PENDAHULUAN
Mioma uteri terjadi pada 20-25% perempuan di usia produktif, tetapi oleh faktor
ynag tidak diketahui secara pasti. Insiden terjadi lebih banyak 3-9 kali pada ras kulit
berwarna dari pada ras kulit putih.
1
menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau
hanya hamil 1 kali.
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang hiperplasia endomerium dan
mioma uteri.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Identitas pasien
Nama : Ny. V
Usia : 52 tahun
Agama : Kristen
Suku : Cina dayak
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Loa Kulu, Tenggarong
Masuk Rumah Sakit : Hari Jumat, 03 Agustus 2018 pukul 14.00 wita
Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam
3
Hyperplasia Endometrium dengan keluhan perdarahan yang sangat banyak saat haid
memakai lebih dari 7x ganti pembalut/hari sejak 4 tahun yang lalu. Pasien
mempunyai penyakit hipertensi dan diabetes mellitus.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga.
Riwayat Haid
Menarche : usia 14 tahun
Lama haid : 3-4 hari, dengan banyak 6-8 kali ganti pembalut/hari
Riwayat Perkawinan
Perkawinan yang pertama, umur pertama kali menikah 16 tahun, dan lama
menikah 36 tahun.
Kontrasepsi
Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
PEMERIKSAAN FISIK
Berat badan 69 kg, tinggi badan 159 cm
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 83 kali/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 18 kali/menit, regular
4
Suhu : 36,5 oC (per axiller)
Status Generalis
Kepala : normosefali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga/hidung/tenggorokan : tidak ditemukan kelainan
Thorax :
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 MCL sinistra
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, mumur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : dinding thoraks simetris, seirama gerakan nafas
Palpasi : fremitus suara dekstra = sinistra
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding abdomen datar, luka bekas operasi (+)
Palpasi : soefel, organomegali (-),
Perkusi : timpani, asites (-)
Auskultasi : bising usus (-), metallic sound (-)
Ekstremitas :
Atas : akral hangat, edema (-/-)
Bawah : akral hangat, pitting edema (-/-)
Status Ginekologi
Inspeksi : luka bekas operasi (+)
Vaginal Toucher : tidak dilakukan
Inspekulo : tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
5
Tanggal 26-07-2018
o Darah lengkap :
Leukosit : 13.020/uL
Trombosit : 501.000/uL
Hemoglobin : 13,0 g/dL
Hematokrit : 41,4 %
BT : 2’
CT : 9’
o Kimia Klinik :
GDP : 128 mg/dL
G2JPP : 161 mg/dL
Bilirubin Total : 0,7 mg/dL
Bilirubin direct : 0,3 mg/dL
Bilirubin indirect : 0,4 mg/dL
Ureum : 32,1 mg/dL
Creatinin : 0,6 mg/dL
SGPT : 14 U/L
SGOT : 14 U/L
o Imuno-Serologi :
AbHIV : Non Reaktif
HbsAg : Non Reaktif
o Urinalisa :
Berat Jenis : 1.014
Ketone :-
Leuko :-
Warna : Kuning
Kejernihan : Agak Keruh
pH : 5.5
Protein :-
6
Hyperplasia Endometrium 1,1-1,2cm dengan organ massa di uterus
ukuran 4,3 x 3,2 cm kesan myoma uteri.
DIAGNOSIS KERJA
Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
TATALAKSANA
Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral
Laporan Operasi
Tanggal 06-08-2018 jam op dimulai pukul 08.45 WITA. Selesai pukul 09.45 WITA
Diagnosis Pre Operatif : Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
Diagnosis Post Operatif : Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
Nama Tindakan : Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral
Jaringan yang dieksisi : Uterus dan Ovarium
Dikirim untuk pemeriksaan PA
Insisi Median
Eksplorasi :
Uterus membesar diameter 10 cm
Adneksa dextra : ovarium normal, tuba normal
Adneksa sinistra : ovarium normal, tuba normal
Perdarahan 200cc
Hasil Pemeriksaan PA
Kesimpulan :
Tu. Uterus, HT SOB
- Kista retensi serviks uteri
- Hiperplasia glandulare endometrium simpleks dengan adenomiosis uteri
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Uterus adalah organ muskular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam
pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya
terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium dengan
ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun
oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya
sangat sensitif terhadap kerja hormon seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita
yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen
merangsang pertumbuhan dan progesteron mempertahankannya (Chandrasoma dan
Taylor, 2006).
9
Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan
diri terhadap terjadinya kehamilan agar hasil konsepsi bisa tertanam. Pada suatu fase
dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti
memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang
menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah
menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada
fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim (Price dan Wilson,
2006).
Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada
endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas ovarium.
Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni
10
c. Fase Intermenstrum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung selama ± 10
hari (hari ke 5-14 siklus haid)
Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai hari ke
28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang berbeda adalah
bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk, panjang dan mengeluarkan
getah yang semakin nyata. Dalam endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur
yang kelak diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan
perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang
dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni
a. Stratum basale yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan
miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar
b. Stratum spongiosum yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini
11
disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit
stroma di antaranya
c. Stratum kompaktum yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar
sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema.
2. Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini terdapat
peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak mengandung
pembuluh darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat ideal
untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah. Sel
stroma ini akan berubah menjadi sel desidua jika terjadi pembuahan (Prajitno, 2011).
3.3.1 Definisi
12
kurangnya kesuburan (sulit hamil) (Price dan Wilson, 2006).
3.3.2 Klasifikasi
3) Atipikal
Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan kehilangan
polaritasnya (Prajnya, 2014).
13
3.3.3 Patogenesis
14
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga
terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak
diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi
hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan
dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia
pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali
mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun
estrogen saja (Prajnya, 2014).
Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama
(amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia). Selain
itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah lelah
dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah penderita bisa
mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun
terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah (Prajnya, 2014).
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada
hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan
eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia endometrium dengan
perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya
muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian Syndrome
(PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi estrogen yaang tidak terlawan secara
sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat
peningkatan estrogen secara sekunder dari konversi perifer dari androstenedione
pada jaringan adiposa (pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang
mensekresikan estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas).
Konversi perifer dari androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan
androgen pada cortex adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia
15
endometrium. Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir
selalu datang dengan perdarahan pervaginam. Meskipun karsinoma harus
dipertimbangkan pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang sering
dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226 wanita
dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma, 56 % dengan
atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasia dan karsinoma
secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang berat sedangkan pasien
dengan atrofi biasanya hanya muncul bercakbercak perdarahan. Pap Smear yang
spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi kelainan pada endometrium.
Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita post menopause dengan perdarahan
uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat Pap Smear menunjukkan histiosit yang
mengandung sel inflamasi akut yang difagosit atau sel endometrium yang normal.
Biarpun begitu, penemuan yang tidak sengaja dari histiosit pada wanita
postmenopause tanpa gejala tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko
hiperplasia endometrium ataupun karsinoma endometrium. Usia memiliki efek yang
signifikan untuk menindak lanjuti kelainan pada AGC pap smear. Pada studi
retrospektif pada 281 wanita dengan AGC papsmear, 90 wanita (32%) memiliki
kelainan signifikan yang membutuhkan intervensi. Pada pasien dengan usia < 50
tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki lesi non skuamosa sedangkan 19 pasien (15%)
yang berusia > 50 tahun memiliki lesi non skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan
AGC pap smear memiliki kemungkinan 13 kali lipat menderita kanker rahim
dibandingkan wanita yang berusia kurang dari 50 tahun (Prajnya, 2014).
16
7. Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor
3.3.6 Diagnosis
Biopsi
17
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret.
Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus (Prajnya 2014).
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus
(Prajnya 2014).
Histeroskopi
1) Karsinoma endometrium
2) Abortus inkomplit
3) Leiomioma
4) Polip
3.3.8 Terapi
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut
(Prajnya, 2014):
18
endometrial tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan
atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari
untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat
20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40
mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk
pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3
bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk
mengevaluasi respon pengobatan.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid
kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan
diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih
dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi
endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan
sebagainya.
3) Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada
kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim.
Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka
dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.
3.3.9 Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi
dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
3.3.10 Pencegahan
19
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti (Prajnya,
2014):
1) Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk
deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding
rahim.
2) Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi
apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak
kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3) Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4) Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi
terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5) Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
20
3.4 Mioma Uteri
3.4.1 Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel.
Mioma uteri terdiri dari sel-sel otot polos, tetapi juga jaringan ikat. Sel-sel ini
tersusun dalam bentuk gulungan, yang bila membesar akan menekan otot uterus
normal. Istilah ini dikenal pula dengan fibromioma, leiomioma atau fibroid
(Pangemanan, 2013).
Etiologi pasti hingga saat ini belum diketahui. Stimulasi estrogen diduga sangat
berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hipotesis ini didukung oleh adanya mioma
uteri yang banyak ditemukan pada usia reproduksi dan rendah pada usia menopause
(Pangemanan, 2013). Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur
25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan
lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke,
sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh.
Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia
mioma uteri ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang
lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita
yang sering melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya
mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali
hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak
pernah hamil atau hanya hamil 1 kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan
riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara (Lurain, 2007). Perempuan nulipara
mempunyai risiko yang lebih tinggi akan terjadinya mioma uteri daripada perempuan
nulipara. Jaringan mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor estrogen daripada
miometrium normal. Terjadinya mioma uteri bergantung pada sel-sel otot imatur
yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya dirangsang terus menerus oleh
estrogen (Pangemanan, 2013).
21
dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai
abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tumor, di samping faktor predisposisi genetik, adalah estrogen,
progesteron dan human growth hormone (Amelinda, 2014).
1) Estrogen
Beberapa ahli dalam penelitiannya menemukan bahwa pada otot rahim yang
berubah menjadi mioma ditemukan reseptor estrogen yang lebih banyak daripada
otot rahim normal. Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen.
Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium.
Adanya hubungan dengan kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti
endometriosis (50%), perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis
(16,5%) dan hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. 17B
hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi
estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada jaringan miomatous,
yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak daripada
miometrium normal.
2) Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
3) Hormon pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat pada periode
ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama
kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan Estrogen
(Amelinda 2014).
Beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma
uteri, yaitu :
1) Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan
22
gejala klinis antara 35-45 tahun.
2) Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi
sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri atau
sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini
saling mempengaruhi.
4) Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma,
dimana mioma uteri muncul setelah menarke, dan mengalami regresi setelah
menopause. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi
hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan
mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap
reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor
progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor yang
distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen
yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium
normal dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih
kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah
menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang
berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.
23
3.4.3 Klasifikasi
Mioma uteri sering kali asimtomatik, gejala hanya terjadi pada 35%-50%
penderita. Hampir sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat
kelaianan di dalam uterusnya, terutama penderita dengan obesitas. Gejala yang
timbul adalah perdarahan abnormal uterus dan nyeri. Perdarahan menjadi
manifestasi klinik utama pada mioma uteri dan hal ini terjadi pada 30% penderita.
Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi besi dan bila
berlangsung lama dan dalam jumlah besar maka sulit dikoreksi dengan suplementasi
zat besi. Tumor bertangkai sering kali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis
endometrium akibat taikan dan infeksi (vagina dan kavum uteri terhubung oleh
tangkai yang keluar dari ustium serviks). Dismenorea dapat disebabkan o;eh efek
tekanan, kompresi, termasuk hioksia lokal miometrium. Mioma tidak menyebabkan
nyeri dalam uterus kecuali apabila kemudian terjadi gangguan vaskular. Nyeri lebih
banyak terkait dengan proses degnerasi akibat oklusi pembuluh darah, infksi, torsi
tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma
subserosa dari kavum uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut
dengan terjadinya infark atau degenerasi yang mengiritasi selaput peritoneum.
24
Mioma yang besar dapat menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk
mengejan. Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan
persarafan yang berjalan diatas permukaan tulang pelvis. Ada kalanya mioma uteri
teraba seperti kepala janin, sehingga kehamilan tunggal disangka kehamilan kembar
atau mioma kecil disangka bagian kecil janin (Adriaansz, 2011).
3.4.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air besar.
Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala yang terjadi
berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :
- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran kemih
menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis (pembesaran
ginjal)
- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri hebat, luka,
dan infeksi Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan
25
tromboflebitis sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)
4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor dapat
terbatas atau bebas.
5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau
bebas.
6. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium.
Anemia
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan adnexa
dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI,
tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik
USG.
- Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi
ginjal dan perjalanan ureter.
3.4.6 Penatalaksanaan
26
miomektomi atau histerektomi (Adriaansz, 2011).
Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan
operatif :
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan
post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi
setiap minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan
menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan
keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause.
Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena
memberikan beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama
pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
2. Operatif
Penanganan operatif, bila:
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. V usia 52 tahun datang ke Poli RSUD AW. Sjahranie Samarinda
pada hari Jumat, 03 Agustus 2018 pukul 14.00 wita dengan keluhan utama
perdarahan pervaginam. Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, berikut dibawah ini
uraian kesesuaian kasus dengan teori yang ada.
Teori Kasus
Anamesis :
Hyperplasia Endometrium - Wanita usia 52 tahun
- Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam - Suku Cina dayak ( ras putih)
jangka waktu lama (amenorrhoe) ataupun - Keluhan utama perdarahan
menstruasi terus-menerus dan banyak pervaginam
(metrorrhagia) - Ganti pembalut sekitar 9x/hari
- Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala - IMT pasien 27,29
yang paling sering muncul. - Riwayat penyakit dahulu : penyakit
- Risiko terjadinya kelainan ini meningkat pada ginekologi yaitu hiperplasia
wanita dengan obesitas, diabetes endometrium, Diabetes Mellitus
Mioma Uteri tidak ada.
- Insiden terjadi lebih banyak 3-9 kali pada ras - Riwayat penyakit keluarga tidak
kulit berwarna dari pada ras kulit putih. ada.
- Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39
– 11,7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat.
- Paling sering ditemukan pada wanita umur 35 –
45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada
wanita 20 tahun dan sekitar 10% pada wanita
berusia lebih dari 40 tahun.
- Wanita yang sering melahirkan akan lebih
sedikit kemungkinan untuk berkembangnya
mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak
pernah hamil atau hanya 1 kali hamil.
- Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat
keluarga, kegemukan dan nullipara.
28
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen (+)
bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan -
bimanual didapatkan tumor tersebut menyatu dengan
rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobile, permukaan
tumor umumnya rata.
Pemeriksaan Penunjang : USG Abdomen
Hyperplasia Endometrium Hyperplasia Endometrium
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) 1,1-1,2cm dengan organ massa di
Pada wanita pasca menopause ketebalan uterus ukuran 4,3 x 3,2 cm kesan
endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi myoma uteri.
transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat
keadaan dinding kavum uteri secara lebih baik maka Pemeriksaan laboratorium darah
dapat dilakukan pemeriksaan histerosonografi - Hemoglobin : 13,0 g/dL
dengan memasukkan cairan kedalam uterus (Prajnya
2014).
Biopsi
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi yang dapat
dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan
mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan
diagnosa keganasan uterus (Prajnya 2014).
Dilatasi dan Kuretase
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan
diagnosa perdarahan uterus (Prajnya 2014).
Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan
peralatan teleskop kecil kedalam uterus untuk
melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini
selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan
tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi (Prajnya, 2014).
Mioma Uteri
- Pemeriksaan laboratorium. : Anemia
- USG, CT scan, MRI
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan
endometrium dan keadaan adnexa dalam rongga
pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan
29
ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih
mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG.
- Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di
rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan
perjalanan ureter.
- Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien
mioma submukosa disertai dengan infertilitas.
- Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada
pelvis.
Penatalaksanaan :
Hyperplasia Endometrium Histerektomi total dan salfingo-
- Tindakan kuretase selain untuk menegakkan ooforektomi bilateral
diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk
menghentikan perdarahan.
- Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk
menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh.
Mioma Uteri
-Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan
pengobatan bedah ataupun medikamentosa
terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak
menimbulkan gangguan atau keluhan.
Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil
pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara
penanganan konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara
periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75
mg IM pada hari 1-3 menstruasi setiap minggu
sebanyak tiga kali.
2. Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus
12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan
30
berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien ; Ny. V (52 th) yang datang ke
rumah sakit dengan keluhan utama perdarahan pervaginam. Perdarahan cukup
banyak dengan ganti pembalut 9 kali/hari. Pasien memiliki riwayat di kuretase
karena susp. Hyperplasia Endometrium dengan keluhan perdarahan yang sangat
banyak saat haid memakai lebih dari 7x ganti pembalut/hari sejak 4 tahun yang lalu.
Pemeriksaan USG abdomen mendapatkan hasil Hyperplasia Endometrium 1,1-1,2cm
dengan organ massa di uterus ukuran 4,3 x 3,2 cm kesan myoma uteri. Setelah
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan diagnosis Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri. Tatalaksana pada
pasien ini yaitu Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral. Secara umum
penegakkan diagnosis maupun penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat menurut
teori.
31
DAFTAR PUSTAKA
32