Anda di halaman 1dari 15

TUGAS STASE MATERNITAS

LAPORAN PENDAHULUAN GINEKOLOGI MIOMA UTERI

OLEH :
NI KADEK NOVITA DEWI
NIM. 2022207209061

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN GINEKOLOGI MIOMA UTERI

A. Konsep Dasar
1. Pengertian Kasus Ginekologi
Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim, disertai jaringan
ikatnya sehingga dapat dalam bentuk padat, karena jaringan ikatnya
dominan dan lunak, karena otot rahimnya dominan. (Menurut Manuaba,
2012).
Mioma uteri adalah tumor jinak rahim ini sebagian besar berasal dari
sel muda otot rahim, yang mendapat rangsangan terus menerus dari
hormon estrogen sehingga terus bertumbuh dan bertambah menjadi besar.
Oleh karena itu tumor jinak otot rahim sebagian besar terjadi pada masa
reproduktif aktif, yaitu saat wanita masih menstruasi(Menurut Manuaba,
2013).
Mioma uteri adalah tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot
polos rahim. Mioma uteri terjadi pada 20% - 25% perempuan di usia
reproduktif (Anwar, dkk, 2011).

2. Etiologi
Menurut Manuaba, 2012, penyebab terjadinya mioma uteri :
a. Penyebab pasti mioma tidak diketahui secara pasti. Mioma jarang
sekali ditemukan sebelum pubertas, sangat dipengaruhi oleh hormon
reproduksi dan hanya manifestasi selama usia reproduktif (Anwar
dkk, 2011). Tumor ini berasal dari sel otot yang normal, dari otot
imatur yang ada di dalam miometrium atau dari sel embrional pada
dinding pembuluh darah uterus. Apapun asalnya tumor mulai dari
benih-benih multipel yang sangat kecil dan tersebar pada
miometrium. Benih ini tumbuh sangat lambat tetapi progresif
(bertahun-tahun) bulan dalam hitungan bulan di bawah pengaruh
estrogen.
b. Peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma
uteri  mempengarui pertumbuhan tumor
c. Faktor predisposisi yang bersifat herediter, telah diidentifikasi
kromosom yang membawa 145 gen yang diperkirakan berpengaruh
pada pertumbuhan fibroid. Sebagian ahli mengatakan bahwa fibroid
uteri diwariskan dari gen sisi paternal.
d. Mioma biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil
setelah menopause jarang ditemukan sebelum menarke (Crum,
2005).
Faktor Risiko terjadinya mioma uteri yaitu:
a. Usia penderita
Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia reproduksi
dan sekitar 40%-50% pada wanita usia di atas 40 tahun (Suhatno,
2007). Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarke (sebelum
mendapatkan haid). Sedangkan pada wanita menopause mioma uteri
ditemukan sebesar 10%.
b. Hormon endogen (Endogenous Hormonal)
Konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi daripada
jaringan miometrium normal.
c. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita
mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita
mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita
mioma uteri.
d. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. (Parker, 2007)
e. Makanan
Dilaporkan bahwa daging sapi, daging setengah matang (red meat),
dan daging babi menigkatkan insiden mioma uteri, namun sayuran
hijau menurunkan insiden mioma uteri.
f. Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke
uterus. Hal ini mempercepat pembesaran mioma uteri (Manuaba,
2003).
g. Paritas
Mioma uteri lebih banyak terjadi pada wanita dengan multipara
dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat frekuensi
melahirkan 1 (satu) atau 2 (dua) kali.

3. Patofisiologi
Ammature muscle cell nest dalam miometrium akan berproliferasi hal
tersebut diakibatkan oleh rangsangan hormon estrogen. ukuran myoma
sangat bervariasi. sangat sering ditemukan pada bagian body uterus
(corporeal) tapi dapat juga terjadi pada servik. Tumot subcutan dapat
tumbuh diatas pembuluh darah endometrium dan menyebabkan
perdarahan.Bila tumbuh dengan sangat besar tumor ini dapat
menyebabkan penghambat terhadap uterus dan menyebabkan perubahan
rongga uterus.Pada beberapa keadaan tumor subcutan berkembang
menjadi bertangkai dan menonjol melalui vagina atau cervik yang dapat
menyebabkan terjadi infeksi atau ulserasi.Tumor fibroid sangat jarang
bersifat ganas, infertile mungkin terjadi akibat dari myoma yang
mengobstruksi atau menyebabkan kelainan bentuk uterus atau tuba
falofii.Myoma pada badan uterus dapat menyebabkan aborsi secara
spontan, dan hal ini menyebabkan kecilnya pembukaan cervik yang
membuat bayi lahir sulit ( Anwar, dkk, 2011).
Pathway

4. Tanda dan Gejala


Menurut Anwar (2011 ), tanda dan gejala mioma uteri adalah sebagai
berikut :
a. Gejala Subjektif
Pada umumnya kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu.
Timbulnya gejala subjektif dipengaruhi oleh: letak mioma uteri,
besar mioma uteri, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala
subjektif pada mioma uteri yaitu:
1) Perdarahan abnormal, merupakan gejala yang paling umum
dijumpai. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah:
menoragia, dan metrorargia. Beberapa faktor yang menjadi
penyebab perdarahan ini antara lain adalah: pengaruh ovarium
sehingga terjadilah hiperplasia endometrium, permukaan
endometrium yang lebih luas dari pada biasa, atrofi
endometrium, dan gangguan kontraksi otot rahim karena adanya
sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak
dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.
Akibat perdarahan penderita dapat mengeluh anemis karena
kekurangan darah, pusing, cepat lelah, dan mudah terjadi infeksi.
2) Rasa nyeri, gejala klinik ini bukan merupakan gejala yang khas
tetapi gejala ini dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah
pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan
peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan
dilahirkan dan pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis
servikalis dapat menyebabkan juga dismenore.
3) Tanda penekanan, Gangguan ini tergantung dari besar dan
tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan
menyebabkan poliuria, pada uretra dapat menyebabkan retensio
urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan
tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul
dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.
b. Gejala Objektif
Gejala Objektif merupakan gejala yang ditegakkan melalui
diagnosa ahli medis. Gejala objektif mioma uteri ditegakkan melalui:
1) Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan Abdomen dan
pemeriksaan pelvik. Pada pemeriksaan abdomen, uterus yang
besar dapat dipalpasi pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul
ireguler dan tetap, area perlunakan memberi kesan adanya
perubahan degeneratif. Pada pemeriksaan Pelvis, serviks
biasanya normal, namun pada keadaan tertentu mioma
submukosa yang bertangkai dapat mengakibatkan dilatasi serviks
dan terlihat pada ostium servikalis. Uterus cenderung membesar
tidak beraturan dan noduler. Perlunakan tergantung pada derajat
degenerasi dan kerusakan vaskular. Uterus sering dapat
digerakkan, kecuali apabila terdapat keadaan patologik pada
adneksa.
2) Pemeriksaan Penunjang; Apabila keberadaan masa pelvis
meragukan maka pemeriksaan dengan ultrasonografi akan dapat
membantu. Selain itu pemeriksaan dengan laporoskopi juga dapat
dilakukan untuk mengetahui ukuran dan lokasi tumor dan biopsi
untuk mengetahui adanya keganasan.

5. Pemeriksaan Penunjang
a. USG abdominal dan transvaginal
b. Laparaskopi.

6. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada mioma
uteri, diantaranya:
a. Pada mioma kecil dan tidak menimbulkan keluhan, tidak diberikan
terapi hanya diobservasi tiap 3 – 6 bulan untuk menilai
pembesarannya. Mioma akan lisut setelah menopause
b. Radioterapi.
c. Pemberian GnRH agonis selama 6 minggu.
d. Miomektomi dengan atau tanpa histerektomi bila uterus melebihi
seperti kehamilan 12 – 14 minggu.
e. Estrogen untuk pasien setelah menopause dan observasi setiap 6
minggu.

B. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Bersalin


1. Pengkajian
a. Pengkajian primer, Identitas Klien, data fokus:
1) Ketidak teraturan menstruasi (perdarahan abnormal)
2) Infertilitas, anovulasi
3) Nulipara
4) Keterlambatan menopause
5) Penggunaan jangka panjang obat estrogen setelah menopause.
6) Riwayat : Obesitas, Diabetes Melitus, Hipertensi, Hiperplasi
adenomatosa.
7) Ada benjolan di perut bagian bawah dan rasa berat.
b. Pengkajian sekunder
1) Pemeriksaan USG : Untuk melihat lokasi, besarnya
mioma, diagnosis banding dengan kehamilan
2) Laparaskopi : Untuk melihat lokasi, besarnya mioma uteri.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang sering muncul
menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2018), yaitu:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
b. Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan;
perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
c. Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d adanya penekanan pada
mioma uteri terhadap kandung kemih.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif,
peningkatan paparan organisme patogen lingkungan, malnutrisi,
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer, ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder.
e. Cemas b.d. Krisis situasi ancaman kesehatan.
3. Rencana Keperawatan ( tujuan , inervensi, rasional tndakan )
Perencanaan dan intervensi keperawatan Intervensi keperawatan yang
diberikan berkaitan dengan diagnosa keperawatan yang muncul
berdasarkan Nursing Interventions Classification (2018), sebagai berikut:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.........rasa
nyeri teratasi
Kriteria hasil : Mengidentifikasi dan mengunakan intervensi untuk
mengatasi ketidaknyamanan dengan tepat, mengungkapkan
berkurangnya ketidaknyamanan.
Intervensi:
Pain Management
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
(PQRST)
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
4) Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
5) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
6) Tingkatkan istirahat.
7) Kolaborasi dokter tentang pemberian analgesik
Rasional :
1) Mengetahui tingkat pengalaman nyeri klien dan tindakan
keperawatan yang akan dilakukan untuk mengurangi nyeri,
menentukan intervensi keperawatan sesuai skala nyeri
2) Reaksi terhadap nyeri biasanya ditunjukkan dengan reaksi non
verbal tanpa disengaja.
3) Mengetahui pengalaman nyeri
4) Penanganan nyeri tidak selamanya diberikan obat. Nafas dalam
dapat membantu mengurangi tingkat nyeri.
5) Mengetahui keefektifan control nyeri.
6) Mengurangi rasa nyeri
7) Mengurangi intensitas nyeri dengan menekan rangsang nyeri
pada nosiseptor.
b. Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan;
perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
Tujuan :
1) Fluid balance
2) Hydration
Setelah dilakukan askep selama …x 24 jam, Pasien dapat
mendemostrasikan status cairan membaik.
Kriteria Hasil:
Tak ada manifestasi dehidrasi, resolusi oedema, haluaran urine di atas
30 ml/jam, kulit kenyal/turgor kulit baik.
Intervensi:
Fluid management
1) Obs Tanda-tanda vital setiap 4 jam.
2) Obs Warna urine.
3) Status umum setiap 8 jam.
4) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
5) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi
adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
6) Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori
harian.
7) Lakukan terapi IV
8) Berikan cairan.
9) Dorong masukan oral.
10) Beritahu dokter bila: haluaran urine < 30 ml/jam, haus,
takikardia, gelisah, TD di bawah rentang normal, urine gelap atau
encer gelap.
11) Konsultasi dokter bila manifestasi kelebihan cairan terjadi.
12) Pantau: cairan masuk dan cairan keluar setiap 8 jam
Rasional :
1) Mengidentifikasi penyimpangan indikasi kemajuan atau
penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
2) Memenuhi kebutuhan cairan tubuh klien
3) Menjaga status balance cairan klien.
4) Memenuhi kebutuhan cairan tubuh klie.
5) Memenuhi kebutuhan cairan tubuh klien.
6) Temuan-temuan ini menandakan hipovolemia dan perlunya
peningkatan cairan.
7) Mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi kelebihan cairan yang
beresiko terjadinya oedem paru.
8) Mengidentifikasi keseimbangan cairan pasien secara adekuat
dan teratur.
c. Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d adanya penekanan pada
mioma uteri terhadap kandung kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama …x 24 jam, Pola eleminasi
(BAK) pasien teratur.
Kriteria hasil:
Eleminasi BAK lancar, disuria tidak ada, bladder kosong, keluhan
kencing tidak ada.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine, keluhan serta keteraturan pola berkemih.
2) Anjurkan pasien melakukan ambulasi dini.
3) Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat
sebelum berkemih.
4) Anjurkan pasien untuk berkemih secara teratur.
5) Anjurkan pasien untuk minum 2500-3000 ml/24 jam.
6) Kolaborasi untuk melakukan kateterisasi bila pasien kesulitan
berkemih
Rasional :
1) Mengidentifikasi penyimpangan dalam pola berkemih pasien.
2) Ambulasi dini memberikan rangsangan untuk pengeluaran urine
dan pengosongan bladder.
3) Membasahi bladder dengan air hangat dapat mengurangi
ketegangan akibat adanya luka pada bladder.
4) Menerapkan pola berkemih secara teratur akan melatih
pengosongan bladder secara teratur.
5) Minum banyak mempercepat filtrasi pada glomerolus dan
mempercepat pengeluaran urine.
6) Kateterisasi membanatu pengeluaran urine untuk mencegah stasis
urine.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif,
peningkatan paparan organisme patogen lingkungan, malnutrisi,
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer, ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......
diharapkan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: Mendemonstrasikan tehnik-tehnik untuk menurunkan
risiko/ meningkatkan penyembuhan, menunjukan luka yang bebas
dari drainase purulen dan bebas dari infeksi, tidak febris, dan
mempunyai aliran lokhea dan karakter normal.
Intervensi :
1) Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk setiap
pasien.
2) Ganti perawatan per pasien sesuai protokol institusi.
3) Batasi jumlah pengunjung.
4) Ajarkan pasien teknik mencuci tangan dengan tepat.
5) Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki
dan meninggalkan ruangan pasien.
6) Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan yang sesuai.
7) Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien.
8) Lakukan tindakan-tindakan pencegahan yang bersifat universal.
9) Pakai sarung tangan sebagaimana dianjurkan oleh kebijakan
pencehagan universal.
10) Pakai pakaian ganti atau jubah saat menangani bahan-bahan yang
infeksius.
11) Pakai sarung tangan steril dengan tepat.
12) Pastikan teknik perawatan luka yang tepat.
13) Tingkatkan intake nutrisi yang tepat.
14) Dorong untuk beristirahat.
15) Berikan terapi antibiotik yang sesuai.
16) Anjurkan pasien untuk meminum antibiotik seperti yang
diresepkan.
17) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi
Rasional
1) Ruangan yang bersih dapat Mencegah terjadinya infeksi silang.
2) Mengganti perawatan perpasien diharapkan tidak terjadi infeksi
silang.
3) Dengan membatasi pengunjung mengurangi terjadinya infeksi
silang.
4) Dengan melakukan handhygiene pada pasien dengan benar
diharapkan tetap dapat mempertahankan kebersihan.
5) Dengan melakukan handhygiene pada pengunjung dengan benar
diharapkan tetap dapat mempertahankan kebersihan sehingga
tidak terjadi infeksi silang.
6) Penggunaan sabun antimikroba yang sesuai saat cuci tangan akan
mematikan bakteri, kuman maupun virus.
7) Cuci tangan dilakukan dengan five moment menjaga penyebaran
infeksi.
8) Tindakan pencegahan berguna untuk mencegah penyebaran
infeksi
9) Penggunaan sarung tangan dapat mencegah penyebaran infeksi
secara universal.
10) Pemakaian jubah saat tindakan infeksius dapat melindungi tubuh
dari percikan cairan infeksius.
11) Pemakaian sarung tangan steril untuk mempertahankan tehnik
keseterilan.
12) Prinsip steril pada perawatan lukan mencegah terjadinya infeksi.
13) Nutrisi sangat penting untuk penyembuhan.
14) Istirahat yang cukup dapat meningkatkan imunitas.
15) Pengunaan antibiotik sebagai media untuk membunuh kuman,
bakteri dll.
16) Pengunaan antibiotik sebagai media untuk membunuh kuman,
bakteri dll
17) Dengan mengetahui tanda dan gejala infeksi secara dini maka
diharapkan penceghan infeksi dapat dilakukan segera mungkin.
e. Cemas b.d. krisis situasi ancaman kesehatan.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 30 menit
diharapkan kecemasan menurun atau pasien dapat tenang dengan
Kriteria hasil:
Anxiety Self control / Kontrol Cemas
1) Menyingkirkan tanda kecemasan.
2) Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas.
3) Tidak ada manifestasi perilaku kecemasan
Intervensi :
1) Tenangkan pasien
2) Berikan informasi pada pasien mengenai keadaan pasien.
3) Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.
Rasional :
1) Untuk memberikan rasa tenang pada klien
2) Untuk menenangkan pasien dan menambah pengetahuan pasien.
3) Untuk menurunkan kecemasan pasien.

C. Daftar Pustaka
Anwar, Mochamad. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.
Carpenito, L. J. (2013). Buku Saku Diagnosis keperawatan. Edisi 13.
Jakarta : EGC.
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions
and classification 2018-2020. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida Bagus Gde.2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida Bagus Gde.2013. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus
PPNI.

Anda mungkin juga menyukai