Anda di halaman 1dari 47

Laboratorium / SMF Kedokteran Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus

Program Pendidikan Dokter


Universitas Mulawarman

HEMOFILIA

Disusun oleh:

Azalia Mentari Ramadhana

NIM : 1710029010

Pembimbing:

dr. William S. Tjeng, Sp. A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Kedokteran Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
Februari 2018

i
Refleksi Kasus

HEMOFILIA

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak

Azalia Mentari Ramadhana

NIM : 1710029010

Menyetujui,

dr. William S. Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

FEBRUARI 2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang
berjudul “Hemofilia”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. William S. Tjeng, Sp. A, sebagai dosen pembimbing selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Februari, 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS .................................................................................
BAB 3 TINJAUA N PUSTAKA .........................................................................
BAB 4 PEMBAHASAN ......................................................................................
BAB 5 PENUTUP ……………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia lobularis yang disebut juga
bronkopneumonia merupakan suatu peradangan pada parenkim paru yang
berlokasi di bronkiolus dan alveolus sekitarnya, biasanya menyerang anak – anak
dan balita (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008). Pneumonia merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Kurang lebih 158
juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 154 juta
kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15% dari seluruh
kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus kematian pada
anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & Rey-Pineda, 2016).
Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab
kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada
pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia
di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi
terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013).
Penyakit jantung bawaan (PJB) terjadi kira – kira 0,8% dari seluruh
kelahiran. Insidensi lebih tinggi terjadi pada bayi baru lahir (3 – 4%), abortus
spontan (10 – 25%) dan bayi prematur (kira – kira 2%, tidak termasuk duktus
arteriosus paten, PDA). Keseluruhan insidensi ini tidak termasuk prolapsus katup
mitral, PDA pada bayi preterm, katup aorta bikuspid (1 – 2% orang dewasa).
Defek jantung kongenital memiliki spektrum keparahan yang luas pada bayi
dengan 2 – 3 dari 1000 bayi baru lahir akan mengalami gejala – gejala penyakit
jantung dalam 1 tahun pertama kehidupannya (Nelson, 2015). Prevalensi PJB
tertinggi ditemukan di Asia dengan 9,3 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan

1
terendah di Afrika (1,9 dari 1000 kelahiran hidup) (Van der Linde, Konings,
Slager, Witsenburg, Helbing, Takkenberg, et al., 2011).
Operasi paliatif dan korektif telah meningkatkan kemampuan bertahan
hidup anak dengan PJB hingga usia dewasa. Meskipun begitu, PJB tetap menjadi
penyebab kematian utama pada anak – anak dengan malformasi kongenital
(Nelson, 2015).
Berdasarkan fakta tersebut, maka diperlukan pemahaman lebih lanjut
sehingga memudahkan kita untuk mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan
yang tepat pada pneumonia dan penyakit jantung bawaan.

1.2. Tujuan Penulisan


1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Mengkaji ketepatan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan terhadap
pneumonia dan penyakit jantung bawaan.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS
.
Identitas Pasien
Ruang Perawatan : Ruang Melati
Nama : An. A P
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 6 Tahun 9 Bulan
Alamat : Jl. Sidrap Dalam RT. 24 Kecamatan Guntung,
Bontang
Anak ke : 1
MRS A. W Sjahranie : 17 Februari 2018

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. H
Umur : 32 tahun
Alamat : Jl. Sidrap Dalam RT. 24 Kecamatan Guntung,
BontanG
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : SMA

Nama Ibu : Ny. N


Umur : 31 tahun
Alamat : Jl. Sidrap Dalam RT. 24 Kecamatan Guntung,
Bontang
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SMA

3
2.1. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secara alloanamnesis terhadap Bapak & Ibu pasien
pada tanggal 17 Januari 2018

Keluhan Utama
Badan lebam sejak 1 minggu smrs.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan badan lebam sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Menurut orang tua lebam pada anaknya awalnya timbul akibat
pasien terbentur. Lebam awalnya hanya muncul pada bagian yang terbentur di
lengan. Namun beberapa hari kemudian lebam timbul di daerah mata. Lebam
disertai bengkak dan nyeri. Selain bengkak dan lebam pasien juga mengalami
demam tinggi 39,6 C dan juga batuk saat di rawat di RS Bontang. Pasien dirujuk
ke RS AW. Sjahranie dikarenakan stok obat koate lagi kosong di RS tersebut.
Pasien sebelumnya mempunyai riwayat penyakit hemofilia sejak usia 6 bulan.
Adik dari Ibu Kandung pasien juga menderita hemofilia. Pasien rutin kontrol
setiap bulan di Poliklinik.

Riwayat Obat-Obatan
Selama perawatan di RS Parikesit Tenggarong, pasien sudah diberikan :
 IVFD DS ¼ ns 25 cc / jam
 Inj. Meropenem 3 x150 mg
 Inj. OMZ 1 x 5 mg
 Nebulizer pulmicort / 4 jam

Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan serupa pernah dialami sebelumnya pada usia 2 bulan dengan
diagnosa infeksi paru dan riwayat penyakit jantung bawaan. Keluhan alergi pada
anak disangkal.

4
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Namun kakek
pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat diabetes melitus dan PJK di sangkal.

Riwayat Kehamilan
 Pemeriksaan prenatal : Rutin setiap bulan
 Periksa di : Bidan
 Penyakit Kehamilan : Tidak ada
 Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin

Riwayat Kelahiran
 Lahir di : Klinik Bersalin
 Ditolong oleh : Bidan
 Usia kehamilan : 9 bulan
 Jenis partus : Per vaginam
 Berat badan lahir : 3000 gr
 Panjang badan lahir : 49 cm

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


 Gigi Keluar : -
 Miring : -
 Tengkurap : 4 bulan
 Merangkak : -
 Duduk : -
 Berdiri : -
 Berjalan : -
 Berbicara 2 suku kata : -
 Masuk Sekolah : -

5
Riwayat Makanan dan Minuman Anak
Pasien mengonsumsi susu formula tanpa makanan atau minuman
tambahan lain.

Riwayat Imunisasi
Usia saat Imunisasi
Imunisasi
Lahir 1 2 3 4
Hepatitis B √ √ √ √
Polio √ √ √
BCG √
DTP-Hib √ √ √

2.2. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan tanggal 20 Januari 2017

Antropometri
 Berat Badan : 5100 gr
 Panjang Badan : 65 cm
 Lingkar Lengan Atas : 10 cm

Tanda Vital
 Frekuensi nadi : 119 x/menit, regular, adekuat
 Frekuensi napas : 29 x/menit, regular
 Temperatur : 36,6 0C (aksiler)
 Tekanan darah : 86/54 mmHg

Kepala
 Rambut : Hitam, UUB datar
 Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-), mata cowong (-/-), pupil isokor (3
mm/3 mm), refleks cahaya (+/+)
6
 Hidung : Sekret (-), nafas cuping hidung (-)
 Telinga : Sekret (-)
 Mulut : Lidah bersih, mukosa bibir basah, sianosis (-), perdarahan (-)
tonsil dan faring hiperemis (-)

Regio Leher
 Pembesaran kelenjar getah bening submandibular (-)

Regio Thoraks
Pulmo
 Inspeksi : Bentuk dinding dada simetris, pergerakan dinding dada
simetris, pelebaran ICS (-), retraksi subcosta (+/+), retraksi
supraclavicula (-)
 Palpasi : Gerakan napas simetris D=S , fremitus teraba D=S
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Rhonki (+/+), wheezing (-/-)

Cor
 Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
 Perkusi : Tidak dapat dievaluasi
 Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS IV MCL sinistra
 Auskultasi : Murmur (+), gallop (-)

Regio Abdomen
 Inspeksi : Tampak cembung, simetris, penonjolan massa (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
 Palpasi : Soefl, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit
baik
 Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Regio Genitalia
7
 Dalam batas normal
 Anus (+)

Regio Ekstremitas
 Akral hangat, atrofi otot (-/-), edema (-), CRT < 2 detik.

Pemeriksaan Refleks
 Refleks Menghisap :+
 Refleks Rooting :+
 Refleks Babinsky :+
 Refleks Moro :+

2.3. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah
18/1/18 19/1/18 21/1/18 Nilai Normal
Leukosit 11.20 6.29 6.43 6.000 – 18.000/µl
Eritrosit 3.79 x106 3.89 x106 4.59 x 106 3,10 – 4,3 x 106/µl
Hemoglobin 10.2 10.2 12.8 13,4 – 19,8 g/dl
Hematokrit 31.8 32.8 39.4 28 – 42 %
Trombosit 342 303 183 150 – 450 x 103/µl
MCV 84.1 84.3 85.9 81 – 99 fl
MCH 26.9 26.1 27.9 27 – 31 pg
MCHC 32.0 31.0 32.5 33 – 37 g/dl
Natrium 135 - - 135 ‒ 155 mmol/L
Kalium 3.6 - - 3,6 ‒ 5,5 mmol/L
Klorida 93 - - 98 ‒ 108 mmol/L
GDS 81 - 118 70-140 mg/dL
Ureum 37.3 - - 19.3-49.2 mg/dL
Creatinin 0.5 - - 0.7-1.3 mg/dL
HBs Ag NR - - < 0.90
Ab HIV NR - - NR
8
 Analisa Gas Darah
18/1/17 Nilai Normal
pH 7.39 7,35 – 7,45
pCO2 67.20 35 – 45 mmHg
pO2 116.90 83 – 108 mmHg
SO2 % 98.00 95 – 98 %
pHtc 7.396
pCO2tc 65.7
pO2tc 113.8
HCO3 40.9
TCO2 43.0
Beecf 15.7
Beb 14.2 -2,0 – 3,0 mmol/l
SBC 38.1
O2ct 14.7
O2cap 14.6
A 0.2
a/A 4.1
PO2/FIO2 125.7

 Pemeriksaan Kultur Darah


Hasil pemeriksaan kultur darah 29/1/2018 : Tidak ada pertumbuhan
bakteri aerob dan jamur

9
2.4. Foto Thorax

Foto Thorax AP :
- Tampak konsolidasi inhomogen pada lapangan atas kedua paru terutama
paru kanan
- Cor : membesar
- Kedua sinus dan diafragma normal
- Tulang-tulang intak

Kesan :
- Kosolidasi inhomogen pada lapangan atas kedua paru terutama paru kanan
suspek pneumonia
- Cardiomegali

2.5. Diagnosis
Bronkopneumonia + PJB (VSD)

2.5. Lembar Follow Up


Diagnosis di IGD
Bronkopneumonia + PJB (VSD)

10
Penatalaksanaan di IGD :
Oksigen nrm 2-8 lpm
Konsul dr. Sp. A :
- IVFD KAEN 1B 20 tpm mikro
- Merapenem 3 x 150 mg lanjut hari ke 8
- Paracetamol 3 x 50 mg (k/p)
- Rawat ruang PICU

Follow Up

11
Perintah Pengobatan/Tindakan
Tanggal Perjalanan Penyakit
yang diberikan
19/1/2018 S: Sesak napas (+), batuk (+),  Oksigen nrm 6-8 lpm
NGT retensi (-)  Coba minum progestimil 8 x 10-
O: KU lemah, Kes CM 15 cc
 Inf D5 ¼ ns 500 cc/ 24 jam
N : 123 x/menit, regular,  Inj Dexamethason 3x1 mg IV
adekuat  Nebulisasi Ventolin 0,5 + pz 1,5
RR : 26 x/menit cc 4x/hari
TD : 110/55 mmHg
 Captopril 3 x 1,6 mg pulv
T : 36,6 °C
 Inj Ranitidin 2 x 6 mg IV
SaO2 : 98%
 Suction berkala
BB : 5,1 kg
 Cek kultur darah
 Cek DL, HDT , retikulosit
Toraks:
 Thorax foto cito bed
Retraksi subcosta (+/+),
rho (+/+), whe (-/-),  Co Rehab Medik

murmur (+)
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat,
edema (-), CRT<2”
A:
Bronkopneumonia + VSD
20/1/2018 S: Sesak napas berkurang,  O2 nasal kanul 1 lpm
demam (-), batuk (+)  Inf D5 ¼ ns 500 cc/ 24 jam
O: KU lemah, Kes CM  Inj Dexamethason 3x1 mg IV
 Nebulisasi Ventolin 0,5 + pz 1,5
N : 127 x/menit, regular, cc 4x/hari
adekuat  Captopril 3 x 1,6 mg pulv
RR : 30 x/menit
 Inj Ranitidin 2 x 6 mg IV
TD : 93/46 mmHg
 Suction berkala
T : 36 °C
 Minum progestimil 20-25 cc
SaO2 : 99%
BB : 5,1 kg

Toraks
Retraksi subcosta (+/+), 12
rho (+/+), whe (-/-),
murmur (+)

Abdomen : BU (+)
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. PNEUMONIA
3.1.1. Definisi

13
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll) (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2008).

3.1.2. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia
setiap tahunnya, dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang.
Diperkirakan pneumonia menyebabkan 3 juta kematian, atau 29% dari seluruh
kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun (Nelson, 2015).
Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas
penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan
penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu
berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia
di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi
terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013). Pneumonia
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.
Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya,
dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15%
dari seluruh kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus
kematian pada anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & Rey-
Pineda, 2016).

3.1.3. Etiologi
Walaupun sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, penyebab non infeksi termasuk aspirasi makanan atau asam
lambung, benda asing, hidrokarbon dan substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas
14
dan pneumonitis yang diinduksi oleh radiasi atau obat. Penyebab pneumonia pada
individu sering sulit untuk ditentukan karena kultur langsung pada jaringan paru
tergolong invasif dan jarang dikerjakan. Kultur yang dilakukan pada spesimen
dari traktur respiratori atas sering tidak merefleksikan penyebab sesungguhnya.
Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri penyebab tersering pada anak –
anak usia 3 minggu hingga 4 tahun, sedangkan Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydophila pneumoniae merupakan bakteri patogen tersering pada anak usia
5 tahun atau lebih tua. Bakteri patogen lainnya yang dapat menyebabkan
pneumonia adalah streptokokus grup A dan Staphylococcus aureus (Nelson,
2015).
Etiologi Tersering Berdasarkan Usia
Grup Usia Patogen Tersering
Neonatus Streptococcus grup B, Escherichia
coli, basil gram negatif lain,
Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae
3 minggu – 3 bulan RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. Influenza
4 bulan – 4 tahun RSV, virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae,
H. influenza, Mycoplasma
pneumoniae, streptokokus grup A
> 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, S.
pneumoniae, Chlamydophila
pneumoniae, H. influenzae, virus
influenza, adenovirus, virus respirasi
lain, Legionella pneumophila
Tabel 3.1. Etiologi Penyebab Terbanyak Berdasarkan Usia (Nelson, 2015).

3.1.4. Klasifikasi

15
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia interstitialis
c. Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a. Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia)
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a. Pneumonia bakteri
b. Pneumonia virus
c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit
a. Pneumonia tipikal
b. Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten

3.1.5. Patofisiologi
Traktus respiratorius bagian bawah normalnya tetap steril oleh mekanisme
pertahanan fisiologis, termasuk klirens mukosilier, sekresi Ig A dan pembersihan
jalan napas melalui batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi
invasi organisme patogenik termasuk makrofag terdapat di alveoli, bronkiolus, Ig
A dan imunoglobulin lain. Faktor tambahan yang mendorong terjadinya infeksi
paru termasuk trauma, anestesi, dan aspirasi (Nelson, 2015).

16
Kegagalan mekanisme pertahanan dan adanya faktor predisposisi
menyebabkan seseorang rentan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan
pneumonia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia
adalah sebagai berikut.
1. Gangguan flora normal orofaringeal. Adanya Ig lokal, terutama IgA,
komplemen dan flora normal, mencegah kolonisasi di orofaring oleh
mikroorganisme yang virulen. Diabetes, malnutrisi, dan gangguan sistemik
kronik lain mengurangi tingkat fibronektin saliva dan meningkatkan
kolonisasi oleh basil gram negatif. Antibiotik yang berhubungan dengan
supresi flora normal mulut juga memfasilitasi kolonisasi melalui basil gam
negatif yang resisten.
2. Refleks glotis dan batuk yang tertahan. Ini dapat menyebabkan aspirasi isi
lambung
3. Gangguan kesadaran. Terutama pada pasien – pasien tak sadar, seperti
koma, kejang, atau pada kecelakaan yang menyebabkan gangguan
serebrovaskular.
4. Kerusakan mekanisme aparatus mukosilier. Klirens mukosiliar efektif
tergantung pada pergerakan siliar yang efektif dan pada mukus. Kelenjar
submukosa dan permukaan sel goblet epitel menghasilkan cairan permukaan
airway. Cairan ini terdiri dari lapisan atas gel mirip musin dan lapisan
bawah non gel. Silia bergerak pada medium spesial ini mengarahkan gel ke
arah mulut. Proteksi ini sering rusak akibat infeksi respiratori akibat virus,
eksposur terhadap udara dingin atau panas atau zat – zat kimia berbahaya,
sindrom silia imotil, obstruksi endobronkial.
5. Disfungsi makrofag alveolus. Anemia kronik, starvasi memanjang,
hipoksemia dan infeksi virus pada saluran nafas dapat menyebabkan
kerusakan makrofag alveolus.
6. Disfungsi imun. Gangguan granulosit, limfosit, defisiensi imun baik
kongenital maupun didapat serta terapi imunosupresif dapat menjadi
predisposisi pneumonia.
(Singh, 2012)

17
Empat tahapan patologis pneumonia (Singh, 2012) :
1. Tahap kongesti : Pada tahap ini, telah tampak respon inflamasi awal akut.
Lobus yang terkena menjadi merah dan berat karena kongesti vaskular.
Cairan yang mengandung protein, neutrofil dan bakteri dapat terlihat di
alveoli. Tahapan ini berlangsung 1 – 2 hari.
2. Tahap hepatisasi merah : Lobus yang terkena menjadi merah, kaku, dan
memiliki konsistensi seperti hepar. Cairan yang mengandung protein
berubah menjadi benang – benang fibrin dengan eksudat seluler yang
mengandung neutrofil dalam jumlah nyata. Ekstravasasi sel darah merah
yang memberikan warna merah pada paru yang yang terkonsolidasi.
Tahapan ini berlangsung 2 – 4 hari.
3. Tahapan hepatisasi abu – abu : Lobus yang terkena menjadi kering, kaku
dan abu – abu karena lisis eritrosit. Eksudat yang mengandung neutrofilik
selular menurun karena pemecahan sel inflamasi dan makrofag mulai
terlihat. Mikroorganisme juga berkurang. Tahapan ini berlangsung 4 – 7
hari.
4. Tahap resolusi : Karena aksi enzimatik, terjadi likuefasi dan aerasi paru
diperbaiki secara bertahap. Makrofag sekarang menjadi sel utama di alveoli.
Terdapat pengurangan progresif cairan dan eksudat seluler dari alveoli
melalui ekspektorasi dan drainase limfatik mengarah ke parenkim paru yang
normal dalam 3 minggu.

3.1.6. Manifestasi Klinis


Pneumonia virus dan bakteri sering diawali gejala infeksi traktus respirasi
atas dalam beberapa hari, terutama batuk dan rinitis. Pada pneumonia virus,
temperatur secara umum lebih rendah daripada pneumonia bakteri. Takipnea
merupakan manifestasi klinis pneumonia yang paling konsisten. Peningkatan kerja
pernapasan ditemani dengan retraksi subkosta, interkostal dan suprasternal, nasal
flaring, dan penggunaan otot – otot bantu pernapasan merupakan hal yang umum.
Infeksi yang berat dapat ditemani oleh sianosis, terutama pada bayi. Auskultasi
dapat menunjukkan crackles dan mengi, tapi sering sulit untuk melokalisasi
18
daerah suara tersebut pada anak yang sangat muda dengan dada yang
hiperresonan. Pneumonia yang disebabkan oleh virus seringkali suli untuk
dibedakan dari pneumonia karena Mycoplasma dan bakteri patogen lain (Nelson,
2015).
Pneumonia bakteri pada anak yang lebih tua diawali dengan demam tinggi
dan menggigil yang mendadak, batuk dan nyeri dada. Gejala lain yang dapat
terlihat meliputi mengantuk dengan periode gelisah yang intermiten, respirasi
cepat, kecemasan dan kadang, delirium. Pada kebanyakan anak, berbaring pada
sisi yang sakit dengan lutut ditekuk ke dada dapat meminimalisasi nyeri pleuritik
dan meningkatkan ventilasi (Nelson, 2015).
Pada bayi, terdapat gejala prodromal infeksi saluran pernapasan atas dan
nafsu makan menurun, mengarah ke onset demam tiba – tiba, gelisah, dan distres
pernafasan. Bayi tampak sakit dengan distres pernapasan yang bermanifestasi
sebagai grunting, nasal flaring, retraksi supraklavikular, interkostal, subkosta,
takipnea, takikardia, air hunger dan sianosis. Pneumonia bakteri pada bayi juga
dapat bermanifestasi sebagai gangguan gastrointestinal seperti muntah, anoreksia,
distensi abdomen (Nelson, 2015).

Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
19
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan
limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan
granulosit yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Nelson, 2015).

Pemeriksaan radiologi
Gambaran infiltrat pada foto rontgen mendukung diagnosis pneumonia;
pada foto rontgen, juga dapat terlihat komplikasi seperti efusi pleura atau
empiema. Pneumonia virus biasa dikarakteristikkan sebagai hiperinflmasi dengan
infilitrat interstisial bilateral dan peribronchial cuffing. Konsolidasi lobar biasanya
terlihat pada pneumonia pneumokokal. Penampakan radiografik sendiri bukanlah
diagnostik utama, dan fitur klinis lain perlu dipertimbangkan (Nelson, 2015).

20
Gambar 3. Pneumonia pneumokokal

Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Nelson,
2015).

3.1.7. Diagnosis
1.Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
- pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit
(WHO, 2009)
2.Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut :
- Kepala terangguk – angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit
21
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar
- Sianosis
- Distres pernapasan berat (WHO, 2009)

3.1.8. Diagnosis Banding


Tabel 3.2 Diagnosis Banding Pneumonia (Nelson, 2015).
Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan

Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun


- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon
dengan bronkodilator

Tuberculosis - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa


(TB) - uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik.
Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.

Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator

22
3.1.9. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (Nelson, 2015).

Kriteria Rawat Inap


Usia < 6 bulan
Anemia sel sabit dengan acute chest syndrome
Multipel lobus
Tampak toksik
Defisiensi imun
Distres pernapasan sedang hingga berat
Butuh suplementasi oksigen
Dehidrasi
Muntah atau ketidakmampuan untuk minum cairan atau obat PO
Tidak respon terhadap terapi antibiotik oral
Faktor sosial (tak mampu merawat di rumah)
Tabel 3.3.Kriteria rawat inap pneumonia (IDAI, 2009).

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi
dengan adekuat (WHO, 2009).

1.Pneumonia rawat jalan


Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan
berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
23
mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah kotrimoksazol (4mg
TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau amoksisilin (25mg/kgBB/kali)
2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari (WHO,
2009).
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol
ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak
memburuk, tidak bisa minum atau menyusu (WHO, 2009).
Ketika anak kembali :
-Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
-Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai
pedoman di bawah ini.
(WHO, 2009).
2.Pneumonia rawat inap
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons
yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di
rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan
3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya (WHO, 2009).
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka
ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)
(WHO, 2009).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari)
(WHO, 2009).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM
24
atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian).
Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu (WHO, 2009).
3.Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, pastikan anak
memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati – hati
terhadap kelebihan cairan atau overhidrasi.
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
(WHO, 2009).
4.Nutrisi
Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri
makanan sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam
menerimanya (WHO, 2009).
5.Kriteria pulang:
-Gejala dan tanda pneumonia menghilang
-Asupan peroral adekuat
-Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
-Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan
kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.
(WHO, 2009).

3.1.10. Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak biasanya merupakan hasil dari
penyebaran langsung infeksi bakteri dalam kavitas torakal (efusi pleura, empiema,
perikarditis) atau penyebaran hematologik dan bakteremia. Meningitis, artritis

25
supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran secara
hematologi dari pneumokokal atau H. influenzae tipe b (Nelson, 2015)
3.2. VENTRICULAR SEPTAL DEFECT
I. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
VSD menduduki peringkat pertama yang tersering dari seluruh cacat
pada jantung. Kejadian pada VSD terhitung kira-kira 25-40% dari seluruh
kelahiran dengan cacat jantung bawaan.Kejadian VSD di Amerika Serikat dan di
dunia sebanding, kira-kira satu sampai dua kasus per seribu bayi yang lahir. Riset
menunjukkan bahwa prevalensi VSD di Amerika Serikat meningkat selama tiga
puluh tahun terakhir. Sebuah peningkatan ganda terjadi pada prevalensi VSD yang
dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention dari tahun 1968-
1980. The Baltimore-Washington Infant Study (BWIS) melaporkan sebuah
peningkatan ganda pada VSD dari tahun 1981-1989. Riset BWIS melaporkan
bahwa peningkatan ini terjadi karena makin sensitifnya deteksi penyakit ini oleh
echocardiography.1
Di Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, tipe
perimembranus adalah yang terbanyak ditemukan (60%), kedua adalah subarterial
(37%), dan yang terjarang adalah tipe muskuler (3%). VSD sering ditemukan pada
kelainan-kelainan kongenital lainnya, seperti Sindrom Down. 5,6

II. ETIOLOGI
VSD terjadi karena kegagalan penyatuan atau kurang berkembangnya
komponen atau bagian dari septum interventricularis jantung (terutama pars
membranacea). Perkembangan ini terjadi pada hari ke-24 sampai ke-28 masa
kehamilan. Kegagalan gen NKX2.5 dapat menyebabkan penyakit ini.
Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang telah diidentifikasi
sebagai faktor risiko yang paling mungkin pada VSD. The National Center on
Birth Defects and Developmental Disabilities, Centers for Disease Control and
Prevention memiliki data yang menunjukkan bahwa para ibu yang menggunakan
marijuana sebelum masa konsepsi berhubungan erat dengan peningkatan risiko
memiliki bayi dengan VSD.1,6

26
Sebuah peningkatan ganda pada penyakit VSD yang dihubungkan dengan
penggunaan kokain pada ibu hamil, telah ditemukan pada sebuah penelitian di
Boston City Hospital pada tahun 1991.BWIS lebih jauh melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara VSD tipe membranacea dengan penggunaan kokain
pada pria. Aliran darah ke jantung yang abnormal yang disebabkan oleh efek
vasokonstriksi dari kokain adalah alasan yang paling dapat diterima pada kasus-
kasus VSD.1
Mengonsumsi alkohol juga berhubungan dengan peningkatan kejadian
VSD. BWIS mengungkapkan bahwa konsumsi alkohol pada wanita berhubungan
dengan VSD tipe muskuler.Tidak ditemukan korelasi dengan VSD tipe
perimembranus. Sebuah riset dari Finlandia lebih lanjut menemukan bahwa
konsumsi alkohol berhubungan dengan peningkatan kasus VSD sebanyak 50%.1

III. PATOFISIOLOGI
VSD menyebabkan terjadinya left-to-right shunt pada ventrikel.
Terjadinya left-to-right shunt pada ventrikel menyebabkan tiga konsekuensi
hemodinamik, yaitu:1
1. Meningkatnya volume ventrikel kiri
2. Meningkatnya aliran darah pulmoner
3. Sistem cardiac output yang terkompensasi
Gangguan fungsional yang disebabkan oleh VSD lebih bergantung pada
ukuran shunt daripada lokasi dari VSD itu sendiri, yaitu besar kecilnya defek dan
keadaan pembuluh darah pulmoner. Sebuah VSD yang kecil dengan resistensi
aliran yang tinggi menyebabkan sebuah left-to-right shunt yang sempit. Hubungan
interventricular yang besar menyebabkan sebuah left-to-right shunt yang besar,
hanya jika tidak ada stenosis pulmonal atau resistensi pembuluh darah pulmoner
yang tinggi, karena faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi aliran shunt.1
Selama kontraksi ventrikel, atau disebut juga fase sistol, sebagian darah
dari ventrikel kiri bocor ke ventrikel kanan, melewati jantung dan masuk kembali
ke ventrikel kiri melalui vena pulmonalis dan atrium kiri. Ada dua konsekuensi
yang ditimbulkan dari proses tersebut. Pertama, refluks aliran darah menyebabkan
volume yang meningkat pada ventrikel kri. Kedua, karena ventrikel kiri secara

27
normal memiliki tekanan darah sistolik yang lebih tinggi (sekitar 120 mmHg)
daripada ventrikel kanan (sekitar 20 mmHg), kebocoran darah ke dalam ventrikel
kanan menyebabkan peningkatan tekanan dan volume ventrikel kanan, yang lebih
lanjut mengakibatkan hipertensi pulmonal dengan gejala-gejala yang terkait.
Gejala-gejala ini akan lebih terlihat pada pasien-pasien dengan defek yang besar,
yang mungkin dapat memberikan manifestasi klinis berupa sesak napas, malas
makan, dan pertumbuhan terhambat pada bayi. Pasien-pasien dengan defek yang
kecil mungkin saja dapat memberikan gejala yang asimptomatis.6

IV. DIAGNOSIS
A. Gejala Klinis
VSD adalah penyakit jantung bawaan yang asianotik, dikenal juga
dengan left-to-right shunt, jadi tidak ada tanda-tanda sianosis.6
Gejala klinis dan gangguan fungsi jantung pada VSD bergantung pada
besarnya defek, keadaan vaskularisasi pulmoner, derajat shunt, dan lokasi
defek. Gejala-gejala VSD, antara lain:1
 VSD dengan defek yang kecil biasanya tidak bergejala.1
 Terjadi respiratory distress dan takipnea ringan.1
 Pada VSD yang moderat, kulit dan menjadi pucat dan diaforetik, dan
dapat disertai dengan pneumonia atau infeksi saluran pernapasan bagian
atas.1
 VSD yang disertai dengan komplikasi berupa hipertensi pulmonal dan
shunt terbalik (Sindrom Eisenmenger), memiliki gejala klinis berupa
sesak napas, nyeri dada, sinkop, hemoptisis, sianosis, clubbing finger,
dan polisitemia.1
B. Aspek Fisik dan Laboratorium
Aspek fisik
Tanda: murmur pansistolik/holosistolik (tergantung dari besar kecilnya
defek) di sela iga III-IV parasternal kiri yang menyebar sepanjang parasternal
dan apeks, aktivitas ventrikel kiri meningkat, dan dapat teraba
thrill(turbulensi aliran darah yang teraba). Bunyi jantung normal, tetapi

28
komponen pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila terjadi hipertensi
pulmonal. Seorang bayi dengan VSD akan terhambat pertumbuhannya dan
akan terlihat tachypnea (bernapas cepat).5,6
Pada aliran pirau yang besar, dapat terdengar bising mid-diastolik di
daerah katup mitral akibat aliran yang berlebihan.Tanda-tanda gagal jantung
kongestif dapat ditemukan pada bayi atau anak dengan aliran pirau yang
besar. Bila telah terjadi penyakit vaskuler paru dan Sindrom Eisenmenger,
penderita tampak sianosis dengan jari-jari berbentuk tabuh, bahkan mungkin
disertai tanda-tanda gagal jantung kanan.5
Laboratorium
 Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis
VSD.1
 Pemeriksaan laboratorium rutin (preoperatif), meliputi tes darah rutin,
urin rutin, elektrolit serum, ureum, kreatinin, dan faktor-faktor
koagulasi.1
 Kadang-kadang, analisis gas darah preoperatif diperlukan jika terdapat
desaturasi sistemik.1
C. Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax
Macam-macam ekspertise yang dapat ditemukan pada VSD, antara lain:4,10,11
 Karakteristik foto yang ditemukan pada VSD adalah kardiomegali
terutama bagian kiri jantung, disertai tanda-tanda peningkatan
vaskularisasi pulmoner. Peningkatan aliran balik vena pulmonalis
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume pada atrium kiri dan
ventrikel kiri, yang akhirnya berujung ke dilatasi kedua ruang jantung
tersebut. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan batas jantung kiri berubah
bentuk. Pembesaran atrium kiri lebih baik jika dilihat dari aspek lateral
atau obliqus anterior sinistra, yang mana foto tersebut akan menunjukkan
gambaran bulging sepanjang batas jantung posterior bagian atas, yang
mengakibatkan pergeseran esophagus dan bronchus principalis sinistra.

29
Jika defek yang terjadi besar, maka pembesaran biventricular akan
terjadi.10
Echocardiography
 Echocardiography dapat digunakan untuk menunjukkan tipe dan jumlah
defek pada septum interventricularis. VSD tipe perimembranus dapat
dilihat dari kerusakan septum pada daerah setelah valve triskuspidal dan
di bawah batas annulus aorta. Keakuratan alat ini sangat tinggi, jarang
menimbulkan positif palsu dan negatif palsu.2,3

V. DIAGNOSIS BANDING
Sekitar 70% dari penyakit jantung bawaan bersifat asianotik, yang paling
sering antara lain: defek septum ventrikel (VSD), paten duktus arteriosus (PDA),
defek septum atrial (ASD), dan stenosis pulmonal.13
Perbandingan keempat penyakit jantung bawaan tersebut, sebagai
berikut:2,11,13
Tabel 1. Diagnosis banding pada VSD2,11,13
Stenosis
Uraian VSD PDA ASD
pulmonal
Asianotik,
murmur
Asianotik,
kontinyu yang
murmur sistolik
Asianotik, terjadi karena
yang terdengar
murmur variasi ritme dari Asianotik,
pada ICS II kiri
pansistolik perbedaan murmur sistolik
Gejala dan murmur
yang terdengar tekanan darah pada linea
klinis mid-diastolik
pada linea selama siklus sternalis kiri
yang terdengar
sternalis kiri jantung. Murmur atas
pada daerah
bawah terdengar pada
sternum kanan
daerah sternum
bawah
kiri atas. Pulsus
celer (+)
Bentuk Kardiomegali, Kardiomegali, Kardiomegali, Kardiomegali,
jantung dengan dengan pelebaran dengan dengan dilatasi

30
penonjolan
arteri
arteri
penonjolan pulmonalis, pada atrium
pulmonalis,
arteri arcus aorta dan ventrikel
pada dilatasi
pulmonalis dan tampak normal, kanan, arteri
gambaran ventrikel
dilatasi atrium aorta descendens pulmonalis
radiologi kanan, atrium
kiri dan mengecil, dan menonjol, dan
kiri dan
ventrikel kiri dilatasi atrium aorta mengecil
ventrikel kiri
dan ventrikel kiri
normal
Berkurang dan
Corakan
Bertambah Bertambah Sangat melebar tampak kecil-
vaskuler
kecil

31
VI. PENATALAKSANAAN
Pertama-tama setelah diagnosis VSD ditegakkan, secara kualitatif besar
aliran pirau dapat ditentukan dengan petunjuk “Klinis, Elektrokardiografi, dan
Radiologi (KER)”.5
Tabel 2. Penggolongan hemodinamis (Pierre Corone 1977, Fyler 1961)5
Perbandingan tekanan
Golongan Penyulit ventrikel kanan dan tekanan
sistemik (mmHg)
Ia Normal
Ib 30-35
IIa <70% tekanan sistemik
IIb >70% tekanan sistemik
III Resistance ratio> 70%
IV Pulmonal stenosis

Tabel 3. Petunjuk K.E.R.5


K (Klinik) E (EKG) R (Rontgen)
Dada Biru: BB Payah RVH = 8 CTR<60% Vaskul
membenj (menang renda jantung = LVH = 6 =4 er > = 2
ol = 2 is = 10, h: (p 8 (sesak (RAD = 4) CTR≥60% Vaskul
menetap 10% napas/lek RAH = 2 =6 er ≥ = 4
= 12) = 8, p as capek LAH = 2 atau
25% = 4) Gangguan Segme
= 4) konduksi/ira n
ma = 2 pulmon
al > = 2
Segme
n
Atelektase
pulmon
=2
al ≥ = 4

32
Tabel 4. Penggolongan menurut K.E.R.5
Golongan Nilai K.E.R. Penamaan Golongan
Ia <10 K = kecil
Ib 10-20 MK = moderat kecil
IIa >20-35 MB = moderat besar
IIb >35 B = besar

Penanganan VSD dapat meliputi penanganan konservatif maupun


pembedahan. VSD dengan defek yang kecil dapat tertutup dengan sendirinya,
seiring dengan semakin berkembangnya jantung, dan dalam beberapa kasus
ditangani secara konvensional.6
Penanganan pertama VSD pada bayi yang disertai gagal jantung (biasanya
KER: MB sampai B) adalah dengan memberikan terapi konservatif, berupa
kardiak glikosida (contoh: digoxin 10-20 µg/kgBB/hari), loop diuretik (contoh:
furosemide 1-3 mg/kgBB/hari), dan ACE Inhibitors (contoh: captopril 0,5-2
mg/kgBB/hari). Bila gagal jantung tidak dapat teratasi dengan medikamentosa dan
pertumbuhan terlihat terhambat maka sebaiknya dilakukan tindakan paliatif bedah
pulmonary artery binding untuk mengurangi aliran yang berlebih ke paru atau
langsung penutupan VSD bila berat badan anak mengizinkan. Hal ini tentunya
bergantung pada pengalaman dan kemampuan pusat bedah jantung setempat. Bila
gagal jantung dapat teratasi dan anak tumbuh baik, maka kateterisasi jantung dan
bedah penutupan VSD dilakukan setelah anak berumur 2-4 tahun (kemungkinan
nilai KER menetap atau menurun).5,6
Untuk nilai KER MK sampai K hanya perlu observasi sebulan sekali bila
usia kurang dari satu tahun dan tiap enam bulan bila usia lebih dari satu tahun.
Mungkin KER bertambah, terutama pada usia kurang dari satu tahun setelah
tahanan paru menurun, sehingga perlu ditatalaksana seperti KER MB sampai B.
Bila KER menetap maka kateterisasi jantung dapat ditunda sampai usia 3-4 tahun
dan bila KER menurun dapat ditunda sampai 7-8 tahun. Dalam perjalanannya,

33
penutupan spontan dapat terjadi pada beberapa tipe VSD (tipe muskuler dan
perimembranus).5
Dalam observasi kasus VSD, perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya
prolapse katup aorta, hipertrofi infundibulum atau hipertensi pulmonal. Pada
keadaan ini, kemungkinan nilai KER dapat menurun. Bila kelainan-kelainan
tersebut terjadi, maka tindakan kateterisasi dan bedah penutupan VSD perlu
dipercepat.5
Bila telah terjadi hipertensi pulmonal yang disertai dengan penyakit
vaskuler paru (irreversible), maka bedah penutupan VSD tidak dianjurkan lagi.
Bila ada prolaps katup aorta dan regurgitasi katup aorta yang berat maka mungkin
juga perlu dilakukan penggantian katup. Pencegahan terhadap endocarditis
infektif pada setiap tindakan bedah minor (misalnya cabut gigi) perlu dilakukan
pada setiap kasus VSD.5

VII. PROGNOSIS
 Prognosis penyakit ini bergantung pada besarnya defek yang terjadi.1
 Dari seluruh kasus VSD yang tercatat pada bayi-bayi usia satu bulan, 80%
menutup secara spontan. Penutupan spontan defek septum ventrikel
bergantung pada besarnya defek, anatomi, dan umur pasien. Penutupan
spontan paling sering terjadi pada usia satu tahun dan dengan kerusakan yang
kecil.1
 Mortalitas yang terjadi akibat riwayat penyakit VSD menunjukkan bahwa
27% pasien meninggal pada usia 20 tahun, 53% pada usia 40 tahun, dan 69%
pada usia 60 tahun.1
 Pada penyakit-penyakit VSD tanpa komplikasi, tingkat mortalitas saat
dilakukan tindakan operasi mendekati 0%. Mortalitas dan morbiditas
meningkat pada VSD yang multiple, hipertensi pulmonal, dan diikuti dengan
anomali-anomali yang lain.1
 Ketika tindakan operasi dilakukan sebelum usia dua tahun, usia harapan
hidup akan baik, dan pasien mempunyai ukuran dan fungsi ventrikel yang
normal, sehingga dapat menjalani kehidupan yang normal.1

34
 Angka harapan hidup pada pasien yang telah diintervensi dengan terapi bedah
dan konservatif (setelah 25 tahun) adalah 87%, motalitas meningkat dengan
semakin beratnya VSD.1

BAB 4
PEMBAHASAN

Perbandingan antara teori dan data pasien


1. Anamnesis

Teori Kasus

Pneumonia Pneumonia
 Pneumonia merupakan penyebab  Usia 4 bulan
morbiditas dan mortalitas anak di negara  Batuk dan sesak selama 13 hari sebelum
berkembang; dengan insidensi pneumonia masuk RSUD Abdul Wahab Sjahranie. Selain
balita tertinggi terjadi pada kelompok itu, pasien juga mengalami demam. Sesak
umur 12 – 23 bulan. dialami semakin hari semakin berat
 Pneumonia virus dan bakteri sering
diawali gejala infeksi traktus respirasi atas Penyakit Jantung Bawaan
dalam beberapa hari, terutama batuk dan  Penyakit keluarga dan penyakit selama
rinitis. kehamilan disangkal.
 Pneumonia bakteri pada anak yang lebih

35
tua diawali dengan demam tinggi dan
menggigil yang mendadak, batuk dan
nyeri dada. Gejala lain yang dapat terlihat
meliputi mengantuk dengan periode
gelisah yang intermiten, respirasi cepat,
kecemasan dan kadang, delirium.
 Pneumonia bakteri pada bayi juga dapat
bermanifestasi sebagai gangguan
gastrointestinal seperti muntah, anoreksia,
distensi abdomen.

Penyakit Jantung Bawaan


 Secara keseluruhan pengaruh genetik atau
lingkungan yang nyata dapat
teridentifikasi hanya pada sekitar 10%
kasus penyakit jantung kongenital.
 Banyak PJB yang tidak atau sedikit
memberikan tanda gejala.
 PJB tidak menyebabkan nyeri dada atau
gejala nyeri lainnya.
 Anak – anak dengan PJB memiliki
pertumbuhan atau peningkatan berat badan
yang terganggu.
 Mereka lebih mudah lelah dan sesak napas
selama beraktivitas fisik.

2. Pemeriksaan Fisik

Teori Kasus

Pneumonia Pneumonia

36
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia KU : lemah
ditemukan hal-hal sebagai berikut : Frekuensi nadi : 119 x/menit, regular,
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, adekuat
interkostal, subkosta, suprasternal, dan Frekuensi napas : 29 x/menit, regular
pernapasan cuping hidung. Temperatur : 36,6 0C (aksiler)
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang Tekanan darah : 86/54 mmHg
simetris. Saturasi O2 :100%
- Pada auskultasi terdengar :
oCrackles (ronki) Paru
oSuara pernapasan menurun Inspeksi: Bentuk dinding dada simetris,
oSuara pernapasan bronkial pergerakan dinding dada simetris, pelebaran
ICS (-), retraksi subcosta (+/+), retraksi
supraclavicula (-)
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S ,

Ventricular Septal Defect fremitus teraba D=S

VSD adalah penyakit jantung bawaan yang Perkusi : Sonor


asianotik, dikenal juga dengan left-to-right shunt, Auskultasi : Rhonki (+/+), wheezing (-/-)
jadi tidak ada tanda-tanda sianosis.6
Gejala klinis dan gangguan fungsi jantung pada Ventricular Septal Defect
VSD bergantung pada besarnya defek, keadaan Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

vaskularisasi pulmoner, derajat shunt, dan lokasi Perkusi : Tidak dapat dievaluasi

defek. Gejala-gejala VSD, antara lain:1 Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS

 VSD dengan defek yang kecil biasanya IV MCL sinistra


tidak bergejala.1 Auskultasi : Murmur (+), gallop (-)

 Terjadi respiratory distress dan takipnea


ringan.1
 Pada VSD yang moderat, kulit dan
menjadi pucat dan diaforetik, dan dapat
disertai dengan pneumonia atau infeksi
saluran pernapasan bagian atas.1
 VSD yang disertai dengan komplikasi

37
berupa hipertensi pulmonal dan shunt
terbalik (Sindrom Eisenmenger),
memiliki gejala klinis berupa sesak
napas, nyeri dada, sinkop, hemoptisis,
sianosis, clubbing finger, dan
polisitemia.1
 Tanda: murmur pansistolik/holosistolik
(tergantung dari besar kecilnya defek) di
sela iga III-IV parasternal kiri yang
menyebar sepanjang parasternal dan
apeks, aktivitas ventrikel kiri meningkat,
dan dapat teraba thrill(turbulensi aliran
darah yang teraba)

3. Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Pneumonia Pneumonia
1. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat Pemeriksaan Laboratorium:
(tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit Darah Lengkap
predominan) dan bakteri leukosit meningkat Leukosit : 11.20 x 103/ mikroliter
15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang Eritrosit : 3.79 x 106/mikroliter
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat Hemoglobin : 10.2 g/dl
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Hct : 31,8 %
2. Pemeriksaan Radiologi : Tampak adanya PLT : 342.000/mikroliter
infiltrat baik interstisial maupun alveolar
3. Pemeriksaan Mikrobiologis: Untuk Pemeriksaan Radiologi
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat Tampak konsolidasi inhomogen pada lapangan
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, atas kedua paru terutama paru kanan
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau Cor : membesar
aspirasi paru. Kedua sinus dan diafragma normal
Tulang-tulang intak

38
Ventricular Septal Defect
 Ekokardiografi menilai masalah pada jantung Kesan :
seperti struktur jantung dan bagaimana jantung Kosolidasi inhomogen pada lapangan atas
bereaksi terhadap masalah tersebut. kedua paru terutama paru kanan suspek
 Elektrokardiografi menilai aktivitas listrik pneumonia
jantung dan apakah ruangan jantung Cardiomegali
membesar.
 Rontgen dada dapat digunakan untuk menilai
apakah jantung membesar atau tidak dan
melihat apakah paru memiliki aliran darah
atau cairan ekstra.
 Pulse oxymetry digunakan untuk
memperkirakan jumlah oksigen darah fisik.

4. Penatalaksanaan

Teori Kasus

Pneumonia  Inf D5 ¼ ns 500 cc/ 24 jam


Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah  Merapenem 3 x 150 mg lanjut hari ke
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, 8
serta tindakan suportif. Pengobatan suportif  Paracetamol 3 x 50 mg (k/p)
meliputi pemberian cairan intravena, terapi  Oksigen nrm 6-8 lpm
oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan  Minum progestimil 8 x 10-15 cc
asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri
 Inj Dexamethason 3x1 mg IV
dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
 Nebulisasi Ventolin 0,5 + pz 1,5 cc
Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan
4x/hari
adekuat.
 Captopril 3 x 1,6 mg pulv
Bila pasien datang dengan keadaan klinis
 Inj Ranitidin 2 x 6 mg IV
berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
 Extra Lasix 1 x 5 mg IV
kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin.Antipiretik dan analgetik dapat
39
diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien.

Ventricular Septal Defect


Penanganan VSD dapat meliputi penanganan
konservatif maupun pembedahan. VSD dengan
defek yang kecil dapat tertutup dengan sendirinya,
seiring dengan semakin berkembangnya jantung,
dan dalam beberapa kasus ditangani secara
konvensional.6
Penanganan pertama VSD pada bayi yang disertai
gagal jantung) adalah dengan memberikan terapi
konservatif, berupa kardiak glikosida (contoh:
digoxin 10-20 µg/kgBB/hari), loop diuretik
(contoh: furosemide 1-3 mg/kgBB/hari), dan ACE
Inhibitors (contoh: captopril 0,5-2 mg/kgBB/hari).
BAB 5
PENUTUP

Kesimpulan
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Gejala yang ditimbulkan oleh
pneumonia ialah panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat, sesak dan
gejala lainnya (sakit kepala, gelisah, dan nafsu makan berkurang). Pneumonia
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.
Insidensi pneumonia balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan.
Usia berperan penting dalam menentukan etiologi pneumonia. Pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengarahkan diagnosis ke
pneumonia bakteri maupun virus. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.

40
Penatalaksanaan yang adekuat akan menghindarkan anak – anak dari komplikasi
yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Dari seluruh kasus VSD yang tercatat pada bayi-bayi usia satu bulan, 80%
menutup secara spontan. Penutupan spontan defek septum ventrikel bergantung
pada besarnya defek, anatomi, dan umur pasien. Penutupan spontan paling sering
terjadi pada usia satu tahun dan dengan kerusakan yang kecil. 1 Mortalitas yang
terjadi akibat riwayat penyakit VSD menunjukkan bahwa 27% pasien meninggal
pada usia 20 tahun, 53% pada usia 40 tahun, dan 69% pada usia 60 tahun. Faktor
genetik dan lingkungan multifaktor mungkin merupakan penyebab pada banyak
kasus penyakit jantung kongenital. Defek yang ringan umumnya tidak terdiagnosa
hingga anak – anak dewasa. Defek minor umumnya tidak memiliki tanda dan
gejala. Dokter dapat mendiagnosa PJB ringan melalui pemeriksaan fisik dan
penunjang fisik. Tidak semua anak dengan PJB membutuhkan penatalaksanaan.
Beberapa dari mereka cukup diobservasi dan mengunjungi kardiologis. Pada
beberapa kasus, operasi atau kateterisasi jantung dapat dibutuhkan untuk
mengurangi dan atau memperbaiki defek.

DAFTAR PUSTAKA
Milliken JC, Galovich J. Ventricular septal defect [online]. 2010 [cited 2010 Dec
28]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/162692-print

Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,
editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw
Hill, Health Professions Division; 2008.

Singh VN, Sharma RK, Reddy HK, Nanda NC. Ventricular septal defect imaging
[online]. 2008 [cited 2010 Dec 28]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/351705-print

41
McMahon C, Singleton E. Plain radiographic diagnosis of congenital heart disease
[online]. 2009 [cited 2010 Dec 28]. Available from: URL:
http://www.bcm.edu/radiology/cases/pediatric/text/2b-desc.htm

Ain, N., Hariyanto, D., & Rusdan, S. (2015). Karakteristik Penderita Penyakit
Jantung Bawaan di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 – Mei
2012.
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 928 – 935.

American Heart Association. (2015). Care and Treatment for Congenital Heart
Defects. Retrieved from American Heart Association, 20.40, 25 Mei 2017,

http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/CongenitalHeartDefects/CareTrea
mentforCongenitalHeartDefects/Care-and-Treatment-for-Congenital-Heart
Defects_UCM_002030_Article.jsp#.WSbPqsYlHIU

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell
J.A., and Swanson J.T. (2011). The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630.

Elloriaga, G.G. & Rey-Pineda, D. (2016). Basic Concepts on Community-


Acquired Bacterial Pneumonia in Pediatrics. ImedPub Journal, 1(1), 1 – 6.

Ikatan Dokter Anak Indonesia.(2008).Buku Ajar Respirologi.Jakarta: IDAI.


Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pneumonia Balita. Buletin Jendela
Epidemiologi, 3, 1 – 27.
42
Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S.L. (2010). Buku Ajar Patologi Robbins.
Jakarta: EGC.

Latief, Abdul, dkk. (2009). Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar
WHO.Jakarta : Depkes

National Heart, Lung, Blood Institute. (2011). Congenital Heart Defects.


Retrieved from https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/chd/,
20.42, 25 Mei 2017.

Nelson.(2015).Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 19,Volume 2.Jakarta:EGC.


Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Depkes RI.

Singh, Y. D. (2012). Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia.


Supplement of Japi, 60, 7 – 9.

Van der Linde, D., Konings, E.E.M., Slager, M.A., Witsenburg, M., Helbing
W.A., Takkenberg, J.J.M, et al. (2011). Birth Prevalence of Congenital Heart
Disease Worldwide : A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal of
American College of Cardiology, 58(21), 2241 – 2247.

43

Anda mungkin juga menyukai