Anda di halaman 1dari 21

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Endometrium


Uterus adalah organ muskular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam
pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya
terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium dengan
ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun
oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya
sangat sensitif terhadap kerja hormon seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita
yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen
merangsang pertumbuhan dan progesteron mempertahankannya (Chandrasoma dan
Taylor, 2006).
Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis
endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis. Endometrium adalah lapisan terdalam
pada rahim dan tempatnya menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan
Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk menyalurkan zat
makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi)
menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan
badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi (Price dan
Wilson, 2006).
Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan
diri terhadap terjadinya kehamilan agar hasil konsepsi bisa tertanam. Pada suatu fase
dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti
memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang
menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah
menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada
fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim (Price dan Wilson,
2006).
3.2 Siklus Endometrium Normal
Endometrium normal menunjukkan perubahan siklik yang disebabkan oleh
perubahan terkait dalam produksi hormon ovarium. Pemeriksaan histologik
endometrium pada spesimen biopsi atau kuretase memungkinkan evaluasi fase siklus
endometrium. Bersama dengan riwayat menstruasi pasien, hal ini dapat memberikan
informasi penting mengenai kemungkinan penyebab perdarahan uterus abnormal
(Prajitno, 2011).
Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada
endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas ovarium.
Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni
a. Fase Menstruasi (Deskuamasi)
Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan endometrium dari
dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang mengalami disintergrasi dan
otolisis dengan stratum basale yang masih utuh disertai darah dari vena dan arteri
yang mengalami aglutinasi dan hemolisis serta sekret dari uterus, serviks dan
kalenjar-kalenjar vulva.
b. Fase Pasca Haid (Regenerasi)
Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi epitel
mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini membuat lapisan
endometrium setebal ± 0,5 mm.
c. Fase Intermenstrum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung selama ± 10
hari (hari ke 5-14 siklus haid)
1) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini terdapat
regenerasi kelenjar dari mulut kelenjar dengan epitel permukaan yang tipis. Bentuk
kelenjar khas fase proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.
2) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini merupakan bentuk
transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan yang berbentuk torak dan tinggi.
Kelenjar berlekuk-lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema. Tampak
banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus).
3) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari permukaan
kelenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti epitel kelenjar membentuk
pseudostratifikasi. Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.

d. Fase Pra Haid (Sekresi)


Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai hari ke
28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang berbeda adalah
bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk, panjang dan mengeluarkan
getah yang semakin nyata. Dalam endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur
yang kelak diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan
perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang
dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni
1. Fase sekresi dini
Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena kehilangan
cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan menjadi beberapa lapisan yakni
a. Stratum basale yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan
miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar
b. Stratum spongiosum yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini
disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit
stroma di antaranya
c. Stratum kompaktum yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar sempit,
lumennya berisi sekret dan stromanya edema.
2. Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini terdapat peningkatan
dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak mengandung pembuluh
darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat ideal untuk nutrisi
dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah. Sel stroma ini akan
berubah menjadi sel desidua jika terjadi pembuahan (Prajitno, 2011).

3.3 Hiperplasia Endometrium


3.3.1 Definisi
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan
stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium.
Bersifat noninvasif, yang memberikan gambaran morfologi berupa bentuk kelenjar
yang irreguler dengan ukuran yang bervariasi. Pertumbuhan ini dapat mengenai
sebagian maupun seluruh bagian endometrium (Wachidah, Salim, Adityono, 2011).
Hiperplasia endometrium juga didefinisikan sebagai lesi praganas yang
disebabkan oleh stimulasi estrogen yang tanpa lawan. Hal ini biasanya terjadi sekitar
atau setelah menopause dan terkait dengan perdarahan uterus berlebihan dan ireguler
(Chandrasoma dan Taylor, 2006). Menurut referensi lain, hiperplasia endometrium
adalah suatu masalah dimana terjadi penebalan/pertumbuhan berlebihan dari lapisan
dinding dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada saat menstruasi
(Wachidah, Salim dan Adityono, 2011).
Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan/stimulasi hormon
estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja dan beberapa
tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak berovulasi sehingga pada
masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron dan terjadilah hiperplasia.
Kejadian ini juga sering terjadi pada ovarium polikistik yang ditandai dengan
kurangnya kesuburan (sulit hamil) (Price dan Wilson, 2006).

3.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan revisi terbaru tahun 2014 klasifikasi hiperplasia endometrium
menurut WHO dibedakan menjadi dua kelompok didasarkan pada ada atau tidak
adanya sitologi atypia, yaitu hiperplasia tanpa atypia dan hiperplasia atipikal ;
kompleksitas arsitektur tidak lagi merupakan bagian dari klasifikasi. Diagnosis dari
EIN dalam klasifikasi WHO baru dianggap digantikan dengan hiperplasia atipikal.
Tujuan pembaruan klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan WHO 2014
menjadi dasar rekomendasi meskipun WHO Nomenklatur mengkategorikan
morfologi hiperplasia yang sederhana atau kompleks. Hiperplasia endometrium
terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi pada pemeriksaan patologi anatomi,
yakni :
1) Hiperplasia non-atipikal sederhana
Disebut sebagai hiperplasia kistik atau ringan. Terdapat proliferasi jinak dari
kalenjar endometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi disertai , tetapi
tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atau sel yang
atipik
2) Hiperplasia atipikal Kompleks (neoplasia intraepitelial endometrium)
Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium dengan tepi yang ireguler,
arsitektur yang kompleks dan sel yang tumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang
atipik. Terjadi peningkatan jumlah dan ukuran endometrium sehingga kelenjar
menjadi berdesak-desakan, membesar dan berbentuk irreguler. Bentuk irreguler ini
adalah manifestasi utama meninkatnya stratifikasi sel dan pembesaran nukleus serta
mungkin meperlihatkan kompleksitas epitel permukaan yang permukaannya menjadi
berlekuk-lekuk atau bertumpuk-tumpuk. Gambaran mitotik sering ditemukan, pada
bentuk yang paling parah, atipia sitologik dan arsitekturnya dapat sangat mirip
dengan adenokarsinoma, dan untuk membedakan hiperplasia atipikal dengan kanker
secara pasti harus dilakukan histerektomi.
3) Atipikal
Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan kehilangan
polaritasnya (Prajnya, 2014).

3.3.3 Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari onkogen
bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada
kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler, tetapi telah
dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara parsial
dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang menyebabkan sel bertahan lebih lama.
Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan
ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.
Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis pada
endometrium ya ng dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi siklus
menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium sedang
dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia
endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi
terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru
menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium. Peran dari gen
Fas/Fas L juga telah diteliti akhitakhir ini tentang kaitannya denga pembentukan
hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis factor
(TNF)/ Nerve Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan Fas L (Fas Ligand ) dan
menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan Fas L meningkat pada sampel
endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat
dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat terdapat progesteron
intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat. Studi diatas telah
memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang kemudian
berkembang secara klinis menjadi hiperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis
molekular terbentuknya hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya
stimulasi unopposed estrogene (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen
tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin
(feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan folikel
berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan (Suryawan dan
Sastrawinata, 2007).
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga
terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak
diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi
hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan
dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia
pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali
mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun
estrogen saja (Prajnya, 2014).
Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogene) akan
menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya
kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih (Prajnya, 2014).

3.3.4 Gejala Klinis


Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama
(amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia). Selain
itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah lelah
dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah penderita bisa
mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun
terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah (Prajnya, 2014).
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada
hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan
eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia endometrium dengan
perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya
muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian Syndrome
(PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi estrogen yaang tidak terlawan secara
sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat
peningkatan estrogen secara sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada
jaringan adiposa (pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan
estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi perifer dari
androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada cortex
adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium. Pada pasien
menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selalu datang dengan perdarahan
pervaginam. Meskipun karsinoma harus dipertimbangkan pada usia ini, atropi
endometrium merupakan penyebab yang sering dari perdarahan pada wanita
menopause. Dalam penelitian dengan 226 wanita dengan perdarahan post menopause,
7 % ditemukan dengan karsinoma, 56 % dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa
bentuk hiperplasia. Hiperplasia dan karsinoma secara khusus memiliki gejala
perdarahan pervaginam yang berat sedangkan pasien dengan atrofi biasanya hanya
muncul bercakbercak perdarahan. Pap Smear yang spesifik menemukan peningkatan
kemungkinan deteksi kelainan pada endometrium. Resiko dari karsinoma
endometrium pada wanita post menopause dengan perdarahan uterus abnormal
meningkat 3-4 lipat saat Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengandung sel
inflamasi akut yang difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu,
penemuan yang tidak sengaja dari histiosit pada wanita postmenopause tanpa gejala
tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium ataupun
karsinoma endometrium. Usia memiliki efek yang signifikan untuk menindak lanjuti
kelainan pada AGC pap smear. Pada studi retrospektif pada 281 wanita dengan AGC
papsmear, 90 wanita (32%) memiliki kelainan signifikan yang membutuhkan
intervensi. Pada pasien dengan usia < 50 tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki lesi
non skuamosa sedangkan 19 pasien (15%) yang berusia > 50 tahun memiliki lesi non
skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan AGC pap smear memiliki kemungkinan 13
kali lipat menderita kanker rahim dibandingkan wanita yang berusia kurang dari 50
tahun (Prajnya, 2014).

3.3.5 Faktor Risiko


Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki
resiko tinggi (Prajnya, 2014):
1. Sekitar usia menopause
2. Didahului dengan terlambat haid atau amenorea
3. Obesitas ( konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan lemak )
4. Penderita Diabetes melitus
5. Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian progestin
pada kasus menopause
6. PCOS – polycystic ovarian syndrome
7. Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor

3.3.6 Diagnosis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan
oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan
postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometriumdan 10% ditemukan
karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding uterus secara tidak sengaja
dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia
endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460 wanita usia ≤ 40 tahun dengan
perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang mengalami
hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hiperplasia atipikal yang ditemukan pada
kelompok wanita ini. Walaupun begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki
faktor predisposisi seperti obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh,
biasanya dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36
wanita dengan PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar
menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium dan
tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang
telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan
uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki
resiko untuk terjadinya hiperplasia atau karsinoma.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hiperplasia
endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan
Histeroskopi dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara
mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns (Prajnya, 2014).

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding
kavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan histerosonografi
dengan memasukkan cairan kedalam uterus (Prajnya 2014).
Biopsi
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi
yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret. Metode ini
juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus (Prajnya 2014).

Dilatasi dan Kuretase


Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus
(Prajnya 2014).

Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil
kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain
melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi (Prajnya, 2014).

3.3.7 Diagnosis Banding


Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat
dipikirkan kemungkinan (Prajnya, 2014):
1) Karsinoma endometrium
2) Abortus inkomplit
3) Leiomioma
4) Polip

3.3.8 Terapi
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut
(Prajnya, 2014):
1) Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi
untuk menghentikan perdarahan.
2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di
dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa
terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan
pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim
sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia
endometrial tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi.
Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14
hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40
mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40
mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk
pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3
bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk
mengevaluasi respon pengobatan.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid
kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan
diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih
dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi
endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya.
3) Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada
kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim.
Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka
dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.

3.3.9 Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi
dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien
dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami
karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan
hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang
juga memiliki karsinoma endometrial (Prajnya, 2014).

3.3.10 Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti (Prajnya,
2014):
1) Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk
deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding
rahim.
2) Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi
apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak
kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3) Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4) Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi
terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5) Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
3.4 Mioma Uteri
3.4.1 Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel.
Mioma uteri terdiri dari sel-sel otot polos, tetapi juga jaringan ikat. Sel-sel ini
tersusun dalam bentuk gulungan, yang bila membesar akan menekan otot uterus
normal. Istilah ini dikenal pula dengan fibromioma, leiomioma atau fibroid
(Pangemanan, 2013).

3.4.2 Epidemiologi dan Etiopatogenesis


Etiologi pasti hingga saat ini belum diketahui. Stimulasi estrogen diduga sangat
berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hipotesis ini didukung oleh adanya mioma
uteri yang banyak ditemukan pada usia reproduksi dan rendah pada usia menopause
(Pangemanan, 2013). Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur
25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih
banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan
setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan
insiden mioma uteri sekitar 20 – 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri
ditemukan pada 2,39 – 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor
ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 – 45 tahun (kurang lebih 25%) dan
jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering
melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini
dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik
menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau
hanya hamil 1 kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras,
kegemukan dan nullipara (Lurain, 2007). Perempuan nulipara mempunyai risiko yang
lebih tinggi akan terjadinya mioma uteri daripada perempuan nulipara. Jaringan
mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor estrogen daripada miometrium
normal. Terjadinya mioma uteri bergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat
pada cell nest yang selanjutnya dirangsang terus menerus oleh estrogen (Pangemanan,
2013).
Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan
dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai
abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tumor, di samping faktor predisposisi genetik, adalah estrogen,
progesteron dan human growth hormone (Amelinda, 2014).
1) Estrogen
Beberapa ahli dalam penelitiannya menemukan bahwa pada otot rahim yang
berubah menjadi mioma ditemukan reseptor estrogen yang lebih banyak daripada otot
rahim normal. Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen.
Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Adanya
hubungan dengan kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti endometriosis
(50%), perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan
hiperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan
anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. 17B hidroxydesidrogenase: enzim ini
mengubah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas
enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor
estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
2) Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat
pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B hidroxydesidrogenase
dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
3) Hormon pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat pada periode
ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama kehamilan
mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan Estrogen (Amelinda
2014).
Beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma
uteri, yaitu :
1) Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar
10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan
gejala klinis antara 35-45 tahun.
2) Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi
sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri atau
sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini
saling mempengaruhi.
3) Faktor ras dan genetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan
mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita
dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
4) Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma,
dimana mioma uteri muncul setelah menarke, dan mengalami regresi setelah
menopause. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi
hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan
mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap reseptor
dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor
progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor yang
distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen
yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium
normal dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih
kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah
menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang
berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.
5) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatease di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh
yang mampu meningkatkan prevalensi mioma uteri (Amelinda, 2014).

3.4.3 Klasifikasi
Menurut letaknya, mioma dapat dibagi:
1. Mioma submukosa, berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga
uterus. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium
menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Mioma jenis ini dapat bertangkai
panjang sehingga dapat keluar ostium serviks. Yang harus diperhatikan adalah
kemungkinan terjadinya torsi dan nekrosis sehingga resiko infeksi sangatlah tinggi
(Adriaansz, 2011).
2. Mioma intramural atau interstisiel adalah mioma yang terdapat di dinding uterus di
antara serabut miometrium (Pangemanan, 2013).
3. Mioma subserosa adalah mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan
dapat tumbuh ke arah luar dan juga bertangkai. Mioma subserosa dapat menjadi
parasit omentum atau usus untuk vaskularisasi tumbuhan bagi pertumbuhannya
(Adriaansz, 2010).

3.4.4 Gambaran Klinis


Mioma uteri sering kali asimtomatik, gejala hanya terjadi pada 35%-50%
penderita. Hampir sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat
kelaianan di dalam uterusnya, terutama penderita dengan obesitas. Gejala yang timbul
adalah perdarahan abnormal uterus dan nyeri. Perdarahan menjadi manifestasi klinik
utama pada mioma uteri dan hal ini terjadi pada 30% penderita. Bila terjadi secara
kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi besi dan bila berlangsung lama dan dalam
jumlah besar maka sulit dikoreksi dengan suplementasi zat besi. Tumor bertangkai
sering kali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat taikan dan
infeksi (vagina dan kavum uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ustium
serviks). Dismenorea dapat disebabkan o;eh efek tekanan, kompresi, termasuk
hioksia lokal miometrium. Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam uterus kecuali
apabila kemudian terjadi gangguan vaskular. Nyeri lebih banyak terkait dengan
proses degnerasi akibat oklusi pembuluh darah, infksi, torsi tangkai mioma atau
kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum
uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya infark
atau degenerasi yang mengiritasi selaput peritoneum. Mioma yang besar dapat
menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengejan. Nyeri pinggang
dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan persarafan yang berjalan diatas
permukaan tulang pelvis. Ada kalanya mioma uteri teraba seperti kepala janin,
sehingga kehamilan tunggal disangka kehamilan kembar atau mioma kecil disangka
bagian kecil janin (Adriaansz, 2011).

3.4.5 Diagnosis
Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
 Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
 Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air besar.
 Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan tumor tersebut
menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobile, permukaan tumor umumnya rata.
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala yang terjadi
berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :
a. Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)
b. Perut terasa penuh dan membesar
c. Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Gejala lainnya adalah:
- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran kemih
menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis (pembesaran
ginjal)
- Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang mengakibatkan
konstipasi (sulit BAB) atau sumbatan usus
- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri hebat, luka,
dan infeksi Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan
tromboflebitis sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)
4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor dapat
terbatas atau bebas.
5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau
bebas.
6. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium.
Anemia
- USG, CT scan, MRI
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan adnexa
dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI,
tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik
USG.
- Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi
ginjal dan perjalanan ureter.
- Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai
dengan infertilitas.
- Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.

3.4.6 Penatalaksanaan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan mioma
uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor,
sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan
bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Bila kondisi pasien sangat
buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi, suplementasi zat
esensial ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala
abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk menyelamatkan pasien.
Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau
histerektomi (Adriaansz, 2011).
Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan
operatif :
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan
post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi
setiap minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan
menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan
keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause.
Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena
memberikan beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama pembedahan,
dan dapat mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
- Progestin dan antiprogestin dilaporkan mempunyai efek terapeutik. Kehadiran
tumor dapat ditekan atau diperlambat dengan pemberian progestin dan levonorgestrol
intrauterin
2. Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adriaansz. 2011. Dalam: Ilmu Kandungan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawiroharjo.
Amelinda, M. Mioma Uteri. Universitas Kristen Krida Wacana RS Bethesda
Lempuyangi-Jogjakarta. Jogjakarta, 2014, 1-10.
Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2006.
Lurain, J. R. (2007). Uterine Cancer. In J. S. Berek, Berek & Novak's Gynecology
(14th Edition ed., pp. 1343-1403). Lippincott Williams & Wilkins.
Pangemanan. 2013. Dalam : Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.
Price S. A. dan Wilson L. M. 2006. Gangguan Reproduksi Wanita. Dalam :
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 1292-93
Prajitno RP. Endometriosis. Dalam: Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo; 2011: 314-16
Prajnya, P.N. Hiperplasia Endometrium. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
RSAU Dr. Esnawan Antariksa. Jakarta, 2014, 16-24
Suryawan ID, Sastrawinata U. Hubungan Kerapatan Reseptor Hormone Estrogen
pada Wanita Perimenopause Terhadap Kejadian Tipe Hiperplasia Endometrium.
Bandung: Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2007; 6 (2)
Wachidah Q, Salim IA, Adityono. Hubungan hiperplasia endometrium dengan mioma
uteri: studi kasus pada pasien ginekologi rsud prof. Dr. Margono Soekardjo,
Purwokerto. Purwokerto: Mandala of Health. 2011; 5 (3).

Anda mungkin juga menyukai