Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu hal penting untuk mencapai derajat kesehatan adalah dengan
memperhatikan kesehatan wanita, terutama kesehatan reproduksi karena hal
tersebut berdampak luas, menyangkut berbagai aspek kehidupan, serta
merupakan parameter kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat. Kesehatan reproduksi wanita berpengaruh
besar dan berperan penting terhadap kelanjutan generasai penerus suatu negara
(Manuaba, 2009).
Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang
utuh dan bukan tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segalah hal yang
berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsinya serta proses-prosesnya.
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan
sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala
aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi, serta prosesnya
(Nugroho, 2012).
Mioma uteri merupakan suatu tumor jinak berbatas tegas tidak berkapsul
yang berasal dari otot polos dan jaringan ikat fibrous. Biasa juga disebut
fibromioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid. Mioma uteri ini
merupakan neoplasma jinak yang sering ditemukan pada traktus genitalia
wanita, terutama wanita sesudah produktif atau menopouse (Aspiani, 2017).
Menurut WHO kejadian mioma uteri sekitar 20% sampai 30% dari
seluruh wanita didunia dan terus mengalami peningkatan. Mioma uteri
ditemukan 30% sampai 50% pada perempuan usia subur (Robbins, 2007).
Menurut Wise penelitiannya di Amerika serikat periode 1997-2007
melaporkan 5.871 kasus mioma uteri dari 22.120 terjadi pada wanita kulit
hitam dengan prevalensi 26,5%.
Kejadian mioma uteri di Indonesia ditemukan 2.39% - 11.7% pada semua
penderita ginekologi yang dirawat di rumah sakit, penyakit mioma uteri sering
ditemukan pada wanita nullipara (belum pernah melahirkan) ataupun pada
wanita kurang subur. Mioma uteri diperkirakan antara 20% sampai 25%
terjadi pada wanita berusia diatas 35 tahun (Aspiani, 2017). Menurut Apriyani
faktor-faktor terjadinya mioma uteri ada empat diantaranya usia reproduksi
sebanyak 65,0%, paritas multipara sebanyak 47,5%, dengan usia menarhe
normal sebanyak 95%, dan status haid tidak teratur sebanyak 52,5%.
Mioma uteri diduga merupakan penyakit multifaktorial. Mioma mulai
dari benih-benih multipel yang sangat kecil dan tersebar pada miometrium.
Benih ini tumbuh sangat lambat tetapi progresif dibawah pengaruh hormon
estrogen terhadap sel-sel yang ada di otot rahim. Mioma menimbulkan gejala
berupa perdarahan abnormal, rasa nyeri dan rasa adanya tekanan didaerah
sekitar panggul yang dapat menciptakan rasa sakit hingga menjalar ke
punggung (Manuaba, 2009). Perdarahan abnormal merupakan gejala yang
paling sering di alami oleh wanita penderita mioma uteri. Perdarahan bisa
diakibatkan karena pembesaran mioma sehingga menekan organ disekitarnya
seperti tertekannya kandung kemih, usus besar, pelebaran pembuluh darah dan
gangguan ginjal karena akibat pembesaran dan penekanan mioma uteri
terhadap saluran kemih.
Pendokumentasian tindakan keperawatan sebagian dilakukan perawat
diruangan ditemukan bahwa pendokumentasian mengacu pada shift
sebelumnya tanpa memperhatikan perkembangan pasien yang menderita
mioma uteri setelah diberikan asuhan keperawatan seperti memasukan obat
terapi dengan injeksi Ceftriaxon tidak dilakukan evaluasi pada pasien untuk
menilai hasil tindakan yang diberikan oleh perawat diruangan pada saat dinas
berlangsung. Padahal evaluasi merupakan suatu yang harus dilakukan untuk
melihat apakah obat memberikan efek yang baik pada tubuh pasien atau tidak
baik. Kemudian pendokumentasian merupakan salah satu komponen penting
setiap melakukan tindakan kepada pasien agar dapat memberikan sumber
kesaksian bagi perawat dalam bertanggungjawab dan bertanggunggugat dalam
memberikan asuhan keperawatan.
Selain itu, pasien malu bertanya tentang kondisi kesehatan dan kurang percaya
diri dalam menyampaikan keluhan yang dirasakan pasien kepada petugas
kesehatan serta disebabkan oleh rasa minder didalam diri pasien. Kebanyakan
dari mereka yang memiliki niat dan rasa ingin tahu kondisi kesehatanya yang
dapat bertanya kepada petugas dirumah sakit.

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan suatu usaha dalam


penanganan kesehatan pada penyakit mioma uteri untuk meningkatkan
kemampuan dan pemahaman serta kesehatan pada penderita mioma uteri.
Usaha ini memerlukan strategi atau metode perawatan yang tepat dan dapat
dipahami dan dilakukan pasien itu sendiri serta tujuan yang diharapkan dapat
tercapai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Asuhan keperawatan pada pasien
Mioma Uteri di MTMH

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah Mioma Uteri di GB 2 Murni Teguh Memorial Hospital Tahun
2022 menggunakan metode ilmiah proses keperawatan mulai dari
pengkajian sampai dengan pembuatan dokumentasi keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mampu mendeskripsikan pengkajian pada pasien dengan kasus Mioma
Uteri di ruang GB2 Murni Teguh Memorial Hospital
b. Mampu mendeskripsikan diagnosa pada pasien dengan kasus Mioma
Uteri di ruang GB2 Murni Teguh Memorial Hospital
c. Mampu mendeskripsikan intervensi pada pasien dengan kasus Mioma
Uteri di ruang GB2 Murni Teguh Memorial Hospital
d. Mampu mendeskripsikan tindakan pada pasien dengan kasus Mioma
Uteri di ruang GB2 Murni Teguh Memorial Hospital
e. Mampu mendeskripsikan Evaluasi pada pasien dengan kasus Mioma
Uteri di ruang GB2 Murni Teguh Memorial Hospital
f. Mampu mendeskripsikan pendokumentasian pada pasien dengan kasus
mioma uteri GB2 Murni Teguh Memorial Hospital

1.4 Manfaat
a. Laporan kasus ini dapat mengaplikasikan dan menambah wawasan ilmu
pengetahuan serta kemampuan penulis dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan kasus Mioma Uteri

b. Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam


menerapakan asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus Mioma Uteri

c. Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran untuk


pengembangan ilmu dalam penerapan asuhan keperawatan pada pasien
dengan kasus Mioma Uteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Mioma Uteri
1. Pengertian Mioma Uteri
Mioma uteri adalah suatu tumor jinak berbatas tegas tidak berkapsul yang
berasal dari otot polos dan jaringan ikat fibrous. Biasa juga disebut
fibromioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid. Tumor jinak ini
merupakan neoplasma jinak yang sering ditemukan pada traktus genitalia
wanita, terutama wanita sesudah produktif (menopouse). Mioma uteri
jarang ditemukan pada wanita usia produktif tetapi kerusakan reproduksi
dapat berdampak karena mioma uteri pada usia produktif berupa
infertilitas, abortus spontan, persalinan prematur dan malpresentasi
(Aspiani, 2017).

2. Etiologi
Menurut Aspiani ada beberapa faktor yang diduga kuat merupakan faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri.
1) Umur
Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia produktif dan
sekitar 40%-50% pada wanita usia di atas 40 tahun. Mioma uteri
jarang ditemukan sebelum menarche (sebelum mendapatkan haid).
2) Hormon Endogen (endogenous hormonal)
Konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi dari pada
jaringan miometrium normal.
3) Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan dengan tingkat pertama dengan
penderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk
menderita mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan
penderita mioma uteri.

4) Makanan
Makanan di laporkan bahwah daging sapi, daging setengah matang
(red meat), dan daging babi meningkatkan insiden mioma uteri, namun
sayuran hijau menurunkan insiden menurunkan mioma uteri.
5) Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus.
Hal ini mempercepat pembesaran mioma uteri. Efek estrogen pada
pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon dan faktor
pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor
progesteron, dan faktor pertumbuhan epidermal.
6) Paritas
Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita multipara dibandingkan
dengan wanita yang mempunyai riwayat melahirkan 1 (satu) kali atau
2 (2) kali

Faktor terbentuknya tomor:


a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang terjadinya reflikasi pada saat sel- sel
yang mati diganti oleh sel yang baru merupakan kesalahan genetika
yang diturunkan dari orang tua. Kesalahan ini biasanya mengakibatkan
kanker pada usia dini. Jika seorang ibu mengidap kanker payudara,
tidak serta merta semua anak gandisnya akan mengalami hal yang
sama, karena sel yang mengalami kesalahan genetik harus mengalami
kerusakan terlebih dahulu sebelum berubah menjadi sel kanker. Secara
internal, tidak dapat dicegah namun faktor eksternal dapat dicegah.
Menurut WHO, 10% – 15% kanker, disebabkan oleh faktor internal
dan 85%, disebabkan oleh faktor eksternal (Apiani, 2017).

b. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat merusak sel adalah virus, polusi udara,
makanan, radiasi dan berasala dari bahan kimia, baik bahan kimia yang
ditam,bahkan pada makanan, ataupun bahan makanan yang bersal dari
polusi. Bahan kimia yang ditambahkan dalam makanan seperti
pengawet dan pewarna makanan cara memasak juga dapat mengubah
makanan menjadi senyawa kimia yang berbahaya.
Kuman yang hidup dalam makanan juga dapat menyebarkan racun,
misalnya aflatoksin pada kacang-kacangan, sangat erat hubungannya
dengan kanker hati. Makin sering tubuh terserang virus makin besar
kemungkinan sel normal menjadi sel kanker. Proses detoksifikasi yang
dilakukan oleh tubuh, dalam prosesnya sering menghasilkan senyawa
yang lebih berbahaya bagi tubuh,yaitu senyawa yang bersifat radikal
atau korsinogenik. Zat korsinogenik dapat menyebabkan kerusakan
pada sel.

Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor pada


mioma, disamping faktor predisposisi genetik.
1) Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Sering kali, pertumbuhan
tumor yang cepat selama kehamilan terjadi dan dilakukan terapi
estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopouse
dan oleh pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas.
Enzim hidrxydesidrogenase mengungbah estradiol (sebuah estrogen
kuat) menjadi estrogen (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini
berkurang pada jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah
reseptor estrogen yang lebih banyak dari pada miometrium normal.
2) Progesteron
Progesteron merupakan antogonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara, yaitu
mengaktifkan hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor
estrogen pada tumor.

3) Hormon pertumbuhan (growth hormone)


Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi
hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, yaitu
HPL, terlihat pada periode ini dan memberi kesan bahwa
pertumbuhan yang cepat dari leimioma selama kehamilan mungkin
merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan estrogen.
.
3. Klasifikasi Mioma
Mioma umunya digolongkan berdasarkan lokasi dan kearah mana mioma
tumbuh.
1) Lapisan Uterus
Mioma uteri terdapat pada daerah korpus. Sesuai dengan lokasinya, mioma
ini dibagi menjadi tiga jenis.
a. Mioma Uteri Intramural
Mioma uteri merupakan yang paling banyak ditemukan. Sebagian
besar tumbuh diantara lapisan uterus yang paling tebal dan paling
tengah (miometrium). Pertumbuhan tumor dapat menekan otot
disekitarnya dan terbentuk sampai mengelilingi tumor sehingga akan
membentuk tonjolan dengan konsistensi padat. Mioma yaang terletak
pada dinding depan uterus dalam pertumbuhannya akan menekan dan
mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan
keluhan miksi.
b. Mioma Uteri Subserosa
Mioma uteri ini tumbuh keluar dari lapisan uterus yang paling luar
yaitu serosa dan tumbuh ke arah peritonium. Jenis mioma ini
bertangkai atau memiliki dasar lebar. Apa bila mioma tumbuh keluar
dinding uterus sehingga menonjol kepermukaan uterus diliputi oleh
serosa. Mioma serosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosa
yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum
atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga
disebut wandering parasitis fibroid.

c. Mioma Uteri Submukosa


Mioma ini terletak di dinding uterus yang paling dalam sehingga
menonjol ke dalam uterus. Jenis ini juga dapat bertangkai atau
berdasarkan lebar. Dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian
di keluarkan melalui saluran seviks yang disebut mioma geburt.
Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan
perdarahan, tetapi mioma submukosa walaupun kecil sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Tumor jenis ini sering
mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata.
Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang
mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke
vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang
dilahirkan.
4. Patofisiologi
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil didalam miometrium dan
lambat laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium mendesak
menyusun semacam pseudokapsula atau sampai semua mengelilingi tumor
didalam uterus mungkin terdapat satu mioma akan tetapi mioma biasanya
banyak. Bila ada satu mioma yang tumbuh intramural dalam korpus uteri
maka korpus ini tampak bundar dan konstipasi padat. Bila terletak pada
dinding depan uterus mioma dapat menonjol kedepan sehingga menekan dan
mendorong kandung kemih keatas sehingga sering menimbulkan keluhan
miksi (Aspiani, 2017).

Secara makroskopis, tumor ini biasanya berupa massa abu-abu putih, padat,
berbatas tegas dengan permukaan potongan memperlihatkan gambaran
kumparan yang khas. Tumor mungkin hanya satu, tetapi umumnya jamak dan
tersebar di dalam uterus, dengan ukuran berkisar dari benih kecil hingga
neoplasma masif yang jauh lebih besar dari pada ukuran uterusnya. Sebagian
terbenam didalam miometrium, sementara yang lain terletak tepat di bawah
endometrium (submukosa) atau tepat dibawah serosa (subserosa). Terakhir
membentuk tangkai, bahkan kemudian melekat ke organ disekitarnya, dari
mana tumor tersebut mendapat pasokan darah dan kemudian membebaskan
diri dari uterus untuk menjadi leimioma “parasitik”. Neoplasma yang
berukuran besar memperlihatkan fokus nekrosis iskemik disertai daerah
perdarahan dan perlunakan kistik, dan setelah menopause tumor menjadi padat
kolagenosa, bahkan mengalami kalsifikasi (Robbins, 2007).
5. WOC

Faktor predisposisi:
a. Usia penderita
b. Hormon endogen
c. Riwayat keluarga
d. Makanan, kehamilan dan paritas

Mioma Uteri

Mioma Intramural mioma submukosa mioma Subserosa

Tumbuh didinding uterus berada dibawah endometrium & tumbuh keluar dinding
Menonjol kedalam rogga uterus uterus

Mk: Resiko Syok Hipovolemik Gejala/Tanda

Anemia Perdarahan pembesaran uterus

suplai darah Gg Hematologi Kurang Pengetahuan Gg sirkulasi Penekanan Syaraf

Mk: Gg Perfusi penurunan respon imun Nekrosis


Jaringan perifer Mk: Ansietas
Radang Nyeri

Mk: Resiko Infeksi Mk: Nyeri Akut/Kronis

Penekanan
Kandung kemih uretra Ureter Rektum kolon sigmoid

Poli Uria Retensio Urine Hidronefrosis obstipasi kolon desenden dan ileum

Mk: Gangguan Eliminasi Urine Mk: Konstipasi Kolon asendens


Kolostomy Mk: resiko gangguan identitas pribadi
Kolon tranversum dan duodenum
usus membusuk terjadi infeksi pada usus

Fungsi pencernaan menurun Terjadi pendarahan pada usus

Mk: Ketidak keseimbangan Anemia Kelemahan


nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Mk: Resiko Syok Hipovolemik

(Aspiani, 2017)
6. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
Berikut beberapa perubahan yang dapat terjadi pada pada tubuh karena mioma
uteri.
1. Degenerasi hialin, merupakan perubahan degeneratif yang paling umum
ditemukan.
a. Jaringan ikat bertambah
b. Berwarna putih dan keras
c. Sering disebut “mioma durum”.
2. Degenerasi kistik
a. Bagian tengah dengan degenerasi hialin mencair.
b. Menjadi poket kistik.
3. Degenerasi membantu (calcareous degeneration)
a. Terdapat timbunan kalsium pada mioma uteri.
b. Padat dan keras
c. Berwarna putih.
4. Degenerasi merah (carneus degeneration )
a. Paling sering terjadi pada masa kehamilan.
b. Estrogen merangsang perkembangan mioma.
c. Aliran darah tidak seimbang karena terjadi edema sekitar tungkai dan
tekanan hamil.
d. Terjadi kekurangan darah yang menimbulkan nekrosis, pembentukan
trombus, bendungan darah dalam mioma, warna merah hemosiderosis
atau hemofusin.
e. Biasanya disertai rasa nyeri, tetapi dapat hilang dengan sendirinya.
Komplikasi lain yang jarang ditemukan meliputi kelahiran prematur,
ruptur tumor dengan perdarahan peritoneal, dan shock.
5. Degenerasi mukoid
Daerah hyalin digantikan dengan bahan gelatinosa yang lembut dan
biasa terjadi pada tumor yang besar, dengan aliran arterial yang tergangu.
6. Degenerasi lemak
Lemak ditemukan dalam serat otot polos.
7. Degenerasi sarkomatous (transformasi maligna)
Terjadi pada kurang dari 1% mioma. Kontraversi yang ada saat ini adalah
apakah hal ini mewakili sebuah perubahan degeneratif ataukah sebuah
neoplasma spontan. Leimiosarkoma merupakan sebuah tumor ganas yang
jarang terdiri dari sel-sel yang mempunyai diferensiasi otot polos.

7. Gambaran Klinis Mioma


Hampir separuh dari kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan pelvik rutin. Penderita memang tidak mempunyai keluhan apa-
apa dan tidak sadar bahwa mereka sedang mengalami penyakit mioma uteri
dalam rahim.
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik meliputi hal-hal
berikut.
a. Besarnya mioma uteri.
b. Lokalisasi mioma uteri.
c. Perubahan-perubahan pada mioma uteri.
d. Gejala klinik terjadi hanya sekitar 35%-50% dari pasien yang terkena.

2) Gejalah klinis lain yang dapat timbul pada mioma uteri adalah sebagai
berikut.
a. Perdarahan abnormal merupakan gejala klinik yang sering ditemukan
(30%). Bentuk perdarahan yang ditemukan berupa menoragia,
metroragia, dan hipermenorhe. Perdarahan dapat menyebabkan anemia
defisiensi Fe. Perdarahan abnormal ini dapat dijelaskan oleh karena
bertambahnya areah permukaan dari endometrium yang menyebabkan
gangguan kontraksi otot rahim, distorsi, dan kongesti dari pembuluh
darah disekitarnya dan ulserasi dari lapisan endometrium.
b. Penekanan rahim yang membesar.
c. Terasa berat di abdomen bagian bawah.
d. Terjadi gejalah traktus urinarius: urine freqency, retensi urine,
obstruksi ureter, dan hidronefrosis.
e. Terjadi gejalah intestinal: kontipasi dan obstruksi intestinal.
f. Terasa nyeri karena saraf tertekan.

3) Sedangkan rasa nyeri pada kasus mioma dapat disebabkan oleh beberapa
hal berikut.
a. Penekanan saraf.
b. Torsi bertangkai.
c. Submukosa mioma terlahir.
d. Infeksi pada mioma.

4) Perdarahan kontinu pada pasien dengan mioma submukosa dapat berakibat


pada hal-hal berikut.
a. Menghalangi implantasi terdapat peningkatan insiden aborsi dan
kelahiran prematur pada pasien dengan mioma intramural dan
submukosa. Kongesti vena terjadi karena kompresi tumor yang
menyebabkan edema ekstermitas bawah, hemorrhoid, nyeri, dan
dyspareunia. Selain itu terjadi gangguan pertumbuhan dan
perkembangan kelahiran.
b. Kehamilan dengan disertai mioma uteri menimbulkan proses saling
mempengaruhi.
c. Keguguran dapat terjadi.
d. Persalinan prematuritas.
e. Gangguan proses persalinan.
f. Tertutupnya saluran indung telur menimbulkan infentiritas.
g. Gangguan pelepasan plasenta dan perdarahan.
h. Biasanya mioma akan mengalami involusi yang nyata setelah
kelahiran.

8. Penanganan Mioma Uteri


Penanganan mioma uteri dilakukan tergantung pada umur, paritas, lokasi,
dan ukuran tumor. Oleh karena itu penanganan mioma uteri terbagi atas
kelompok-kelompok berikut.
1) Penanganan konservatif dilakukan jika mioma yang kecil muncul pada pra
dan postmenopause tanpa adanya gejala. Cara penanganan konsevatif
adalah sebagai berikut.
a. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
b. Jika terjadi anemia kemungkinan Hb menurun dan Pemberian zat besi.
c. Penggunaan agonis GnRH (gonadotropin-releasing hormone) leuprolid
asetat 3,75 mg IM pada hari pertama sampai ketiga menstruasi setiap
minggu, sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor
dan menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonodotropin dan
menciptakan keadaan hipoestrogenik yang serupa ditemukan pada
periode postmenopause. Efek maksimum dalam mengurangi ukuran
tumor diobsevasi dalam 12 minggu.

2) Penanganan operatif, dilakukan bilah terjadi hal-hal berikut.


a. Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
b. Pertumbuhan tumor cepat.
c. Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
d. Dapat mempersulit kehamilan berikutnya.
e. Hiperminorea pada mioma submukosa.
f. Penekanan organ pada sekitarnya.

3) Jenis operasi yang dilakukan untuk mengatasi mioma uteri dapat berupa
langkah-langkah berikut.
a. Enukleusi Mioma
Enuklesia mioma dilakukan pada penderita yang infertil yang masih
menginginkan anak, atau mempertahankan uterus demi kelangsungan
fertilitas. Enukleasi dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya
karsinoma endometrium atau sarkoma uterus dan dihindari pada masa
kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor dengan
tangkai dan tumor yang dengan mudah dijepit dan diikat.
4) Menurut american college of Obstetricans gynecologists (ACOG), kriteria
preoperasi adalah sebagai berikut.
a. Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
b. Terdapat leimioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
c. Alasan yang jelas dari penyebab kegagalan kehamilan dan keguguran
yang berulang tidak ditemukan.
5) Histeroktomi
Histerektomi dilakukan jika pasien tidak menginginkan anak lagi dan pada
pasien yang memiliki leimioma yang simptomatik atau yang sudah
bergejala. Kriteria ACOG untuk histerektomi adalah sebagai berikut.
a. Terdapat satu sampai tiga leimioma asimptomatik atau yang dapat
teraba dari luar dan dikelukan oleh pasien.
b. Perdarahan uterus berlebihan.
c. Perdarahan yang banyak, bergumpal-gumpal, atau berulang-ulang
selama lebih dari delapan hari.
d. Anemia akut atau kronis akibat kehilangan darah.

6) Rasa tidak nyaman pada daerah pelvis akibat mioma meliputi hal-hal
berikut.
a. Nyeri hebat dan akut.
b. Rasa tertekan yang kronis dibagian punggung bawah atau perut bagian
bawah.
c. Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulangdan tidak
disebabkan infeksi saluran kemih.
7) Penanganan radioterapi
Tujuan dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan. Langkah
ini dilakukan sebagai penanganan dengan kondisi sebagai berikut.

a. Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk
patient).
b. Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
c. Bukan jenis submukosa.
d. Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum.
e. Tidak dilakukan pada wanita muda karena dapat menyebabkan
menopause.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada pasien mioma uteri
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas Klien: meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2) Identitas Penanggung jawab: Nama, umur, jenis kelamin, hubungan
dengan keluarga, pekerjaan, alamat.

b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien mioma uteri,
misalnya timbul benjolan diperut bagian bawah yang relatif
lama. Kadang-kadang disertai gangguan haid
2) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di rasakan oleh ibu penderita mioma saat dilakukan
pengkajian, seperti rasa nyeri karena terjadi tarikan, manipulasi
jaringan organ. Rasa nyeri setelah bedah dan adapun yang yang
perlu dikaji pada rasa nyeri adalah lokasih nyeri, intensitas nyeri,
waktu dan durasi serta kualitas nyeri.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah diderita dan jenis
pengobatan yang dilakukan oleh pasien mioma uteri, tanyakan
penggunaan obat-obatan, tanyakan tentang riwayat alergi, tanyakan
riwayat kehamilan dan riwayat persalinan dahulu, penggunaan alat
kontrasepsi, pernah dirawat/dioperasi sebelumnya.
4) Riwaya Penyakit Keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada anggota keluarga
mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes melitus, hipertensi,
jantung, penyakit kelainan darah dan riwayat kelahiran kembar dan
riwayat penyakit mental.
5) Riwayat Obstetri
Untuk mengetahui riwayat obstetri pada pasien mioma uteri yang
perlu diketahui adalah
a. Keadaan haid
Tanyakan tentang riwayat menarhe dan haid terakhir, sebab
mioma uteri tidak pernah ditemukan sebelum menarhe dan
mengalami atrofi pada masa menopause.
b. Riwayat kehamilan dan persalinan
Kehamilan mempengaruhi pertumbuhan mioma uteri, dimana
mioma uteri tumbuh cepat pada masa hamil ini dihubungkan
dengan hormon estrogen, pada masa ini dihasilkan dalam
jumlah yang besar.

c. Faktor Psikososial
1) Tanyakan tentang persepsi pasien mengenai penyakitnya, faktor-
faktor budaya yang mempengaruhi, tingkat pengetahuan yang
dimiliki pasien mioma uteri, dan tanyakan mengenai seksualitas
dan perawatan yang pernah dilakukan oleh pasien mioma uteri.
2) Tanyakan tentang konsep diri : Body image, ideal diri, harga diri,
peran diri, personal identity, keadaan emosi, perhatian dan
hubungan terhadap orang lain atau tetangga, kegemaran atau jenis
kegiatan yang di sukai pasien mioma uteri, mekanisme pertahanan
diri, dan interaksi sosial pasien mioma uteri dengan orang lain.

d. Pola Kebiasaan sehari-hari


Pola nutrisi sebelum dan sesudah mengalami mioma uteri yang harus
dikaji adalah frekuensi, jumlah, tanyakan perubahan nafsu makan
yang terjadi.

e. Pola eliminasi
Tanyakan tentang frekuensi, waktu, konsitensi, warna, BAB terakhir.
Sedangkan pada BAK yang harus di kaji adalah frekuensi, warna, dan
bau.
f. Pola Aktivitas, Latihan, dan bermain
Tanyakan jenis kegiatan dalam pekerjaannya, jenis olahraga dan
frekwensinya, tanyakan kegiatan perawatan seperti mandi, berpakaian,
eliminasi, makan minum, mobilisasi

g. Pola Istirahat dan Tidur


Tanyakan waktu dan lamanya tidur pasien mioma uteri saat siang dan
malam hari, masalah yang ada waktu tidur.

h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kaji tingkat kesadaran pasien mioma uteri
2) Tanda-tanda vital : Tekanan darah, nadi,suhu, pernapasan.
3) Pemeriksaan Fisik Head to toe
a) Kepala dan rambut : lihat kebersihan kepala dan keadaan
rambut.
b) Mata : lihat konjungtiva anemis, pergerakan bola mata simetris
c) Hidung : lihat kesimetrisan dan kebersihan, lihat adanya
pembengkakan konka nasal/tidak.
d) Telinga : lihat kebersihan telinga.
e) Mulut : lihat mukosa mulut kering atau lembab, lihat
kebersihan rongga mulut, lidah dan gigi, lihat adanya
penbesaran tonsil.
f) Leher dan tenggorokan : raba leher dan rasakan adanya
pembengkakan kelenjar getah bening/tidak.
g) Dada atau thorax : paru-paru/respirasi, jantung/kardiovaskuler
dan sirkulasi, ketiak dan abdomen.
h) Abdomen
Infeksi: bentuk dan ukuran, adanya lesi, terlihat menonjol,
Palpasi: terdapat nyeri tekan pada abdomen
Perkusi: timpani, pekak
Auskultasi: bagaimana bising usus
i) Ekstremitas/ muskoluskletal terjadi pembengkakan pada
ekstremitas atas dan bawah pasien mioma uteri
j) Genetalia dan anus perhatikan kebersihan,adanya lesi,
perdarahan diluar siklus menstruasi.
2. Kemungkinan Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan nekrosis atau trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder akibat tumor
b. Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
c. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun tubuh sekunder
akibat gangguan hematologis (perdarahan)
d. Retensi urine berhubungan dengan penekanan oleh massa jaringan
neoplasma pada organ sekitarnya, gangguan sensorik motorik.
e. Resiko Konstipasi berhubungan dengan penekanan pada rectum
(prolaps rectum)
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status peran, ancaman
pada status kesehatan, konsep diri (kurangnya sumber informasi terkait
penyakit)
3. Rencana keperawatan

Tabel 2.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan NANDA Internasional (2015-2017), NIC-NOC (2013)

N Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)


Standart Diagnosa
O Keperawatan Indonesia (SDKI) Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standart Intervensi Keperawatan
(SLKI) Indonesia (SIKI)
1. Nyeri akut berhubungan NOC: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
dengan nekrosis atau trauma selama 1 x 24 jam, pasien mioma uteri 1) Lakukan pengkajian nyeri
jaringan dan refleks spasme mampu mengontrol nyeri dibuktikan komprehensip yang meliputi lokasi,
otot sekunder akibat tumor dengan kriteria hasil: karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri

Definisi: Mengontrol Nyeri dan faktor pencetus

Pengalaman dan 1) Mengenali kapan nyeri terjadi


sensori 2) Observasi adanya pentunjuk nonverbal

emosional tidak menyenangkan 2) Menggambarkan faktor penyebab nyeri mengenai ketidak nyamanan terutama

yang muncul akibat kerusakan 3) Menggunakan tindakan pencegahan nyeri pada mereka yang tidak dapat

jaringan aktual atau potensial 4) Menggunakan tindakan pengurangan nyeri berkomunikasi secara efektif

atau yang digambarkan sebagai (nyeri) tanpa analgesik 3) Pastikan perawatan analgesik bagi

kerusakan (International 5) Menggunakan analgesik yang pasien dilakukan dengan pemantauan

Association for the Study of direkomendasikan yang ketat


6) Melaporkan perubahan terhadap gejalah 4) Gunakan strategi komunikasi
pain) awitan yang tiba-tiba atau nyeri pada profesional kesehatan terapeutik untuk mengetahui
lambat dari intensitas ringan 7) Melaporkan gejalah yang tidak terkontrol pengalaman nyeri dan sampaikan
hingga berat dengan akhir yang pada profesional kesehatan penerimaan pasien terhadap nyeri
dapat diantisipasi atau 8) Menggunakan sumber daya yang tersedia 5) Gali pengetahuan dan kepercayaan
diprediksi. untuk menangani nyeri pasien mengenai nyeri
9) Mengenali apa yang terkait dengan gejala 6) Pertimbangkan pengaruh budaya
Batasan karakteristik: nyeri terhadap respon nyeri
a) Bukti nyeri dengan 10) Melaporkan nyeri yang terkontrol 7) Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
menggunakan standar daftar terhadap kualitas hidup pasien
periksa nyeri untuk pasien (misalnya, tidur, nafsu makan,
yang tidak dapat pengertian, perasaan, performa kerja
mengungkapannya dan tanggung jawab peran)
b) Ekspresi wajah nyeri (misal: 8) Gali bersama pasien faktor-faktor yang
mata kurang bercahaya, dapat menurunkan atau memperberat
tampak kacau, gerakan mata nyeri
berpencar atau tetap pada 9) Evaluasi pengalaman nyeri dimasa lalu
satu fokus, meringis) yang meliputi riwayat nyeri kronik
c) Fokus menyempit (misal: individu atau keluarga atau nyeri yang
persepsi waktu, proses menyebabkan disability/ ketidak
berpikir, interaksi dengan mampuan/kecatatan, dengan tepat
orang dan lingkungan) 10) Evaluasi bersama pasien dan tim
d) Fokus pada diri sendiri kesehatan lainnya, mengenai
e) Keluhan tentang intensitas efektifitas, pengontrolan nyeri yang
menggunakan standars kala pernah digunakan sebelumnya
nyeri 11) Bantu keluarga dalam mencari dan
f) Keluhan tentang menyediakan dukungan
karakteristik nyeri dengan 12) Gunakan metode penelitian yang sesuai
menggunakan standar dengan tahapan perkembangan yang
instrumen nyeri memungkinkan untuk memonitor
g) Laporan tentang perilaku perubahan nyeri dan akan dapat
nyeri/ perubahan aktivitas membantu mengidentifikasi faktor
h) Perubahan posisi untuk pencetus aktual dan potensial
menghindari nyeri (misalnya, catatan perkembangan,
i) Putus asa catatan harian)
j) Sikap melindungi area nyeri 13) Tentukan kebutuhan frekuensi untuk
melakukan pengkajian ketidak
Faktor yang berhubungan: nyamanan pasien dan
a) Agens cidera biologis mengimplementasikan rencana monitor
b) Agens cidera fisik 14) Berikan informasi mengenai nyeri,
Agens cidera kimiawi seperti penyebab nyeri, berapa nyeri
yang dirasakan, dan antisipasi dari
ketidak nyamanan akibat prosedur
15) Kendalikan faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi respon pasien
dari ketidaknyamanan (misalnya, suhu
ruangan, pencahayaan, suara bising)
16) Ajarkan prinsip manajemen nyeri
17) Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri
ketika memilih strategi penurunan
nyeri
18) Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat dan tim kesehatan lainnya
untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurunan nyeri nonfarmakologi,
sesuai kebutuhan
19) Gunakan tindakan pengontrolan nyeri
sebelum nyeri bertambah berat
20) Pastikan pemberian analgesik dan atau
strategi nonfarmakologi sebelum
prosedur yang menimbulkan nyeri
21) Periksa tingkat ketidaknyamanan
bersama pasien, catat perubahan dalam
cacatan medis pasien, informasikan
petugas kesehatan lain yang merawat
pasien
22) Mulai dan modifikasi tindakan
pengontrolan nyeri berdasarkan respon
pasien
23) Dukung istirahat/tidur yang adekuat
untuk membantu penurunan nyeri
24) Dorong pasien untuk mendiskusikan
pengalaman nyerinya, sesuai
kebutuhan
25) Beritahu dokter jika tindakan tidak
berhasil atau keluhan pasien saat ini
berubah signifikan dari pengalaman
nyeri sebelumnya
26) Gunakan pendekatan multi disiplin
untuk menajemen nyeri, jika sesuai

Pemberian analgesik
1) Tentukan lokasi, karakteris, kualitas
dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
2) Cek perintah pengobatan meliputi obat,
dosis, dan frekuesi obat analgesik yang
diresepkan
3) Cek adanya riwayat alergi obat
4) Pilih analgesik atau kombinasi
analgesik sesuai lebih dari satu kali
pemberian
5) Monitor tanda vital sebelum dan
setelah memberikan analgesik pada
pemberian dosis pertama kali atau jika
ditemukan tanda-tanda yang tidak
biasanya
6) Berikan kebutuhan kenyamanan dan
aktivitas lain yang dapat membantu
relaksasi untuk memfasilitasi penuruna
nyeri
7) Berikan analgesik sesuai waktu
paruhnya, terutama pada nyeri yang
berat
8) Dokumentasikan respon terhadap
analgesik dan adanya efek samping
9) Lakukan tindakan-tindakan yang
menurunkan efek samping analgesik
(misalnya, konstipasi dan iritasi
lambung)
10) Kolaborasikan dengan dokter apakah
obat, dosis, rute, pemberian, atau
perubahan interval dibutuhkan
2. Resiko syok berhubungan NOC: Setelah dilakukan perawatan selama 1x Pencegahan Syok
dengan perdarahan 24 jam diharapkan tidak terjadi syok 1) Monitor adanya respon konpensasi
hipovolemik dengan kriteria: terhadap syok (misalnya, tekanan darah
Definisi: beresiko terhadap 1) Tanda vital dalam batas normal. normal, tekanan nadi melemah,
ketidak cukupan aliran darah 2) Tugor kulit baik. perlambatan pengisian kapiler, pucat/
kejaringan tubuh, yang dapat 3) Tidak ada sianosis. dingin pada kulit atau kulit kemerahan,
mengakibatkan disfungsi seluler 4) Suhu kulit hangat. takipnea ringan, mual dan munta,
yang mengancam jiwa. 5) Tidak ada diaporesis. peningkatan rasa haus, dan kelemahan)
Faktor resiko 6) Membran mukosa kemerahan. 2) Monitor adanya tanda-tanda respon
1) Hipotensi. sindroma inflamasi sistemik (misalnya,
2) Hipovolemi peningkatan suhu, takikardi, takipnea,
3) Hipoksemia hipokarbia, leukositosis, leukopenia)
4) Hipoksia 3) Monitor terhadap adanya tanda awal
5) Infeksi reaksi alergi (misalnya, rinitis, mengi,
6) Sepsis stridor, dipnea, gatal-gatal disertai
7) Sindrom respon inflamasi kemerahan, gangguan saluran
sestemik pencernaan, nyeri abdomen, cemas
4) Monitor terhadap adanya tanda ketidak
adekuatan perfusi oksigen kejaringan
(misalnya, peningkatan stimulus,
peningkatan kecemasan, perubahan
status mental, egitasi, oliguria dan
akral teraba dingin dan warna kulit
tidak merata)
5) Monitor suhu dan status respirasi
6) Periksa urin terhadap adanya darah dan
protein sesuai kebutuhan
7) Monitor terhadap tanda/gejalah asites
dan nyeri abdomen atau punggung.
8) Lakukan skin-test untuk mengetahui
agen yang menyebabkan anaphiylaxis
atau reaksi alergi sesuai kebutuhan
9) Berikan saran kepada pasien yang
beresiko untuk memakai atau
membawa tanda kondisi medis
10) Anjurkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala syok yang
mengancam jiwa
11) Anjurkan pasien dan keluarga
mengenai langkah-langkah timbulnya
gejala syok
3. Resiko Infeksi berhubungan NOC: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Alat terapi per vaginam
dengan penurunan imun selama 1 x 24 jam, pasien mioma uteri 1) Kaji ulang riwayat kontraindikasih
tubuh sekunder akibat menunjukkan pasien mampu melakukan pemasangan alat pervaginam pada
gangguan hematologis pencegahan infeksi secara mandiri, pasien (misalnya, infeksi pelvis,
(perdarahan) ditandai dengan kriteria hasil: laserasi, atau adanya massa sekitar
1) Kemerahan tidak ditemukan pada vagina)
Definisi: tubuh 2) Diskusikan mengenai aktivitas-
Mengalami peningkatan resiko 2) Vesikel yang tidak mengeras aktivitas seksual yang sesuai sebelum
terserang organisme patogenik permukaannya memilih alat yang dimasukan
3) Cairan tidak berbauk busuk 3) Lakukan pemeriksaan pelvis
4) Piuria/nanah tidak ada dalam urin 4) Intruksikan pasien untuk melaporkan
Faktor yang berhubungan: 5) Demam berkurang ketidaknyamanan, disuria, perubahan
1) Penyakit kronis
6) Nyeri berkurang warna, konsistensi, dan frekuensi
a. Diabetes melitus
7) Nafsu makan meningkat cairan vagina
b. Obesitas
5) Berikan obat-obat berdasarkan resep
2) Pengetahuan yang tidak
dokter untuk mengurangi iritasi
cukup untuk menghindari
6) Kaji kemampuan pasien untuk
pemanjanan patogen
melakukan perawatan secara mandiri
3) Pertahanan tubuh primer
7) Observasi ada tidaknya cairan vagina
yang tidak adekuat
yang tidak normal dan berbau
a. Gangguan peritalsis
8) Infeksi adanya lubang, laserasi, ulserasi
b. Kerusakan integritas
pada vagina
kulit (pemasangankateter
intravena, prosedur
Kontrol Infeksi
invasif)
1) Bersihkan lingkungan dengan baik
c. Perubahan sekresi PH
setelah digunakan untuk setiap pasien
d. Penurunan kerja siliaris
2) Isolasi orang yang terkena penyakit
e. Pecah ketuban dini
menular
f. Pecah ketuban lama
3) Batasi jumlah pengunjung
g. Merokok
4) Anjurkan pasien untuk mencuci tangan
h. Stasis cairan tubuh
i. Trauma jaringan yang benar
(misalnya, trauma 5) Anjurkan pengunjung untuk mencuci
destruksi jaringan) tangan pada saat memasuki dan
4) Ketidak adekuatan jaringan meninggalkan ruangan pasien
sekunder 6) Gunakan sabun antimikroba untuk cuci
a. Penurunan hemoglobin tangan yang sesuai
b. Supresi respon inflamasi 7) Cuci tangan sebelum dan sesudah
5) Vaksinasi tidak adekuat kegiatan perawatan pasien
6) pemajanan terhadap patogen 8) Pakai sarung tangan sebagaimana
lingkungan meningkat dianjurkan oleh kebijakan pencegahan
7) prosedur invasif universal
8) malnutrisi 9) Pakai sarung tangan steril dengan tepat
10) Cukur dan siapkan untuk daerah
persiapan prosedur invasif atau opersai
sesuai indikasi
11) Pastikan teknik perawatan luka yang
tepat
12) Tingkatkan inteke nutrisi yang tepat
13) Dorong intake cairan yang sesuai
14) Dorong untuk beristirahat
15) Berikan terapi anti biotik yang sesuai
16) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
tanda dan gejalah infeksi dan kapan
harus melaporkannya kepada penyedia
perawatan kesehatan
17) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
4. Retensi urine berhubungan NOC: setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen eliminasi urin:
dengan penekanan oleh massa 1x 24 jam diharapkan eliminasi urin kembali 1) Monitor eliminasi urin termasuk
jaringan neoplasma pada normal dengan kriteria hasil: frekuensi, konsistensi, bau, volume dan
organ sekitarnya, gangguan 1) Pola eliminasi kembali normal warna urin sesuai kebutuhan.
sensorik motorik. 2) Bau urin tidak ada 2) Monitor tanda dan gejala retensio urin.
3) Jumlah urin dalam batas normal 3) Ajarkan pasien tanda dan gejala infeksi
Definisi: pengosongan kantung 4) Warna urin normal saluran kemih.
kemih tidak komplit 5) Intake cairan dalam batas normal 4) Anjurkan pasien atau keluarga untuk
6) Nyeri saat kencing tidak ditemukan melaporkan urin uotput sesuai
Batasan karakteristik: kebutuhan.
1) Tidak ada keluaran urin 5) Anjurkan pasien untuk banyak minum
2) Distensi kandung kemih saat makan dan waktu pagi hari.
3) Menetes 6) Bantu pasien dalam mengembangkan
4) Disuria rutinitas toileting sesuai kebutuhan.
5) Sering berkemih 7) Anjurkan pasien untuk memonitor
6) Inkontinensia aliran berlebih tanda dan gejalah infeksi saluran
7) Residu urin kemih.
8) Sensasi kandung kemih
penuh Kateterisasi Urin
9) Berkemih sedikit 1) Jelaskan prosedur dan alasan dilakukan
kateterisasi urin.
Faktor yang berhubungan 2) Pasang kateter sesuai kebutuhan.
1) Sumbatan 3) Pertahankan teknik aseptik yang ketat.
2) Tekanan ureter tinggi 4) Posisikan pasien dengan tepat
3) Inhibishi arkus reflex (misalnya, perempuan terlentang
dengan kedua kaki diregangkan atau
fleksi pada bagian panggul dan lutut).
5) Pastikan bahwa kateter yang
dimasukan cukup jauh kedalam
kandung kemih untuk mencegah
trauma pada jaringan uretra dengan
inflasi balon
6) Isi balon kateter untuk menetapkan
kateter, berdasarkan usia dan ukuran
tubuh sesuai rekomendasi pabrik
(misalnya, dewasa 10 cc, anak 5 cc)
7) Amankan kateter pada kulit dengan
plester yang sesuai.
8) Monitor intake dan output.
9) Dokumentasikan perawatan termasuk
ukuran kateter, jenis, dan pengisian
bola kateter
5. Konstipasi berhubungan NOC: setelah dilakukan perawatan selama 1 x 24 Manajemen saluran cerna
dengan penekanan pada jam pasien diharapkan konstipasi tidak ada 1) Monitor bising usus
rectum (prolaps rectum) dengan kriteria hasil: 2) Lapor peningkatan frekuensi dan bising
1) Tidak ada irita bilitas usus bernada tinggi
Definisi: penurunan pada 2) Mual tidak ada 3) Lapor berkurangnya bising usus
frekuensi normal defekasi yang 3) Tekanan darah dalam batas normal 4) Monitor adanya tanda dan gejalah
disertai oleh kesulitan atau 4) Berkeringat diare, konstipasi dan impaksi
pengeluaran tidak lengkap feses 5) Catat masalah BAB yang sudah ada
atau pengeluaran feses yang Keparahan Gejalah sebelumnya, BAB rutin, dan
kering, keras, dan banyak. 1) Intensitas gejalah penggunaan laksatif
Batasan karakteristik 2) Frekuensi gejalah 6) Masukan supositorial rektal, sesuai
1) Nyeri abdomen 3) Terkait ketidak nyamanan dengan kebutuhan
2) Nyeri tekan abdomen dengan 4) Gangguan mobilitas fisik 7) Intruksikan pasien mengenai makanan
teraba resistensi otot 5) Tidur yang kurang cukup tinggi serat, dengan cara yang tepat
3) Nyeri tekan abdomen tanpa 6) Kehilangan nafsu makan 8) Evaluasi profil medikasi terkait dengan
teraba resistensi otot efek samping gastrointestinal
4) Anoraksia
5) Penampilan tidak khas pada Manajemen konstipasi/inpaksi
lansia 1) Monitor tanda dan gejala konstipasi
6) Darah merah pada feses 2) Monitor tanda dan gejala impaksi
7) Perubahan pola defekasi 3) Monitor bising usus
8) Penurunan frekuensi 4) Jelaskan penyebab dari masalah dan
9) Penurunan volume feses rasionalisasi tindakan pada pasien
10) Distensia abdomen 5) Dukung peningkatan asupan cairan,
11) Rasa rektal penuh jika tidak ada kontraindikasi
12) Rasa tekanan rektal 6) Evaluasi pengobatan yang memiliki
13) Keletihan umum efek samping pada gastrointestinal
14) Feses keras dan berbentuk 7) Intruksikan pada pasien dan atau
15) Sakit kepala keluarga untuk mencatat warna,
16) Bising usus hiperaktif volume, frekuensi dan konsistensi dari
17) Bising usus hipoaktif feses
18) Peningkatan tekanan 8) Intruksikan pasien atau keluarga
abdomen mengenai hubungan antara diet latihan
19) Tidak dapat makan, mual dan asupan cairan terhadap kejadian
20) Rembesan feses cair konstipasi atau impaksi
21) Nyeri pada saat defekasi 9) Evaluasi catatan asupan untuk apa saja
22) Massa abdomen yang dapat nutrisi yang telah dikonsumsi
diraba 10) Berikan petunjuk kepada pasien untuk
Faktor yang berhubungan dapat berkonsultasi dengan dokter jika
1) Funfsional konstipasi atau impaksi masih tetap
a. Kelemahan otot abdomen terjadi
b. Ketidak adekuatan 11) Informasukan kepada pasien mengenai
toileting prosedur untuk mengeluarkan feses
c. Kurang aktifitas fisik secara manual jika di perlukan
d. Kebiasaan defekasi tidak 12) ajarkan pasien atau keluarga mengenai
teratur proses pencernaan normal
2) Psikologis
a. Defresi, stres, emosi
b. Konfusi mental
3) Farmakologi
4) Mekanis
5) fiologis

Sumber :
TIM POKJA SDKI DPP PPNI, (2016) Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
TIM POKJA SIKI DPP PPNI, (2018) Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
TIM POKJA SLKI DPP PPNI, (2018) Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai