TINJAUAN PUSTAKA
3.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan revisi terbaru tahun 2014 klasifikasi hiperplasia endometrium
menurut WHO dibedakan menjadi dua kelompok didasarkan pada ada atau tidak
adanya sitologi atypia, yaitu hiperplasia tanpa atypia dan hiperplasia atipikal ;
kompleksitas arsitektur tidak lagi merupakan bagian dari klasifikasi. Diagnosis dari
EIN dalam klasifikasi WHO baru dianggap digantikan dengan hiperplasia atipikal.
Tujuan pembaruan klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan WHO 2014
menjadi dasar rekomendasi meskipun WHO Nomenklatur mengkategorikan
morfologi hiperplasia yang sederhana atau kompleks. Hiperplasia endometrium
terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi pada pemeriksaan patologi anatomi,
yakni :
1) Hiperplasia non-atipikal sederhana
Disebut sebagai hiperplasia kistik atau ringan. Terdapat proliferasi jinak dari
kalenjar endometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi disertai , tetapi
tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atau sel yang
atipik
2) Hiperplasia atipikal Kompleks (neoplasia intraepitelial endometrium)
Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium dengan tepi yang ireguler,
arsitektur yang kompleks dan sel yang tumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang
atipik. Terjadi peningkatan jumlah dan ukuran endometrium sehingga kelenjar
menjadi berdesak-desakan, membesar dan berbentuk irreguler. Bentuk irreguler ini
adalah manifestasi utama meninkatnya stratifikasi sel dan pembesaran nukleus serta
mungkin meperlihatkan kompleksitas epitel permukaan yang permukaannya menjadi
berlekuk-lekuk atau bertumpuk-tumpuk. Gambaran mitotik sering ditemukan, pada
bentuk yang paling parah, atipia sitologik dan arsitekturnya dapat sangat mirip
dengan adenokarsinoma, dan untuk membedakan hiperplasia atipikal dengan kanker
secara pasti harus dilakukan histerektomi.
3) Atipikal
Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan kehilangan
polaritasnya (Prajnya, 2014).
3.3.3 Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari onkogen
bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada
kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler, tetapi telah
dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara parsial
dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang menyebabkan sel bertahan lebih lama.
Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan
ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.
Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis pada
endometrium ya ng dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi siklus
menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium sedang
dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia
endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi
terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru
menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium. Peran dari gen
Fas/Fas L juga telah diteliti akhitakhir ini tentang kaitannya denga pembentukan
hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis factor
(TNF)/ Nerve Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan Fas L (Fas Ligand ) dan
menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan Fas L meningkat pada sampel
endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat
dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat terdapat progesteron
intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat. Studi diatas telah
memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang kemudian
berkembang secara klinis menjadi hiperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis
molekular terbentuknya hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya
stimulasi unopposed estrogene (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen
tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin
(feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan folikel
berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan (Suryawan dan
Sastrawinata, 2007).
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga
terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak
diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi
hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan
dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia
pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali
mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun
estrogen saja (Prajnya, 2014).
Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogene) akan
menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya
kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih (Prajnya, 2014).
3.3.6 Diagnosis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan
oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan
postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometriumdan 10% ditemukan
karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding uterus secara tidak sengaja
dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia
endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460 wanita usia ≤ 40 tahun dengan
perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang mengalami
hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hiperplasia atipikal yang ditemukan pada
kelompok wanita ini. Walaupun begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki
faktor predisposisi seperti obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh,
biasanya dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36
wanita dengan PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar
menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium dan
tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang
telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan
uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki
resiko untuk terjadinya hiperplasia atau karsinoma.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hiperplasia
endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan
Histeroskopi dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara
mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns (Prajnya, 2014).
Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil
kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain
melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk
pemeriksaan histopatologi (Prajnya, 2014).
3.3.8 Terapi
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut
(Prajnya, 2014):
1) Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi
untuk menghentikan perdarahan.
2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di
dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa
terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan
pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim
sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia
endometrial tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi.
Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14
hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40
mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40
mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk
pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3
bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk
mengevaluasi respon pengobatan.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid
kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan
diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih
dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi
endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya.
3) Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada
kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim.
Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka
dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.
3.3.9 Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi
dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien
dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami
karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan
hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang
juga memiliki karsinoma endometrial (Prajnya, 2014).
3.3.10 Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti (Prajnya,
2014):
1) Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk
deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding
rahim.
2) Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi
apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak
kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3) Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4) Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi
terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5) Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
3.4 Mioma Uteri
3.4.1 Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat
kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel.
Mioma uteri terdiri dari sel-sel otot polos, tetapi juga jaringan ikat. Sel-sel ini
tersusun dalam bentuk gulungan, yang bila membesar akan menekan otot uterus
normal. Istilah ini dikenal pula dengan fibromioma, leiomioma atau fibroid
(Pangemanan, 2013).
3.4.3 Klasifikasi
Menurut letaknya, mioma dapat dibagi:
1. Mioma submukosa, berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga
uterus. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium
menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Mioma jenis ini dapat bertangkai
panjang sehingga dapat keluar ostium serviks. Yang harus diperhatikan adalah
kemungkinan terjadinya torsi dan nekrosis sehingga resiko infeksi sangatlah tinggi
(Adriaansz, 2011).
2. Mioma intramural atau interstisiel adalah mioma yang terdapat di dinding uterus di
antara serabut miometrium (Pangemanan, 2013).
3. Mioma subserosa adalah mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan
dapat tumbuh ke arah luar dan juga bertangkai. Mioma subserosa dapat menjadi
parasit omentum atau usus untuk vaskularisasi tumbuhan bagi pertumbuhannya
(Adriaansz, 2010).
3.4.5 Diagnosis
Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama.
Kadang-kadang disertai gangguan haid, buang air kecil atau buang air besar.
Nyeri perut bila terinfeksi, terpuntir, pecah.
2. Pemeriksaan fisik
- Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
- Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan tumor tersebut
menyatu dengan rahim atau mengisi kavum Douglasi.
- Konsistensi padat, kenyal, mobile, permukaan tumor umumnya rata.
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya wanita dengan mioma tidak mengalami gejala. Gejala yang terjadi
berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma yaitu :
a. Menoragia (menstruasi dalam jumlah banyak)
b. Perut terasa penuh dan membesar
c. Nyeri panggul kronik (berkepanjangan)
Gejala lainnya adalah:
- Gejala gangguan berkemih akibat mioma yang besar dan menekan saluran kemih
menyebabkan gejala frekuensi (sering berkemih) dan hidronefrosis (pembesaran
ginjal)
- Penekanan rektosigmoid (bagian terbawah usus besar) yang mengakibatkan
konstipasi (sulit BAB) atau sumbatan usus
- Prolaps atau keluarnya mioma melalui leher rahim dengan gejala nyeri hebat, luka,
dan infeksi Bendungan pembuluh darah vena daerah tungkai serta kemungkinan
tromboflebitis sekunder karena penekanan pelvis (rongga panggul)
4. Pemeriksaan luar
Teraba massa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakan tumor dapat
terbatas atau bebas.
5. Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau
bebas.
6. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium.
Anemia
- USG, CT scan, MRI
Menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan adnexa
dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan CT scan ataupun MRI,
tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal dan tidak memvisualisasi uterus sebaik
USG.
- Foto BNO/IVP
Pemeriksaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi
ginjal dan perjalanan ureter.
- Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai
dengan infertilitas.
- Laparaskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
3.4.6 Penatalaksanaan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan mioma
uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor,
sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan
bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Bila kondisi pasien sangat
buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi, suplementasi zat
esensial ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala
abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk menyelamatkan pasien.
Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau
histerektomi (Adriaansz, 2011).
Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan
operatif :
1. Konservatif
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun
medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan
post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :
- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
- Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC.
- Pemberian zat besi.
- Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari 1-3 menstruasi
setiap minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan
menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan
keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause.
Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu.
Terapi agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena
memberikan beberapa keuntungan: mengurangi hilangnya darah selama pembedahan,
dan dapat mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
- Progestin dan antiprogestin dilaporkan mempunyai efek terapeutik. Kehadiran
tumor dapat ditekan atau diperlambat dengan pemberian progestin dan levonorgestrol
intrauterin
2. Operatif
Penanganan operatif, bila:
- Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
- Pertumbuhan tumor cepat.
- Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
- Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
- Hipermenorea pada mioma submukosa.
- Penekanan pada organ sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA