Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ABORTUS HABITUALIS

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)


Ilmu Kesehatan Obstetri dan Ginekologi
Di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Disusun Oleh :
Sumita Dewi
20360118

Pembimbing :
dr. H.M. Haidir Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU KESEHATAN OBSTETRI


DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATRA UTARA
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Refarat ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian ilmu
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan judul “Abortus
Habitualis”
Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu
pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri tauladan yang
baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pembimbing KKS di bagian ilmu Kesehatan Obstetri dan Ginekologi. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan Refarat masih terdapat banyak kekurangan baik
dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan
Refarat selanjutnya. Semoga Refarat ini bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi
penulis.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i

KATA PENGANTAR…....................……………………………………..……….......ii

DAFTAR ISI…………………….........………………………………………………..iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

BAB II ABORTUS HABITUALIS......................................................................3

2.1 Definisi...........................................................................................3

2.2 Epidemiologi..................................................................................3

2.3 Etiologi dan Faktor resiko.............................................................4

2.4 Patologi........................................................................................15

2.5 Diagnosis.....................................................................................16

2.6 Diagnosis Banding.......................................................................18

2.7 Penatalaksanaan...........................................................................18

2.8 Komplikasi..................................................................................19

2.9 Prognosis.....................................................................................19

BAB III KESIMPULAN......................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi kehamilan pada usia kehamilan


dibawah 20 minggu. Abortus memiliki gejala pendarahan, keluarnya konsepsi, dan
mengalami kontraksi. Hal ini terjadi akibat adanya pembukaan dari mulut rahim atau
cervix. Penyebabnya antara lain adalah karena adanya kelainan kromosom, inkompeten
cervix, dan konsepsi yang tidak baik. Hasil konsepsi yang tidak baik akan dianggap
sebagai benda asing oleh rahim dan akan dibuang. Usia sang ibu juga nampaknya
sedikit berpengaruh. Dari data yang ada, semakin tua usia sang ibu, maka resiko untuk
mengalami abortus juga semakin tinggi.
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih
berturut-turut. Pada umumnya penderita tidak sukar hamil, tetapi kehamilannya berakhir
sebelum 28 minggu. Angka kejadian jenis abortus ini ialah 0,4% dari semua kehamilan.
Wanita yang mengalami peristiwa tersebut, umumnya tidak mendapat kesulitan untuk
menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat berlangsung terus dan terhenti
sebelum waktunya, biasanya pada trimester pertama tetapi kadang-kadang pada
kehamilan yang lebih tua.
Walaupun terjadinya abortus berturut-turut mungkin kebetulan, namun wajar
untuk memikirkan adanya sebab dasar yang mengakibatkan peristiwa berulang ini.
Sebab dasar ini kurang lebih 40% tidak diketahui; yang diketahui, dapat dibagi 3
golongan : a) kelainan pada zigot; b) gangguan fungsi endometrium, yang menyebabkan
gangguan implantasi ovum yang dibuahi dan/atau gangguan dalam pertumbuhan
mudigah; c) kelainan anatomik pada uterus yang dapat menghalangi berkembangnya
janin di dalamnya dengan sempurna.
Bila menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka harus
mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat suami
istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik Perhatikan
apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester kedua. Bila terjadi pada
trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi
atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester kedua maka
faktor – faktor penyebab lebih cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi

1
serviks dan adanya tumor (mioma uteri) serta infeksi yang berat pada uterus atau
serviks.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abortus merupakan ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau
kurang dari 20 minggu. Terdapat dua jenis abortus, yaitu abortus spontan dan
abortus provokatus. Abortus spontan didefinisikan sebagai abortus yang terjadi
tanpa tindakan mekanis atau medis. Dengan kata lain yang luas digunakan adalah
keguguran (miscarriage). Sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan
tindakan disebut sebagai abortus provokatus.
Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion =
recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil konsepsi 3 kali atau
lebih berturut-turut pada usia kehamilan ≤20 minggu atau berat badan bayi ≤ 500
gram.

2.2 Epidemiologi
Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%.
Namun, angka keguguran pada awal kehamilan sebenarnya hampir mencapai 50%
karena tingginya jumlah kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu setelah
pembuahan. Sebagian besar abortus terjadi karena kegagalan pembentukan gamet
(misalnya, disfungsi sperma atau oosit). Dalam sebuah studi klasik oleh Wilcox,
dkk pada tahun 1988, 221 perempuan diamati selama 707 siklus menstruasi total.
Sebanyak 198 kehamilan dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43 (22%) yang
mengalami keguguran sebelum onset menstruasi, dan lain 20 (10%) secara klinis
diketahui mengalami abortus. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa
setelah 1 abortus spontan, risiko abortus selanjutnya adalah sekitar 15%. Namun,
jika 2 abortus spontan terjadi, risiko berikutnya meningkat menjadi sekitar 30%.
Angka ini lebih tinggi bagi perempuan yang belum memiliki setidaknya 1 bayi lahir
hidup. Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa risiko abortus setelah 3
abortus berturut-turut adalah 30-45%, yang sebanding dengan risiko pada wanita
yang mengalami abortus 2 kali. Hal ini membuat banyak kontroversi tentang waktu

3
evaluasi diagnostik abortus habitualis. Banyak spesialis memilih untuk menetapkan
definisi abortus habitualis setelah 2 abortus berturut-turut dibandingkan 3 kali
berturut-turut.
Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya
berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus
habitualis pada semua kehamilan.
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada
seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%.
Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9%
dan 39%.

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Waktu terjadinya abortus habitualis dapat menggambarkan kausanya. Faktor
genetik paling sering menyebabkan keguguran embrionik, sedangkan kelainan
autoimun atau anatomi lebih sering menyebabkan abortus pada trimester kedua
kehamilan.
Abortus habitualis merupakan kondisi yang heterogen dan dapat lebih dari
satu faktor penyebabnya.
1 Faktor Epidemiologi
a Usia Ibu
Risiko abortus meningkat dengan bertambahnya usia ibu, tanpa
memperhatikan riwayat reproduksi, sebagai akibat dari kelainan kromosom
pada hasil konsepsi yang berhubungan dengan peningkatan usia atau
penurunan fungsi uterus dan ovarium. Berikut ini merupakan hasil suatu studi
tentang hubungan antara usia dengan risiko abortus dalam kehamilan:

Tabel 1. Resiko kejadian abortus dan usia ibu

4
Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko
terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan
bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita
≥35 tahun dan pria ≥40 tahun.
b Riwayat reproduksi
Riwayat reproduksi merupakan faktor yang dapat memprediksi suatu
kehamilan di masa depan. Risiko abortus habitualis meningkat setelah suatu
abortus yang berulang terjadi (kira-kira 40%). Salah satu yang penting dari
riwayat reproduksi ini adalah riwayat abortus sebelumnya. Sebagai contoh,
primigravida dan wanita yang melahirkan anak hidup memiliki 5%
kemungkinan abortus pada kehamilan 4 berikutnya yang secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan wanita memiliki riwayat abortus pada
kehamilan sebelumnya (19%).
2 Faktor Genetik
Kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada trimester
pertama hampir 70%.
a. Kelainan penyusunan kromosom parental
Studi yang mengatakan bahwa sedikitnya 50% abortus disebabkan oleh
karena kelainan kromosom. Sekitar 3% - 5% pasangan dengan abortus
habitualis, salah satu pasangannya membawa kelainan kelainan struktural
kromosom yang seimbang. Wanita lebih mungkin menjadi carrier
dibandingkan dengan laki-laki. Tipe kelainan kromosom parental yang paling
banyak adalah translokasi seimbang, baik timbal balik (resiprokal) atau
Robertsonian. Pada translokasi timbal balik, segmen distal terbagi menjadi
kromosom yang saling bertukar. Pada translokasi Robertsonian, dua
kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya
lengan pendek. Walaupun carrier translokasi seimbang ini memiliki fenotip
yang normal, kehamilannya berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan
dapat mengakibatkan lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental
karena pengaturan kromosom yang tidak seimbang. Risiko abortus
dipengaruhi oleh ukuran dan isi genetik dari segmen kromosom yang diatur
kembali.

5
Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren.
Translokasi yang tidak seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali fetus,
atau bayi lahir mati. Walaupun demikian, prognosisnya masih baik dan 85%
pasangan dapat memiliki bayi yang sehat. Dengan demikian, riwayat abortus
atau anomali fetus pada trimester kedua seharusnya dicurigai adanya kelainan
pola kromosom pada salah satu pasangan.

Gambar 1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian


b. Aneuploidi dan poliploidi embrionik
Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang
menghasikan kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom
(monosomi). Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak
normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua
spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian pematangan baik pada
oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi (empat kali jumlah haploid)
biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan zigotik
pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik
konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X pada
jaringan adalah 30%, 9% dan 4%.
Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal,
polipoid dan monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan
kesalahan tahap meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan
kromosom 16 dan 22 paling sering terlibat. Sekitar 30% abortus spontan

6
karena kelainan kromosom adalah tipe triploid dan tetraploid. Fetus yang
triploid biasanya memiliki kromosom 69, XXY atau 69, XXX dan berasal
dari fertilisasi dispermik seperti yang telah disebutkan di atas. Beberapa hasil
konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang ditandai dengan kantong
kehamilan yang besar dan degenerasi kistik plasenta. Tetraploid jarang
berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu. Monosomi X
merupakan kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara
aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus.
c. Mekanisme molekuler
Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti pentingnya
mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi kromosom X
pada etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang menyebabkan kelainan
pada embrio, perkembangan plasenta atau jantung penting untuk diteliti.
Wanita dengan inaktivasi kromosom X yang tidak simetris mungkin
membawa gen resesif terkait X pada janin yang sifatnya mematikan sehingga
rentan terjadi abortus berulang.
3 Kelainan Anatomi
Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus
habitualis. 15% wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut
memiliki kelainan uterus baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat.
Kelainan uterus yang didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom Asherman),
leiomioma dan inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan misalnya
uterus bersepta, bikornuata dan unikornuata.
a. Malformasi uterus kongenital
Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan
perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Pada
pasien dengan abortus berulang, frekuensi pasien dengan anomali uterus
bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Prevalensi kelainan uterus paling tinggi
ditemukan pada wanita dengan riwayat abortus terakhir yang mencerminkan
prevalensi serviks inkompeten pada wanita dengan malformasi uterus.
Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah
studi prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus

7
adalah sekitar 23,8% pada wanita dengan abortus habitualis pada trimester
pertama dibandingkan dengan frekuensi 5,3% pada wanita dengan risiko
rendah. Selanjutnya, distorsi anatomi uterus lebih parah ditemukan pada
wanita dengan abortus berulang. Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali
kongenital uterus dapat menyebabkan terjadinya abortus pada sebagian kecil
wanita dengan abortus habitualis. Pada suatu studi retrospektif, pasien dengan
anomali uterus yang tidak ditangani cenderung memiliki risiko tinggi abortus
dan partus prematurus dan tingkat partus aterm hanya 50% saja.
Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio uteri
gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting.

Gambar 2. Jenis-jenis anomali mullerian

b. Serviks inkompeten
Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada
pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten
adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh
karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks inkompeten yang
parah menyebabkan abortus pada midtrimester dan derajatnya lebih rendah
pada kasus dengan partus prematurus. Insiden serviks inkompeten masih
belum diketahui secara pasti karena diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan
belum ada kriteria objektif yang disetujui secara umum untuk mendiagnosis
keadaan tersebut. Secara kasar, suatu studi epidemiologi menunjukkan

8
insiden terjadinya serviks inkompeten adalah sekitar 0,5% pada populasi
pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus
midtrimester sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten
melibatkan inkompeten mekanik seperti hipoplasia serviks kongenital,
riwayat operasi serviks, dan trauma serviks yang luas, kebanyakan wanita
dengn diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi serviks yang
normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur akhir dari
berbagai proses patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi dan
predisposisi genetik atau hormonal.
Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari
flora bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester
yang asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi intrauterine subklinis.
Tidak jelas apakah ini merupakan invasi mikroba akibat dilatasi serviks yang
prematur. Ketika terjadi pematangan serviks yang prematur, barier mekanik
terganggu dan selanjutnya dapat menyebabkan proses patologis (misalnya
kolonisasi pada saluran kemih bagian atas) yang berakhir pada kelahiran
prematur spontan. Pada serviks inkompeten yang berhubungan dengan
kelainan mekanik, penanganan suportif misalnya cerclage suture dapat
mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa kehamilan. Sebaliknya,
jika perubahan pada serviks adalah akibat proses non mekanik, maka cerclage
menjadi kurang efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena
kemungkinan adanya komplikasi inflamasi dan infeksi
c. Fibroid
Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan masalah
reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi
fibroid. Meskipun mekanisme yang terjadi belum diketahui secara pasti, teori
patofisiologi yang selama ini dipahami adalah distorsi mekanik kavum uteri,
vaskularisasi abnormal, perkembangan endometrium yang abnormal,
inflamasi endometrium, lingkungan endometrium yang abnormal, dan
kelainan struktural dan kontraktil miometrium. Bukti adanya hubungan antara
fibroid uterus dan abortus habitualis bersifat retrospektif dan tidak cukup
untuk menentukan perbedaan dalam hasil kehamilan atau menilai efek ukuran

9
dan lokasi fibroid. Data terbaru dari pasien dengan infertilitas menunjukkan
bahwa hanya fibroid pada submukosa atau intrakavitas berhubungan dengan
tingkat implantasi yang menurun dan peningkatan kasus abortus. Fibroid
subserosa tidak memiliki efek merusak dan peranan fibroid intramural yang
tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial.
d. Adhesi intrauterin
Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada seorang
wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan kedua
kehamilan, persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal. Kelainan
anatomi ini dapat bersifat kongenital, termasuk yang berhubungan kelainan
dietilstilbestrol, atau yang bersifat didapat seperti adhesi intrauterin atau
leiomyomata.
Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi akibat
trauma intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang berlebihan
karena retensi hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan erat dengan
abortus rekuren. Mekanisme yang diduga terjadi adalah adanya penurunan
volume kavum uteri dan fibrosis serta inflamasi pada endometrium sehingga
terjadi kelainan plasentasi dan menyebabkan abortus.
4 Faktor Endokrin
a. Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron
Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan suatu
keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi
progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang berkembangnya dinding
endometrium. Oleh karena progesteron dibutuhkan untuk keberhasilan suatu
implantasi dan mempertahankan suatu kehamilan muda maka defisiensi
progesteron selama fase luteal berhubungan dengan kejadian abortus
habitualis. Namun, kriteria standar untuk diagnosis secara tepat dan efek dari
defek fase luteal sebagai penyebab abortus berulang masih kurang. Variasi
hormon yang sering berubah dan sekresi pulsatil menyebabkan pengukuran
serum progesteron tidak dapat digunakan dan interpretasi hasil biopsi
endometrium rentan terhadap variasi sampel. Tetapi ada penelitian yang

10
menunjukkan bahwa penanganan pada defek fase luteal telah meningkatkan
keberhasilan suatu kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis.
b. Sindrom ovarium polikistik, Hipersekresi LH dan Hiperandrogenemia
Dua mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
peningkatan hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap fungsi
ovarium. Ovarium polikistik, peningkatan kadar LH dan hiperandrogenemia
merupakan ciri klasik suatu sindrom ovarium polikistik dan telah dilaporkan
sebagai faktor risiko terjadinya abortus habitualis. Jika terjadi peningkatan
konsentrasi hormon LH akan menyebabkan abortus dan inhibisi hormon
tersebut selama siklus induksi ovulasi gonadotropin dapat menurunkan
angka abortus. Walaupun ovarium polikistik secara signifikan sering
ditemukan pada pasien dengan abortus berulang, ovarium polikistik tersebut
tidak dapat memprediksi terjadinya kehamilan pada wanita yang ovulatorik
dengan riwayat abortus berulang.
Baru-baru ini, ditemukan hubungan antara sindrom ovarium polikistik
dan resistensi insulin yang menyebabkan kompensasi hiperinsulinemia
sebagai faktor risiko abortus habitualis. Resistensi insulin dihubungkan
dengan tingginya jumlah abortus di antara wanita dengan sindrom ovarium
polikistik yang sedang menjalani induksi ovulasi dibandingkan dengan yang
tidak menderita resistensi insulin. Laporan terdahulu menyarankan
penggunaan metformin (yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin)
pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik selama induksi ovulasi dan
kehamilan muda sehingga dapat meningkatkan penerimaan hasil konsepsi
oleh dinding endometrium dan mengurangi risiko abortus di masa
mendatang.
c. Faktor Endokrin Sistemik
Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus, tetapi
masih belum ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada kejadian
abortus habitualis. Wanita dengan diabetes di mana kadar HbA1c yang tinggi
pada trimester pertama berisiko mengalami abortus dan malformasi fetal.
Sebaliknya, diabetes melitus yang terkontrol bukan merupakan faktor risiko
abortus rekuren begitu juga dengan disfungsi tiroid yang telah diterapi.

11
Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis. Wanita
dengan abortus habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan dengan wanita
subur yang juga memiliki antibodi tiroid dalam sirkulasi darahnya. Adanya
antibodi tiroid pada wanita eutiroid dengan riwayat abortus habitualis tidak
mempengaruhi kehamilannya mendatang. Oleh karena belum jelas apakah
penyakit tiroid menyebabkan terjadinya abortus habitualis atau tidak,
American College of Obstetricians and Gynecologists (2001) menyimpulkan
bahwa tidak ada indikasi screening terhadap wanita yang asimptomatik.
Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin sulit untuk dideteksi secara klinis, tes
yang dilakukan tidak mahal dan pengobatannya memiliki efektivitas yang
tinggi. Oleh karena itu, screening TSH direkomendasikan pada wanita
dengan abortus habitualis.
5 Faktor Koagulasi dan Imunologi
a. Trombofilia
Sistem hemostatis berperan penting dalam pembentukan dan
pemeliharaan suatu kehamilan. Defek trombofilia adalah kelainan sistem
koagulasi yang mengarah ke trombosis. Selama beberapa tahun terakhir,
peranan sindrom antifosfolipid (APS) suatu defek trombofilik telah
ditetapkan dan ditangani sebagai penyebab abortus habitualis dan berperan
potensial terhadap defek trombofilik lainnya (didapat maupun diturunkan
secara genetik). Hipotesis yang diduga adalah bahwa pada beberapa kasus
abortus habitualis dan komplikasi akhir dari suatu kehamilan disebabkan
oleh respon hemostatik yang berlebihan selama kehamilan, menyebabkan
terjadinya trombosis pada pembuluh darah uteroplasenta dan selanjutnya
dapat mengakibatkan kematian janin.
b. Antibodi Antifosfolipid
Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok dari autoantibodi heterogen
yang bereaksi dengan epitop pada protein yang bergabung dengan fosfolipid
bermuatan negatif. Pada etiologi abortus habitualis, terdapat 2 penyakit
dengan antibodi antifosfolipid yaitu lupus antikoagulan dan antibodi
antikardiolipin. Sindrom antifosfolipid (APS) merupakan hubungan antara
antibodi antifosfolipid dan morbiditas pada kehamilan atau trombosis

12
vaskular. Morbiditas suatu kehamilan mencakup abortus rekuren pada
trimester pertama, satu atau lebih kematian janin yang secara morfologi
normal setelah 10 minggu gestasi dan satu atau lebih kelahiran prematur
sebelum 34 minggu gestasi akibat preeklampsia berat, eklampsia atau
insufisiensi plasenta. APS pada pasien dengan penyakit inflamasi kronik,
seperti SLE disebut sebagai APS sekunder. Sebaliknya, APS primer
mempengaruhi pasien dengan tidak adanya penyakit jaringan ikat sistemik
yang mendasarinya.
c. Defek Trombofilik yang diturunkan
Penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang diturunkan
secara genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis akibat
ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah dan antikoagulasi. Teori
yang paling banyak menjelaskan tentang hal ini adalah resistensi terhadap
protein C yang disebabkan oleh mutasi faktor V Leiden atau yang lainnya,
penurunan atau tidak adanya aktivitas antitrombin III, mutasi gen protrombin
dan mutasi gen untuk methylene tetrahydrofolate reductase yang
menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum (hiperhomosisteinemia).
d. Imunologi
Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000 wanita
dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2 patofisiologi
primer yang menjelaskan kejadian tersebut yaitu teori autoimun (imunitas
yang menyerang diri sendiri) dan teori alloimun (imunitas yang menyerang
pihak lain).
1. Faktor autoimun
Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan SLE.
Kebanyakan dari wanita tersebut memiliki antibodi antifosfolipid
yang merupakan kelompok autoantibody yang mengikat fosfolipid
muatan negatif, phospholipids-binding proteins, atau kombinasi
keduanya. Antibodi tersebut dapat juga ditemukan pada wanita tanpa
lupus. Memang >5% wanita dengan kehamilan normal, antikoagulan
lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACA) berhubungan dengan
abortus berulang. Dibandingkan dengan kejadian abortus, LAC dan

13
ACA lebih banyak ditemukan pada kematian fetus setelah
pertengahan trimester kehamilan. Oleh sebab itu, kematian fetus
merupakan salah satu kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid. Wanita
yang memiliki riwayat abortus dan kadar antibodi yang tinggi
mungkin berpotensi mengalami abortus habitualis sekitar 70%.
2. Faktor alloimun
Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan faktor yang
mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus yang
diperoleh secara paternal. Seorang wanita tidak akan menghasilkan
faktor penghambat serum ini jika dia memiliki HLA yang mirip
dengan suaminya. Gangguan alloimun lainnya juga menyebabkan
abortus habitualis temasuk perubahan aktivitas sel natural killer dan
peningkatan antibodi limfositotoksik. Berbagai terapi untuk
memperbaiki gangguan ini telah disarankan untuk dilakukan termasuk
imunisasi dengan menggunakan sel paternal, third party donor
leukocytes, infus membran trofoblast dan immunoglobulin intravena.
Kebanyakan dari terapi imunologi ini membahayakan pasien sehingga
tidak dianjurkan untuk dilakukan. Salah satu terapi yang mungkin
dapat dilakukan adalah terapi immunoglobulin intravena untuk
abortus habitualis sekunder (wanita dengan abortus habitualis setelah
memiliki anak sebelumnya).
6 Faktor Lain
a. Infeksi
Peranan infeksi terhadap suatu kejadian abortus berulang masih rendah.
Beberapa infeksi berat yang menyebabkan bakteremia atau viremia dapat
menyebabkan keguguran sporadik. Untuk dapat menyebabkan terjadinya
abortus berulang agen infektif tersebut harus menetap dalam traktus genitalis
dan dapat menghindari deteksi atau tidak menyebabkan gejala yang cukup
untuk mengganggu host. Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes
dan infeksi Lister tidak memenuhi kriteria tersebut. Walaupun vaginosis
bakterial pada trimester pertama dilaporkan sebagai faktor risiko keguguran
pada trimester kedua dan kelahiran prematur, bukti adanya hubungannya

14
dengan abortus pada trimester pertama masih belum konsisten. Pada wanita
dengan riwayat abortus pada midtrimester atau partus prematurus, deteksi
dan terapi untuk vaginosis bakterial pada awal masa kehamilan dapat
menurunkan risiko prematuritas, KPD dan BBLR.
b. Faktor Lingkungan
Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti
paparan terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi ionisasi
yang dikenal sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan hipertermia
dicurigai sebagai teratogen. Wanita hamil yang sering terpapar akan berisiko
untuk mengalami abortus.

2.4 Patologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti
oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas
sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan
ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu : Embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan
secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum
uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses
pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu: Mekanisme diatas juga terjadi atau diawali
dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin
yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin
sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum
uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak.
Pada kehamilan ≥14 minggu : Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti
dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih
tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan
terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu
banyak namun rasa nyeri lebih menonjol.

15
2.5 Diagnosis
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis.
Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensi menunjukkan
gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi
pembukaan serviks tanpa disertai mules yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran
janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam
triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia
mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks
inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi (HSG) yaitu ostium
internumuteri melebar lebih dari 8 mm.
Bila menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka harus
mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat
suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik
Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester ke dua. Bila
terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai
kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi
pada trimester kedua maka faktor – faktor penyebab lebih cenderung pada faktor
anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya tumor mioma uteri serta
infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Ikutilah langkah – langkah investigasi
untuk mencari faktor – faktor yang potensial menyebabkan terjadinya abortus
spontan yang berulang sebagai berikut :
a. Riwayat perdarahan per vaginam merupakan keluhan yang paling sering
diungkapkan.
b. Nyeri perut juga seringkali menyertai kondisi ini.
c. Gejala klasik yang biasanya menyertai setiap tipe abortus adalah kontraksi
uterus, perdarahan uterus, dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh
atau sebagian hasil konsepsi.
d. Dugaan abortus diperlukan beberapa kriteria sebagai berikut:
- Terdapat keterlambatan datang bulan

16
- Terjadi perdarahan
- Disertai sakit perut
- Dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi
- Pemeriksaan hasil tes kehamilan dapat masih positif atau sudah negatif
e. Riwayat penyakit terdahulu
1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester
berikutnya adakah penyebab mekanis yang menonjol.
2. Mencari kemungkinan adanya toksin, lingkungan dan pecandu obat (naza).
3. Infeksi ginekologi dan obstetri.
4. Gambaran asosiasi terjadinya “antiphospholipid syndrome (thrombosis,
autoimmune phenomena, false-positive tests untuk sifilis)
5. Faktor genitik antara suami istri ( consanguinity ).
6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan
sindroma yang berkaitan dengan kejadian abortus ataupun partus prematurus
yang kemudian meninggal.
7. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat.
f. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik secara umum
2. Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah perdarahan.
3. Pemeriksaan fundus uteri:
- Tinggi dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan
- Tinggi dan besarnya sudah mengecil
- Fundus uteri tidak teraba di atas simfisis.
4. Inspeksi vulva : perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan hasil konsepsi,
tercium/tidak bau busuk dari vulva.
5. Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah
tertutup, ada/tidak jaringan keluar dari ostium uteri, ada/tidak cairan atau
jaringan berbau busuk dari ostium uteri
6. Pemeriksaan dalam
- Serviks uteri masih tertutup
- Servix sudah terbuka dan teraba ketuban dan hasil konsepsi dalam kavum uteri
atau pada kanalis servikalis

17
- Besarnya rahim (uterus) sudah mengecil
- Konsistensinya lunak
g. Pemeriksaan penunjang
1. Tes Kehamilan
2. Pemeriksaan doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
3. Kariotipe darah tepi kedua orang tua
4. Biopsi endometrium pada fase luteal
5. Pemeriksaan hormon TSH dan antibodi anti tiroid
6. Antibodi antiphospholipid ( cardiolphin, phosphatidylserine )
7. Lukpus antilogulan ( “a partial thromboplastin time or Russell Viper Venom
“)
8. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit.
9. Kultur cairan serviks (mycoplasma, ureaplasma, chlamdia) bila diperlukan
10. Kerjakan histerosalfingogram, histereskopi atau laparoskopi untuk
menyingkirkan diagnosis kelainan anatomis saluran reproduksi.

2.6 Diagnosis Banding


Perdarahan uterus pada kehamilan muda disebabkan oleh abortus, namun
perlu diingat diagnosa banding dari perdarahan pervaginam pada kehamilan muda
yaitu :
1. Kehamilan ektopik terganggu : nyeri lebih hebat dibandingkan abortus.
2. Perdarahan servik akibat epitel servik yang mengalami eversi atau erosi
3. Polip endoservik
4. Molahidatidosa : uterus biasanya lebih besar daripada lamanya amenore dan
muntah lebih sering.
5. Karsinoma servik uteri (jarang)
6. Mioma submukosa pedunkularis

2.7 Penatalaksanaan
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh
karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian
makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah

18
raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya
mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. Risiko perdarahan pervaginam
yang hebat maka perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik
yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika pasien hipotensi, diberikan secara
intravena-bolus salin normal (NS) untuk stabilisasi hemodinamik, memberikan
oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk diperiksa.
Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi yang dilakukan
menunjukkan kelainan seperti mioma submukosa atau uterus bikornis maka
kelainan tersebut dapat diperbaiki dengan operasi atau penyatuan kornu uterus
dengan operasi menurut Strassman
Pada serviks inkompeten apabila penderita hamil, maka operasi dilakukan
untuk mengecilkan ostium uteri sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu
atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang
lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau
dakron yang tebal. Jika berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir
cukup bulan dan benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut
dapat dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald. Setelah terjadi
abortus, dianjurkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu memakai
kontrasepsi seperti kondom atau pil.
Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan
secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomali
anatomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor imunologi, antiphospholipid sindrom,
terapi imunoglobulin atau imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini
merupakan suatu pekerjaan yang besar dan memerlukan pengamatan yang memadai
untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

2.8 Komplikasi

1. Perdarahan (hemorrhage) akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan
tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera
pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.

2. Perforasi uterus sering terjadi sewaktu dilatasi dan kuretase yang dilakukan oleh
tenaga yang tidak ahli. Laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan

19
luasnya perlukaan pada uterus dan pasien biasanya datang dengan syok
hemoragik.

3. Infeksi dan tetanus

4. Syok, pada abortus dapat disebabkan oleh :


- Perdarahan yang banyak disebut syok hipovolemik
- Infeksi berat atau sepsis disebut syok septik atau endoseptik.

2.9 Prognosis
Wanita yang mengalami peristiwa abortus habitualis, umumnya tidak
mendapat kesulitan untuk menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat
berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya, biasanya pada trimester pertama
tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua. Selain pada kasus antibodi
antifosfolipid dan servix inkompeten, “angka kesembuhan” setelah tiga kali abortus
berturut-turut berkisar antara 70% dan 85 %, apapun terapinya. Yaitu, angka
kematian janin akan lebih tinggi, dibandingkan dengan kehamilan secara umum.
Wanita dengan abortus spontan tiga kali atau lebih berisiko lebih besar mengalami
pelahiran preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada
kehamilan berikutnya.

20
BAB III
KESIMPULAN

Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi tiga kali atau lebih abortus
spontan yang terjadi berturut-turut. Etiologi dan faktor resiko abortus habitualis
diantaranya adalah faktor epidemiologi, faktor genetik, kelainan anatomi, faktor
endokrin, faktor koagulsi dan imunologi, dan faktor lainnya seperti infeksi dan faktor
lingkungan. Gambaran klinis abortus habitualis adalah kontraksi uterus, perdarahan
uterus, dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh atau sebagian hasil konsepsi.
Komplikasi dari abortus habitualis adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok.
Prognosis abortus habitualis lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran preterm,
plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

1. Backos, M and Regan, L. 2006. Recurrent Miscarriage. High Risk Pregnancy


Management Options. 3rd Edition. Ed: James,et.al. Philadelphia: Elsevier Saunders.
160-182

2. Carr BR, Blackwell RE, Azziz R. 2005. Recurrent Pregnancy Loss. In : Essential
Reproductive Medicine. New York : McGraw-Hill. P: 586.

3. Cunningham, et.al. Recurrent Miscarriage. 2010. Abortion. Williams Obstetrics. 23


rd Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc.

4. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. 2006. Infertility and Recurrent Pregnancy
Loss. In : Glass Ofice Gynecology, 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. P.6-7.

5. Dhont, M. (2003). Recurrent miscarriage. Current Womens Health Reports, 3(5),


361-366.

6. Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. 2007. Recurrent Pregnancy Loss.
In : Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 3rd ed. Lippincott
Williams & Wilkins;. P.3-6

7. Hariadi R. 2004. Abortus Spontan Berulang. Dalam : Ilmu Kedokteran Fetomaternal.


Edisi Perdana. Surabaya : Penerbit Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Hal. 326-34.

8. Mochtar R, Lutan D. 1998. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan. Dalam:
Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 214-15.

9. Prawirohardjo,S. 2006. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan


Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal.302-304; 309-310

10. Wiknjosastro H. 2007. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Ilmu


Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal.
309-310.

11. Wiknjosastro H. 2008. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam : Ilmu


Kandungan. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal.
246-50

Anda mungkin juga menyukai