Anda di halaman 1dari 23

MALAKAH PERDARAHAN PERVAGINAM

PADA KEHAMILAN MUDA

Dosen Pengampu : Hj. Supriyatun, SST.,M.Keb

Disusun Oleh Kelompok 1 :


1. Ilda Nur Agustina (4003210003)
2. Rita Rosita (4003210004)
3. Maya Maharani (4003210005)
4. Ilfatul hikmah (4003210007)

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


STIKes BINA PUTERA BANJAR
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehinga kami dapat menyelesaikan Makalah Asuhan
Kebidanan Kehamilan tentang Perdarahan Pervaginam.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
sehingga makalah ini selesai sesuai dengan waktunya. Penyusun menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
khususnya dari dosen mata kuliah Asuhan Kebidanan Kehamilan sangat penyusun harapkan,
guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penyusun untuk lebih baik di masa yang
akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa keperawatan yang ingin
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang Perdarahan Pervaginam serta memberikan
inspirasi terhadap pembaca. Penyusun juga mengharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan ilmu
pengetahuan kita semua.

Penyusun,

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................
1.3 Tujuan..............................................................................................................................
1.4 Manfaat.....................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................

2.1 Perdarahan Abortus..........................................................................................................

2.2 Kehamilan Molahidatidosa..............................................................................................


2.3 Kehamilan Ektopik Terganggu..............................................................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................................................

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................

3.2 Saran..........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Didunia sejumlah kematian ibu makin meningkat hampir setiap hari
pertambahan AKI. Dalam 1 jam ada 2 orang ibu yang kehilangan nyawanya atau
meninggal. Penyebab kematian ibu dalam pertolongan persalinan yang terlambat,
kehamilan ibu yang terganggu misalnya ibu menderita penyakit yang berat,
preeklampsi, dll. Kesalahan mendiagnosa kehamilan juga akan membahayakan ibu
dan anaknya. Seperti mendiagnosa mola hydatidosa yang bila dilakukan pemeriksaan
tidak intensif ibu akan didiagnosa hamil.

Kehamilan merupakan proses fisiologis yang dialami wanita. Namun,


kehamilan dapat berkembang menjadi komplikasi yang tidak hanya berpengaruh
pada janin, tapi juga pada ibu karena dapat menyebabkan kematian. Indikator yang
umum digunakan untuk menghitung kematian ibu adalah Angka Kematian Ibu (AKI)
(Fadlun, Feryanto, 2011; Saifuddin, 2009).

Kematian maternal tersebut mayoritas disebabkan oleh perdarahan (28%),


eklamsia/preeklamsia (24%), dan infeksi (11%) (Depkes, 2010). Komplikasi
obstetrik yang terjadi selama kehamilan adalah perdarahan pada abortus dan
perdarahan trimester pertama. Komplikasi yang terjadi pada trimester pertama adalah
perdarahan pervaginam yang umumnya disebabkan oleh abortus, dan hanya sebagian
kecil saja karena sebab-sebab lain (Wiknjosastro, 2008).
Dari uraian tersebut, salah satu penyebab kematian ibu adalah abortus
molahidatidosa dan kehamilan ektopik terganggu. Salah satu jenisnya yaitu abortus
incompletus. Risiabortus meningkat seiring dengan paritas dan usia ibu dan ayah.
Frekuensi abortus secara klinis terdeteksi meningkat 12% pada wanita yang berusia
kurang dari 20 tahun. Meskipun angka kejadiannya relatif kecil, abortus perlu
diperhatikan karena dapat menyebabkan komplikasi dan kematian bila penanganan
kurang efektif dan aman (Sofian, 2011).

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma villi


korialis langka vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi
villi-villi yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang
diberikan ialah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblas pada villi kadang-
kadang berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon, yakni
Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada
kehamilan biasa.

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar


dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh villi korialis memgalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal
yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jemih,
dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm.

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang


wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut. Keadaan
gawat ini dapat menyebabkan suatu kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik
terganggu merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh setiap dokter, dengan
gambaran klinik yang sangat beragam. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada
setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang
disertai dengan nyeri perut bagian bawah dapat mengalami kehamilan ektopik
terganggu.
Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami para wanita
yang telah menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter
saat ini bisa meminimalisir berbagai macam penyakit tersebut. Kehamilan ektopik
diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau kehamilan di dalam rahim
yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam kriteria kehamilan
ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada comu uteri. Jika dibiarkan, kehamilan
ektopik dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat berakhir dengan
kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengetahui Bagaimana Perdarahan Abortus?
2. Mengetahui Bagaimana Kehamilan Molahidatidosa?
3. Mengetahui Bagaimana Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)?

1.3 Tujuan
1. Agar Mahasiswa Mengetahui Bagaimana Perdarahan Abortus!
2. Agar Mahasiswa Mengetahui Bagaimana Perdarahan Molahidatidosa!
3. Agar Mahasiswa Mengetahui Bagaimana Kehamilan Ektopik Terganggu!

1.4 Manfaat
Dapat merapkan ilmu yang telah diperolah serta mendapatkan pengetahuan tentang
perdarahan Abortus Kehamilan Mola Hidatidosa, da Kehamilan Ektopik terganggu
(KET).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perdarahan Pervaginam Abortus

1. Definisi
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu)
pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan
belum mampu hidup di luar kandungan. Istilah abortus dipakai untuk
menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan (Saifuddin, 2002).
Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar
kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena
jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat
hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum
janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Wiknjosastro,2005).

2. Bentuk Abortus
a. Menurut terjadinya, Manuaba tahun 2001 membagi abortus menjadi:
1) Abortus spontan
Yaitu aborsi yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis
ataupun medicinalis semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah.
2) Abortus provokatus kriminalis
Yaitu aborsi yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau
tidak berdasarkan indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan
dalam rangka melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar
perkawinan
3) Abortus Medisinalis
Yaitu aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu
apabila tindakan aborsi tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu.

b. Bentuk klinis:
Abortus ini merupakan abortus spontan, antara lain:
1) Abotus imminens
Yaitu peristiwa dimana hasil konsepsi masih di dalam uterus dan tanpa
adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus iminens ditentukan karena pada
wanita hamil terjadiperdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai
mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai usia
kehamilannya, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif.
Penanganan abortus imminens terdiri atas :
a) Tidur berbaring merupakan unsur penting dalam pengobatan, karena
menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya
rangsang mekanik.
b) Pemeriksaan USG dilakukan untuk menentukan apakah janin masih
hidup.
2) Abortus insipiens
Yaitu adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat.
Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanakan dengan kuret vakum atau
cunam ovum, disusul dengan kerokan. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu
biasanya perdarahan tidak banyak dan bahaya perforasi pada kerokan lebih
besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat dengan pemberian infuse
oksitosin.

3) Abortus inkompletus
Yaitu sebagian hasil konsepsi masih ada yang tertinggal dalam uterus, jadi
hanya ada sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan. Pada pemeriksaan
vaginalis, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum
uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri ekstemum.
Perdarahan dapat banyak sekali, sehingga syok dan perdarahan tidak akan
berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan.

4) Abortus kompletus
Yaitu abortus yang semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Ditemukan
perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah mengecil.
Diagnosis dapat dipermudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan
dapat dinyatakan sudah keluar dengan lengkap. Penderita tidak memerlukan
pengobatan khusus, hanya apabila menderita anemia perlu diberikan sulfas
ferrosus atau tranfusi.

5) Abortus servikalis
Keluarnya hasil konsepsi dari uterus dihalangai oleh ostium uteri eksternum
yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul dalam kanalis
servikalis dan serviks uteri memenjadi besar, kurang lebih bundar, dengan
dinding menipis. Terapi terdiri atas dilatasi serviks dengan busi Hegar dan
kerokan untuk mengeluarkan hasil konsepsi dari kanalis servikalis.

6) Missed abortion
Yaitu keadaan di mana janin sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan
tidak dikeluarkan selama dua bulan atau lebih. Pengeluaran hasil konsepsi
diusahakan menggunakan infuse intravena oksitosin. Jika tidak berhasil,
infuse dapat diulangi setelah penderita istirahat 1 hari.

7) Abortus habitualis atau keguguran berulang


Adalah keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3
kali atau lebih. Penyebabnya untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh
karena itu penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum,
pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak,
larangan koitus dan olahraga. Terapi dengan hormone progesterone,
vitamin, hormone tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh
psikologis karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati.

8) Abortus infeksiosus, abortus septik


Abortus yang disertai infeksi pada genetalia, sedangkan abortus septik
adalah abortus infeksiosus berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke
dalam peredaran darah atau peritoneum. (Wiknjosastro, 2005).

3. Etiologi
Wiknjosastro, 2005 mengatakan penyebab abortus tidak diketahui secara
pasti,tetapi terdapat beberapa faktor sebagai berikut:
a. Faktor pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menimbulkan kematian janin dan
cacat bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan. Gangguan
pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena:
1) Kelainan kromosom
Gangguan terjadi sejak semula pertemuan kromosom, termasuk
kromosom seks.

2) Faktor lingkungan endometrium


Endometrium yang belum siap untuk menerima implantasi hasil
konsepsi, gizi ibu kurang karena anemia atau terlalu pendek jarak
kehamilan.

3) Pengaruh luar
Infeksi endometrium, endometrium tidak siap menerima hasil konsepsi.
Hasil konsepsi dipengaruhi oleh obat dan radiasi menyebabkan
pertumbuhan hasil konsepsi terganggu.
4) Kelainan plasenta
a) Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga plasenta tidak
dapat berfungsi.
b) Gangguan pembuluh darah plasenta, diantaranya pada diabetes
mellitus.
c) Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah plasenta
sehingga menimbulkan keguguran.

5) Penyakit ibu
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, malaria,
sifilis.Toksin, bakteri, virus, atau plasmodium dapat melalui plasenta
masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin, dan kemudian
terjadilah abortus. Animia berat, keracunan, laparatomi, peritonitis umum
dan penyakit menahun seperti brusellosis, mononucleosis, infeksiosa,
toksoplasmosis jaga dapat mentebabkan abortus walaupun jarang terjadi.

6) Kelainan yang terdapat dalam rahim (Kelainan alat reproduksi dan


gangguan system reproduksi).
Retroversio uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi harus diingat bahwa hanya retroversion
uteri gravid inkarserataatau mioma submukosa yang memegang peranan
penting. Sabab lain abortus dalam trimester ke 2 ialah servik inkompeten
yang disebabkan oleh kelainan bawaan pada serviks, dilatasi serviks
berlebihan, konisasi, amputasi, atau robekan serviks luas yang tidak
dijahit.

Risiko keguguran mencapai 11,7%, jika kehamilan di kisaran umur 30-34


tahun. Sedangkan di usia 35-39 tahun, risiko meningkat menjadi 18%
(Muharam,2008). Menurut Koesoemawati tahun 2002, prevalensi
meningkat sesuai umur ibu. 12% abortus terjadi pada wanita usai lebih
dari 20 tahun, sedangkan 50% abortus terjadi pada wanita usia lebih dari
45 tahun. Idealnya, kehamilan berlangsung saat ibu berusia 20 tahun
sampai 35 tahun. Kenyataannya sebagian perempuan hamil berusia
dibawah 20 tahun dan tidak sedikit pula yang mengandung di atas usia 35
tahun. Padahal kehamilan yang terjadi di bawah usia 20 tahun maupun di
atas usia 35 tahun termasuk berisiko.

7) Kehamilan di Bawah Usia 20 Tahun.


Pada saat hamil seorang ibu sangat memungkinkan terjadi keguguran. hal
ini disebabkan oleh faktor-faktor alamiah dan juga abortus yang
disengaja, baik dengan obat-obatan maupun memakai alat. Faktor lain
yang dapat mempermudah terjadinya keguguran di antaranya :

a) Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi.


Yakni ketika ibu masih belum menyadari kehamilannya atau tidak
siap dengan kehamilan pertamanya. Juga pengetahuan yang salah
tentang masalah reproduksi manusia (karena penerangan yang keliru)
menyebabkan ibu melakukan hal-hal yang tak dapat dibenarkan,
misalnya minum jamu atau obat-obatan dengan maksud agar haidnya
kembali menjelang. Sikap tersebut akan menimbulkan gangguan pada
pertumbuhan hasil konsepsi.
b) Kondisi fisik ibu hamil.
Keadaan ini erat hubungannya dengan hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar di dalam tubuh ibu yang tidak memadai. Biasanya konsepsi
yang terjadi akan tumbuh dengan sempurna jika calon ibu sudah
mencapai usia 20 tahun. Masa ini memang sering disebut masa subur
sehat, yang akan berlangsung sampai ibu mencapai usia 30 tahun
(Sarwono,2001).

8) Usia 20-35 tahun


Saat berusia 20-35, kondisi fisik perempuan sangat prima, dan
mengalami puncak kesuburan, sehingga risiko abortus minim. Hal ini
disebabkan karena sel telur relatif muda, sehingga meski pada trimester
pertama kandungan tetap kuat. Kualitas sel telur yang baik memperkecil
kemungkinan bayi lahir cacat, tetapi tidak dipungkiri pada usia tersebut
dapat terjadi abortus yang dikarenakan ketidaknormalan jumlah
kromosom (Muharam,2008).

9) Kehamilan di Atas Usia 35 Tahun.


Secara psikologis memang lebih matang. Namun, dari sisi fisik justru
berisiko mengalami kelainan kehamilan yang membahayakan kesehatan
janin. Janin mengalami kelainan geneti dan lahir cacat. Selain itu juga
berpeluang mengalami keguguran, hal ini dapat terjadi karena :
a) Komplikasi saat kehamilan, Seperti tekanan darah tinggi, diabetes
saat hamil dan kesulitan melahirkan.
b) Janin memiliki kelainan kromosom. Kromosom abnormal banyak
yang berakhir dengan keguguran (Muharam,2008). Semakin tinggi
usia maka risiko terjadinya abortus semakin tinggi pula seiring
dengan naiknya kejadian kelainan kromosom pada ibu yang berusia
diatas 35 tahun. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kejadian
leiomioma uteri pada ibu dengan usia lebih tinggi dan lebih banyak
yang dapat menambah risiko terjadinya abortus.

4. Diagnosa
Abortus harus diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh
tentang perdarahan per vaginam setelah terlambat haid, sering terdapat pula rasa
mules Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditemukannya kehamilan muda pada
pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis (Galli Mainini)
atau imunologik (pregnosticon, gravindex) bilamana hal itu dikerjakan
(Wiknjosastro, 2005). Mempunyai satu atau lebih tanda, diantaranya sebagai
berikut: perdarahan, kaku perut, pengeluaran sebagian produk konsepsi, serviks
yang berdilatasi atau uterus yang lebih kecil dari seharusnya (Saifuddin, 2002).

5. Komplikasi
Wiknjosastro, 2005 menyatakan komplikasi abortus adalah:
a. Perdarahan
Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak berikan
pada waktunya.
b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau
usus karena perlukaan uterus biasanya luas.
c. Infeksi
Biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus
buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis.

d. Syok
Terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (syok
endoseptik). Pada missed abortion dengan retensi lama hasil konsepsi dapat
terjadi kelainan pembekuan darah (Mansjoer,2001).

B. Kehamilan Mola Hidatidosa


1. Pengertian
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma villi korialis
langka vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villi-
villi yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang
diberikan ialah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblas pada villi kadang
kadang berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon,
yakni Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar
daripada kehamilan biasa. Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh villi
korialis memgalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik,
mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih,
tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa
milimeter sampai 1 atau 2 cm.

2. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa diketahui, faktor-faktor yang menyebabkannya antara
lain:

a) Faktor ovum: Ovum memang sudah patologik sehingga mati, tapi terlambat
dikeluarkan.

b) Imunoselektif dari trofoblas

c) Keadaan sosio ekonomi yang rendah

d) Paritas tinggi

e) Kekurangan protein

f) Infeksi virus dan kromosom yang belum jelas


3. Manifestasi Klinis
Pada penderita mola dapat ditemukan beberapa gejala-gejala sebagai berikut:

a) Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari


kehamilan biasa dan amenore
b) Terdapat perdarahan per vaginam yang sedikit atau banyak, tidak teratur,
warna tungguli tua atau kecoklatan seperti bumbu rujak.
c) Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan tua kehamilan
seharusnya.
d) Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen, juga gerakan janin serta
tidak terdengar bunyi denyut jantung janin.
e) Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin.

4. Patofisiologi
Jonjot-jonjot korion tumbuh berganda dan mengandung cairan merupakan kista
kista kecil seperti anggur. Biasanya di dalamnya tidak berisi embrio. Secara histo
patologic kadang-kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan bayi
normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola adalah satu janin tumbuh dan
yang satu menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai
dari yang kecil sampai berdiameter lebih dari 1 cm. mola parsialis adalah bila
dijumpai janin dan gelembung - gelembung mola. Secara mikroskopik terlihat
trias:

a) Proliferasi dari trofoblas


b) Degenerasi hidropik dari stroma villi dan kesembaban
c) Terlambat atau hilangnya pembuluh darah dan stroma
d) Sel-sel Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dengan
adanya sel sinsisial giantik (Syncytial Giant Cells). Pada kasus mola
banyak kita jumpai ovarium dengan kista lutein ganda. Kista lutein akan
berangsur-angsur mengecil dan kemudian hilang setelah mola hidatidosa
sembuh.

5. Klasifikasi
Menurut Cuningham, 1995. Mola hidatidosa terbagi menjadi dua yaitu:

a) Mola hidatidosa komplek (klasik), jika tidak ditemukan janin. Villi korealis
diubah menjadi masa gelembung-gelembung bening yang besarnya
berbeda beda. Masa tersebut dapat tumbuh membesar sampai mengisi
uterus yang besarnya sama dengan kehamilan normal lanjut. Struktur
histologinya mempunyai sifat:

1) Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villi.


2) Tidak terdapat pembuluh darah di dalam villi yang bengkak.
3) Proliferasi sel epitel trofoblas dengan derajat yang beragam.
4) Tidak terdapat janin dan amnion.

b) Mola Hidatidosa Partialis


Bila perubahan mola hanya lokal dan tidak berlanjut dan terdapat janin atau setidaknya
kantung amnion, keadaan tersebut digolongkan mola hidatidosa partialis. Terdapat
pembengkakan villi yang kemajuannya lambat, sedangkan villi yang mengandung pembuluh
darah yang lain yang berperan dalam sirkulasi fito placenta, jarang Hiperflasi trofoblas hanya
Gambaran Mola komplit (klasik) Mola parsial (inkomplit)

Jaringan embrio atau


Tidak ada Ada
janin

Pembengkakan hidatidosa
Difus Vokal
pada villi

Hyperplasia Difusi Vokal

Inklusi stroma Tidak ada Ada

Lekukan vilosa Tidak ada Ada

lokal tidak menyeluruh (Jacobs, 1982).

6. Patologi
Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan jernih
merupakan kista - kista kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum
uteri. Secara histopatologic kadang-kadang ditemukan jaringan mola pada
plasenta dengan bayi normal. Bias juga terjadi kehamilan ganda mola adalah: satu
jenistumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola
besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter lebih dari 1
cm. Mola hidatidosa terbagi menjadi :

a. Mola Hidatidosa Sempurna


Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel - vesikel jernih. Ukuran
vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai beberapa
sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai
kecil. Temuan Histologik ditandai oleh:
1) Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan Stroma Vilus
2) Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
3) Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
4) Tidak adanya janin dan amnion.
b. Mola Hidatidosa Parsial
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan
mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan hidatidosa
yang berlangsung lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskular,
sementara villi villi berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin plasenta
yang masih berfungsi tidak terkena.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mengetahui secara pasti adanya molahidatidosa, maka pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a. Reaksi kehamilan : karena kadar HCG yang tinggi maka uji biologic dan uji
imunologik (galli mainini dan planotest) akan positif setelah pengenceran
titrasi):
1) Galli mainini 1/300 (+), maka suspek mola hidatidosa.
2) Galli mainini 1/200 (+), maka kemungkinan mola hidatidosa atau hamil
kembar. Bahkan pada mola atau koriokarsinoma, uji biologik atau
imunologik cairan serebrospinal dapat menjadi positif.

b. Pemeriksaan dalam
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin,
terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta
evaluasi keadaan servik.

c. Uji sonde: Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke


dalam kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde
diputar setelah ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan kemungkinan mola
(cara Acosta- Sison).

d. Foto rongent abdomen: tidak terlihat tulang tulang janin ( pada - kehamilan
3-4 bulan).

e. Arteriogram khusus pelvis

f. Ultrasonografi: pada mola akan kelihatan bayangan badai salju dan tidak
terlihat janin.

8. Penatalaksanaan
a. Terapi
Kalau perdarahan banyak dan keluar jaringan mola, atasi syok dan perbaiki
keadaan umum penderita dengan pemberian cairan dan transfusi darah.
Tindakan pertama adalah melakukan manual digital untuk pengeluaran
sebanyak mungkin jaringan dan bekuan darah; barulah dengan tenang dan
hati-hati evaluasi sisanya dengan kuretase.
b. Jika pembukaan kanalis servikalis masih kecil:
1) Pasang beberapa gagang laminaria untuk memperlebar pembukaan
selama 12 jam.
2) Setelah pasang infus Dectrosa 5 % yang berisi 50 satuan oksitosin
(pitosin atau sintosinon); cabut laminaria, kemudian setelah itu lakukan
evakuasi isi kavum uteri dengan hati-hati. Pakailah cunam ovum yang
agak besar atau kuret besar ambillah dulu bagian tengah baru bagian-
bagian lainnya pada kavum uteri. Pada kuretase pertama ini keluarkanlah
jaringan sebanyak mungkin, tak usah terlalu bersih.
3) Kalau perdarahan banyak, berikan tranfusi darah dan lakukan tampon
utero - vaginal selama 24 jam.

c. Bahan jaringan dikirim untuk pemeriksaan histo - patologik dalam 2 porsi:


1) Porsi 1 yang dikeluarkan dengan cunam ovum.
2) Porsi 2: dikeluarkan dengan kuretase.

d. Berikan obat-obatan, antibiotika, uterustonika dan perbaikan keadaan umum


penderita.

e. 7-10 hari sesudah kerokan pertama, dilakukan kerokan ke 2 untuk


membersihkan sisa-sisa jaringan, dan kirim lagi hasilnya untuk pemeriksaan
laboratorium.

f. Kalau mola terlalu besar dan takut perforasi bila dilakukan kerokan, ada
beberapa institut yang melakukan histerotomia untuk mengeluarkan isi rahim
(mola).

g. Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi (high risk mola): usia
lebih dari 30 tahun, paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar (mola
besar) yaitu setinggi pusat atau lebih.

h. Periksa ulang (follow-up) Ibu dianjurkan jangan hamil dulu dan dianjurkan
memakai kontrasepsi pil. Kehamilan, dimana reaksi kehamilan menjadi
positif akan menyulitkan observasi.Juga dinasehatkan untuk mematuhi
jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun:

1) Setiap minggu pada triwulan pertama


2) Setiap 2 minggu pada triwulan kedua.
3) Setiap bulan pada 6 bulan berikutnya
4) Setiap 2 bula pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan.
Setiap perikas ulang penting diperhatikan :
a. Gejala klinis perdarahan, keadaan umum dll
b. Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan in spekulo: tentang
keadaan servik, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, kista lutein
bertambah kecil atau tidak dll.
c. Reaksi biologis atau imonologis air seni:
1. Satu kali seminggu sampai hasil negative
2. Satu kali 2 minggu selama triwulan selanjutnya
3. Satu kali sebulan dalam 6 bulan selanjutnya
4. Satu kali 3 bulan selama tahun berikutnya.
Kalau reaksi titer tetap (+), maka harus dicurigai adanya
keganasan.Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca
terkenanya mola hidatidosa. Menurut Harahap (1970) tumor
timbul 34,5 % dalam 6 minggu,: 62,1% dalam 12 minggu dan
79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam 1 tahun setelah mola
keluar.
d. Sitostatika profilaksis pada mola hidatidosa
Beberapa institut telah memberikan methotrexate (MTX) pada
penderita mola dengan tujuan sebagai profilaksis terhadap keganasan.
Para ahli lain tidak setuju pemberian ini, karena disatu pihak obat ini
tentu mencegah keganasan, dan dipihak lain obat ini tidak luput dari
efek samping dan penyulit yang berta. Beberapa penulis
menganjurkan pemberian MTX bila
1) Pengamatan lanjutan sukar dilakukan
2) Apabila 4 minggu setelah evakuasi mola, uji kehamilan biasa tetap
positif
3) Pada high risk mola.

9. Komplikasi
Pada penderita mola yang lanjut dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai
berikut:
a. Anemia
b. Syok
c. Preeklampsi atau Eklampsia
d. Tirotoksikosis
e. Infeksi sekunder.
f. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan.
g. Menjadi ganas (PTG) pada kira-kira 18-20% kasus, akan menjadi mola
destruens atau koriokarsinoma.

C. Kehamilan Ektopik Terganggu


1. Defenisi
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari
bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan "berada
di luar tempat yang semestinya". Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau
pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini
disebut kehamilan ektopik terganggu.
Menurut Taber (1994), kehamilan ektopik adalah gestasi diluar kavum uteri.
Kehamilan ektopik merupakan istilah yang lebih luas daripada kehamilan
ekstrauterin, karena istilah ini mencakup gestasi pada pars interstisialis tuba,
kehamila kornu (gestasi pada kornu uteri yang rudimenter), dan kehamilan servikalis
(gestasi dalam kanalis servikalis) dan juga kehamilan abdominal, kehamilan ovarial
dan kehamilan tuba.
Menurut Mansjoer (1999), kehamilan ektopik adalah implanttasi dan
pertumbuhan hasil konsepsi diluar endometrium kavum uteri.
Menurut Manuaba (1998), terdapat dua pengertian yang perlu mendapat
perhatian, yaitu kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berimplantasi diluar
endometrium normal dan kehamilan ekstrauterin adalah kehamilan yang
berimplantasi diluar uterus. Dengan pengertian ini maka kehamilan pada pars
interstitial tuba dan kehamilan pada servikal termasuk kehamilan ekstrauterin, tetapi
mempunyai sifat kehamilan ektopik yang sangat berbahaya.
Menurut Winkjosastro (2002), kehamilan ektopik terjadi bila telur yang
dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan
ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars
interstisialis stuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas
bersifat ektopik. Menurut Saifuddin (2000), kehamilan ektopik adalah kehamilan
dimana setelah fertilisasi, implantasi terjadi diluar endometrium kavum uteri.
Sedangkan kehamilan ektopik tergangguialah kehamilan ektopik yang mengalami
abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang
implantasi (misalnya: Tuba).

2. Insiden
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20 - 40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi kehamilan ektopik yang
sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak
selalu jelas.

3. Etiologi
Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung
telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko yang diperkirakan
sebagai penyebabnya adalah Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan
gangguan pada motilitas saluran telur :
a. Riwayat operasi tuba.
b. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang.
c. Kehamilan ektopik sebelumnya.
d. Aborsi tuba dan pemakaian IUD.
e. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom.
f. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-perubahan pada
endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus
terlambat.
g. Operasi plastik pada tuba.
h. Abortus buatan.

4. Patofisiologi
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah
dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio
dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu.
Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini yaitu:
a. Kemungkinan "tubal abortion", lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung
distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada
kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga
peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari
dinding tuba.
b. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat
dari distensi berlebihan tuba.
c. Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum
berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat
terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam
hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga
banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.

5. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan
yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak
jelas sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada
lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan,
derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu.
Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi,
dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan
ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit
untuk membuat diagnosanya.

6. Diagnosis
Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara
lain dengan melihat:
a. Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak
ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau
ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam
peritoneum.
b. Pemeriksaan fisis
1) Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
2) Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan
ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang
bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.
c. Pemeriksaan ginekologis
Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan
kiri.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium: Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah
24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
2) USG:- Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri Adanya kantung
kehamilan di luar kavum uteri - Adanya massa komplek di rongga panggul
e. Kuldosentesis: suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum
Douglas ada darah.
f. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
g. Ultrasonografi berguna pada 5-10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar
uterus.

7. Penanganan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada laparotomi
perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksa yang
menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah
dalam rongga perut sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam tindakan demikian,
beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu: kondisi penderita pada saat itu,
keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini
menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang
terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG
(kuantitatif). Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih
adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.
Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan transfusi, infus, oksigen, atau
kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa
darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat
dan harus dirawat inap di rumah sakit.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
a. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama
berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi
operasi.
b. Infeksi
c. Sterilitasi
d. Pecahnya tuba falopii
e. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio

9. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis
dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1
kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk (1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila
pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970)
mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu,
kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka
kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan berkisar antara 0-14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan
adalah sekitar 50% (1,2,7).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu
hidup di luar kandungan. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (Saifuddin, 2002).

Mola Hidatidosa ditandai oleh kelainan vili korialis, yang terdiri dari proliferasi
trofoblastik dangan derajat yang bervariasi dan edema sroma vilus. Mola biasanya
menempati kavum uteri, tetapi kadang-kadang tumor ini ditemukan dalam tuba falopii
dan bahkan dalam ovarium. Perkembangan penyakit trofoblastik ini amat menarik, dan
ada tidaknya jaringan janin telah digunakan untuk menggolongkannya menjadi bentuk
mola yang komplet (klasik) dan parsial (inkomplet).

Kehamilan mola hidatidosa merupakan kelainan kehamilan yang banyak terjadi pada
multipara yang berumur 35-45 tahun. Mengingat banyaknya kasus mola hidatidosa pada
wanita umur 35-45 tahun sangat diperlukan suatu penanggulangan secara tepat dan
cepat dengan penanganan tingkat kegawatdaruratan obstetric. Observasi dini sangat
diperlukan untuk memberikan pertolongan penanganan pertama sehingga tidak
memperburuk keadaan pasien. Penerapan asuhan keperawatan sangat membantu dalam
perawatan kehamilan mola hidatidosa karena kehamilan ini memerlukan perawatan dan
pengobatan secara kontinyu sehingga keluarga perlu dilibatkan agar mampu
memberikan perawatan secaramandiri.

Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa
Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan "berada di luar
tempat yang semestinya". Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah,
dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut
kehamilan ektopik terganggu.

Menurut Winkjosastro (2002), kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin
tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba
dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.

3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan adalah :
1) Harus senantiasa menjaga kesehatan saat kehamilan dan priksa USG rutin
2) Mengkonsumsi makanan bergizi dan seimbang.
3) Jangan kekurangan vitamin
4) Periksa kepada tenaga medis yang profesional jika terjadi tanda-tanda bahaya dalam
kehamilan
5) Kenali tanda-tanda kehamilan nommal dan kkehamilan tidak normal agar dapat
memeriksakan diri lebih dini untuk mencegah komplikasi pada kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F G,dkk., 2005. Obstetri Williams Volume 1. Jakarta: EGC Fadlun, Achmad
Refyanto. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika

Hani, Ummi, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan Pada Kehamilan Fisiologis. Jakarta: Salemba
Medika

Koesoemawati, H, dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorlan. Edisi 29. Jakarta: EGC

Mansioer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculaplus

Saifuddin, AB, 2009. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:

EGC.

Sofian, A. 2011. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC

Sulistyawati, 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai