Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

MATERNITAS DENGAN DIAGNOSA MEDIS


MIOMA UTERI

Disusun Oleh :
Adelia Septi Wigatama (20650200)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan Maternitas Oleh :

Nama : Adelia Septi Wigatama


NIM : 20650200
Institusi : Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Untuk memenuhi tugas praktik Profesi Ners Departemen Keperawatan Maternitas
mulai tanggal 07 - 12 Desember 2020 di Rumah Sakit Umum X.

Ponorogo, 09 Desember 2020

Penyusun,

(Adelia Septi Wigatama)

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Menurut (Manuaba, 2012) Mioma uteri merupakan tumor jinak otot
rahim, disertai jaringan ikatnya sehingga dapat dalam bentuk padat, karena
jaringan ikatnya dominan dan lunak, karena otot rahimnya dominan. Mioma uteri
juga merupakan tumor jinak pada Rahim ini sebagian besar berasal dari sel muda
otot Rahim, yang mendapat rangsangan terus menerus dari hormone estrogen
terus bertumbuh dan bertambah menjadi besar. Oleh karena itu tumor jinak otot
Rahim sebagian besar terjadi pada masa reproduktif aktif yaitu saat wanita masih
menstruasi.
Mioma uteri adalah tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot polos
Rahim. Mioma uter terjadi pada 20% - 25% perempuan di usia reproduktif.
Mioma uteri jarang sekali ditemukan sebelum usia pubertas, sangat dipengaruhi
oleh hormon reproduksi, dan hanya bermanifestasi selama usia reproduktif.
(Nugroho, 2012).
B. Etiologi
Menurut Prawirohardjo (2010) Walaupun mioma uteri ditemukan terjadi
tanpa penyebab yang pasti, namun dari hasil penelitian Miller dan Lipschlutz
dikatakan bahwa mioma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot imatur yang
terdapat pada “Cell Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh
hormon estrogen. Namun demikian, beberapa faktor yang dapat menjadi faktor
pendukung terjadinya mioma adalah: wanita usia 35-45 tahun, hamil pada usia
muda, genetik, zat-zat karsinogenik, sedangkan yang menjadi faktor pencetus
dari terjadinya mioma uteri adalah adanya sel yang imatur.
Menurut Apriyani (2013) sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti
mioma uteri dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa
mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi
somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai
abnormalitas kromosom, khususnya pada kromosom lengan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tumor, di samping faktor predisposisi genetik,
adalah estrogen, progesteron dan human growth hormone.
1. Estrogen
Mioma Uteri dijumpai setelah menarke. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan
ovarium. Adanya hubungan dengan kelainan lainnya yang tergantung
estrogen seperti endometriosis (50%), perubahan fibrosistik dari payudara
(14,8%), adenomyosis (16,5%) dan hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma
uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita
dengan sterilitas. 17B hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah estradiol
(sebuah estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini
berkurang pada jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor
estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
2. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
3. Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon
yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat
pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari
leiomioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik
antara HPL dan Estrogen. Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada
beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya
mioma uteri, yaitu :
a. Umur
Mioma Uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun,
ditemukan sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini
paling sering memberikan gejala klinis antara 35 – 45 tahun.
b. Paritas
Lebih sering terjadi pada nulipara atau pada wanita yang relatif
infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakan infertilitas
menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang
menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
c. Faktor Ras dan Genetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka
kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini
tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga, ada yang menderita mioma.
Belum diketahui secara pasti, tetapi asalnya disangka dari sel-sel otot yang
belum matang. Disangka bahwa estrogen mempunyai peranan penting,
tetapi dengan teori ini sukar diterangkan apa sebabnya pada seorang
wanita estrogen pada nuli para, faktor keturunan juga berperan mioma
uteri terdiri dari otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti konde
diliputi pseudokapsul. Perubahan sekunder pada mioma uteri sebagian
besar bersifat degeneratif karena berkurangnya aliran darah ke mioma
uteri. Perubahan sekunnder meliputi atrofi, degenerasi hialin, degenerasi
kistik, degenerasi membantu, marah, lemak.
C. Klasifikasi
Menurut Aspiani (2017) klasifikasi Mioma uteri dapat berdasarkan lokasi dan
lapisan uterus yang terkena yakni sebagai berikut :
1. Lokasi
Servical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi.
Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius. Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali
tanpa gejala.
2. Lapisan
Mioma Uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasinya dibagi menjadi
tiga jenis yaitu :

a. Mioma Uteri Subserosa


Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja,
dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui
tangkai. Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum
latum dan disebut sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup
besar akan mengisi rongga peritoneal sebagai suatu massa. Perlengketan
dengan usus, omentum atau mesenterium di sekitarnya menyebabkan
sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya
tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga mioma akan terlepas dari
uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum. Mioma
jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik.

b. Mioma Uteri Intramural


Berubah sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa
tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah bawah.
Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang
sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat
(jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan).

c. Mioma Uteri Submukosa


Terletak di bawah endometrium. Dapat pula bertangkai maupun tidak.
Mioma bertangkai dapat menonjol melalui kanalis servikalis, dan pada
keadaan ini mudah terjadi torsi atau infeksi.
D. Komplikasi
Menurut Robbins (2017) komplikasi mioma uteri terdiri atas :
1. Perdarahan sampai terjadi anemia.
2. Torsi tangkai mioma dari :
a. Mioma uteri subserosa.
b. Mioma uteri submukosa.
3. Nekrosis dan infeksi, setelah torsi dapat terjadi nekrosis dan infeksi.
4. Pengaruh timbal balik mioma dan kehamilan.
Pengaruh mioma terhadap kehamilan
a. Infertilitas.
b. Abortus.
c. Persalinan prematuritas dan kelainan letak.
d. Inersia uteri.
e. Gangguan jalan persalinan.
f. Perdarahan post partum.
g. Retensi plasenta.
Pengaruh kehamilan terhadap mioma uteri
a. Mioma cepat membesar karena rangsangan estrogen.
b. Kemungkinan torsi mioma uteri bertangkai.
E. Patofisiologi
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil didalam miometrium
dan lambat laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium mendesak
menyusun semacam pseudokapsula atau sampai semua mengelilingi tumor
didalam uterus mungkin terdapat satu mioma akan tetapi mioma biasanya
banyak. Bila ada satu mioma yang tumbuh intramural dalam korpus uteri maka
korpus ini tampak bundar dan konstipasi padat. Bila terletak pada dinding depan
uterus mioma dapat menonjol kedepan sehingga menekan dan mendorong
kandung kemih keatas sehingga sering menimbulkan keluhan miksi (Aspiani,
2017).
Secara makroskopis, tumor ini biasanya berupa massa abu-abu putih, padat,
berbatas tegas dengan permukaan potongan memperlihatkan gambarankumparan
yang khas. Tumor mungkin hanya satu, tetapi umumnya jamak dan tersebar di
dalam uterus, dengan ukuran berkisar dari benih kecil hingga neoplasma masif
yang jauh lebih besar dari pada ukuran uterusnya. Sebagian terbenam didalam
miometrium, sementara yang lain terletak tepat di bawah endometrium
(submukosa) atau tepat dibawah serosa (subserosa). Terakhir membentuk
tangkai, bahkan kemudian melekat ke organ disekitarnya, dari mana tumor
tersebut mendapat pasokan darah dan kemudian membebaskan diri dari uterus
untuk menjadi leimioma “parasitik”. Neoplasma yang berukuran besar
memperlihatkan fokus nekrosis iskemik disertai daerah perdarahan dan
perlunakan kistik, dan setelah menopause tumor menjadi padat kolagenosa,
bahkan mengalami kalsifikasi (Robbins, 2017).
F. Manifestasi Klinis
Hampir separuh dari kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan pelvik rutin. Pada penderita memang tidak mempunyai keluhan apa-
apa dan tidak sadar bahwa mereka sedang mengandung satu tumor dalam uterus
(Djamil, 2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik
meliputi :
1. Besarnya mioma uteri
2. Lokalisasi mioma uteri
3. Perubahan – perubahan pada mioma uteri

Gejala klinik terjadi hanya pada sekitar 35 % – 50% dari pasien yang
terkena. Adapun gejala klinik yang dapat timbul pada mioma uteri:
1. Perdarahan abnormal, merupakan gejala klinik yang sering ditemukan (30%).
Bentuk perdarahan yang ditemukan berupa menoragi, metroragi, dan
hipermenorrhea. Perdarahan dapat menyebabkan anemia defisiensi Fe.
Perdarahan abnormal ini dapat dijelaskan oleh karena bertambahnya area
permukaaan dari endometrium yang menyebabkan gangguan kontraksi otot
rahim, distorsi dan kongesti dari pembuluh darah di sekitarnya dan ulserasi
dari lapisan endometrium.
2. Penekanan rahim yang membesar :
a. Terasa berat di bagian bawah abdomen
b. Gejala traktus urinarius: urine frekuensi, retensi urine, obstruksi ureter dan
hidronefrosis.
c. Gejala intestinal: konstipasi dan obstruksi intestinal.
d. Terasa nyeri karena tertekannya saraf.

3. Nyeri dapat disebabkan oleh :


a. Penekanan saraf.
b. Torsi bertangkai.
c. Submukosa mioma terlahir.
d. Infeksi pada mioma.
4. Infertilitas, akibat penekanan saluran tuba oleh mioma yang berlokasi di
kornu. Perdarahan kontinyu pada pasien dengan mioma submukosa dapat
menghalangi implantasi. Terdapat peningkatan insiden aborsi dan kelahiran
prematur pada pasien dengan mioma intramural dan submukosa.
5. Kongesti vena, disebabkan oleh kompresi tumor yang menyebabkan edema
ekstremitas bawah, hemorrhoid, nyeri dan dyspareunia.
6. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan.
7. Abortus spontan.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. USG untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan
endometriium dan keadaan adnexa dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat
dideteksi dengan CT scan ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih
mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG. Untungnya,
leiomiosarkoma sangat jarang karena USG tidak dapat membedakannya
dengan mioma dan konfirmasinya membutuhkan diagnosa jaringan.
2. Dalam sebagian besar kasus, mioma mudah dikenali karena pola gemanya
pada beberapa bidang tidak hanya menyerupai tetapi juga bergabung
dengan uterus; lebih lanjut uterus membesar dan berbentuk tak teratur.
3. Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga
pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
4. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa
disertai dengan infertilitas.
5. Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
6. Laboratorium : darah lengkap, urine lengkap, gula darah, tes fungsi hati,
ureum, kreatinin darah.
7. Tes kehamilan.

H. Penatalaksanaan
Menurut (Bararah, 2013) penanganan mioma uteri menurut usia, paritas, lokasi,
dan ukuran tumor :
1. Penanganan Konservatif
a. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodic setiap 3 – 6 bulan
b. Monitor keadaan Hb
c. Pemberian zat besi
d. Penggunaan ogonis GnRH untuk mengurangi ukuran mioma
2. Penanganan operatif
a. Perdarahan uterus abnormal yang menyebabkan penderita anemia
b. Nyeri pelvis yang hebat
c. Ketidakmampuan untuk mengevaluasi adneksa
d. Gangguan BAK (retensi urine)
e. Pertumbuhan mioma setelah menopause
f. Infertilisasi
g. Meningkatnya pertumbuhan mioma
Jenis operasi yang dilakukan pada mioma uteri, yaitu :
1. Miomektomi : Pengambilan sarang mioma tanpa pengangkatan
Rahim/uterus. Penatalaksanaan ini paling disarankan kepada wanita yang
belum memiliki keturunan.
2. Histerektomi : tindakan operatif yang dilakukan untuk mengangkat Rahim,
baik sebagian (subtotal) tanpa serviks uteri ataupun seluruhnya (total) berikut
dengan serviks uteri. Ada 2 cara histerektomi yaitu :
a. Abdominal (bila tumor terutama mioma intro ligamenter)
b. Vaginal (bila tumor kecil ukuran < uterus gravid 2 minggu)
I. Pathway
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien: meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, alamat.
b. Identitas Penanggung jawab: Nama, umur, jenis kelamin, hubungan
dengan keluarga, pekerjaan, alamat.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien mioma uteri,
misalnya timbul benjolan diperut bagian bawah yang relatif lama.
Kadang-kadang disertai gangguan haid
b. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di rasakan oleh ibu penderita mioma saat dilakukan
pengkajian, seperti rasa nyeri karena terjadi tarikan, manipulasi
jaringan organ. Rasa nyeri setelah bedah dan adapun yang yang perlu
dikaji pada rasa nyeri adalah lokasih nyeri, intensitas nyeri, waktu dan
durasi serta kualitas nyeri.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah diderita dan jenis
pengobatan yang dilakukan oleh pasien mioma uteri, tanyakan
penggunaan obat-obatan, tanyakan tentang riwayat alergi, tanyakan
riwayat kehamilan dan riwayat persalinan dahulu, penggunaan alat
kontrasepsi, pernah dirawat/dioperasi sebelumnya.
d. Riwaya Penyakit Keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada anggota keluarga mempunyai
penyakit keturunan seperti diabetes melitus, hipertensi, jantung,
penyakit kelainan darah dan riwayat kelahiran kembar dan riwayat
penyakit mental.
e. Riwayat Obstetri
Untuk mengetahui riwayat obstetri pada pasien mioma uteri yang perlu
diketahui adalah
1) Keadaan haid
Tanyakan tentang riwayat menarhe dan haid terakhir, sebab mioma
uteri tidak pernah ditemukan sebelum menarhe dan mengalami
atrofi pada masa menopause.
2) Riwayat kehamilan dan persalinan
Kehamilan mempengaruhi pertumbuhan mioma uteri, dimana
mioma uteri tumbuh cepat pada masa hamil ini dihubungkan
dengan hormon estrogen, pada masa ini dihasilkan dalam jumlah
yang besar.
f. Faktor Psikososial
1) Tanyakan tentang persepsi pasien mengenai penyakitnya, faktor-
faktor budaya yang mempengaruhi, tingkat pengetahuan yang
dimiliki pasien mioma uteri, dan tanyakan mengenai seksualitas
dan perawatan yang pernah dilakukan oleh pasien mioma uteri.
2) Tanyakan tentang konsep diri : Body image, ideal diri, harga diri,
peran diri, personal identity, keadaan emosi, perhatian dan
hubungan terhadap orang lain atau tetangga, kegemaran atau jenis
kegiatan yang di sukai pasien mioma uteri, mekanisme pertahanan
diri, dan interaksi sosial pasien mioma uteri dengan orang lain.
g. Pola Kebiasaan sehari-hari
Pola nutrisi sebelum dan sesudah mengalami mioma uteri yang harus
dikaji adalah frekuensi, jumlah, tanyakan perubahan nafsu makan
yang terjadi.
h. Pola eliminasi
Tanyakan tentang frekuensi, waktu, konsitensi, warna, BAB terakhir.
Sedangkan pada BAK yang harus di kaji adalah frekuensi, warna, dan
bau.
i. Pola Aktivitas, Latihan, dan bermain
Tanyakan jenis kegiatan dalam pekerjaannya, jenis olahraga dan
frekwensinya, tanyakan kegiatan perawatan seperti mandi, berpakaian,
eliminasi, makan minum, mobilisasi
j. Pola Istirahat dan Tidur
Tanyakan waktu dan lamanya tidur pasien mioma uteri saat siang dan
malam hari, masalah yang ada waktu tidur.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kaji tingkat kesadaran pasien mioma uteri
b. Tanda-tanda vital : Tekanan darah, nadi,suhu, pernapasan.
c. Pemeriksaan Fisik Head to toe
1) Kepala dan rambut : lihat kebersihan kepala dan keadaan rambut.
2) Mata : lihat konjungtiva anemis, pergerakan bola mata simetris
3) Hidung : lihat kesimetrisan dan kebersihan, lihat adanya
pembengkakan konka nasal/tidak
4) Telinga : lihat kebersihan telinga.
5) Mulut : lihat mukosa mulut kering atau lembab, lihat kebersihan
rongga mulut, lidah dan gigi, lihat adanya penbesaran tonsil.
6) Leher dan tenggorokan : raba leher dan rasakan adanya
pembengkakan kelenjar getah bening/tidak.
7) Dada atau thorax : paru-paru/respirasi, jantung/kardiovaskuler dan
sirkulasi, ketiak dan abdomen.
8) Abdomen
Infeksi: bentuk dan ukuran, adanya lesi, terlihat menonjol,
Palpasi: terdapat nyeri tekan pada abdomen
Perkusi: timpani, pekak
Auskultasi: bagaimana bising usus
9) Ekstremitas/ muskoluskletal terjadi pembengkakan pada
ekstremitas atas dan bawah pasien mioma uteri
10) Genetalia dan anus perhatikan kebersihan,adanya lesi, perdarahan
diluar siklus menstruasi.
B. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan nekrosis atau trauma jaringan dan refleks
spasme otot sekunder akibat tumor.
2. Resiko syok berhubungan dengan perdarahan.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun tubuh sekunder akibat
gangguan hematologis (perdarahan)
4. Retensi urine berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan neoplasma
pada organ sekitarnya, gangguan sensorik motorik.
5. Resiko Konstipasi berhubungan dengan penekanan pada rectum (prolaps
rectum)
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status peran, ancaman pada
status kesehatan, konsep diri (kurangnya sumber informasi terkait penyakit)
C. INTERVENSI

NO Intervensi
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
.
1. Nyeri akut NOC: Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama 1 x 24 jam, pasien 1. Lakukan pengkajian nyeri
dengan nekrosis mioma uteri mampu mengontrol nyeri komprehensip yang meliputi
atau trauma dibuktikan dengan kriteria hasil: lokasi, karakteristik,
jaringan dan onset/durasi, frekuensi, kualitas,
refleks spasme otot Mengontrol Nyeri intensitas atau beratnya nyeri
sekunder akibat 1. Mengenali kapan nyeri terjadi dan faktor pencetus
tumor 2. Menggambarkan faktor penyebab nyeri 2. Observasi adanya pentunjuk
3. Menggunakan tindakan pencegahan nonverbal mengenai ketidak
Definisi: nyeri nyamanan terutama pada mereka
Pengalaman sensori 4. Menggunakan tindakan pengurangan yang tidak dapat berkomunikasi
dan emosional tidak nyeri (nyeri) tanpa analgesik secara efektif
menyenangkan yang 5. Menggunakan analgesik yang 3. Pastikan perawatan analgesik
muncul akibat direkomendasikan bagi pasien dilakukan dengan
kerusakan jaringan 6. Melaporkan perubahan terhadap gejala pemantauan yang ketat
aktual atau nyeri pada profesional kesehatan 4. Gunakan strategi komunikasi
potensial atau yang 7. Melaporkan gejalah yang tidak terapeutik untuk mengetahui
digambarkan sebagai terkontrol pada profesional kesehatan pengalaman nyeri dan
kerusakan 8. Menggunakan sumber daya yang sampaikan penerimaan pasien
(International tersedia untuk menangani nyeri terhadap nyeri
Association for 9. Mengenali apa yang terkait dengan 5. Gali pengetahuan dan
the Study of pain) gejala nyeri kepercayaan pasien mengenai
awitan yang tiba- 10. Melaporkan nyeri yang terkontrol nyeri
tiba atau lambat dari 6. Pertimbangkan pengaruh
intensitas ringan budaya terhadap respon nyeri
hingga berat dengan 7. Tentukan akibat dari
akhir yang dapat pengalaman nyeri terhadap
diantisipasi atau kualitas hidup pasien (misalnya,
diprediksi. tidur, nafsu makan, pengertian,
perasaan, performa kerja dan
Batasan karakteristik: tanggung jawab peran)
1. Bukti nyeri dengan 8. Gali bersama pasien faktor-
menggunakan standar faktor yang dapat menurunkan
daftar periksa nyeri untuk atau memperberat nyeri
pasien yang tidak dapat 9. Evaluasi pengalaman nyeri
mengungkapannya dimasa lalu yang meliputi
2. Ekspresi wajah nyeri riwayat nyeri kronik individu
(misal: mata kurang atau keluarga atau nyeri yang
bercahaya, tampak kacau, menyebabkan disability/
gerakan mata berpencar ketidak mampuan/kecatatan,
atau tetap pada satu dengan tepat
fokus, meringis) 10. Evaluasi bersama pasien
3. Fokus menyempit misal: dan tim kesehatan lainnya,
Persepsi waktu, proses mengenai efektifitas,
berpikir, interaksi pengontrolan nyeri yang pernah
dengan orang dan digunakan sebelumnya
lingkungan) 11. Bantu keluarga dalam
4.Fokus pada diri sendiri mencari dan menyediakan
5.Keluhan tentang dukungan
intensitas menggunakan 12. Gunakan metode penelitian yang
standars kala nyeri sesuai dengan tahapan
6.Keluhan tentang perkembangan yang
karakteristik nyeri dengan memungkinkan untuk
menggunakan standar memonitor perubahan nyeri dan
akan dapat membantu
instrumen nyeri mengidentifikasi faktor pencetus
7.Laporan tentang perilaku aktual dan potensial (misalnya,
nyeri/ perubahan aktivitas catatan perkembangan, catatan
8.Perubahan posisi harian)
untuk menghindari nyeri 13. Tentukan kebutuhan frekuensi
9.Putus asa untuk melakukan pengkajian
10. Sikap melindungi ketidak nyamanan pasien dan
area nyeri mengimplementasikan rencana
monitor
Faktor yang berhubungan: 14. Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
a) Agens cidera biologis berapa nyeri yang dirasakan,
b) Agens cidera fisik dan antisipasi dari ketidak
Agens cidera kimiawi nyamanan akibat prosedur
15. Kendalikan faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
respon pasien dari
ketidaknyamanan (misalnya,
suhu ruangan, pencahayaan,
suara bising)
16. Ajarkan prinsip manajemen
nyeri
17. Pertimbangkan tipe dan
sumber nyeri ketika memilih
strategi penurunan nyeri
18. Kolaborasi dengan pasien,
orang terdekat dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih
dan mengimplementasikan
tindakan penurunan nyeri
nonfarmakologi, sesuai
kebutuhan
19. Gunakan tindakan pengontrolan
nyeri sebelum nyeri bertambah
berat
20. Pastikan pemberian analgesik
dan atau strategi
nonfarmakologi sebelum
prosedur yang menimbulkan
nyeri
21. Periksa tingkat
ketidaknyamananbersama
pasien, catat perubahan dalam
cacatan medis pasien,
informasikan petugas kesehatan
lain yang merawat pasien
22. Mulai dan modifikasi
tindakan pengontrolan nyeri
berdasarkan respon pasien
23. Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
24. Dorong pasien untuk
mendiskusikan pengalaman
nyerinya, sesuai kebutuhan
25. Beritahu dokter jika tindakan
tidak berhasil atau keluhan
pasien saat ini berubah
signifikan dari pengalaman
nyeri sebelumnya
26. Gunakan pendekatan multi
disiplin untuk menajemen nyeri,
jika sesuai

Pemberian analgesik

1) Tentukan lokasi, karakteris,


kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien
2) Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
frekuesi obat analgesik yang
diresepkan
3) Cek adanya riwayat alergi obat
4) Pilih analgesik atau
kombinasi analgesik sesuai lebih
dari satu kali pemberian
5) Monitor tanda vital sebelum
dan setelah memberikan
analgesik pada pemberian dosis
pertama kali atau jika
ditemukan tanda-tanda yang
tidak biasanya
6) Berikan kebutuhan kenyamanan
dan aktivitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk
memfasilitasi penuruna nyeri
7) Berikan analgesik sesuai
waktu paruhnya, terutama pada
nyeri yang berat
8) Dokumentasikan respon
terhadap analgesik dan adanya
efek samping
9) Lakukan tindakan-tindakan
yang menurunkan efek samping
analgesik (misalnya, konstipasi
dan iritasi lambung)
10) Kolaborasikan dengan dokter
apakah obat, dosis, rute,
pemberian, atau perubahan
interval dibutuhkan, buat
rekomendasi khusus
bedasarkan prinsip analgesik
2. Resiko syok berhubungan NOC: Setelah dilakukan perawatan Pencegahan Syok
selama 1x24 jam diharapkan 1. Monitor adanya respon
dengan perdarahan tidak terjadi syok hipovolemik konpensasi terhadap syok
Definisi: beresiko terhadap dengan kriteria: (misalnya, tekanan darah normal,
1. Tanda vital dalam batas normal. tekanan nadi melemah,
ketidakcukupan aliran darah 2. Tugor kulit baik.
perlambatan pengisian kapiler,
kejaringan tubuh, yang dapat 3. Tidak ada sianosis. pucat/ dingin pada kulit atau kulit
4. Suhu kulit hangat. kemerahan, takipnea ringan, mual
mengakibatkan disfungsi 5. Tidak ada diaporesis. dan munta, peningkatan rasa haus,
seluler yang mengancam 6. Membran mukosa kemerahan. dan kelemahan)
2. Monitor adanya tanda-tanda
jiwa. respon sindroma inflamasi sistemik
Faktor resiko (misalnya, peningkatan suhu,
1. Hipotensi. takikardi, takipnea, hipokarbia,
leukositosis, leukopenia)
2. Hipovolemi
3. Monitor terhadap adanya tanda
3. Hipoksemia awal reaksi alergi (misalnya,
rinitis, mengi, stridor, dipnea,
4. Hipoksia
gatal-gatal disertai kemerahan,
5. Infeksi gangguan saluran pencernaan,
nyeri abdomen, cemas dan gelisa)
6. Sepsis 4. Monitor terhadap adanya tanda
7. Sindrom respon ketidak adekuatan perfusi oksigen
kejaringan (misalnya, peningkatan
inflamasi sestemik stimulus, peningkatan kecemasan,
perubahan status mental, egitasi,
oliguria dan akral teraba dingin
dan warna kulit tidak merata)
5. Monitor suhu dan status respirasi
6. Periksa urin terhadap adanya darah
dan protein sesuai kebutuhan
7. Monitor terhadap tanda/gejalah
asites dan nyeri abdomen atau
punggung.
8. Lakukan skin-test untuk
mengetahui agen yang
menyebabkan anaphiylaxis atau
reaksi alergi sesuai kebutuhan
9. Berikan saran kepada pasien yang
beresiko untuk memakai atau
membawa tanda informasi
kondisi medis.
10. Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai tanda dan
gejala syok yang mengancam
jiwa
11. Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai langkah-
langkah timbulnya gejala syok

3. Resiko Infeksi NOC: Setelah dilakukan tindakan Manajemen Alat terapi per
berhubungan keperawatan selama 1 x 24 jam, vaginam
dengan penurunan pasien mioma uteri menunjukkan 1. Kaji ulang riwayat
imun tubuh pasien mampu melakukan kontraindikasih pemasangan alat
sekunder akibat pencegahan infeksi secara mandiri, pervaginam pada pasien
gangguan ditandai dengan kriteria hasil: (misalnya, infeksi pelvis,
hematologis 1. Kemerahan tidak ditemukan pada laserasi, atau adanya massa
(perdarahan) tubuh sekitar vagina)
2. Vesikel yang tidak mengeras 2. Diskusikan mengenai
Definisi: permukaannya aktivitas- aktivitas seksual yang
Mengalami 3. Cairan tidak berbauk busuk sesuai sebelum memilih alat yang
peningkatan resiko 4. Piuria/nanah tidak ada dalam urin dimasukan
terserang organisme 5. Demam berkurang 3. Lakukan pemeriksaan pelvis
patogenik 6. Nyeri berkurang 4. Intruksikan pasien untuk
7. Nafsu makan meningkat melaporkan ketidaknyamanan,
Faktor yang disuria, perubahan warna,
berhubungan: konsistensi, dan frekuensi
a. Penyakit kronis cairan vagina
b. Pengetahuan yang 5. Berikan obat-obat berdasarkan
tidak cukup untuk resep dokter untuk mengurangi
menghindari pemanjanan iritasi
patogen 6. Kaji kemampuan pasien
c. Pertahanan tubuh untuk melakukan perawatan
primer yang tidak adekuat secara mandiri
1. Gangguan peritalsis 7. Observasi ada tidaknya cairan
2. Kerusakan vagina yang tidak normal dan
integritas kulit berbau
(pemasangankateter 8. Infeksi adanya lubang, laserasi,
intravena, prosedur ulserasi pada vagina
invasif) Kontrol Infeksi
3. Perubahan sekresi 1. Bersihkan lingkungan dengan
PH baik setelah digunakan untuk
4. Penurunan kerja setiap pasien
siliaris 2. Isolasi orang yang terkena
5. Pecah ketuban dini penyakit menular
6. Pecah ketuban lama 3. Batasi jumlah pengunjung
7. Merokok 4. Anjurkan pasien untuk mencuci
8. Stasis cairan tubuh tangan yang benar
9. Trauma 5. Anjurkan pengunjung untuk
jaringan (misalnya, mencuci tangan pada saat
trauma destruksi memasuki dan meninggalkan
jaringan) ruangan pasien
d. Ketidak adekuatan 6. Gunakan sabun antimikroba untuk
jaringan sekunder cuci tangan yang sesuai
1. Penurunan 7. Cuci tangan sebelum dan
hemoglobin sesudah kegiatan perawatan
2. Supresi respon pasien
inflamasi 8. Pakai sarung tangan
e. Vaksinasi tidak adekuat sebagaimana dianjurkan oleh
f. pemajanan terhadap kebijakan pencegahan universal
patogen lingkungan 9. Pakai sarung tangan steril dengan
meningkat tepat
g. prosedur invasif 10. Cukur dan siapkan untuk
malnutrisi daerah persiapan prosedur invasif
atau opersai sesuai indikasi
11. Pastikan teknik perawatan luka
yang tepat
12. Tingkatkan inteke nutrisi yang
tepat
13. Dorong intake cairan yang sesuai
14. Dorong untuk beristirahat
15. Berikan terapi anti biotik yang
sesuai
16. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejalah
infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada penyedia
perawatan kesehatan
17. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai bagaimana menghindari
infeksi

4. Retensi urine NOC: setelah dilakukan tindakan Manajemen eliminasi urin:


berhubungan keperawatan 1x 24 jam diharapkan 1. Monitor eliminasi urin
dengan penekanan eliminasi urin kembali normal dengan termasuk frekuensi, konsistensi,
oleh massa kriteria hasil: bau, volume dan warna urin sesuai
jaringan 1. Pola eliminasi kembali normal kebutuhan.
neoplasma pada 2. Bau urin tidak ada 2. Monitor tanda dan gejala retensio
organ sekitarnya, 3. Jumlah urin dalam batas normal urin.
gangguan sensorik 4. Warna urin normal 3. Ajarkan pasien tanda dan gejala
motorik. 5. Intake cairan dalam batas normal infeksi saluran kemih.
6. Nyeri saat kencing tidak ditemukan 4. Anjurkan pasien atau keluarga
Definisi: untuk melaporkan urin uotput
pengosongan sesuai kebutuhan.
kantung kemih tidak 5. Anjurkan pasien untuk banyak
komplit minum saat makan dan waktu pagi
Batasan hari.
karakteristik: 6. Bantu pasien dalam
1. Tidak ada keluaran urin mengembangkan rutinitas toileting
2. Distensi kandung kemih sesuai kebutuhan.
3. Menetes 7. Anjurkan pasien untuk
4. Disuria memonitor tanda dan gejalah
5. Sering berkemih infeksi saluran kemih.
6. Inkontinensia aliran
berlebih Kateterisasi Urin
7. Residu urin 1. Jelaskan prosedur dan alasan
8. Sensasi kandung dilakukan kateterisasi urin.
kemih penuh 2. Pasang kateter sesuai kebutuhan.
9. Berkemih sedikit 3. Pertahankan teknik aseptik yang
ketat.
Faktor yang berhubungan 4. Posisikan pasien dengan
tepat (misalnya, perempuan
terlentang dengan kedua kaki
1) Sumbatan
diregangkan atau fleksi pada bagian
2) Tekanan ureter tinggi
Inhibishi arkus panggul dan lutut).
reflex 5. Pastikan bahwa kateter
yang dimasukan cukup jauh
kedalam
6. Anjurkan pasien untuk banyak
minum saat makan dan waktu pagi
hari.
7. Bantu pasien dalam
mengembangkan rutinitas toileting
sesuai kebutuhan.
8. Anjurkan pasien untuk
memonitor tanda dan gejalah
infeksi saluran kemih.
Kateterisasi Urin
1. Jelaskan prosedur dan alasan
dilakukan kateterisasi urin.
2. Pasang kateter sesuai kebutuhan.
3. Pertahankan teknik aseptik yang
ketat.
4. Posisikan pasien dengan
tepat (misalnya, perempuan
terlentang dengan kedua kaki
diregangkan atau fleksi pada bagian
panggul dan lutut).
5. Pastikan bahwa kateter
yang dimasukan cukup jauh
kedalam kandung kemih untuk
mencegah trauma pada jaringan
uretra dengan inflasi balon
6. Isi balon kateter untuk menetapkan
kateter, berdasarkan usia dan
ukuran tubuh sesuai
rekomendasi pabrik (misalnya,
dewasa 10 cc, anak 5 cc)
7. Amankan kateter pada kulit dengan
plester yang sesuai.
8. Monitor intake dan output.
Dokumentasikan perawatan termasuk
ukuran kateter, jenis, dan
pengisian bola kateter
5. Konstipasi NOC: setelah dilakukan perawatan selama 1 Manajemen saluran cerna
x 24 1. Monitor bising usus
berhubungan
2. Lapor peningkatan frekuensi dan
dengan penekanan jam pasien diharapkan konstipasi tidak bising usus bernada tinggi
3. Lapor berkurangnya bising usus
pada rectum ada dengan kriteria hasil:
4. Monitor adanya tanda dan
(prolaps rectum) 1) Tidak ada irita bilitas gejalah diare, konstipasi dan
impaksi
Definisi: penurunan
2) Mual tidak ada 5. Catat masalah BAB yang sudah
pada frekuensi ada sebelumnya, BAB rutin, dan
3) Tekanan darah dalam batas normal 4) penggunaan laksatif
normal defekasi
Berkeringat 6. Masukan supositorial rektal,
yang disertai oleh sesuai dengan kebutuhan
7. Intruksikan pasien mengenai
kesulitan atau
makanan tinggi serat, dengan
pengeluaran tidak Keparahan Gejalah cara yang tepat
8. Evaluasi profil medikasi terkait
lengkap feses atau 1. Intensitas gejala dengan efek samping
pengeluaran feses 2. Frekuensi gejala gastrointestinal
3. Terkait ketidak nyamanan
yang kering, keras, 4. Gangguan mobilitas fisik Manajemen konstipasi/inpaksi
dan banyak. 5. Tidur yang kurang cukup
6. Kehilangan nafsu makan 1. Monitor tanda dan gejala
Batasan
konstipasi
karakteristik 2. Monitor tanda dan gejala
1. Nyeri abdomen impaksi
3. Monitor bising usus
2. Nyeri tekan abdomen
4. Jelaskan penyebab dari masalah
dengan teraba resistensi dan rasionalisasi tindakan pada
pasien
otot
5. Dukung peningkatan asupan
3. Nyeri tekan abdomen cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
tanpa teraba resistensi otot
6. Evaluasi pengobatan yang
4. Anoraksia memiliki efek samping pada
gastrointestinal
5. Penampilan tidak khas
7. Intruksikan pada pasien dan
pada lansia atau keluarga untuk mencatat
warna, volume, frekuensi dan
6. Darah merah pada feses
konsistensi dari feses
7. Perubahan pola defekasi 8. Intruksikan pasien atau
keluarga mengenai hubungan
8. Penurunan frekuensi
antara diet latihan dan asupan
9. Penurunan volume feses cairan terhadap kejadian
konstipasi atau impaksi
10. Distensia abdomen
9. Evaluasi catatan asupan untuk
11. Rasa rektal penuh apa saja nutrisi yang telah
dikonsumsi
12. Rasa tekanan rektal
10. Berikan petunjuk kepada pasien
13. Keletihan umum untuk dapat berkonsultasi
dengan dokter jika konstipasi
14. Feses keras dan
atau impaksi masih tetap terjadi
berbentuk 11. Informasukan kepada pasien
mengenai prosedur untuk
15. Sakit kepala
16. Bising usus hiperaktif mengeluarkan feses secara
manual jika di perlukan
17. Bising usus hipoaktif
ajarkan pasien atau keluarga
18. Peningkatan mengenai proses pencernaan normal
tekanan abdomen
19. Tidak dapat makan,
mual
20. Rembesan feses cair
21. Nyeri pada saat defekasi
22. Massa abdomen yang
dapat diraba

Faktor yang berhubungan


1) Funfsional
a) Kelemahan otot
abdomen
b) Ketidak
adekuatan toileting
c) Kurang aktifitas fisik
d) Kebiasaan defekasi
tidak teratur
2) Psikologis
a) Defresi, stres, emosi
b) Konfusi mental
3) Farmakologi
4) Mekanis fiologis
DAFTAR PUSTAKA
Apriyani, Yosi. 2013. Analisa Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Mioma Uteri di RSUD dr. Adhyatma Semarang. Jurnal Kebidanan. Vol. 2 No.
5

Aspiani, Y, R. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: TIM

Bararah, T., Mohammad Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan; panduan Lengkap


menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Manuaba. (2012). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC

NANDA. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 edisi


(Budi Anna Keliat dkk, penerjemah). Jakarta: EGC

Nugroho, T. (2012). Obstetri dan Ginekologi. Yokyakarta: Nuha Medika

Robbins. (2017). Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC

RSUP. Dr. M. Djamil.(2016). Laporan Catatan Rekam Medik (RM): Mioma Uteri

Prawirohardjo, Sarwono. (2010).Ilmu Kebidanan.Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai