Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PERAWATAN MATERNITAS
MIOMA UTERI

Disusun oleh :

Hj. SURTINI

UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ MIOMA UTERI“.
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Perawatan
Maternitas Program Studi S1 Keperawatan Universitas Nasional Jakarta.

Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Handayani,Ns.Sp.Kep.Mat selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan Maternitas.
2. Orang tua tercinta yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan bantuan baik moril maupun
materil.
3. Seluruh teman – teman di Rumah Saki Umum Pandeglang yang telah banyak membantu penulis.
4. Rekan-rekan mahasiswa S1 Keperawatan Universitas Nasional Jakarta kelompok belajar Pandeglang

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.

Pandeglang, 8 Februari 2012

Hj. Surtini
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
A. Definisi 1
B. Epidemiologi 1
C. Patologi Anatomi 2
D. Patogenesi dan Aspek Biomolekuler 7
E. Perubahan Sitogenesis 8
F. Biomolekuler Perdarahan pada Mioma Uteri 11
G. Diagnosis 15
H. Penatalaksanaan 16
I. Diagnosa 21
J. Rencana keperawatan 21
Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Mioma uteri adalah tumor jinak yang berada pada uterus atau organ rahim. Masyarakat umumnya
menyebut mioma sebagai miom atau tumor otot rahim. Umumnya mioma uteri terletak pada dinding
rahim dan dapat berkembang ke arah dalam atau ke arah luar. Statistik penderita mioma tidak diketahui
secara pasti karena masih jarang karena umumnya mioma uteri ditemukan secara tidak sengaja dan
umumnya jarang menimbulkan keluhan atau gejala. Umumnya sekitar 30% terjadi pada wanita yang
berumur di atas 35 tahun. Mioma uteri dapat muncul lebih dari satu buah dan memiliki berat yang
bervariasi mulai dari beberapa gram saja hingga mencapai 5 kg.

B. EPIDEMIOLOGI
Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun leiomioma merupakan
neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpanginya.Sering
ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-25%), dimana prevalensi mioma uteri meningkat lebih
dari 70 % dengan pemeriksaan patologi anatomi uterus, membuktikan banyak wanita yang menderita
mioma uteri asimptomatik. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa berubah menjadi malignansi
(<1%). Gejala mioma uteri secara medis dan sosial cukup meningkatkan morbiditas, disini termasuk

menoragia, ketidaknyamanan daerah pelvis, dan disfungsi reproduksi. Kejadiannya lebih tinggi pada
usia di atas 35 tahun, yaitu mendekati angka 40 %. Tingginya kejadian mioma uteri antara usia 35-50
tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen. Mioma uteri dilaporkan belum
pernah terjadi sebelum menarke dan menopause. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri
ditemukan 2,39%-11,87% dari semua penderita ginekologi yang dirawat. Di USA warna kulit hitam

3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri.


Menoragia yang disebabkan mioma uteri menimbulkan masalah medis dan sosial pada
wanita.Mioma uteri terdapat pada wanita di usia reproduktif, pengobatan yang dapat dilakukan
adalah histerektomi, dimana mioma uteri merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan
histerektomi di USA (1/3 dari seluruh angka histerektomi).
Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi yang paling efektif belum
didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai etiologi mioma uteri itu sendiri. Baru-baru ini
penelitian sitogenetik, molekuler dan epidemiologi mendapatkan peranan besar komponen genetik
dalam patogenesis dan patobiologi mioma uteri.
Tinjauan pustaka ini bertujuan membahas peranan biomolekuler terhadap terjadinya mioma uteri,
serta hubungannya dalam penatalaksanaan mioma uteri yang lebih baik.

C. PATOLOGI ANATOMI
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya adalah dari
korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri
dibagi 4 jenis antara lain:
1. Mioma submukosa
2. Mioma intramural
3. Mioma subserosa
4. Mioma intraligamenter

Gambar 1. Gambar Jenis-jenis mioma uterus

Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48%), submukosa

(6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%) 3


1. Mioma submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini dijumpai
6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan
waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat
diketahui posisi tangkai tumor.
Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata.
Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai.
Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau
mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa
kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.
2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan tumor,
jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di
dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang
berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan
uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas,
sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
3. Mioma subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus
diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum
latum menjadi mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau
omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wondering parasitis
fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada
servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum
berbentuk bulan sabit.
Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot polos dan jaringan
ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri
dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan.
Gambar 1. Representasi gambar uterus normal dan struktur vaskulernya
A. Pelebaran pembuluh darah pada endometrium dan miometrium pada uterus normal
B. Pelebaran pembuluh darah obstruksi fisik pada pembuluh darah uterus miomatosus

Dikutip dari Gross Karen L,BA

D. PATOGENESIS DAN ASPEK BIOMOLEKULER


Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Karena mioma uteri
banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia menopause, belum
pernah terjadi sebelum menarche, maka diduga penyebabnya timbulnya mioma uteri paling banyak
oleh stimulasi hormon estrogen.
Pukka menemukan bahwa reseptor estrogen pada mioma uteri lebih banyak didapatkan
dibandingkan dengan miometrium normal. Meyer, de Snoo mengemukan patogenesis mioma uteri
dengan teori cell nest dan genitoblast.
Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau memakai mediator
masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan banyak sekali mediator di dalam
mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor-l,(IGF-l), connexsin-43-Gap
function protein dan marker proliferasi.
Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel
miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara parsial maupun secara
keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa dan yang
terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom 5
7(del(7)(q 21)/q 21 q 32). Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri sangat tergantung
apakah telah terjadi perubahan pada kromosom atau tidak.

E. Perubahan Sitogenetik Mioma Uteri


Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan penemuan yang
baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas kromosom non random. Abnormalitas
ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup sitogenetik yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12
dan 14, trisomi 12, penyusunan kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang kromosom

10 dan delesi kromosom 3 dan 7. Penting untuk diketahui mayoritas mioma uteri memiliki susunan
kromosom yang normal.
Muncul pertanyaan dari klasifikasi mioma uteri dengan kariotif abnormal, apakah terdapat
hubungan antara genotip tumor dengan fenotip klinis. Beberapa penelitian telah menunjukan adanya
rearrangements karyotype berhubungan dengan ukuran tumor yang lebih besar sesuai dengan lokasi

anatomis.
Arein, dkk menemukan bahwa tumor dengan delesi kromosom 7 rata-rata lebih kecil dari
daripada tumor dengan penyusunan kembali kromosom 12 (5 vs 8,5 cm), tetapi ekivalen dengan
ukuran tumor yang memiliki kariotip normal (5,4 cm). Hasil-hasil ini dikonfirmasikan oleh Kernig

dkk. Lebih jauh lagi mioma uteri submukosa ditemukan oleh Brosens dkk memiliki perubahan yang
lebih sedikit (12%) daripada intramural (35%) atau tumor subserosa (29%). Tidak ditemukan
hubungan antara abnormalitas sitogenetik dan usia penderita atau paritas.
Beraneka ragam perubahan kromosom ditemukan pada mioma uteri, yang paling sering terjadi
yaitu: translokasi, trisomi dan delesi, menyebabkan mekanisme pertumbuhan tumor yang multipel,
contohnya translokasi dapat juga meningkatkan atau menurunkan ekspresi gen melalui posisi juxta
pada seluruh bagian gen disamping elemen regular ektopik. Sebagai pilihan translokasi yang
menyetop fungsi seluruh protein atau diterjemahkan ke protein chimeraic novel yang fungsional.
Trisomi biasanya meningkatkan ekspresi gen melalui peningkatan dosis gen, dimana paling sering
terjadi delesi kromosom pada gen kehilangan fungsinya. Maka itu perbedaan perbedaan tipe
abnormalitas kromosom berada pada mioma uteri dapat memprediksikan genetik heterogen apa yang
mempercepat perkembangan dan pertumbuhan tumor. Penelitian-penelitian mengindentifikasikan
gen yang berperanan dalam perubahan sitogenetik ini.

1. Subgrup t (12,14)
Translokasi kromosom yang paling sering pada mioma uteri yaitu, t(12,14)(q14-q15;q23-

q24) diperkirakan terdapat pada 20% mioma uteri dengan perubahan kariotip. Pasangan
kromosom 12 lain yang paling sering mengalami translokasi termasuk kromosom 2,4,22 dan

x. Bagian q14-q15 pada kromosom 12juga ditemukan pada tumor mesenkim lainnya seperti;
fibroadenoma mammae, polip endometrium, lipoma dll.
Kloning pada posisi 12q14-q15 dimulai dengan perkembangan high density physical map dan
dihasilkan dari indentifikasi Yeast Artifician Chromosome (YAC) yang meningkatkan
translokasi 12q15 pada mioma uteri HMGIC, grup protein dengan densitas tinggi yang
dipetakan ke kloning YAC ini, menjadi gen yang berpotensial menarik karena penelitian
pada tikus mengidentifikasikan bahwa HMGIC adalah DNA binding protein yang terlbat
dalam proliferasi seluler dan pada diferensiasi jaringan mesenkim, termasuk jaringan adiposa.
Sebagai contoh, ekspresi HMGIC disebut fenotip pygmy bermanifestasi pengurangan berat
40% dan pada hipoplasia adiposit, fibroblast tikus menunjukkan penurunan empat kali lipat

aktifitas proliferasi. Terlebih lsgi penelitian molekular telah menemukan ekspresi HMGIC
pada mioma uteri dibandingkan ekspresi yang tidak dapat dideteksi pada miometrium yang
normal.
Bagian kromosom 14 terlibat dalam mioma uteri dengan t(12,14) menarik perhatian karena
spesifitasnya pada mioma uteri dibandingkan dengan tumor mesenkim lainnya, dimana
terjadi perubahan HMGIC. Reseptor ß gen estrogen (ESR 2), yang berada pada lengan
panjang kromosom 14 (14q23-24) sangat berarti karena pertumbuhan mioma uteri responsif
terhadap estrogen. Bagaimanapun lokus ESR 2 dipetakan kira-kira 2 megabas (MB) dari
t(12,14) dan analisis ekspresi tidak mengubah perbedaan transkripsi level ESR 2 antara
mioma uteri dengan dan tanpa t(12,14). Demikian juga ESR 2 tidak terganggu pada tumor
dengan t(12,14) yang dianalisa dengan hibridisasi fluoroscence insitu, dari
hasil ini bukan berarti ESR 2 pada mioma uteri disebabkan kesalahan ekspresi lainnya atau
sebagai pasangan translokasi posisi HMGIC pada mioma uteri dengan t(12,14), namun
demikian perkiraan fisiknya ke t(12,14) belum dapat dibuktikan bermakna sebagai
mekanisme yang mendasari patogenesis dan patologi mioma uteri.

2. Subgrup 6p21
Ketika HMGIC ditemukan terlibat dalam kromosom subgrup 12 pada mioma uteri, HMGIY
segera dikenali sebagai protein mobilitas tinggi berhubungan dengan HMGIC yang berada di
lengan pendek kromosom 6(6p 21) dapat berperanan dalam perubahan 6p21 pada mioma
uteri. Hibridisasi Flourescence insitu telah mengkonfirmasi bahwa HMGIY terlibat dalam
perubahan ini. Lebih jauh lagi peningkatan ekspresi HMGIY ditemukan pada mioma uteri
tanpa perubahan sitogenetik pada kromosom 6 pada tumor dengan perubahan kromosom
lainnya dan pada tumor dengan kariotip yang normal. Perubahan 6p21, termasuk translokasi
dengan kromosom 1,2,4,10 dan 14 seperti inversi dan translokasi dengan kromosom lainnya,
terjadi <10 % mioma uteri dengan kariotip yang abnormal.

3. Grup Protein Mobilitas Tinggi


HMGIC dan HMGI(Y) termasuk dalam grup mobilitas tinggi. Protein grup mobilitas tinggi,
jumlah banyak, nonhistone, DNA binding protein yang secara tidak langsung mengatur
aktifitas beraneka DNA dependent, seperti transkripsi, dengan menyediakan faktor-faktor
arsitektur. Protein grup mobilitas tinggi dikelompokkan berdasarkan fungsinya ke dalam 3
kelas, HMGI/2 HMG-14/HMG 17, HMG I. HMG I terdiri dari 3 protein; HMGI-C
berperanan dalam proliferasi dan diferensiasi sel.
Ikatan protein HMG I dapat menginduksi perubahan DNA, kemudian mempengaruhi akses
protein binding DNA lainnya. Lebih jauh lagi domain c terminal berinteraksi dengan protein
lainnya, contohnya faktor transkripsi. Dengan cara ini protein HMG I dapat secara tidak
langsung transkripsi, contohnya perubahan yang terjadi diinduksi oleh ikatan HMGI(Y) telah
diketahui menghubungkan transkripsi interferon ß. HMGIY telah terlihat mempengaruhi
transkripsi gen lainnya termasuk tumor necrosis factor ß, E Selectin, IL-2 receptor ,
chemokine, MgSA/GRO, CD44 cell adhesion protein dan sintesis nitric acid yang dapat
direduksi. Akhir –akhir ini level sintese nitric oxide endotel terlihat dari imunostaining yang
secara bermakna lebih tinggi pada sel-sel otot polos daripada sel otot polos yang normal.
Nitric Oxide mempengaruhi neovaskularisasi tumor yang estrogen dependent. Dapat
ditentukan bila ada korelasi antara ekspresi induksi sintese nitric oxide dan level disregulasi
protein HMGI pada mioma uteri dengan perubahan gen HMGI. Kesamaannya, hubungan
antara ekspresi HMGI dan perubahan ekspresi gen lainnya yang diatur protein HMGI belum
terlihat pada mioma uteri. HMGI(Y) juga dapat menghambat transkripsi dengan
menginterupsi resesi transkripsi histone.
4. Subgrup Del(7)(q22q32)
Delesi kromosom 7, del(7)(q22q32) terdapat pada 17 % mioma uteri dengan kariotip yang
abnormal.

F. Biomolekuler perdarahan pada mioma uteri


Pada penelitian klasik ditemukan perubahan fundamental struktur vaskuler uterus
miomatosus. Dengan kemajuan era molekuler ditemukan mekanisme angiogenesis pada uterus yang
didukung dengan didapatkannya disregulasi Local Vasoactive growth factor atau growth factor
receptors pada miometrium mioma uteri.
Walaupun ekstasia vena merupakan karakteristik kelainan pembuluh darah pada mioma uteri,
kelainan multipel pada arteri, vena dan matriks ekstraseluler (ECM) disekelilingnya kemungkian
juga menjadi penyebab kelainan heterogen ini. Pengertian disregulasi tidak hanya menerangkan
patofisiologi masalah klinis, tapi juga mengarah ke penatalaksanaan yang inovatif.
Pada siklus menstruasi normal, perubahan siklik estrogen dan progesteron akan mempengaruhi
stroma dan glandular endometrium. Perubahan morfologi glandular dan stroma ini diikuti dengan
perubahan struktur vaskular, dimana perubahan ini dimulai dari miometrium sampai sampai ke
endometrium melepaskan cabang arteri radialis yang menjadi berkelok-kelok dan disebut arteri
spiralis yang masuk ke dalam endometrium. Arteri spiralistidak seperti arteri basalis peka terhadap
estrogen dan progesteron. Menstruasi merupakan fase iskemik dengan karakteristik vasokonstriksi
arteri spiralis ini dan perdarahan terjadi setelah pembuluh darah relaksasi. Komponen darah termasuk
faktor pembekuan dan platelet muncul untuk membentuk bekuan yang membatasi kehilangan darah
sampai regenerasi selesai.
Menurunnya hormon steroid menyebabkan disrupsi sel-sel endometrium dan extracellular
matrix (ECM). Kelainan ekspresi molekul desmoplakin I II, E-cadherm,  dan ß-catenins dan
hilangnya F-actin terjadi hanya pada lapisan fungsional pada peristiwa menstruasi. Apoptosis
meningkat perlahan pada fase sekretori di glandular endometrium dan menyiapkan jaringan untuk
disrupsi. Sesudah lapisan fungsional lepas, terjadi regenerasi dimulai dari basal endometrium, ketika
terjadi kontak langsung dengan miometrium timbul mekanisme dimana growth factor mempengaruhi
regenerasi endometrium pada sistem parakrin.
Proses siklis angiogenesis, pembentukan pembuluh darah baru, pada ovarium dan uterus
sangat unik dan sulit dimengerti. Angiogenesis pada pembentukan tumor memiliki proses patologi
seperti pada penyembuhan luka. Dimana terjadi interaksi antara pembuluh darah dan ECM
disekitarnya. Proses yang terjadi dalam angiogenesis adalah penghancuran membran basalis, migrasi
sel endotel, proliferasi sel endotel, pembentukan tabung kapiler, diikuti stabilisasi (gambar 2).
Degradasi membran basalis melibatkan stromelysin, kolagen dan enzim-enzim lainnya untuk
menghancurkan elemen ECM. Sel endotel dapat bermigrasi ke ujung pembuluh darah. Proses migrasi
didukung lingkungan yang banyak mengandung kolagen tipe I dan tipe III dan dirangsang oleh basic
fibroblast growth factor (bFGF). Protein ECM ini juga muncul dan berperanan penting dalam proses
proliferasi. Pembentukan lumen dan stabilisasi juga dipengaruhi komponen ECM.

Gambar 2. Komponen ECM, kolagen IV dan V, serta laminin dihubungkan dengan basal membran dan
masuk kedalam suatu tempat yang banyak mengandung kolagen interstitial I,III, dan fibronektin
yang membantu proses migrasi. Proliferasi terjadi 24 jam setelah migrasi. Angiogenik ini
mengadakan vakuolisasi untuk membentuk lumen kapiler. Ketika proses stabilisasi tuba terjadi,
membran basalis baru terbentuk disekitar kapiler
Dikutip dari Gross Karen L,BA

Diperkirakan 30% wanita mengalami kelainan menstruasi, menoragia atau menstruasi yang
lebih sering. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini berhubungan dengan
peningkatan luas permukaan endometrium atau karena meningkatnya insiden disfungsi ovulasi. Teori
yang menjelaskan perdarahan yang disebabkan mioma uteri menyatakan terjadinya perubahan
struktur vena pada endometrium dan miometrium yang menyebabkan terjadinya venule ectasia.
Miometrium merupakan wadah bagi faktor endokrin dan parakrin dalam mengatur fungsi
endometrium. Aposisi kedua jaringan ini dan aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium
memfasilitasi interaksi ini. Growth factor yang merangsang stimulasi angiogenesis atau relaksasi
tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus
abnormal dan menjadi target terapi potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory
factors atau vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga menyebabkan
perdarahan uterus yang abnormal. Telah jelas bahwa ada perbedaan sejumlah gen pada mioma uteri
dengan miometrium yang normal. Terdapat peningkatan reseptor estrogen dan progesteron serta
enzim aromatase pada mioma uteri dibandingkan dengan miometrium. Mioma uteri juga
meningkatkan reseptor insulin like growth factor (IGF-I) dan mRNA IGF-II dan telah meningkatkan
TGF-ß3 enam kali lipat dibandingkan dengan miometrium. Selain itu didapatkan juga peningkatan
mRNA dan protein for parathyroid hormon related protein (PTHrP) dan bFGF (Weir
dkk,1994;Mangrulkar dkk,1995)
Protein yang ada pada mioma uteri mengalami fase siklus menstruasi yang spesifik lebih
banyak dibanding miometrium yang normal. Laboratorium telah menunjukkan mRNA kolagen tipe I
dan kolagen tipe III meningkat relatif pada mioma uteri hanya terjadi pada fase proliferatif siklus
epidermal Growth Factor (EGF) mRNA telah terlihat meningkat relatif pada fase luteal siklus
dibandingkan dengan miometrium (Harrison-Woolrych dkk,1994). Penelitian terbaru mengatakan
bahwa reseptor EGF dapat diturunkan pada mioma uteri sejak penelitian lain yang berkaitan
menyatakan adanya penurunan ikatan tersebut pada mioma uteri dibandingkan miometrium normal.
Faktor-faktor pertumbuhanataupun reseptornya yang diregulasi berbeda pada mioma uteri atau
endometrium uterus miomatosus, merupakan mediator yang potensial pada mioma uteri yang disertai
komplikasi. Faktor-faktor yang diregulasi berbeda, yang telah diketahui berperanan pada jaringan
vaskuler dengan cara meningkatkan proliferasi atau perubahan kapiler pembuluh darah, yang
berpotensi menyebabkan mioma uteri dengan gejala menoragia. Faktor-faktor yang memenuhi semua
kriteria termasuk basic fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factor (VEGF),
heparin binding epidermal growth factor (HBEGF), platelet derived growth factor (PDGF), TGF-ß,
PTHrP dan prolaktin.
Keempat faktor ini (bFGF,VEGF,HBEGF,PDGF) milik heparin binding group of growth
factors. Sejak faktor-faktor ini berikatan dengan heparin sulfat proteoglycans yang ditemukan di
ECM, mioma uteri, dengan muatan ECM yang besar, dapat dijadikan wadah bagi faktor-faktor ini.
Kedua faktor bFGF dan VEGF mengatur fungsi sel endotel, maka itu migrasi sel endotel vital
ditingkatkan ke proses angiogenik. HBEGF dan PDGF mengatur fibroblast dan fungsi sel otot polos
dan dapat mempengaruhi vaskularisasi otot polos mioma uteri, sel miometrium ataupun sel stroma
endometrium. PTHrP dapat berfungsi sebagai vasodilator secara tidak langsung dengan aksi pada
ECM atau secara langsung pada pembuluh darah. TGF-ß berfungsi pada banyak tipe sel dan
prolaktin, ketika membelah, berfungsi sebagai penghambat angiogenesis. Maka itu faktor ini
memiliki aksi yang potensial dalam mengatur fungsi vaskuler di uterus.
1. Basic Fibroblast Growth Factor
Merupakan protein 18 kd yang meningkatkan angiogenesis melalui sejumlah mekanisme
termasuk induksi proliferasi sel endotel, Chemotaxis dan produksi matrix remodelling enzym seperti
kolagenase dan aktivator plasminogen.Terapi estradiol merangsang BFGF like activity, yang hilang
ketika sel diterapi dengan progesteron model ini meniru pengaturan pengaruh hormon terhadap
angiogenesis invivo. BFGF juga telah menjadi mitogen besar yang menyebabkan proliferasi sel otot
polos sesudah perdarahan.
2. Vascular endothelial growth factor
VEGF merupakan growth factor angiogenic yang merupakan mitogen poten sel-sel
endotelial, ditemukan spesifik muncul pada siklus menstruasi fase proliferatif. VEGF mRNA juga
dideteksi pada miometrium dengan hibridisasi intensitas kuat pada batas endometrium dan
miometrium. Pada uterus manusia level VEGF ditemukan sama pada miometrium dan mioma uteri
dan tidak memiliki variabilitas siklus menstruasi yang bermakna.
3. Heparin-binding epidermal growth factor
HBEGF merupakan peptida 22-kd yang berfungsi sebagai mitogen pada fibroblas dan sel otot
polos dengan EGF-R pada sel-sel otot polos memilih afinitas yang lebih besar daripad EGF, maka itu
mitogennya lebih poten. Ekspresi meningkat pada tempat penyembuhan luka. HBEGF terdapat di
endometrium dengan pengaturan yang berbeda pada endometrium dengan peningkatan ekspresi
berhubungan dengan proliferasi tipe sel uterus, maka itu HBEGF mungkin merupakan mediator
aktifitas hormon steroid pada uterus. Dari hasil analisa ekspresi pada EGF-R pada endometrium
manusia menujukkan bahwa sel epitel mengekspresikan reseptor melalui siklus menstruasi,
sementara sel stroma menunjukkan ekspresi hanya selama fase sekretori.

4. Platelet-derived growth factor


PDGF merupakan faktor pertumbuhan dengan homodimeric (AA dan BB) dan heterodimeric
(AB) membentuk rantai dengan ikatan disulfid. Dua reseptor PDGF telah diidentifikasi PDGF 
yang mengikat ketiga hormon dimeric dan PDGF ß yang mengikat hanya BB isoform dengan afinitas
tinggi. Kedua reseptor merupakan tirosin kinase. PDGF berfungsi sebagai mitogen dan
chemoattractant sel otot polos dan fibroblas. Imunochemistry pada rantai PDGF memiliki level sama
antara mioma uteri dan sel otot polos intensitas staing sama pada miometrium dan leiomioma.

G. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus.Diagnosis mioma uteri
menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang lebih licin, tetapi
sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus.
2. Temuan laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang
banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoeitin yang
pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan
penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioam terhadap ureter yang menyebabkan peninggian
tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya
mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau
massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara
khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun
pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-fokus hiperekoik dengan bayangan
akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik.
b. Hiteroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika tumornya kecil
serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang
diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat
dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat
dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa. MRI dapat menjadi alternatif
ultrasonografi pada kasus-kasus yang tidak dapat disimpulkan.

H. PENATALAKSANAAN
A. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi harus
diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12 minggu,
tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi.
B. Terapi medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri secara
menetap belum tersedia padasaat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan terapi
tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.
Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analg GnRH,
progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain
(gossipol,amantadine).
1. GnRH analog
Penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita dengan mioma uteri yang
diberikan GnRHa leuprorelin asetat selam 6 bulan, ditemukan pengurangan volume
uterus rata-rata 67% pada 90 wanita didapatkan pengecilan volume uterus sebesar 20%

dan pada 35 wanita ditemukan pengurangan volume mioma sebanyak 80%.


Efek maksimal dari GnRHa baru terlihat setelah 3 bulan dimana cara kerjanya menekan
produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah menyerupai kadar
estrogen wanita usia menopause. Setiap mioama uteri memberikan hasil yang berbeda-
beda terhadap pemberian GnRHa.

Mioma submukosa dan mioma intramural merupakan mioma uteri yang paling rensponsif
terhadap pemberian GnRH ini. Keuntungan pemberian pengobatan medikamentosa
dengan GnRHa adalah:

1. Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri.


2. Mengurangi anemia akibat perdarahan.
3. Mengurangi perdarahan pada saat operasi.
4. Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat pengangkatan mioma.
5. Mempermudah tindakan histerektomi vaginal.
6. Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan histeroskopi.

2. Progesteron
Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif mioma uteri pada pemberian
progesteron dosis besar. Dengan pemberian medrogestone 25 mg perhari selama 21 hari
dan tiga pasien lagi diberi tablet 200 mg, dan pengobatan ini tidak mempengaruhi ukuran
mioma uteri, hal ini belum terbukti saat ini.
3. Danazol
Merupakan progesteron sintetik yang berasal dari testosteron. Dosis substansial
didapatkan hanya menyebabkan pengurangan volume uterus sebesar 20-25% dimana
diperoleh fakta bahwa danazol memiliki substansi androgenik. Tamaya, dkk melaporkan
reseptor androgen pada mioma terjadi peningkatan aktifitas 5-reduktase pada
miometrium dibandingkan endometrium normal. Mioma uteri memiliki aktifitas

aromatase yang tinggi dapat membentuk estrogen dari androgen. 16,17


4. Gestrinon
Merupakan suatu trienik 19-nonsteroid sintetik, juga dikenal dengan R 2323 yang
terbukti efektif dalam mengobati endometriosis. Menurut Coutinho(1986), melaporkan
97 wanita, A(n=34) menerima 5 mg gestrinon peroral 2x seminggu, kelompok B(n=36)
menerima 2,5 mg gestrinon peroral 2x seminggu, dan kelompok C(n=27) menerima 2,5
mg gestrinon pervaginam
3x seminggu. Data masing-masing dievaluasi setelah 4 bulan didapatkan volume uterus
berkurang 18% pada kelompok A, 27% pada kelompok B, tetapi pada kelompok C
meningkat 5%. Setelah masa pengobatan selama 4 bulan berakhir, 95% pasien amenore,
Coutinho menyarankan penggunaan gestrinon sebagai terapi preoperatif untuk
mengontrol perdarahan menstruasi yang banyak berhubungan dengan mioma uteri.

5. Tamoksifen
Merupakan turunan trifeniletilen yang mempunyai khasiat estrgenik maupun
antiestrogenik, dan dikenal sebagai “selective estrogen receptor modulator” (SERM).
Beberapa peneliti melaporkan pada pemberian tamoksifen 20 mg tablet perhari untuk 6
wanita premenopause dengan mioma uteri selama 3 bulan dimana volume mioma tidak
berubah, dimana kerjanya konsentrasi reseptor estradiol total secara signifikan lebih
rendah. Hal ini terjadi karena peningkatan kadar progesteron bila diberikan berkelanjutan.
6. Goserelin
Merupakan suatu GnRH agonis, dimana ikatan reseptornya terhadap jaringan sangat kuat,
sehingga kadarnya dalam darah berada cukup lama. Pada pemberian goserelin dapat
mengurangi setengah ukuran mioma uteri dan dapat menghilangkan gejala menoragia dan
nyeri pelvis. Pada wanita premenopause dengan mioma uteri, pengobatan jangka panjang
dapat menjadi alternatif tindakan histerektomi terutama menjelang menopause.
Pemberian goserelin 400 mikrogram 3 kali sehari semprot hidung sama efektifnya
dengan pemberian 500 mikrogram sehari sekali dengan cara pemberian injeksi subkutan.
Untuk pengobatan mioma uteri, dimana kadar estradiol kurang signifikan disupresi
selama pemberian goserelin dan pasien sedikit mengeluh efek samping berupa keringat
dingin. Pemberian dosis yang sesuai, agar dapat menstimulasi estrogen tanpa tumbuh
mioma kembali atau berulangnya peredaran abnormal sulit diterima. Peneliti
mengevaluasi efek pengobatan dengan formulasi depot bulanan goserelin dikombinasi
dengan HRT (estrogen konjugasi 0,3 mg) dan medroksiprogesteron asetat 5 mg pada
pasien mioma uteri, parameter yang diteliti adalah volume mioma uteri, keluhan pasien,
corak perdarahan kandungan mineral, dan fraksi kolesterol. Kadar HDL kolesterol
meningkat selama pengobatan, sedangkan plasma trigliserid meningkat selama

pemberian terapi.11,18
7. Antiprostaglandin
Dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita dengan menoragia, dan hal
ini beralasan untuk diterima atau mungkin efektif untuk menoragia yang diinduksi oleh
mioma uteri.
Ylikorhala dan rekan-rekan, melaporkan pemberian Naproxen 500-1000 mg setiap hari
untuk terapi selama 5 hari tidak memiliki efek pada menoragia yang diinduksi mioma,
meskipun hal ini mengurangi perdarahan menstruasi 35,7% wanita dengan menoragia
idiopatik.
C. Embolisasi Arteri Uterina
Suatu tindakan yang menghambat aliran darah ke uterus dengan cara memasukkan agen
emboli ke arteri uterina.
Dewasa ini embolisasi arteri uterina pada pasien yang menjalani pembedahan mioma.
Arteri uterina yang mensuplai aliran darah ke mioma dihambat secara permanen dengan
agen emboli (partikel polivynil alkohol). Keamanan dan kemudahan embolisasi arteri
uterina tidak dapat dipungkiri, karena tindakan ini efektif.
Proses embolisasi menggunakan angiografi digital substraksi dan dibantu
fluoroskopi. Hal ini dibutuhkan untuk memetakan pengisian pembuluh darah atau

memperlihatkan ekstrvasasi darah secara tepat. 23 Agen emboli yang digunakan adalah
polivinyl alkohol adalah partikel plastik dengan ukuran yang bervariasi. Katz dkk
memakai gel form sebagai agen emboli untuk embolisasi arteri uterina.

Tingkat keberhasilan penatalaksanaan mioma uteri dengan embolisasi adalah 85-90%.

D. Terapi inovatif berdasarkan aktivitas mekanisme molekular.


Setelah didapatkan mekanisme molekulaer mioma uteri, terapi yang lebih baik dapat
secara khusus memecahkan masalah ini. Seperti penyakit lainnya, bila didapatkan
kelainan gen yang spesifik akan membuka kemungkinan terapi gen di masa yang akan
datang. Sebelum terapi gen digunakan lebih luas, kemungkinan kita harus melewati terapi
yang ditujukan sebagai anti spesific growth factor angiogenesis yang terdapat di dalam
endometrium dan miometrium.
Sejumlah molekul telah diidentifikasi dalam menghambat proses proliferasi sel endotel
dan menghambat angiogenesis. TGF-ß dan sekresi reseptor bFGF berada di uterus dan
menghambat proses ini. Selain itu fragmen 16-kd prolaktin, angiostatin, thrombospondin-
I, platelet faktor 4, tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMPs 1,2 dan 3), interferon 
dan placentalproliferin-related protein secara negatif mengatur angiogenesis dan dapat
dieksploitasi terapi.
Agen farmakologi yang berlawanan dengan faktor angiogenik ataupun obat-obatan yang
dapat memblok produksi faktor ini, berikatan atau menurunkan bentuk aktifnya, atau
berikatan dengan reseptornya, juga bermanfaat. Stimulasi angiogenesis yang merupakan
target antagonis potensial, termasuk TGF-ß, bFGF, VEGF dan PDGF.
Terapi gen didefinisikan sebagai transfer rentetan DNA esensial atau terapetik ke dalam
sel pasien untuk mendapatkan keuntungan klinis. Perubahan ini dapat menghasilkan
meningkatkan produksi produk sel yang penting, penghambatan ekspresi gen yang
bersangkutan, dan induksi respon imun serta penghancuran sel-sel yang rusak dengan
kematian sel yang terprogram. Bentuk gen terapi yang paling sering adalah pembentuk,
penggunaan transfer gen untuk menggantikan produk gen yang abnormal atau hilang.
Walaupun transfer gen dapat dilakukan dilakukan dengan efikasi yang sama pada sel
somatik dan sel germ, terapi ditargetkan semata-mata pada sel somatik dan tidak
melibatkan pemusnahan secara langsung, atau perbaikan sel-sel yang mengalami kelai
ekhnologi DNA recombinant menyediakan alat-alat untuk memungkinkan terapi gen.
Ketika lokasi gen yang sama dikenali, terdapat empat langkah dasar dimana segmen
DNA dikloning, digestion, ligation, transformation, dan selection.
Pada langkah pertama digestion, DNA dipotong untuk mengeluarkan fragmen atau gen
yang diinginkan, dibantu dengan penggunaan sebuah kelas enzim yang disebut restriction
endonucleases, yang memecah rentetan DNA dengan tepat. Setelah segmen DNA yang
diinginkan didapatkan, segmen digabungkan atau diligasi untuk membantu vector
recombinant, yang mana di sini berperanan enzim kelas dua yang disebut DNA ligases.
Pada akhir langkah kedua ini, “gene” yang diminati bergabung ke dalam vektor yang
dapat bereplikasi sendiri. Ada dua tipe vektor yang sering digunakan dalam gen terapi,
vektor plasmid dan vektor viral. Plasmid DNA mudah tumbuh pada bakteri termasuk
seluruh elemen yang penting sebagai ekspresi mamalia, termasuk promoter, enhancer
sequences dan transcipt processing signals. Vektor viral termasuk sinyal yang menjamin
recombinant viral genome bergabung dalam progeny viral particles. Langkah ketiga,
transformasi terjadi dimana vektor dipindahkan dari test tube ke dalam sel host yang
dapat bereplikasi. Akhirnya metode selection atau indentification dilakukan untuk
menentukan sel host mana berisi recombinant DNA Human Vektor Recombinant dapat
digunakan untuk mentransfer sel-sel DNA manusia untuk terapi gen. Fungsi normal gen
dan protein encoded nya harus diketahui sebelum gen dianggap sebagai target dari terapi
gen.

Terapi gen sitotoksik telah menunjukkan keberhasilan dalam menghambat pertumbuhan


tumor, serta proliferasi sel benigna. Baru-baru ini FDA menyetujui terapi gen sitotoksik pada
tumor otak dan tumor ovarium. Tidak seperti tumor ganas, mioma uteri menimbulkan
gangguan bila ukurannya besar sehingga menimbulkan penekanan pelvis, obstruksi saluran
kencing, atau frekuensi buang air kecil yang menjadi lebih sering, dan buang air besar
menjadi sulit, bila tumbuh di sepanjang endometrium menyebabkan perdarahan uterus yang
abnormal. Terapi gen sitotoksik dapat mengecilkan nan.

I. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urin (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa


jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot
3. Ganguan konsep diri berhubungan dengan kekawatiran tentang ketidakmampuan
memiliki anak, perubahan dalam masalah kewanitaan, akibat pada hubungan seksual.
4. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan terjadinya perdarahan yang
berulang-ulang.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

J. RENCANA KEPERAWATAN
 Dx 1

Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot dan
system saraf akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma

 Tujuan
Klien dapat mengontrol nyerinya dengan criteria hasil mampu mengidentifikasi cara
mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk mengontrol nyerinya.

 Intervensi dan Rasional

1. Observasi adanya nyeri dan tingkat nyeri.

     Memudahkan tindakan keperawatan

2. Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakah untuk mengatasi nyeri

    Meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang dialaminya.

3. Ajarkan teknik relaksasi

     Meningkatkan kenyamanan klien

4. Anjurkan untuk menggunakan kompres hangat

     Membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien

5. Kolaborasi pemberian analgesik

      Mengurangi nyeri

 Dx 2

Gangguan eliminasi urine (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa


jaringan neoplasma pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.

Tujuan

Pola eliminasi urine ibu kembali normal dengan criteria hasil ibu memahami terjadinya
retensi urine, bersedia melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan
retensi urine.

 Intervensi dan Rasional


1. Catat pola miksi dan monitor pengeluaran urine

Melihat perubahan pola eliminasi klien

2. Lakukan palpasi pada kandung kemih, observasi adanya ketidaknyamanan dan rasa
nyeri.

Menentukan tingkat nyeri yang dirasakan oleh klien

3. Anjurkan klien untuk merangsang miksi dengan pemberian air hangat,  mengatur
posisi, mengalirkan air keran.

Diagnosa Keperawatan yang Muncul

1. Gangguan eliminasi urin (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa


jaringan neoplasm pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot.

 Intervensi
 Diagnosa Keperawatan I

Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan kerusakan jaringan otot dan system saraf
akibat penyempitan kanalis servikalis oleh myoma

 Tujuan
Klien dapat mengontrol nyerinya dengan criteria hasil mampu mengidentifikasi cara
mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk mengontrol nyerinya.
 Intervensi :

1. Observasi adanya nyeri dan tingkat nyeri.


Rasional : Memudahkan tindakan keperawatan
2. Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakah untuk mengatasi nyeri
Rasional : Meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang dialaminya.
3. Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Meningkatkan kenyamanan klien
4. Anjurkan untuk menggunakan kompres hangat
Rasional : Membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien
5. Kolaborasi pemberian analgesik
Rasional : Mengurangi nyeri

 Diagnosa Keperawatan II :

Gangguan eliminasi urine (retensio) berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan
neoplasma pada daerah sekitarnnya, gangguan sensorik / motorik.

 Tujuan
Pola eliminasi urine ibu kembali normal dengan criteria hasil ibu memahami terjadinya
retensi urine, bersedia melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan retensi
urine.

 Intervensi :

1. Catat pola miksi dan monitor pengeluaran urine


Rasional : Melihat perubahan pola eliminasi klien
2. Lakukan palpasi pada kandung kemih, observasi adanya ketidaknyamanan dan rasa
nyeri.
Rasional : Menentukan tingkat nyeri yang dirasakan oleh klien
3. Anjurkan klien untuk merangsang miksi dengan pemberian air hangat, mengatur
posisi, mengalirkan air keran.
Rasional : Mencegah terjadinya retensi urine
DAFTAR PUSTAKA

http://qittun.blogspot.com/2008/11/asuhan-keperawatan-ibu-dengan-myoma.html

http://runtah.com/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-mioma-uteri/

http://digilib.unsri.ac.id/download/Biomolekuler%20Mioma%20Uteri.pdf

Anda mungkin juga menyukai