HEMOFILIA
Disusun oleh:
NIM : 1710029010
Pembimbing:
i
Refleksi Kasus
HEMOFILIA
NIM : 1710029010
Menyetujui,
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
FEBRUARI 2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang
berjudul “Hemofilia”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. William S. Tjeng, Sp. A, sebagai dosen pembimbing selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Februari, 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia lobularis yang disebut juga
bronkopneumonia merupakan suatu peradangan pada parenkim paru yang
berlokasi di bronkiolus dan alveolus sekitarnya, biasanya menyerang anak – anak
dan balita (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008). Pneumonia merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Kurang lebih 158
juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 154 juta
kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15% dari seluruh
kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus kematian pada
anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & Rey-Pineda, 2016).
Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab
kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada
pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia
di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi
terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013).
Penyakit jantung bawaan (PJB) terjadi kira – kira 0,8% dari seluruh
kelahiran. Insidensi lebih tinggi terjadi pada bayi baru lahir (3 – 4%), abortus
spontan (10 – 25%) dan bayi prematur (kira – kira 2%, tidak termasuk duktus
arteriosus paten, PDA). Keseluruhan insidensi ini tidak termasuk prolapsus katup
mitral, PDA pada bayi preterm, katup aorta bikuspid (1 – 2% orang dewasa).
Defek jantung kongenital memiliki spektrum keparahan yang luas pada bayi
dengan 2 – 3 dari 1000 bayi baru lahir akan mengalami gejala – gejala penyakit
jantung dalam 1 tahun pertama kehidupannya (Nelson, 2015). Prevalensi PJB
tertinggi ditemukan di Asia dengan 9,3 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan
1
terendah di Afrika (1,9 dari 1000 kelahiran hidup) (Van der Linde, Konings,
Slager, Witsenburg, Helbing, Takkenberg, et al., 2011).
Operasi paliatif dan korektif telah meningkatkan kemampuan bertahan
hidup anak dengan PJB hingga usia dewasa. Meskipun begitu, PJB tetap menjadi
penyebab kematian utama pada anak – anak dengan malformasi kongenital
(Nelson, 2015).
Berdasarkan fakta tersebut, maka diperlukan pemahaman lebih lanjut
sehingga memudahkan kita untuk mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan
yang tepat pada pneumonia dan penyakit jantung bawaan.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
.
Identitas Pasien
Ruang Perawatan : Ruang Melati
Nama : An. A P
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 6 Tahun 9 Bulan
Alamat : Jl. Sidrap Dalam RT. 24 Kecamatan Guntung,
Bontang
Anak ke : 1
MRS A. W Sjahranie : 17 Februari 2018
3
2.1. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secara alloanamnesis terhadap Bapak & Ibu pasien
pada tanggal 17 Januari 2018
Keluhan Utama
Badan lebam sejak 1 minggu smrs.
Riwayat Obat-Obatan
Selama perawatan di RS Parikesit Tenggarong, pasien sudah diberikan :
IVFD DS ¼ ns 25 cc / jam
Inj. Meropenem 3 x150 mg
Inj. OMZ 1 x 5 mg
Nebulizer pulmicort / 4 jam
4
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Namun kakek
pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat diabetes melitus dan PJK di sangkal.
Riwayat Kehamilan
Pemeriksaan prenatal : Rutin setiap bulan
Periksa di : Bidan
Penyakit Kehamilan : Tidak ada
Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin
Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik Bersalin
Ditolong oleh : Bidan
Usia kehamilan : 9 bulan
Jenis partus : Per vaginam
Berat badan lahir : 3000 gr
Panjang badan lahir : 49 cm
5
Riwayat Makanan dan Minuman Anak
Pasien mengonsumsi susu formula tanpa makanan atau minuman
tambahan lain.
Riwayat Imunisasi
Usia saat Imunisasi
Imunisasi
Lahir 1 2 3 4
Hepatitis B √ √ √ √
Polio √ √ √
BCG √
DTP-Hib √ √ √
Antropometri
Berat Badan : 5100 gr
Panjang Badan : 65 cm
Lingkar Lengan Atas : 10 cm
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 119 x/menit, regular, adekuat
Frekuensi napas : 29 x/menit, regular
Temperatur : 36,6 0C (aksiler)
Tekanan darah : 86/54 mmHg
Kepala
Rambut : Hitam, UUB datar
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-), mata cowong (-/-), pupil isokor (3
mm/3 mm), refleks cahaya (+/+)
6
Hidung : Sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : Sekret (-)
Mulut : Lidah bersih, mukosa bibir basah, sianosis (-), perdarahan (-)
tonsil dan faring hiperemis (-)
Regio Leher
Pembesaran kelenjar getah bening submandibular (-)
Regio Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dinding dada simetris, pergerakan dinding dada
simetris, pelebaran ICS (-), retraksi subcosta (+/+), retraksi
supraclavicula (-)
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S , fremitus teraba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Perkusi : Tidak dapat dievaluasi
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS IV MCL sinistra
Auskultasi : Murmur (+), gallop (-)
Regio Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung, simetris, penonjolan massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Soefl, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit
baik
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Regio Genitalia
7
Dalam batas normal
Anus (+)
Regio Ekstremitas
Akral hangat, atrofi otot (-/-), edema (-), CRT < 2 detik.
Pemeriksaan Refleks
Refleks Menghisap :+
Refleks Rooting :+
Refleks Babinsky :+
Refleks Moro :+
9
2.4. Foto Thorax
Foto Thorax AP :
- Tampak konsolidasi inhomogen pada lapangan atas kedua paru terutama
paru kanan
- Cor : membesar
- Kedua sinus dan diafragma normal
- Tulang-tulang intak
Kesan :
- Kosolidasi inhomogen pada lapangan atas kedua paru terutama paru kanan
suspek pneumonia
- Cardiomegali
2.5. Diagnosis
Bronkopneumonia + PJB (VSD)
10
Penatalaksanaan di IGD :
Oksigen nrm 2-8 lpm
Konsul dr. Sp. A :
- IVFD KAEN 1B 20 tpm mikro
- Merapenem 3 x 150 mg lanjut hari ke 8
- Paracetamol 3 x 50 mg (k/p)
- Rawat ruang PICU
Follow Up
11
Perintah Pengobatan/Tindakan
Tanggal Perjalanan Penyakit
yang diberikan
19/1/2018 S: Sesak napas (+), batuk (+), Oksigen nrm 6-8 lpm
NGT retensi (-) Coba minum progestimil 8 x 10-
O: KU lemah, Kes CM 15 cc
Inf D5 ¼ ns 500 cc/ 24 jam
N : 123 x/menit, regular, Inj Dexamethason 3x1 mg IV
adekuat Nebulisasi Ventolin 0,5 + pz 1,5
RR : 26 x/menit cc 4x/hari
TD : 110/55 mmHg
Captopril 3 x 1,6 mg pulv
T : 36,6 °C
Inj Ranitidin 2 x 6 mg IV
SaO2 : 98%
Suction berkala
BB : 5,1 kg
Cek kultur darah
Cek DL, HDT , retikulosit
Toraks:
Thorax foto cito bed
Retraksi subcosta (+/+),
rho (+/+), whe (-/-), Co Rehab Medik
murmur (+)
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat,
edema (-), CRT<2”
A:
Bronkopneumonia + VSD
20/1/2018 S: Sesak napas berkurang, O2 nasal kanul 1 lpm
demam (-), batuk (+) Inf D5 ¼ ns 500 cc/ 24 jam
O: KU lemah, Kes CM Inj Dexamethason 3x1 mg IV
Nebulisasi Ventolin 0,5 + pz 1,5
N : 127 x/menit, regular, cc 4x/hari
adekuat Captopril 3 x 1,6 mg pulv
RR : 30 x/menit
Inj Ranitidin 2 x 6 mg IV
TD : 93/46 mmHg
Suction berkala
T : 36 °C
Minum progestimil 20-25 cc
SaO2 : 99%
BB : 5,1 kg
Toraks
Retraksi subcosta (+/+), 12
rho (+/+), whe (-/-),
murmur (+)
Abdomen : BU (+)
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. PNEUMONIA
3.1.1. Definisi
13
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll) (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2008).
3.1.2. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia
setiap tahunnya, dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang.
Diperkirakan pneumonia menyebabkan 3 juta kematian, atau 29% dari seluruh
kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun (Nelson, 2015).
Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas
penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan
penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu
berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia
di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi
terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013). Pneumonia
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.
Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya,
dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15%
dari seluruh kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus
kematian pada anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & Rey-
Pineda, 2016).
3.1.3. Etiologi
Walaupun sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, penyebab non infeksi termasuk aspirasi makanan atau asam
lambung, benda asing, hidrokarbon dan substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas
14
dan pneumonitis yang diinduksi oleh radiasi atau obat. Penyebab pneumonia pada
individu sering sulit untuk ditentukan karena kultur langsung pada jaringan paru
tergolong invasif dan jarang dikerjakan. Kultur yang dilakukan pada spesimen
dari traktur respiratori atas sering tidak merefleksikan penyebab sesungguhnya.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri penyebab tersering pada anak –
anak usia 3 minggu hingga 4 tahun, sedangkan Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydophila pneumoniae merupakan bakteri patogen tersering pada anak usia
5 tahun atau lebih tua. Bakteri patogen lainnya yang dapat menyebabkan
pneumonia adalah streptokokus grup A dan Staphylococcus aureus (Nelson,
2015).
Etiologi Tersering Berdasarkan Usia
Grup Usia Patogen Tersering
Neonatus Streptococcus grup B, Escherichia
coli, basil gram negatif lain,
Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae
3 minggu – 3 bulan RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. Influenza
4 bulan – 4 tahun RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. influenza, Mycoplasma
pneumoniae, streptokokus grup A
> 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, S.
pneumoniae, Chlamydophila
pneumoniae, H. influenzae, virus
influenza, adenovirus, virus respirasi
lain, Legionella pneumophila
Tabel 3.1. Etiologi Penyebab Terbanyak Berdasarkan Usia (Nelson, 2015).
3.1.4. Klasifikasi
15
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia interstitialis
c. Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a. Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia)
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a. Pneumonia bakteri
b. Pneumonia virus
c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit
a. Pneumonia tipikal
b. Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten
3.1.5. Patofisiologi
Traktus respiratorius bagian bawah normalnya tetap steril oleh mekanisme
pertahanan fisiologis, termasuk klirens mukosilier, sekresi Ig A dan pembersihan
jalan napas melalui batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi
invasi organisme patogenik termasuk makrofag terdapat di alveoli, bronkiolus, Ig
A dan imunoglobulin lain. Faktor tambahan yang mendorong terjadinya infeksi
paru termasuk trauma, anestesi, dan aspirasi (Nelson, 2015).
16
Kegagalan mekanisme pertahanan dan adanya faktor predisposisi
menyebabkan seseorang rentan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan
pneumonia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia
adalah sebagai berikut.
1. Gangguan flora normal orofaringeal. Adanya Ig lokal, terutama IgA,
komplemen dan flora normal, mencegah kolonisasi di orofaring oleh
mikroorganisme yang virulen. Diabetes, malnutrisi, dan gangguan sistemik
kronik lain mengurangi tingkat fibronektin saliva dan meningkatkan
kolonisasi oleh basil gram negatif. Antibiotik yang berhubungan dengan
supresi flora normal mulut juga memfasilitasi kolonisasi melalui basil gam
negatif yang resisten.
2. Refleks glotis dan batuk yang tertahan. Ini dapat menyebabkan aspirasi isi
lambung
3. Gangguan kesadaran. Terutama pada pasien – pasien tak sadar, seperti
koma, kejang, atau pada kecelakaan yang menyebabkan gangguan
serebrovaskular.
4. Kerusakan mekanisme aparatus mukosilier. Klirens mukosiliar efektif
tergantung pada pergerakan siliar yang efektif dan pada mukus. Kelenjar
submukosa dan permukaan sel goblet epitel menghasilkan cairan permukaan
airway. Cairan ini terdiri dari lapisan atas gel mirip musin dan lapisan
bawah non gel. Silia bergerak pada medium spesial ini mengarahkan gel ke
arah mulut. Proteksi ini sering rusak akibat infeksi respiratori akibat virus,
eksposur terhadap udara dingin atau panas atau zat – zat kimia berbahaya,
sindrom silia imotil, obstruksi endobronkial.
5. Disfungsi makrofag alveolus. Anemia kronik, starvasi memanjang,
hipoksemia dan infeksi virus pada saluran nafas dapat menyebabkan
kerusakan makrofag alveolus.
6. Disfungsi imun. Gangguan granulosit, limfosit, defisiensi imun baik
kongenital maupun didapat serta terapi imunosupresif dapat menjadi
predisposisi pneumonia.
(Singh, 2012)
17
Empat tahapan patologis pneumonia (Singh, 2012) :
1. Tahap kongesti : Pada tahap ini, telah tampak respon inflamasi awal akut.
Lobus yang terkena menjadi merah dan berat karena kongesti vaskular.
Cairan yang mengandung protein, neutrofil dan bakteri dapat terlihat di
alveoli. Tahapan ini berlangsung 1 – 2 hari.
2. Tahap hepatisasi merah : Lobus yang terkena menjadi merah, kaku, dan
memiliki konsistensi seperti hepar. Cairan yang mengandung protein
berubah menjadi benang – benang fibrin dengan eksudat seluler yang
mengandung neutrofil dalam jumlah nyata. Ekstravasasi sel darah merah
yang memberikan warna merah pada paru yang yang terkonsolidasi.
Tahapan ini berlangsung 2 – 4 hari.
3. Tahapan hepatisasi abu – abu : Lobus yang terkena menjadi kering, kaku
dan abu – abu karena lisis eritrosit. Eksudat yang mengandung neutrofilik
selular menurun karena pemecahan sel inflamasi dan makrofag mulai
terlihat. Mikroorganisme juga berkurang. Tahapan ini berlangsung 4 – 7
hari.
4. Tahap resolusi : Karena aksi enzimatik, terjadi likuefasi dan aerasi paru
diperbaiki secara bertahap. Makrofag sekarang menjadi sel utama di alveoli.
Terdapat pengurangan progresif cairan dan eksudat seluler dari alveoli
melalui ekspektorasi dan drainase limfatik mengarah ke parenkim paru yang
normal dalam 3 minggu.
Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
19
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan
limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan
granulosit yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Nelson, 2015).
Pemeriksaan radiologi
Gambaran infiltrat pada foto rontgen mendukung diagnosis pneumonia;
pada foto rontgen, juga dapat terlihat komplikasi seperti efusi pleura atau
empiema. Pneumonia virus biasa dikarakteristikkan sebagai hiperinflmasi dengan
infilitrat interstisial bilateral dan peribronchial cuffing. Konsolidasi lobar biasanya
terlihat pada pneumonia pneumokokal. Penampakan radiografik sendiri bukanlah
diagnostik utama, dan fitur klinis lain perlu dipertimbangkan (Nelson, 2015).
20
Gambar 3. Pneumonia pneumokokal
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Nelson,
2015).
3.1.7. Diagnosis
1.Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit
(WHO, 2009)
2.Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut :
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit
21
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis
- Distres pernapasan berat (WHO, 2009)
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator
22
3.1.9. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (Nelson, 2015).
3.1.10. Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak biasanya merupakan hasil dari
penyebaran langsung infeksi bakteri dalam kavitas torakal (efusi pleura, empiema,
perikarditis) atau penyebaran hematologik dan bakteremia. Meningitis, artritis
25
supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran secara
hematologi dari pneumokokal atau H. influenzae tipe b (Nelson, 2015)
3.2. VENTRICULAR SEPTAL DEFECT
I. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
VSD menduduki peringkat pertama yang tersering dari seluruh cacat
pada jantung. Kejadian pada VSD terhitung kira-kira 25-40% dari seluruh
kelahiran dengan cacat jantung bawaan.Kejadian VSD di Amerika Serikat dan di
dunia sebanding, kira-kira satu sampai dua kasus per seribu bayi yang lahir. Riset
menunjukkan bahwa prevalensi VSD di Amerika Serikat meningkat selama tiga
puluh tahun terakhir. Sebuah peningkatan ganda terjadi pada prevalensi VSD yang
dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention dari tahun 1968-
1980. The Baltimore-Washington Infant Study (BWIS) melaporkan sebuah
peningkatan ganda pada VSD dari tahun 1981-1989. Riset BWIS melaporkan
bahwa peningkatan ini terjadi karena makin sensitifnya deteksi penyakit ini oleh
echocardiography.1
Di Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, tipe
perimembranus adalah yang terbanyak ditemukan (60%), kedua adalah subarterial
(37%), dan yang terjarang adalah tipe muskuler (3%). VSD sering ditemukan pada
kelainan-kelainan kongenital lainnya, seperti Sindrom Down. 5,6
II. ETIOLOGI
VSD terjadi karena kegagalan penyatuan atau kurang berkembangnya
komponen atau bagian dari septum interventricularis jantung (terutama pars
membranacea). Perkembangan ini terjadi pada hari ke-24 sampai ke-28 masa
kehamilan. Kegagalan gen NKX2.5 dapat menyebabkan penyakit ini.
Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang telah diidentifikasi
sebagai faktor risiko yang paling mungkin pada VSD. The National Center on
Birth Defects and Developmental Disabilities, Centers for Disease Control and
Prevention memiliki data yang menunjukkan bahwa para ibu yang menggunakan
marijuana sebelum masa konsepsi berhubungan erat dengan peningkatan risiko
memiliki bayi dengan VSD.1,6
26
Sebuah peningkatan ganda pada penyakit VSD yang dihubungkan dengan
penggunaan kokain pada ibu hamil, telah ditemukan pada sebuah penelitian di
Boston City Hospital pada tahun 1991.BWIS lebih jauh melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara VSD tipe membranacea dengan penggunaan kokain
pada pria. Aliran darah ke jantung yang abnormal yang disebabkan oleh efek
vasokonstriksi dari kokain adalah alasan yang paling dapat diterima pada kasus-
kasus VSD.1
Mengonsumsi alkohol juga berhubungan dengan peningkatan kejadian
VSD. BWIS mengungkapkan bahwa konsumsi alkohol pada wanita berhubungan
dengan VSD tipe muskuler.Tidak ditemukan korelasi dengan VSD tipe
perimembranus. Sebuah riset dari Finlandia lebih lanjut menemukan bahwa
konsumsi alkohol berhubungan dengan peningkatan kasus VSD sebanyak 50%.1
III. PATOFISIOLOGI
VSD menyebabkan terjadinya left-to-right shunt pada ventrikel.
Terjadinya left-to-right shunt pada ventrikel menyebabkan tiga konsekuensi
hemodinamik, yaitu:1
1. Meningkatnya volume ventrikel kiri
2. Meningkatnya aliran darah pulmoner
3. Sistem cardiac output yang terkompensasi
Gangguan fungsional yang disebabkan oleh VSD lebih bergantung pada
ukuran shunt daripada lokasi dari VSD itu sendiri, yaitu besar kecilnya defek dan
keadaan pembuluh darah pulmoner. Sebuah VSD yang kecil dengan resistensi
aliran yang tinggi menyebabkan sebuah left-to-right shunt yang sempit. Hubungan
interventricular yang besar menyebabkan sebuah left-to-right shunt yang besar,
hanya jika tidak ada stenosis pulmonal atau resistensi pembuluh darah pulmoner
yang tinggi, karena faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi aliran shunt.1
Selama kontraksi ventrikel, atau disebut juga fase sistol, sebagian darah
dari ventrikel kiri bocor ke ventrikel kanan, melewati jantung dan masuk kembali
ke ventrikel kiri melalui vena pulmonalis dan atrium kiri. Ada dua konsekuensi
yang ditimbulkan dari proses tersebut. Pertama, refluks aliran darah menyebabkan
volume yang meningkat pada ventrikel kri. Kedua, karena ventrikel kiri secara
27
normal memiliki tekanan darah sistolik yang lebih tinggi (sekitar 120 mmHg)
daripada ventrikel kanan (sekitar 20 mmHg), kebocoran darah ke dalam ventrikel
kanan menyebabkan peningkatan tekanan dan volume ventrikel kanan, yang lebih
lanjut mengakibatkan hipertensi pulmonal dengan gejala-gejala yang terkait.
Gejala-gejala ini akan lebih terlihat pada pasien-pasien dengan defek yang besar,
yang mungkin dapat memberikan manifestasi klinis berupa sesak napas, malas
makan, dan pertumbuhan terhambat pada bayi. Pasien-pasien dengan defek yang
kecil mungkin saja dapat memberikan gejala yang asimptomatis.6
IV. DIAGNOSIS
A. Gejala Klinis
VSD adalah penyakit jantung bawaan yang asianotik, dikenal juga
dengan left-to-right shunt, jadi tidak ada tanda-tanda sianosis.6
Gejala klinis dan gangguan fungsi jantung pada VSD bergantung pada
besarnya defek, keadaan vaskularisasi pulmoner, derajat shunt, dan lokasi
defek. Gejala-gejala VSD, antara lain:1
VSD dengan defek yang kecil biasanya tidak bergejala.1
Terjadi respiratory distress dan takipnea ringan.1
Pada VSD yang moderat, kulit dan menjadi pucat dan diaforetik, dan
dapat disertai dengan pneumonia atau infeksi saluran pernapasan bagian
atas.1
VSD yang disertai dengan komplikasi berupa hipertensi pulmonal dan
shunt terbalik (Sindrom Eisenmenger), memiliki gejala klinis berupa
sesak napas, nyeri dada, sinkop, hemoptisis, sianosis, clubbing finger,
dan polisitemia.1
B. Aspek Fisik dan Laboratorium
Aspek fisik
Tanda: murmur pansistolik/holosistolik (tergantung dari besar kecilnya
defek) di sela iga III-IV parasternal kiri yang menyebar sepanjang parasternal
dan apeks, aktivitas ventrikel kiri meningkat, dan dapat teraba
thrill(turbulensi aliran darah yang teraba). Bunyi jantung normal, tetapi
28
komponen pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila terjadi hipertensi
pulmonal. Seorang bayi dengan VSD akan terhambat pertumbuhannya dan
akan terlihat tachypnea (bernapas cepat).5,6
Pada aliran pirau yang besar, dapat terdengar bising mid-diastolik di
daerah katup mitral akibat aliran yang berlebihan.Tanda-tanda gagal jantung
kongestif dapat ditemukan pada bayi atau anak dengan aliran pirau yang
besar. Bila telah terjadi penyakit vaskuler paru dan Sindrom Eisenmenger,
penderita tampak sianosis dengan jari-jari berbentuk tabuh, bahkan mungkin
disertai tanda-tanda gagal jantung kanan.5
Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis
VSD.1
Pemeriksaan laboratorium rutin (preoperatif), meliputi tes darah rutin,
urin rutin, elektrolit serum, ureum, kreatinin, dan faktor-faktor
koagulasi.1
Kadang-kadang, analisis gas darah preoperatif diperlukan jika terdapat
desaturasi sistemik.1
C. Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax
Macam-macam ekspertise yang dapat ditemukan pada VSD, antara lain:4,10,11
Karakteristik foto yang ditemukan pada VSD adalah kardiomegali
terutama bagian kiri jantung, disertai tanda-tanda peningkatan
vaskularisasi pulmoner. Peningkatan aliran balik vena pulmonalis
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume pada atrium kiri dan
ventrikel kiri, yang akhirnya berujung ke dilatasi kedua ruang jantung
tersebut. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan batas jantung kiri berubah
bentuk. Pembesaran atrium kiri lebih baik jika dilihat dari aspek lateral
atau obliqus anterior sinistra, yang mana foto tersebut akan menunjukkan
gambaran bulging sepanjang batas jantung posterior bagian atas, yang
mengakibatkan pergeseran esophagus dan bronchus principalis sinistra.
29
Jika defek yang terjadi besar, maka pembesaran biventricular akan
terjadi.10
Echocardiography
Echocardiography dapat digunakan untuk menunjukkan tipe dan jumlah
defek pada septum interventricularis. VSD tipe perimembranus dapat
dilihat dari kerusakan septum pada daerah setelah valve triskuspidal dan
di bawah batas annulus aorta. Keakuratan alat ini sangat tinggi, jarang
menimbulkan positif palsu dan negatif palsu.2,3
V. DIAGNOSIS BANDING
Sekitar 70% dari penyakit jantung bawaan bersifat asianotik, yang paling
sering antara lain: defek septum ventrikel (VSD), paten duktus arteriosus (PDA),
defek septum atrial (ASD), dan stenosis pulmonal.13
Perbandingan keempat penyakit jantung bawaan tersebut, sebagai
berikut:2,11,13
Tabel 1. Diagnosis banding pada VSD2,11,13
Stenosis
Uraian VSD PDA ASD
pulmonal
Asianotik,
murmur
Asianotik,
kontinyu yang
murmur sistolik
Asianotik, terjadi karena
yang terdengar
murmur variasi ritme dari Asianotik,
pada ICS II kiri
pansistolik perbedaan murmur sistolik
Gejala dan murmur
yang terdengar tekanan darah pada linea
klinis mid-diastolik
pada linea selama siklus sternalis kiri
yang terdengar
sternalis kiri jantung. Murmur atas
pada daerah
bawah terdengar pada
sternum kanan
daerah sternum
bawah
kiri atas. Pulsus
celer (+)
Bentuk Kardiomegali, Kardiomegali, Kardiomegali, Kardiomegali,
jantung dengan dengan pelebaran dengan dengan dilatasi
30
penonjolan
arteri
arteri
penonjolan pulmonalis, pada atrium
pulmonalis,
arteri arcus aorta dan ventrikel
pada dilatasi
pulmonalis dan tampak normal, kanan, arteri
gambaran ventrikel
dilatasi atrium aorta descendens pulmonalis
radiologi kanan, atrium
kiri dan mengecil, dan menonjol, dan
kiri dan
ventrikel kiri dilatasi atrium aorta mengecil
ventrikel kiri
dan ventrikel kiri
normal
Berkurang dan
Corakan
Bertambah Bertambah Sangat melebar tampak kecil-
vaskuler
kecil
31
VI. PENATALAKSANAAN
Pertama-tama setelah diagnosis VSD ditegakkan, secara kualitatif besar
aliran pirau dapat ditentukan dengan petunjuk “Klinis, Elektrokardiografi, dan
Radiologi (KER)”.5
Tabel 2. Penggolongan hemodinamis (Pierre Corone 1977, Fyler 1961)5
Perbandingan tekanan
Golongan Penyulit ventrikel kanan dan tekanan
sistemik (mmHg)
Ia Normal
Ib 30-35
IIa <70% tekanan sistemik
IIb >70% tekanan sistemik
III Resistance ratio> 70%
IV Pulmonal stenosis
32
Tabel 4. Penggolongan menurut K.E.R.5
Golongan Nilai K.E.R. Penamaan Golongan
Ia <10 K = kecil
Ib 10-20 MK = moderat kecil
IIa >20-35 MB = moderat besar
IIb >35 B = besar
33
penutupan spontan dapat terjadi pada beberapa tipe VSD (tipe muskuler dan
perimembranus).5
Dalam observasi kasus VSD, perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya
prolapse katup aorta, hipertrofi infundibulum atau hipertensi pulmonal. Pada
keadaan ini, kemungkinan nilai KER dapat menurun. Bila kelainan-kelainan
tersebut terjadi, maka tindakan kateterisasi dan bedah penutupan VSD perlu
dipercepat.5
Bila telah terjadi hipertensi pulmonal yang disertai dengan penyakit
vaskuler paru (irreversible), maka bedah penutupan VSD tidak dianjurkan lagi.
Bila ada prolaps katup aorta dan regurgitasi katup aorta yang berat maka mungkin
juga perlu dilakukan penggantian katup. Pencegahan terhadap endocarditis
infektif pada setiap tindakan bedah minor (misalnya cabut gigi) perlu dilakukan
pada setiap kasus VSD.5
VII. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini bergantung pada besarnya defek yang terjadi.1
Dari seluruh kasus VSD yang tercatat pada bayi-bayi usia satu bulan, 80%
menutup secara spontan. Penutupan spontan defek septum ventrikel
bergantung pada besarnya defek, anatomi, dan umur pasien. Penutupan
spontan paling sering terjadi pada usia satu tahun dan dengan kerusakan yang
kecil.1
Mortalitas yang terjadi akibat riwayat penyakit VSD menunjukkan bahwa
27% pasien meninggal pada usia 20 tahun, 53% pada usia 40 tahun, dan 69%
pada usia 60 tahun.1
Pada penyakit-penyakit VSD tanpa komplikasi, tingkat mortalitas saat
dilakukan tindakan operasi mendekati 0%. Mortalitas dan morbiditas
meningkat pada VSD yang multiple, hipertensi pulmonal, dan diikuti dengan
anomali-anomali yang lain.1
Ketika tindakan operasi dilakukan sebelum usia dua tahun, usia harapan
hidup akan baik, dan pasien mempunyai ukuran dan fungsi ventrikel yang
normal, sehingga dapat menjalani kehidupan yang normal.1
34
Angka harapan hidup pada pasien yang telah diintervensi dengan terapi bedah
dan konservatif (setelah 25 tahun) adalah 87%, motalitas meningkat dengan
semakin beratnya VSD.1
BAB 4
PEMBAHASAN
Teori Kasus
Pneumonia Pneumonia
Pneumonia merupakan penyebab Usia 4 bulan
morbiditas dan mortalitas anak di negara Batuk dan sesak selama 13 hari sebelum
berkembang; dengan insidensi pneumonia masuk RSUD Abdul Wahab Sjahranie. Selain
balita tertinggi terjadi pada kelompok itu, pasien juga mengalami demam. Sesak
umur 12 – 23 bulan. dialami semakin hari semakin berat
Pneumonia virus dan bakteri sering
diawali gejala infeksi traktus respirasi atas Penyakit Jantung Bawaan
dalam beberapa hari, terutama batuk dan Penyakit keluarga dan penyakit selama
rinitis. kehamilan disangkal.
Pneumonia bakteri pada anak yang lebih
35
tua diawali dengan demam tinggi dan
menggigil yang mendadak, batuk dan
nyeri dada. Gejala lain yang dapat terlihat
meliputi mengantuk dengan periode
gelisah yang intermiten, respirasi cepat,
kecemasan dan kadang, delirium.
Pneumonia bakteri pada bayi juga dapat
bermanifestasi sebagai gangguan
gastrointestinal seperti muntah, anoreksia,
distensi abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Pneumonia Pneumonia
36
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia KU : lemah
ditemukan hal-hal sebagai berikut : Frekuensi nadi : 119 x/menit, regular,
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, adekuat
interkostal, subkosta, suprasternal, dan Frekuensi napas : 29 x/menit, regular
pernapasan cuping hidung. Temperatur : 36,6 0C (aksiler)
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang Tekanan darah : 86/54 mmHg
simetris. Saturasi O2 :100%
- Pada auskultasi terdengar :
oCrackles (ronki) Paru
oSuara pernapasan menurun Inspeksi: Bentuk dinding dada simetris,
oSuara pernapasan bronkial pergerakan dinding dada simetris, pelebaran
ICS (-), retraksi subcosta (+/+), retraksi
supraclavicula (-)
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S ,
vaskularisasi pulmoner, derajat shunt, dan lokasi Perkusi : Tidak dapat dievaluasi
defek. Gejala-gejala VSD, antara lain:1 Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS
37
berupa hipertensi pulmonal dan shunt
terbalik (Sindrom Eisenmenger),
memiliki gejala klinis berupa sesak
napas, nyeri dada, sinkop, hemoptisis,
sianosis, clubbing finger, dan
polisitemia.1
Tanda: murmur pansistolik/holosistolik
(tergantung dari besar kecilnya defek) di
sela iga III-IV parasternal kiri yang
menyebar sepanjang parasternal dan
apeks, aktivitas ventrikel kiri meningkat,
dan dapat teraba thrill(turbulensi aliran
darah yang teraba)
3. Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Pneumonia Pneumonia
1. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat Pemeriksaan Laboratorium:
(tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit Darah Lengkap
predominan) dan bakteri leukosit meningkat Leukosit : 11.20 x 103/ mikroliter
15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang Eritrosit : 3.79 x 106/mikroliter
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat Hemoglobin : 10.2 g/dl
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Hct : 31,8 %
2. Pemeriksaan Radiologi : Tampak adanya PLT : 342.000/mikroliter
infiltrat baik interstisial maupun alveolar
3. Pemeriksaan Mikrobiologis: Untuk Pemeriksaan Radiologi
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat Tampak konsolidasi inhomogen pada lapangan
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, atas kedua paru terutama paru kanan
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau Cor : membesar
aspirasi paru. Kedua sinus dan diafragma normal
Tulang-tulang intak
38
Ventricular Septal Defect
Ekokardiografi menilai masalah pada jantung Kesan :
seperti struktur jantung dan bagaimana jantung Kosolidasi inhomogen pada lapangan atas
bereaksi terhadap masalah tersebut. kedua paru terutama paru kanan suspek
Elektrokardiografi menilai aktivitas listrik pneumonia
jantung dan apakah ruangan jantung Cardiomegali
membesar.
Rontgen dada dapat digunakan untuk menilai
apakah jantung membesar atau tidak dan
melihat apakah paru memiliki aliran darah
atau cairan ekstra.
Pulse oxymetry digunakan untuk
memperkirakan jumlah oksigen darah fisik.
4. Penatalaksanaan
Teori Kasus
Kesimpulan
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Gejala yang ditimbulkan oleh
pneumonia ialah panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat, sesak dan
gejala lainnya (sakit kepala, gelisah, dan nafsu makan berkurang). Pneumonia
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.
Insidensi pneumonia balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan.
Usia berperan penting dalam menentukan etiologi pneumonia. Pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengarahkan diagnosis ke
pneumonia bakteri maupun virus. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.
40
Penatalaksanaan yang adekuat akan menghindarkan anak – anak dari komplikasi
yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Dari seluruh kasus VSD yang tercatat pada bayi-bayi usia satu bulan, 80%
menutup secara spontan. Penutupan spontan defek septum ventrikel bergantung
pada besarnya defek, anatomi, dan umur pasien. Penutupan spontan paling sering
terjadi pada usia satu tahun dan dengan kerusakan yang kecil. 1 Mortalitas yang
terjadi akibat riwayat penyakit VSD menunjukkan bahwa 27% pasien meninggal
pada usia 20 tahun, 53% pada usia 40 tahun, dan 69% pada usia 60 tahun. Faktor
genetik dan lingkungan multifaktor mungkin merupakan penyebab pada banyak
kasus penyakit jantung kongenital. Defek yang ringan umumnya tidak terdiagnosa
hingga anak – anak dewasa. Defek minor umumnya tidak memiliki tanda dan
gejala. Dokter dapat mendiagnosa PJB ringan melalui pemeriksaan fisik dan
penunjang fisik. Tidak semua anak dengan PJB membutuhkan penatalaksanaan.
Beberapa dari mereka cukup diobservasi dan mengunjungi kardiologis. Pada
beberapa kasus, operasi atau kateterisasi jantung dapat dibutuhkan untuk
mengurangi dan atau memperbaiki defek.
DAFTAR PUSTAKA
Milliken JC, Galovich J. Ventricular septal defect [online]. 2010 [cited 2010 Dec
28]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/162692-print
Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,
editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw
Hill, Health Professions Division; 2008.
Singh VN, Sharma RK, Reddy HK, Nanda NC. Ventricular septal defect imaging
[online]. 2008 [cited 2010 Dec 28]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/351705-print
41
McMahon C, Singleton E. Plain radiographic diagnosis of congenital heart disease
[online]. 2009 [cited 2010 Dec 28]. Available from: URL:
http://www.bcm.edu/radiology/cases/pediatric/text/2b-desc.htm
Ain, N., Hariyanto, D., & Rusdan, S. (2015). Karakteristik Penderita Penyakit
Jantung Bawaan di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 – Mei
2012.
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 928 – 935.
American Heart Association. (2015). Care and Treatment for Congenital Heart
Defects. Retrieved from American Heart Association, 20.40, 25 Mei 2017,
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/CongenitalHeartDefects/CareTrea
mentforCongenitalHeartDefects/Care-and-Treatment-for-Congenital-Heart
Defects_UCM_002030_Article.jsp#.WSbPqsYlHIU
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell
J.A., and Swanson J.T. (2011). The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630.
Latief, Abdul, dkk. (2009). Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar
WHO.Jakarta : Depkes
Van der Linde, D., Konings, E.E.M., Slager, M.A., Witsenburg, M., Helbing
W.A., Takkenberg, J.J.M, et al. (2011). Birth Prevalence of Congenital Heart
Disease Worldwide : A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal of
American College of Cardiology, 58(21), 2241 – 2247.
43