Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam arti luas hiperplasia endometrium berhubungan dengan proliferasi selular
yang berlebihan mengarah ke peningkatan volume jaringan endometrium, dimana
peningkatan kelenjar endometrium ke stroma terlihat rasio lebih besar dari 1:1.
Penelitian untuk mencari insidensi hiperplasia endometrium pada wanita berusia 18-
90 tahun telah banyak dilakukan. Menurut penelitian Reed et al pada tahun 2009
didapatkan insidensi hiperplasia endometrium jenis simpleks adalah 142 per 100.000
wanita, kompleks 213/100.000 wanita, atipik 56/100.000 wanita dengan usia
terbanyak untuk jenis simpleks dan kompleks adalah 50 tahun sedangkan jenis atipik
adalah 60 tahun (Prajnya, 2014).

Sebanyak 40.000 kasus terdiagnosis di Amerika pada tahun 2005. Risiko


terjadinya kelainan ini meningkat pada wanita dengan obesitas, diabetes, dan
penggunaan terapi pengganti hormon. Studi yang dilakukan oleh Kurman
menyatakan hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker,
3% progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia
sederhana atipik. Sementara hiperplasia kompleks atipik, 29% akan progresi menjadi
kanker 2,4 %.

Mioma uteri terjadi pada 20-25% perempuan di usia produktif, tetapi oleh faktor
ynag tidak diketahui secara pasti. Insiden terjadi lebih banyak 3-9 kali pada ras kulit
berwarna dari pada ras kulit putih.

Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai


sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma
uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah
menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan
insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri
ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor
ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan
jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering
melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini
dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik

1
menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau
hanya hamil 1 kali.

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum

Mengetahui teori tentang hiperplasia endometrium dan mioma uteri serta


kesesuaian antara teori dengan kasus nyata.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui teori tentang hiperplasia endometrium dan mioma uteri yakni


mencakup:
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Klasifikasi
e. Diagnosis
f. Penatalaksanaan
2. Mengetahui kesesuaian antara teori dengan kasus nyata hiperplasia
endometrium dan mioma uteri di RSUD Abdul Wahab Sjahranie.

1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang hiperplasia endomerium dan
mioma uteri.

1.3.2. Manfaat bagi Pembaca


Makalah ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca
mengenai hiperplasia endometrium dan mioma uteri.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, 06 Agustus


2018 pukul 16.00 WITA di ruang Mawar RSUD AW. Sjahranie Samarinda.

ANAMNESIS
Identitas pasien
Nama : Ny. V
Usia : 52 tahun
Agama : Kristen
Suku : Cina dayak
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Loa Kulu, Tenggarong
Masuk Rumah Sakit : Hari Jumat, 03 Agustus 2018 pukul 14.00 wita

Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pada tanggal 03 Agustus 2018, pasien dari Poli kandungan masuk rumah sakit
dengan keluhan perdarahan pervaginam sejak 3 hari sebelum datang ke poli pada
saat tanggal 09 Mei 2018. Perdarahan cukup banyak dengan ganti pembalut 9
kali/hari, pasien disarankan oleh dr.Sp.OG untuk USG abdomen dan cek
laboratorium. Tanggal 25 Juli 2018 hasil USG abdomen yaitu terdapat hiperplasia
endometrium dan mioma uteri, pasien disarankan untuk operasi dan pasien
menyetujui. Keluhan mual dan muntah tidak ada. Buang air kecil sering di malam
hari dan buang air besar normal.

Riwayat Penyakit dahulu :


Pasien pernah dikuret pada tanggal 03 Januari 2018 dengan diagnosis susp.

3
Hyperplasia Endometrium dengan keluhan perdarahan yang sangat banyak saat haid
memakai lebih dari 7x ganti pembalut/hari sejak 4 tahun yang lalu. Pasien
mempunyai penyakit hipertensi dan diabetes mellitus.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga.

Riwayat Haid
 Menarche : usia 14 tahun
 Lama haid : 3-4 hari, dengan banyak 6-8 kali ganti pembalut/hari

Riwayat Perkawinan
Perkawinan yang pertama, umur pertama kali menikah 16 tahun, dan lama
menikah 36 tahun.

Kontrasepsi
Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

Riwayat Kehamilan P4004A100


No. Tahun Tempat Umur Jenis Penolong Penyulit BB Keterangan
Partus Partus Kehamilan Persalinan Persalinan

1. 1983 RS Aterm Spontan Bidan - 4000 Hidup/ Laki-


gr laki
2. 1984 BPM Aterm Spontan Bidan - 3400 Hidup/ Laki-
gr laki
3. 1991 BPM Aterm Spontan Bidan - 3500 Hidup/
gr Perempuan
4. 1997 RS Aterm Spontan Bidan - 3500 Hidup/
gr Perempuan
5. 2003 Abortus

PEMERIKSAAN FISIK
Berat badan 69 kg, tinggi badan 159 cm
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 83 kali/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 18 kali/menit, regular

4
Suhu : 36,5 oC (per axiller)

Status Generalis
Kepala : normosefali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga/hidung/tenggorokan : tidak ditemukan kelainan
Thorax :
 Jantung :
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 MCL sinistra
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : S1S2 tunggal regular, mumur (-), gallop (-)
 Paru :
 Inspeksi : dinding thoraks simetris, seirama gerakan nafas
 Palpasi : fremitus suara dekstra = sinistra
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : dinding abdomen datar, luka bekas operasi (+)
 Palpasi : soefel, organomegali (-),
 Perkusi : timpani, asites (-)
 Auskultasi : bising usus (-), metallic sound (-)
Ekstremitas :
 Atas : akral hangat, edema (-/-)
 Bawah : akral hangat, pitting edema (-/-)

Status Ginekologi
Inspeksi : luka bekas operasi (+)
Vaginal Toucher : tidak dilakukan
Inspekulo : tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium

5
Tanggal 26-07-2018

o Darah lengkap :
 Leukosit : 13.020/uL
 Trombosit : 501.000/uL
 Hemoglobin : 13,0 g/dL
 Hematokrit : 41,4 %
 BT : 2’
 CT : 9’
o Kimia Klinik :
 GDP : 128 mg/dL
 G2JPP : 161 mg/dL
 Bilirubin Total : 0,7 mg/dL
 Bilirubin direct : 0,3 mg/dL
 Bilirubin indirect : 0,4 mg/dL
 Ureum : 32,1 mg/dL
 Creatinin : 0,6 mg/dL
 SGPT : 14 U/L
 SGOT : 14 U/L
o Imuno-Serologi :
 AbHIV : Non Reaktif
 HbsAg : Non Reaktif
o Urinalisa :
 Berat Jenis : 1.014
 Ketone :-
 Leuko :-
 Warna : Kuning
 Kejernihan : Agak Keruh
 pH : 5.5
 Protein :-

2. Pemeriksaan USG Abdomen


Tanggal 25-07-2018

6
Hyperplasia Endometrium 1,1-1,2cm dengan organ massa di uterus
ukuran 4,3 x 3,2 cm kesan myoma uteri.

DIAGNOSIS KERJA
Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri

TATALAKSANA
Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral

OBSERVASI PASIEN DI RUANG MAWAR


Tanggal Observasi
06-08-2018 S = nyeri bekas operasi (+), perdarahan pervaginam (+) sedikit.
16.00 O = TD = 130/100 mmHg, N= 90x/menit, RR = 20 x/menit, T = 36,5
0
C,
A = Post Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral
hari ke 0 atas indikasi Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
P=
- Injeksi Ranitidin 1 ampul / 12 jam
- Injeksi Cefotaxime 1 gr/ 8 jam
- Injeksi Ketolorac 30mg / 8 jam
- Injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam
- Drip Tramadol 1 ampul dalam RL 500 cc 28 tpm
- Infus RL:D5 = 1:1 20 tpm
- Bising usus (+), boleh minum
- Cek Hb post operasi

07-08-2018 S = nyeri bekas operasi berkurang, perdarahan pervaginam (+) sedikit.


14.00 O = TD = 120/80 mmHg, N= 85x/menit, RR = 18 x/menit, T = 36,5
0
C,
A = Post Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral hari ke I
atas indikasi Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
P=
- Injeksi Ranitidin 1 ampul / 12 jam
- Injeksi Cefotaxime 1 gr/ 8 jam
- Injeksi Ketolorac 30mg / 8 jam
- Injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam
- Diet Nasi
08-08-2018 S = nyeri bekas operasi berkurang
11.00 O = TD = 120/90 mmHg, N= 89x/menit, RR = 18 x/menit, T = 36,6
0
C,
A = Post Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral hari ke
II atas indikasi Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
P=
7
Aff DC dan Infus
Asam Mefenamat 3 x 500 mg
Cefadroxil 3 x 500 mg
Biosanbe 1 x 1 tablet
Besok boleh Pulang
Obat pulang :
- Asam Mefenamat 3x500 mg
- Cefadroxil 3 x 500 mg
- Biosanbe 1x1

Laporan Operasi
Tanggal 06-08-2018 jam op dimulai pukul 08.45 WITA. Selesai pukul 09.45 WITA
Diagnosis Pre Operatif : Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
Diagnosis Post Operatif : Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri
Nama Tindakan : Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral
Jaringan yang dieksisi : Uterus dan Ovarium
Dikirim untuk pemeriksaan PA
Insisi Median
Eksplorasi :
 Uterus membesar diameter 10 cm
 Adneksa dextra : ovarium normal, tuba normal
 Adneksa sinistra : ovarium normal, tuba normal
Perdarahan 200cc

Hasil Pemeriksaan PA
Kesimpulan :
Tu. Uterus, HT SOB
- Kista retensi serviks uteri
- Hiperplasia glandulare endometrium simpleks dengan adenomiosis uteri

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Endometrium

Uterus adalah organ muskular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam
pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya
terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium dengan
ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun
oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya
sangat sensitif terhadap kerja hormon seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita
yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen
merangsang pertumbuhan dan progesteron mempertahankannya (Chandrasoma dan
Taylor, 2006).

Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis


endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis. Endometrium adalah lapisan
terdalam pada rahim dan tempatnya menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di
dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk
menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa
disebut fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan
terhubung dengan badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat
pada bayi (Price dan Wilson, 2006).

9
Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan
diri terhadap terjadinya kehamilan agar hasil konsepsi bisa tertanam. Pada suatu fase
dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti
memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang
menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah
menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada
fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim (Price dan Wilson,
2006).

3.2 Siklus Endometrium Normal

Endometrium normal menunjukkan perubahan siklik yang disebabkan oleh


perubahan terkait dalam produksi hormon ovarium. Pemeriksaan histologik
endometrium pada spesimen biopsi atau kuretase memungkinkan evaluasi fase siklus
endometrium. Bersama dengan riwayat menstruasi pasien, hal ini dapat memberikan
informasi penting mengenai kemungkinan penyebab perdarahan uterus abnormal
(Prajitno, 2011).

Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada
endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas ovarium.
Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni

a. Fase Menstruasi (Deskuamasi)


Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan endometrium dari
dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang mengalami disintergrasi dan
otolisis dengan stratum basale yang masih utuh disertai darah dari vena dan arteri
yang mengalami aglutinasi dan hemolisis serta sekret dari uterus, serviks dan
kalenjar-kalenjar vulva.

b. Fase Pasca Haid (Regenerasi)


Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi epitel
mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini membuat lapisan
endometrium setebal ± 0,5 mm.

10
c. Fase Intermenstrum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung selama ± 10
hari (hari ke 5-14 siklus haid)

1) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)


Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini terdapat
regenerasi kelenjar dari mulut kelenjar dengan epitel permukaan yang tipis. Bentuk
kelenjar khas fase proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan mengalami
mitosis.

2) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)


Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini merupakan bentuk
transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan yang berbentuk torak dan tinggi.
Kelenjar berlekuk-lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema.
Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus).

3) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)


Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari permukaan
kelenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti epitel kelenjar membentuk
pseudostratifikasi. Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.

d. Fase Pra Haid (Sekresi)

Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai hari ke
28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang berbeda adalah
bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk, panjang dan mengeluarkan
getah yang semakin nyata. Dalam endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur
yang kelak diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan
perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang
dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni

1. Fase sekresi dini


Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena kehilangan
cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan menjadi beberapa lapisan yakni

a. Stratum basale yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan
miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar
b. Stratum spongiosum yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini

11
disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit
stroma di antaranya
c. Stratum kompaktum yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar
sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema.
2. Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini terdapat
peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak mengandung
pembuluh darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat ideal
untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah. Sel
stroma ini akan berubah menjadi sel desidua jika terjadi pembuahan (Prajitno, 2011).

3.3 Hiperplasia Endometrium

3.3.1 Definisi

Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan


stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium.
Bersifat noninvasif, yang memberikan gambaran morfologi berupa bentuk kelenjar
yang irreguler dengan ukuran yang bervariasi. Pertumbuhan ini dapat mengenai
sebagian maupun seluruh bagian endometrium (Wachidah, Salim, Adityono, 2011).

Hiperplasia endometrium juga didefinisikan sebagai lesi praganas yang


disebabkan oleh stimulasi estrogen yang tanpa lawan. Hal ini biasanya terjadi sekitar
atau setelah menopause dan terkait dengan perdarahan uterus berlebihan dan ireguler
(Chandrasoma dan Taylor, 2006). Menurut referensi lain, hiperplasia endometrium
adalah suatu masalah dimana terjadi penebalan/pertumbuhan berlebihan dari lapisan
dinding dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada saat
menstruasi (Wachidah, Salim dan Adityono, 2011).

Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan/stimulasi hormon


estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja dan beberapa
tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak berovulasi sehingga pada
masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron dan terjadilah hiperplasia.
Kejadian ini juga sering terjadi pada ovarium polikistik yang ditandai dengan

12
kurangnya kesuburan (sulit hamil) (Price dan Wilson, 2006).

3.3.2 Klasifikasi

Berdasarkan revisi terbaru tahun 2014 klasifikasi hiperplasia endometrium


menurut WHO dibedakan menjadi dua kelompok didasarkan pada ada atau tidak
adanya sitologi atypia, yaitu hiperplasia tanpa atypia dan hiperplasia atipikal ;
kompleksitas arsitektur tidak lagi merupakan bagian dari klasifikasi. Diagnosis dari
EIN dalam klasifikasi WHO baru dianggap digantikan dengan hiperplasia atipikal.
Tujuan pembaruan klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan WHO 2014
menjadi dasar rekomendasi meskipun WHO Nomenklatur mengkategorikan
morfologi hiperplasia yang sederhana atau kompleks. Hiperplasia endometrium
terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi pada pemeriksaan patologi anatomi,
yakni :

1) Hiperplasia non-atipikal sederhana


Disebut sebagai hiperplasia kistik atau ringan. Terdapat proliferasi jinak dari
kalenjar endometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi disertai , tetapi
tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atau sel
yang atipik

2) Hiperplasia atipikal Kompleks (neoplasia intraepitelial endometrium)


Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium dengan tepi yang ireguler,
arsitektur yang kompleks dan sel yang tumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang
atipik. Terjadi peningkatan jumlah dan ukuran endometrium sehingga kelenjar
menjadi berdesak-desakan, membesar dan berbentuk irreguler. Bentuk irreguler ini
adalah manifestasi utama meninkatnya stratifikasi sel dan pembesaran nukleus serta
mungkin meperlihatkan kompleksitas epitel permukaan yang permukaannya menjadi
berlekuk-lekuk atau bertumpuk-tumpuk. Gambaran mitotik sering ditemukan, pada
bentuk yang paling parah, atipia sitologik dan arsitekturnya dapat sangat mirip
dengan adenokarsinoma, dan untuk membedakan hiperplasia atipikal dengan kanker
secara pasti harus dilakukan histerektomi.

3) Atipikal
Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan kehilangan
polaritasnya (Prajnya, 2014).

13
3.3.3 Patogenesis

Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari onkogen


bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada
kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler, tetapi telah
dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara parsial
dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang menyebabkan sel bertahan lebih lama.
Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan
ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.
Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis pada
endometrium ya ng dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi siklus
menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium sedang
dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia
endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi
terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru
menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium. Peran dari gen
Fas/Fas L juga telah diteliti akhitakhir ini tentang kaitannya denga pembentukan
hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis
factor (TNF)/ Nerve Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan Fas L (Fas
Ligand ) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan Fas L meningkat pada
sampel endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan
bcl-2 dapat dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat terdapat
progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat. Studi diatas
telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang kemudian
berkembang secara klinis menjadi hiperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis
molekular terbentuknya hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.

Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya


stimulasi unopposed estrogene (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen
tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin
(feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan folikel
berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan (Suryawan dan
Sastrawinata, 2007).

14
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga
terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak
diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi
hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan
dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia
pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali
mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun
estrogen saja (Prajnya, 2014).

Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogene) akan


menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh
adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih (Prajnya, 2014).

3.3.4 Gejala Klinis

Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama
(amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia). Selain
itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah lelah
dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah penderita bisa
mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun
terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah (Prajnya, 2014).

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada
hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan
eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia endometrium dengan
perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya
muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian Syndrome
(PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi estrogen yaang tidak terlawan secara
sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat
peningkatan estrogen secara sekunder dari konversi perifer dari androstenedione
pada jaringan adiposa (pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang
mensekresikan estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas).
Konversi perifer dari androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan
androgen pada cortex adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia

15
endometrium. Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir
selalu datang dengan perdarahan pervaginam. Meskipun karsinoma harus
dipertimbangkan pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang sering
dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226 wanita
dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma, 56 % dengan
atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasia dan karsinoma
secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang berat sedangkan pasien
dengan atrofi biasanya hanya muncul bercakbercak perdarahan. Pap Smear yang
spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi kelainan pada endometrium.
Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita post menopause dengan perdarahan
uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat Pap Smear menunjukkan histiosit yang
mengandung sel inflamasi akut yang difagosit atau sel endometrium yang normal.
Biarpun begitu, penemuan yang tidak sengaja dari histiosit pada wanita
postmenopause tanpa gejala tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko
hiperplasia endometrium ataupun karsinoma endometrium. Usia memiliki efek yang
signifikan untuk menindak lanjuti kelainan pada AGC pap smear. Pada studi
retrospektif pada 281 wanita dengan AGC papsmear, 90 wanita (32%) memiliki
kelainan signifikan yang membutuhkan intervensi. Pada pasien dengan usia < 50
tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki lesi non skuamosa sedangkan 19 pasien (15%)
yang berusia > 50 tahun memiliki lesi non skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan
AGC pap smear memiliki kemungkinan 13 kali lipat menderita kanker rahim
dibandingkan wanita yang berusia kurang dari 50 tahun (Prajnya, 2014).

3.3.5 Faktor Risiko

Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki


resiko tinggi (Prajnya, 2014):

1. Sekitar usia menopause


2. Didahului dengan terlambat haid atau amenorea
3. Obesitas ( konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan lemak )
4. Penderita Diabetes melitus
5. Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian progestin
pada kasus menopause
6. PCOS – polycystic ovarian syndrome

16
7. Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor

3.3.6 Diagnosis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan


oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan
postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometriumdan 10% ditemukan
karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding uterus secara tidak sengaja
dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia
endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460 wanita usia ≤ 40 tahun dengan
perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang mengalami
hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hiperplasia atipikal yang ditemukan pada
kelompok wanita ini. Walaupun begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki
faktor predisposisi seperti obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh,
biasanya dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36
wanita dengan PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar
menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium dan
tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang
telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan
uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki
resiko untuk terjadinya hiperplasia atau karsinoma.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hiperplasia


endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan
Histeroskopi dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara
mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns (Prajnya, 2014).

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan


ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding
kavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan histerosonografi
dengan memasukkan cairan kedalam uterus (Prajnya 2014).

Biopsi

17
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret.
Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus (Prajnya 2014).

Dilatasi dan Kuretase

Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus
(Prajnya 2014).

Histeroskopi

Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil


kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain
melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi (Prajnya, 2014).

3.3.7 Diagnosis Banding

Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat


dipikirkan kemungkinan (Prajnya, 2014):

1) Karsinoma endometrium
2) Abortus inkomplit
3) Leiomioma
4) Polip

3.3.8 Terapi

Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut
(Prajnya, 2014):

1) Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi


untuk menghentikan perdarahan.
2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di
dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa
terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan
pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim
sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia

18
endometrial tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan
atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari
untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat
20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40
mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk
pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3
bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk
mengevaluasi respon pengobatan.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid
kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan
diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih
dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi
endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan
sebagainya.

3) Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada
kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim.
Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka
dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.

3.3.9 Prognosis

Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi
dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.

Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien


dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga
mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien
dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5%
diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial (Prajnya, 2014).

3.3.10 Pencegahan

19
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti (Prajnya,
2014):

1) Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk
deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding
rahim.
2) Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi
apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak
kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3) Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4) Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi
terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5) Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.

20
3.4 Mioma Uteri

3.4.1 Definisi

Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel.
Mioma uteri terdiri dari sel-sel otot polos, tetapi juga jaringan ikat. Sel-sel ini
tersusun dalam bentuk gulungan, yang bila membesar akan menekan otot uterus
normal. Istilah ini dikenal pula dengan fibromioma, leiomioma atau fibroid
(Pangemanan, 2013).

3.4.2 Epidemiologi dan Etiopatogenesis

Etiologi pasti hingga saat ini belum diketahui. Stimulasi estrogen diduga sangat
berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hipotesis ini didukung oleh adanya mioma
uteri yang banyak ditemukan pada usia reproduksi dan rendah pada usia menopause
(Pangemanan, 2013). Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur
25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan
lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke,
sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh.
Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia
mioma uteri ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang
lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita
yang sering melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya
mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali
hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak
pernah hamil atau hanya hamil 1 kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan
riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara (Lurain, 2007). Perempuan nulipara
mempunyai risiko yang lebih tinggi akan terjadinya mioma uteri daripada perempuan
nulipara. Jaringan mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor estrogen daripada
miometrium normal. Terjadinya mioma uteri bergantung pada sel-sel otot imatur
yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya dirangsang terus menerus oleh
estrogen (Pangemanan, 2013).

Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan

21
dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai
abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tumor, di samping faktor predisposisi genetik, adalah estrogen,
progesteron dan human growth hormone (Amelinda, 2014).

1) Estrogen
Beberapa ahli dalam penelitiannya menemukan bahwa pada otot rahim yang
berubah menjadi mioma ditemukan reseptor estrogen yang lebih banyak daripada
otot rahim normal. Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen.
Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium.
Adanya hubungan dengan kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti
endometriosis (50%), perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis
(16,5%) dan hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. 17B
hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi
estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada jaringan miomatous,
yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak daripada
miometrium normal.

2) Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.

3) Hormon pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat pada periode
ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama
kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan Estrogen
(Amelinda 2014).

Beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma
uteri, yaitu :

1) Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan

22
gejala klinis antara 35-45 tahun.

2) Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi
sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri atau
sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini
saling mempengaruhi.

3) Faktor ras dan genetik


Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan
mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita
dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.

4) Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma,
dimana mioma uteri muncul setelah menarke, dan mengalami regresi setelah
menopause. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi
hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan
mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap
reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor
progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor yang
distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen
yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium
normal dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih
kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah
menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang
berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.

5) Indeks Massa Tubuh (IMT)


Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatease di jaringan lemak (Djuwantono, 2005). Hasilnya terjadi peningkatan
jumlah estrogen tubuh yang mampu meningkatkan prevalensi mioma uteri (Parker,
2007).

23
3.4.3 Klasifikasi

Menurut letaknya, mioma dapat dibagi:

1. Mioma submukosa, berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga


uterus. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium
menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Mioma jenis ini dapat bertangkai
panjang sehingga dapat keluar ostium serviks. Yang harus diperhatikan adalah
kemungkinan terjadinya torsi dan nekrosis sehingga resiko infeksi sangatlah tinggi
(Adriaansz, 2011).
2. Mioma intramural atau interstisiel adalah mioma yang terdapat di dinding uterus
di antara serabut miometrium (Pangemanan, 2013).
3. Mioma subserosa adalah mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan
dapat tumbuh ke arah luar dan juga bertangkai. Mioma subserosa dapat menjadi
parasit omentum atau usus untuk vaskularisasi tumbuhan bagi pertumbuhannya
(Adriaansz, 2010).

3.4.4 Gambaran Klinis

Mioma uteri sering kali asimtomatik, gejala hanya terjadi pada 35%-50%
penderita. Hampir sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat
kelaianan di dalam uterusnya, terutama penderita dengan obesitas. Gejala yang
timbul adalah perdarahan abnormal uterus dan nyeri. Perdarahan menjadi
manifestasi klinik utama pada mioma uteri dan hal ini terjadi pada 30% penderita.
Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi besi dan bila
berlangsung lama dan dalam jumlah besar maka sulit dikoreksi dengan suplementasi
zat besi. Tumor bertangkai sering kali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis
endometrium akibat taikan dan infeksi (vagina dan kavum uteri terhubung oleh
tangkai yang keluar dari ustium serviks). Dismenorea dapat disebabkan o;eh efek
tekanan, kompresi, termasuk hioksia lokal miometrium. Mioma tidak menyebabkan
nyeri dalam uterus kecuali apabila kemudian terjadi gangguan vaskular. Nyeri lebih
banyak terkait dengan proses degnerasi akibat oklusi pembuluh darah, infksi, torsi
tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma
subserosa dari kavum uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut
dengan terjadinya infark atau degenerasi yang mengiritasi selaput peritoneum.

24
Mioma yang besar dapat menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk
mengejan. Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan
persarafan yang berjalan diatas permukaan tulang pelvis. Ada kalanya mioma uteri
teraba seperti kepala janin, sehingga kehamilan tunggal disangka kehamilan kembar
atau mioma kecil disangka bagian kecil janin (Adriaansz, 2011).

3.4.5 Diagnosis

Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis
 Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
 Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air besar.
 Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.

- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan tumor tersebut


menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.

- Konsistensi padat, kenyal, mobile, permukaan tumor umumnya rata.

3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala yang terjadi
berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :

a. Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)


b. Perut terasa penuh dan membesar
c. Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Gejala lainnya adalah:

- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran kemih
menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis (pembesaran
ginjal)

- Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang mengakibatkan


konstipasi (sulit BAB) atau sumbatan usus

- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri hebat, luka,
dan infeksi Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan

25
tromboflebitis sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)

4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor dapat
terbatas atau bebas.

5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau
bebas.

6. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium.

Anemia

- USG, CT scan, MRI

Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan adnexa
dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI,
tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik
USG.

- Foto BNO/IVP

Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi
ginjal dan perjalanan ureter.

- Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai


dengan infertilitas.

- Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.

3.4.6 Penatalaksanaan

Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan mioma


uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor,
sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan
bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Bila kondisi pasien
sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi,
suplementasi zat esensial ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat
infeksi atau gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk
menyelamatkan pasien. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah

26
miomektomi atau histerektomi (Adriaansz, 2011).

Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan
operatif :

1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan
post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :

- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.

- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.

- Pemberian zat besi.

- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi
setiap minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan
menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan
keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause.
Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena
memberikan beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama
pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.

- Progestin dan antiprogestin dilaporkan mempunyai efek terapeutik. Kehadiran


tumor dapat ditekan atau diperlambat dengan pemberian progestin dan
levonorgestrol intrauterin

2. Operatif
Penanganan operatif, bila:

- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.

- Pertumbuhan tumor cepat.

- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.

- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.

- Hipermenorea pada mioma submukosa.

- Penekanan pada organ sekitarnya.

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. V usia 52 tahun datang ke Poli RSUD AW. Sjahranie Samarinda
pada hari Jumat, 03 Agustus 2018 pukul 14.00 wita dengan keluhan utama
perdarahan pervaginam. Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, berikut dibawah ini
uraian kesesuaian kasus dengan teori yang ada.

Teori Kasus
Anamesis :
Hyperplasia Endometrium - Wanita usia 52 tahun
- Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam - Suku Cina dayak ( ras putih)
jangka waktu lama (amenorrhoe) ataupun - Keluhan utama perdarahan
menstruasi terus-menerus dan banyak pervaginam
(metrorrhagia) - Ganti pembalut sekitar 9x/hari
- Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala - IMT pasien 27,29
yang paling sering muncul. - Riwayat penyakit dahulu : penyakit
- Risiko terjadinya kelainan ini meningkat pada ginekologi yaitu hiperplasia
wanita dengan obesitas, diabetes endometrium, Diabetes Mellitus
Mioma Uteri tidak ada.
- Insiden terjadi lebih banyak 3-9 kali pada ras - Riwayat penyakit keluarga tidak
kulit berwarna dari pada ras kulit putih. ada.
- Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39
– 11,7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat.
- Paling sering ditemukan pada wanita umur 35 –
45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada
wanita 20 tahun dan sekitar 10% pada wanita
berusia lebih dari 40 tahun.
- Wanita yang sering melahirkan akan lebih
sedikit kemungkinan untuk berkembangnya
mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak
pernah hamil atau hanya 1 kali hamil.
- Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat
keluarga, kegemukan dan nullipara.

Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Fisik :


Pada mioma uteri didapatkan - post operasi ditemukan bekas operasi

28
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen (+)
bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan -
bimanual didapatkan tumor tersebut menyatu dengan
rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobile, permukaan
tumor umumnya rata.
Pemeriksaan Penunjang : USG Abdomen
Hyperplasia Endometrium Hyperplasia Endometrium
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) 1,1-1,2cm dengan organ massa di
Pada wanita pasca menopause ketebalan uterus ukuran 4,3 x 3,2 cm kesan
endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi myoma uteri.
transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat
keadaan dinding kavum uteri secara lebih baik maka Pemeriksaan laboratorium darah
dapat dilakukan pemeriksaan histerosonografi - Hemoglobin : 13,0 g/dL
dengan memasukkan cairan kedalam uterus (Prajnya
2014).
Biopsi
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi yang dapat
dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan
mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan
diagnosa keganasan uterus (Prajnya 2014).
Dilatasi dan Kuretase
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan
diagnosa perdarahan uterus (Prajnya 2014).
Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan
peralatan teleskop kecil kedalam uterus untuk
melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini
selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan
tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi (Prajnya, 2014).

Mioma Uteri
- Pemeriksaan laboratorium. : Anemia
- USG, CT scan, MRI
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan
endometrium dan keadaan adnexa dalam rongga
pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan

29
ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih
mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG.
- Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di
rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan
perjalanan ureter.
- Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien
mioma submukosa disertai dengan infertilitas.
- Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada
pelvis.
Penatalaksanaan :
Hyperplasia Endometrium Histerektomi total dan salfingo-
- Tindakan kuretase selain untuk menegakkan ooforektomi bilateral
diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk
menghentikan perdarahan.
- Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk
menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh.
Mioma Uteri
-Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan
pengobatan bedah ataupun medikamentosa
terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak
menimbulkan gangguan atau keluhan.
Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil
pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara
penanganan konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara
periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75
mg IM pada hari 1-3 menstruasi setiap minggu
sebanyak tiga kali.
2. Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus
12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan

30
berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien ; Ny. V (52 th) yang datang ke
rumah sakit dengan keluhan utama perdarahan pervaginam. Perdarahan cukup
banyak dengan ganti pembalut 9 kali/hari. Pasien memiliki riwayat di kuretase
karena susp. Hyperplasia Endometrium dengan keluhan perdarahan yang sangat
banyak saat haid memakai lebih dari 7x ganti pembalut/hari sejak 4 tahun yang lalu.
Pemeriksaan USG abdomen mendapatkan hasil Hyperplasia Endometrium 1,1-1,2cm
dengan organ massa di uterus ukuran 4,3 x 3,2 cm kesan myoma uteri. Setelah
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
didapatkan diagnosis Hiperplasia Endometrium + Mioma Uteri. Tatalaksana pada
pasien ini yaitu Histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral. Secara umum
penegakkan diagnosis maupun penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat menurut
teori.

31
DAFTAR PUSTAKA

Adriaansz. 2011. Dalam: Ilmu Kandungan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawiroharjo.

Amelinda, M. Mioma Uteri. Universitas Kristen Krida Wacana RS Bethesda


Lempuyangi-Jogjakarta. Jogjakarta, 2014, 1-10.

Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta :


EGC. 2006.

Lurain, J. R. (2007). Uterine Cancer. In J. S. Berek, Berek & Novak's Gynecology


(14th Edition ed., pp. 1343-1403). Lippincott Williams & Wilkins.

Pangemanan. 2013. Dalam : Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawiroharjo.

Price S. A. dan Wilson L. M. 2006. Gangguan Reproduksi Wanita. Dalam :


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 1292-93

Prajitno RP. Endometriosis. Dalam: Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo; 2011: 314-16

Prajnya, P.N. Hiperplasia Endometrium. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


RSAU Dr. Esnawan Antariksa. Jakarta, 2014, 16-24

Suryawan ID, Sastrawinata U. Hubungan Kerapatan Reseptor Hormone Estrogen


pada Wanita Perimenopause Terhadap Kejadian Tipe Hiperplasia
Endometrium. Bandung: Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2007; 6 (2)

Wachidah Q, Salim IA, Adityono. Hubungan hiperplasia endometrium dengan


mioma uteri: studi kasus pada pasien ginekologi rsud prof. Dr. Margono
Soekardjo, Purwokerto. Purwokerto: Mandala of Health. 2011; 5 (3).

32

Anda mungkin juga menyukai