptococcus,
sthapilococus, dan lain-lain. Dalam hal ini streptococcus merah dan
membengkak dan mengeluarkan cairan mukopurulent, akan tetapi gejala-
gejala pada serviks biasanya tidak seberapa tampak ditengah-tengah gejala
lain dari infeksi yang bersangkutan.

Pengobatan diberikan dalam rangka pengobatan infeksi tersebut.


Penyakitnya dapat sembuh tanpa bekas atau dapat menjadi kronika.

b) Servisitis Kronika

Penyakit ini dijumpai pada sebagisn wanita yang pernah


melahirkan. Luka-luka kecil atau besar pada servik karena partus atau
abortus memudahkan masuknya kuman-kuman kedalam endoserviks serta
keleenjer-kelenjernya sehingga menyebabkan infeksi menahun.

a. Beberapa gambaran patologis dapat ditemukan :


1) Serviks kelihatan normal, hanya pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan
infiltrasi leukosit dalam stroma endoserviks. Servicitis ini menimbulkan
gejala, kecuali pengeluaran secret yang agak putih-kuning.
2) Di sini ada portio uteri disekitar ostium uteri eksternum, tampak daerah
kemerah-merahan yang tidak dipisahkan secara jelas dari epitel porsio
disekitarnya, secret yang dikeluarkan terdiri atas mucus bercampur nanah.
3) Sobeknya pada serviks uteri disini lebih luas dan mukosa endoserviks lebih
kelihatan dari luar (ekstropion). Mukosa dalam keadaan demikian mudah
terkena infeksi dari vagina. Karena radang menahun, serviks bisa menjadi
hipertropis dan mengeras, secret mukopurulent bertambah banyak.
E. DIAGNOSA BANDING
a. Karsinoma
b. Lesi tuberculosis
c. Herpes progenitalis

F. PEMERIKSAAN KHUSUS:

1) Pemeriksaan dengan speculum


2) Sediaan hapus untuk biakan dan tes kepekaan
3) Pap smear
4) Biakan damedia
5) Biopsy
G. PENATALAKSANAAN
b. Antibiotika terutama kalau dapat ditemukan gonococcus dalam secret
c. Kalau cervicitis tidak spesifik dapat diobati dengan rendaman dalam
AgNO3 10 % dan irigasi.
d. Cervicis yang tak mau sembuh ditolong operatif dengan melakukan
konisasi, kalau sebabnya ekstropion dapat dilakukan lastik atau amputasi.
e. Erosion dapat disembuhkan dengan obat keras seperti, AgNO3 10 % atau
Albothyl yang menyebabkan nekrose epitel silindris dengan harapan
bahwa kemudian diganti dengan epitel gepeng berlapis banyak
f. Servisitis kronika pengobatannya lebih baik dilakukan dengan jalan
kauterisasi-radial dengan termokauter atau dengan krioterapi.
H. PROGNOSIS:
1. Biasanya baik
2. Dapat kambuh

2. METRITIS

A. DEFINISI
Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang
biasanya menyerang endometrium hingga miometrium. Metritis dapat disebabkan
oleh infeksi peripartus atau post partus yang biasanya disertai septicemia sehingga
disebut juga sebagai metritis septika puerpuralis. Metritis juga dapat bersifat akut
yang biasanya menimbulkan berbagai gejala klinis yang jelas atau disebut juga
sebagai metritis klinis. Metritis yang bersifat kronis biasanya disertai dengan
pembentukan jaringan ikat pada endometrium sehingga tidak fungsional lagi
metritis ini sering disebut dengan metritis sklerotik
B. Etiologi
Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang tidak steril,
laserasi akibat distokia, kurangnya nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal
yang menyebabkan system kekebalan pada uterus terganggu. Dapat juga
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pada saat proses perkawinan alami maupun
IB.
C. Patogenesis dan Gejala klinis
Pada kasus metritis puerpurium biasanya didahului terjadinya inersia
uterine dan retensi plasenta hal ini dapat memicu perkembangan mikroorganisme
infeksius seperti C. pyogenes, Stapilococcus hemolitik dan Streptococcus grup C
yang akan berkolonisasi pada dinding uterus sehingga terjadi infiltrasi sel radang
yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan pada dinding uterus. Beberapa
bakteri tersebut dapat menghasilkan toksin yang sebagian dari itu akan terserap
tubuh dan sebagian yang lain akan keluar bersama lochia. Bila bakteri memasuki
aliran darah akan menimbulkan septicemia yang dimanisfestasikan dalam gejala
berupa demam, gejala lain yang dapat timbul diantaranya depresi, anoreksia,
penurunan produksi susu, diare yang disebabkan toksin dari bakteri tersebut,
vulva vaguna biasa tampak bengkak dan kongesti, peritonitis, pneumonia,
poliartritis (radang sendi)
D. Perubahan Patologi
Pada metritis sklerotik lapisan endometrium biasanya akan berubah menjadi
jaringan ikat tebal berlapisan padat, yang disertai foci dari infeksi, dan eksudat
purulen, terjadi nekrosis pada karunkula.
E. Diagnosa
Dilihat dari gejala klinis dan palpasi perektal. Pada kasus metritis sklerotis
biasanya uterus akan teraba tebal dan keras mirip kartilago atau jaringan fibrosa
padat.
F. Terapi
Pada metritis puerpuralis sebelum dilakukan terapi, terlebih dahulu
dilakukan pengeluaran plasenta yang masih retensi. Pemberian injeksi intravena
hormone oksitosin 10 ml. dan untuk mensesitifsasi uterus terlebih dahulu diberi
hormone esterogen dalam bentuk stilbestrol sebanyak 10-15 mg, pemberian kedua
hormone ini bertujuan untuk memicu involusi uterus. Untuk mengatasi bakteri
yang tersisa dilakukan pemberian infuse 1 juta penicillin dan 1 gram streptomycin
dalam 40 ml larutan fisiologis secara intra uterine terapi ini dilakukan 7-14 hari
post partus hingga leleran lochia kembali normal.

3. KEPUTIHAN

1. Definisi

Keputihan merupakan gejala keluarnya cairan dari vagina selain darah


haid. Keputihan (flour albus) adalah gejala keluarnya getah atau cairan vagina
yang berlebihan sehingga sering menyebabkan celana dalam basah.
2. Klasifikasi Keputihan

a. Keputihan normal (fisiologis)

Keputihan fisiologis biasanya terjadi menjelang dan sesudah menstruasi,


mendapatkan ransangan seksual, mengalami stres berat, sedang hamil atau
mengalami kelelahan. Adapun cairan yang keluar berwarna jernih atau
kekuningan, tidak berbau dan tidak terasa gatal. Keputihan semacam ini
merupakan sesuatu yang wajar, sehingga tidak diperlukan tindakan medis
tertentu.
b. Keputihan abnormal (patologis)

Keputihan patologis disebut keputihan dengan ciri-ciri jumlahnya banyak,


warnanya putih seperti susu basi, kuning atau kehijauan, disertai dengan
rasa gatal dan pedih, terkadang berbau busuk atau amis. Keputihan menjadi
salah satu tanda atau gejala adanya kelainan pada organ reproduksi wanita.
Kelainan tersebut dapat berupa infeksi, polip leher rahim, keganasan (tumor
dan kanker), serta adanya benda asing. Namun tidak semua infeksi pada
saluran reproduksi wanita memberikan gejala keputihan.

3. Patogenesis Keputihan

Perkembangan, alat kelamin wanita mengalami berbagai perubahan mulai


bayi hingga menopause. Keputihan merupakan keadaan yang dapat terjadi
fisiologisdan patologis karena terinfeksi kuman penyakit. Bila vagina terinfeksi
kuman penyakit seperti jamur, parasit, bakteri, dan virus maka keseimbangan
ekosistem vagina akan terganggu. Bakteri ini memakan glikogen yang
dihasilkan oleh estrogen pada dinding vagina sehingga mengakibatkan keadaan
pH vagina basa dan menjadikan kuman penyakit berkembangdan hidup subur di
dalam vagina

4. Gejala Keputihan

gejala yang timbul akibat keputihan beraneka ragam sesuai dengan faktor
penyebabnya. Cairan yang keluar bisa saja
sangat banyak, sehingga harus berkali-kali mengganti celana dalam, bahkan
menggunakan pembalut, namun dapat pula sangat sedikit. Sebagian penderita
mengeluhkan rasa gatal, hal ini dipengaruhi oleh kondisi lembab karena
banyaknya cairan yang keluar disekitar paha, sehingga kulit dibagian itu mudah
mengalami lecet.
Keputihan juga berpengaruh terhadap kondisi psikologis dikarenakan rasa
malu, sedih atau rendah diri, sehingga mengakibatkan kehilangan rasa percaya
diri dan mulai menarik diri dari pergaulan. Bahkan, kondisi ini dapat
menimbulkan kecemasan yang berlebihan karena takut akan terkena penyakit
kanker.

5. Penyebab Keputihan

Secara umum keputihan disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat


seperti: penggunaan tisu yang terlalu sering, pakaian berbahan sintesis yang
ketat, WC yang kotor, sering bertukar celana dalam atau handuk dengan orang
lain, membasuh organ kewanitaan kearah yang salah, kelelahan, tidak segera
mengganti pembalut, stres, sabun pembersih yang berlebihan, lingkungan kotor,
kadar gula darah yang tinggi dan hormon yang tidak seimbang
risiko keputihan juga bisa dipicu berdasarkan jenis keputihannya. Seperti
keputihan normal yang terjadi pada bayi baru lahir sampai umur 10 hari
dikarenakan pengaruh sisa estrogen dari plasenta terhadap uterus, pengaruh
estrogen yang meningkat pada saat menarche, rangsangan saat koitus
mengakibatkan adanya pelebaran pembuluh
darah di vagina atau vulva, adanya peningkatan produksi kelenjar-kelenjar pada
mulut rahim saat masa ovulasi, mukus serviks yang padat pada masa kehamilan.
Keputihan yang abnormal disebabkan oleh kelainan alat kelamin sebagai
akibat cacat bawaan seperti rektovaginalis dan fistel vesikovaginalis, cedera
persalinan dan radiasi kanker genitalia, benda asing yang tertinggal di dalam
vagina seperti tertinggalnya kondom dan pesarium untuk penderita hernia,
berbagai tumor jinak yang tumbuh ke dalam lumen, pada menopause
dikarenakan vagina yang mengering sehingga sering timbul gatal dan mudah
luka, dan beberapa penyakit kelamin yang disebabkan oleh beberapa jenis mikro
organisme dan virus tertentu, diantaranya adalah:
a. Bakteri

1) Grandnerella

Keputihan yang timbul berwarna putih keruh keabu-abuan, agak lengket dan
berbau amis seperti ikan, disertai rasa gatal dan panas pada vagina.
Menimbulkan peradangan pada vagina yang tidak spesifik dan menghasilkan
asam amino yang akan diubah menjadi senyawa amin. Peradangan yang
ditimbulkan oleh bakteri ini disebut Vaginosis bakterial.
2) Gonococcus

Ada beberapa macam bakteri golongan coccus. Salah satunya Neisseria


Gonorrhea, suatu bakteri yang dilihat dengan mikroskop tampak diplokok
(berbentuk biji) intraseluler dan ekstraseluler, bersifat tahan asam dan bersifat
“gram negatif”. Bakteri ini menyebabkan penyakit akibat hubungan seksual
(PHS/PMS/STD) yang paling sering ditemukan yaitu Gonorrhea. Pada laki-
laki, penyakit ini menyebabkan kencing nanah. Sedangkan pada perempuan
menyababkan keputihan.
3) Chlamydia Trachomatis

Bakteri ini sudah lebih dahulu dikenal sebagai penyebab penyakit mata yang
disebut Trakoma, namun ternyata bisa juga ditemukan dalam cairan vagina
yang menyebabkan penyakit uretritis non-spesifik (non-gonore). Keputihan
yang ditimbulkan bakteri ini tidak begitu banyak dan lebih encer bila
dibandingkan dengan Gonorrhea. Namun, bila infeksinya terjadi bersamaan
dengan bakteri gonococcus, bisa menyebabkan peradangan panggul yang
berat, kemandulan, hingga kehamilan diluar kandungan.

b. Jamur Candida

Keputihan yang timbul berwarna putih susu, bergumpal seperti susu basi, di
sertai rasa gatal dan kemerahan pada kelamin dan di sekitarnya. Keputihan
yang disebabkan oleh jamur candida, paling sering oleh spesies albicans.
Peradangan yang ditimbulkan oleh jamur ini disebut Kandidosis vaginalis.
Pada keadaan normal jamur ini terdapat di rongga mulut, usus besar maupun
dalam liang kemaluan wanita. Namun, pada keadaan tertentu, jamur ini
meluas sehingga menimbulkan keputihan. Beberapa faktor dapat
mempermudah seseorang terinfeksi jamur ini, seperti saat haid, hamil, minum
antibiotika dalam jangka waktu lama, kontrasepsi oral (pil KB), obat
kortikosteroid, dan penyakit kencing manis (diabetes mellitus).
c. Parasit

Keputihan jenis ini bersifat khas yaitu jumlah banyak, warna kuning
kehijauan, bau tak sedap, sakit saat melakukan hubungan seksual dan gatal.
Penularan terjadi melalui hubugan seksual. Peradangan yang ditimbulkan
oleh parasit ini disebut Trichomoniasis.

d. Virus

Keputihan akibat infeksi virus sering disebabkan oleh Virus Herpes Simplex
(VHS) tipe-2 dan Human Papilloma Virus (HPV). Infeksi HPV dapat
meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis, dan vulva. Sedangkan HPV
tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping. HPV dapat menimbulkan penyakit
Kondiloma akuminata yang disebut juga genital warts, kutil kelamin, veneral
warts ( jengger ayam).

6. Pemeriksaan Keputihan

sebelum melakukan tindakan pengobatan, perlu dilakukan langkah-


langkah pemeriksaan guna mengetahui penyebab keputihan. Berbagai langkah
pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan usia, keluahan yang dirasakan,
sifat-sifat cairan yang keluar, kaitannya dengan menstruasi, ovulasi, serta
kehamilan.
Pemeriksaan bisa dilakukan secara langsung dengan melihat vagina,
muara kandung kemih, anus dan lipatan pada paha. Bisa juga dilakukan
pemeriksaan di laboratorium yang memadai dengan cara mengambil sempel
cairan keputihan dan sampel darah. Adapun pemeriksaan dalam dilakukan
terhadap wanita yang sudah menikah.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan speculum. Untuk
melakukan pemeriksaan lanjutan, bisa dilakukan tindakan biopsi, yaitu dengan
cara mengambil sel-sel yang lepas dengan cara mengeroknya dari selaput lendir
rahim.

7. pencegahan Keputihan

Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan agar terhindar dari


keputihan: menghindari berganti-ganti pasangan hubungan seksual, menjaga
kebersihan alat kelamin, menggunakan pembersih yang tidak mengganggu
kesetabilan pH disekitar vagina, membilas vagina kearah yang benar,
menghindari pemakaian bedak pada vagina, menghindari membilas vagina
ditoilet umum, mengeringkan vagina sebelum menggunakan celana dalam,
mengurangi konsumsi makanan manis, memilih celana dalam yang tidak terlalau
ketat dan mudah menyerap keringat, menghindari berganti-ganti celana dalam
dengan orang lain, sering-sering mengganti pembalut ketika haid, gunakan
kondom ketika hendak berhubungan seksual jika sudah terkena keputihan,
menggunakan obat yang mengandung estrogen bagi wanita yang sudah
memasuki masa menoupose, melakukan pemeriksaan papsmear secara rutin bagi
yang sudah menikah

8. Pengobatan Keputihan

a. Jika keputihan masih ringan, bisa menggunakan sabun atau larutan antiseptik
khusus pembilas vagina seperlunya. Penggunaan berlebihan akan mematikan flora
normal dan mengganggu keasaman vagina. Konsultasi ke dokter, sehingga akan
diperoleh cara pengobatan paling tepat untuk mengatasi gangguan keputihan
patologis dan infeksi sesuai dengan penyebabnya. Jenis obat dapat berupa sediaan
oral berupa tablet atau kapsul, topical seperti krim yang dioleskan dan yang
langsung dimasukkan ke liang vagina.
b. Bagi yang sudah berkeluarga, lakukan pemeriksaan bersama pasangan.
Jika masih belum sembuh, lakukan uji resistensi obat dan mengganti dengan
obat lain. Ada kemungkinan kuman ternyata resisten terhadap obat yang di
berikan.
c. Bagi penderita yang sudah menikah dan melakukan hubungan seksual secara rutin,
apalagi berusia lebih dari 5 tahun, lakukan papsmear. Idealnya papsmear dilakukan
setahun sekali.
d. Jika positif terkena virus, bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan mulut rahim.

Sebagai penunjang di lakukan pula tes urin dan tesdarah.

e. M
elakukan pola hidup sehat agar daya tahan tubuh mendukung proses pengobatan.
4. ENDOMETRITIS

1. DEFINISI

adalah peradangan lapisan endometrium rahim. Selain endometrium, peradangan


mungkin melibatkan myometrium (miometritis) dan, kadang-kadang parametrium
(parametritis). Endometritis dapat dibagi menjadi endometritis terkait
kehamilan dan endometritis yang tidak terkait dengan kehamilan. Ketika kondisi tidak
terkait dengan kehamilan disebut sebagai pelvic inflammatory disease (PID).
Endometritis ini sering dikaitkan dengan peradangan saluran indung telur
(salpingitis), indung telur (oophoritis) dan peritonitis pelvis. Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) 2010 pedoman pengobatan penyakit menular seksual
mendefinisikan PID sebagai kombinasi dari endometritis, salpingitis, abses tuba
ovarium, dan karena peritonitis pelvis (panggul)

Diagnosis endometritis biasanya didasarkan pada temuan klinis, seperti demam


dan sakit perut yang lebih rendah. Kebanyakan kasus endometritis, termasuk mereka
yang menjalani bedah sesar saat persalinan, harus diperlakukan dengan pengaturan
rawat inap. Untuk kasus-kasus ringan setelah partus pervaginam, pemberian antibiotik
oral kemungkinan cukup memadai.
2. PatofisiologiEndometritis
Infeksi endometrium, atau decidua, biasanya hasil dari infeksi dari saluran kelamin
bagian bawah. Dari perspektif patologis, endometritis dapat diklasifikasikan sebagai
akut dan kronis. Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil dalam kelenjar
endometrium. Endometritis kronis ditandai dengan kehadiran sel plasma dan limfosit
dalam stroma endometrium.

Dalam populasi nonobstetric, pelvic inflammatory disease dan prosedur ginekologi


invasif adalah prekursor-prekursor yang paling umum untuk endometritis akut. Dalam
populasi obstetri, infeksi setelah bersalin adalah yang paling umum.

Endometritis kronis dalam populasi obstetrik biasanya berhubungan dengan produk-


produk yang tetap dari konsepsi setelah persalinan atau elektif aborsi. Dalam populasi
nonobstetric, endometritis kronis seringterlihat adanya infeksi (misalnya, klamidia,
tuberkulosis, bakteri vaginosis) dan adanya alat intrauterine.

3. Etiologi
Endometritis adalah penyakit polymicrobial yang melibatkan rata-rata 2-3 organisme.
Dalam kebanyakan kasus, hal ini timbul dari infeksi dari organisme yang ditemukan
pada flora normal vagina pada masyarakat awam.

Biasanya organisme terisolasi termasuk Ureaplasma


urealyticum, Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides bivius dan
Streptococcus Grup B. Klamidia dikaitkan persalinan yang lama (terlambat).
Enterococcus diidentifikasi sampai dengan 25% dari perempuan yang telah
menerima profilaksis cephalosporin.

4. Epidemiologi
Insiden setelah bersalin endometritis di Amerika Serikat bervariasi tergantung pada
rute pengiriman dan populasi pasien. Setelah pengiriman vagina, insiden adalah 1-
3%. Mengikuti cesarean pengiriman, berkisar Insiden 13-90%, tergantung pada faktor
risiko yang hadir dan apakah profilaksis antibiotik perioperative telah diberikan.
Dalam populasi nonobstetric, seiring endometritis dapat terjadi di hingga 70-90% dari
kasus salpingitis.

5. DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan klinis, sebagai berikut:

 Demam
 Sakit perut bagian bawah
 Lochia berbau busuk
 Pendarahan abnormal vagina
 Dyspareunia (mungkin ada pada pasien dengan penyakit inflammatory panggul
[PID])
 Dysuria (mungkin ada pada pasien dengan PID)
 Malaise
Dalam kasus setelah bersalin, pasien merasa demam, menggigil, sakit perut bagian
bawah, dan lochia berbau busuk. Pasien dengan PID hadir dengan Sakit perut bagian
bawah, dyspareunia, dysuria, demam, dan tanda-tanda sistemik lain. Namun, PID
disebabkan oleh Chlamydia cenderung menjadi lamban, dengan gejala konstitusional
tidak signifikan.

Temuan-temuan pemeriksaan fisik meliputi:

 Demam, biasanya terjadi dalam waktu 36 jam,


 Sakit perut bagian bawah
 Uterine tenderness
 Adnexal tenderness jika terkait salpingitis
 Lochia berbau busuk
 Takikardi
Uterine tenderness adalah ciri khas dari penyakit.

Suhu oral 38 °c atau lebih tinggi dalam 10 hari pertama setelah bersalin atau 38,7
°C dalam 24 jam pertama setelah bersalin diperlukan untuk memastikan diagnosis
endometritis setelah bersalin. Untuk PID, kriteria diagnostik minimum tenderness
bagian bawah perut, tenderness leher rahim, atau tenderness adnexal. Dalam kasus-
kasus yang parah, pasien mungkin muncul septik.

Faktor-faktor risiko utama untuk endometritis meliputi:

 Persalinan Cesar (terutama jika sebelum 28 minggu kehamilan)


 Prolonged rupture of membranes
 Persalinanyang yang lama dengan beberapa pemeriksaan vagina
 Severely meconium-stained amniotic fluid
 Pelepasan plasenta manual
 Pasien usia
 Status sosial ekonomi rendah

Faktor-faktor risiko kecil meliputi:

 Tidak adanya cervical mucus plug normal


 Pemberian beberapa kortikosteron untuk pencegahan persalinan prematur
 Pemantaunan Janin Intauterin Yang Terlalu Lama
 Operasi yang berkepanjangan
 Anestesi umum
 Anemia postpartum
Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko endometritis secara umum:

 Keberadaan perangkat intrauterine: perangkat partus bisa berfungsi sebagai jalur bagi
organisme untuk masuk ke dalam rahim
 Adanya cairan menstruasi dalam rahim
 Terkait cervicitis sekunder untuk gonore atau infeksi Chlamydia
 Terkait bakterial vaginosis
 Sering douching
 Aktivitas seksual yang tidak dilindungi
 Seks bebas
 Ektopi serviks

6. Penanganan
Setelah membuat diagnosis endometritis dan tidak termasuk sumber-sumber lain dari
infeksi, dokter harus segera memulai antibiotik spektrum yang luas. Perbaikan akan
dicatat dalam 48-72 jam di hampir 90% dari wanita diperlakukan dengan rejimen
yang disetujui.

Kebanyakan kasus endometritis, termasuk mereka yang melakukan persalian seksio


cesar, harus diperlakukan dengan pengaturan rawat inap. Untuk kasus-kasus ringan
setelah persalinan pervaginam, antibiotik oral mungkin memadai. Wanita hamil dengan
gejala bakterial vaginosis (BV) harus diperlakukan karena BV dikaitkan dengan hasil
buruk kehamilan. Meskipun penanganan tidak menunjukkan hasil yang adekuat,
setidaknya perawatan mengurangi tanda-tanda dan gejala infeksi vagina.

Remaja yang mengalami aborsi, endometritis dengan salpingitis terkait menimbulkan


risiko yang signifikan terhadap infertilitas. Oleh karena itu, terapi antibiotik secepatnya
harus diberikan pada kelompok ini.

Terapi antibiotik

Kombinasi Klindamisin dan gentamicin secara intravena setiap 8 jam telah dianggap
sebagai kriteria standar perawatan. Beberapa studi telah menunjukkan keberhasilan yang
memadai. Kombinasi dari generasi kedua atau ketiga cephalosporin dengan
metronidazole adalah pilihan populer yang lain.

Pada remaja, endometritis postabortion mungkin disebabkan oleh organisme yang


menyebabkan penyakit inflammatory panggul (PID). Rejimen pengobatan awal pada
pasien tersebut biasanya termasuk intravena cefoxitin dan doxycycline, dalam dosis sama
seperti PID.

Kecenderungan ke arah penggunaan pengobatan tunggal dengan antibiotaik spektrum


yang luas telah muncul; umumnya efektif dalam 80-90% dari pasien. Cephalosporins,
penicillins spektrum luas, dan fluoroquinolones digunakan sebagai monoterapi.

Perbaikan dicatat dalam 48-72 jam di hampir 90% dari perempuan. Terapi Parenteral
dilanjutkan sampai demam pasien reda selama lebih dari 24 jam. Jika pemeriksaan fisik
temuan jinak, pasien mungkin habis pada waktu itu. Terapi antibiotik rawat jalan lebih
lanjut telah terbukti tidak perlu diberikan. Jika pasien tidak membaik dalam periode 48-
72 jam, evaluasi kembali komplikasi seperti abses.

7. Prognosis
Hampir 90% dari perempuan diperlakukan dengan peningkatan catatan rejimen
disetujui dalam 48-72 jam. Keterlambatan dalam inisiasi terapi Faktor resiko
Wanita sangat rentan terhadap endometritis setelah kelahiran atau aborsi. Risiko
meningkat karena mulut serviks terbuka, kehadiran jumlah besar darah dan alat-alat
partus.

8. Komplikasi
Komplikasi yang potensial dari endometritis adalah sebagai berikut:

 Luka infeksi
 Karena peritonitis
 Infeksi Adnexal
 Parametrial phlegmon
 Panggul abses
 Panggul lebam
 Septic pelvic thrombophlebitis
Penyebaran infeksi dari endometrium tabung saluran indung telur, indung telur, atau
rongga peritoneal dapat mengakibatkan, salpingitis, oophoritis, karena peritonitis
lokal atau abses tuba ovarium. Salpingitis kemudian mengarah ke dysmotility tabung
dan pelekatan yang mengakibatkan infertilitas, insiden yang lebih tinggi dari
kehamilan ektopik, dan nyeri panggul kronis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pavone D, Clemenza S, Sorbi F, et al. 2018. Epidemiology and Risk Factors of


Uterine Fibroids. Italia: Best Practice & Research Clinical Obstetrics and
Gynaecology.
2. Anwar I, Finuria I. 2015. Karakteristik mioma uteri di RSUD Prof. Dr. Margono
soekarjo Banyumas [skripsi]. Banyumas: FK Universitas Muhammadiyah.
3. Pasinggi S. 2015. Prevalensi mioma uteri berdasarkan umur di RSUP Prof. R.D.
Kandou Manado. FKU Sam Ratulangi.
4. Cunningham FG et al. (2014). Hypertensive Disorder in Pregnancy. Dalam C. F. al,
William Obstetrics 23rd Ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.
5. Cunningham, FG., et al. (2014). Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta : EGC
6. Hestiantoro Andon. 2017. konsensus tata laksana nyeri endometriosis. Konsensus
Tata Laksana Nyeri Endometriosis.
7. Lagana A, Vitale S, Trovato M, et al. 2016. Full-Thickness Excision versus Shaving
by Laparoscopy for Intestinal Deep Infiltrating Endometriosis: Rationale and
Potential Treatmen Options (Review). BioMed Research International: 3617179: 1-8.
8. Abrao M, Petraglia F, Falcone T, Keckstein J, Osuga Y, Chapron C. 2015. Deep
endometriosis infiltrating the recto-sigmoid: critical factors to consider before
management. Hum rep update: 21(3):329-39.
9. Muzii L, Achilli C, Lecce F, et al. 2015. Second surgery for recurrent endometriomas
is more harmful to healthy ovarian tissue and ovarian reserve than first surgery. Fertil
Steril: 103(3):738-43
10. Tandrasasmita O, Sutanto A, Arifin P, Tjandrawinata R. 2015. Anti-inflammatory,
antiangiogenic, and apoptosisinducing activity of DLBS1442, a bioactive fraction of
Phaleria macrocarpa, in a RL95-2 cell line as a molecular model of endometriosis.
International journal of women's health: 7:161-9.
11. Vannuccini S, Lazzeri L, Orlandini C, Tosti C, Clifton V, Petraglia F. 2016. Potential
influence of in utero and early neonatal exposures on the later development of
endometriosis. Fertil Steril :105(4):997-1002.
12. Cunningham, FG., et al. (2014). Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta : EGC
13. Nuhonni S, Indriani. 2014, Panduan Pelayanan Klinis Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi: Disabilitas pada Kanker.
14. Wahyuni L, Tulaar A. 2014, Pedoman Standar Pengelolaan Disabilitas Berdasarkan
Kewenangan Pemberi Pelayanan Kesehatan.
15. Nayar R, Wilbur DC. 2015, The Pap test and Bethesda 2014. Cancer Cytopathol; 123:
271–281.
16. Wahidin Mugi, Sabrida Hardina, Andriana, et all. 2015, situasi penyakit kanker,
Kementrian Kesehatan RI
17. Cunningham, FG., et al. (2014). Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai