Oleh :
Albert Fernando Putra Jefry, S. Kep.
113063J120075
Preseptor Akademik :
Ns. Selly Kresna Dewi, S. Kep., M. Kep., Sp. Kep., Mat.
Preseptor Lahan :
Norma Ariatie, S. Kep., Ners.
Gambar 1.
Gambar 2. Sistem Reproduksi Terkena Penyakit Mioma Uteri ((Paulsen dan Waschke, 2013).
1
II. Fisiologi Uterus
Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8 cm,
lebar 5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus uteri, Fundus
uteri, Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda transisi antara corpus
dan cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang merupakan penghubung antara
corpus uteri dan ovarium disebut Tuba uterina. Terdapat dua ruang dalam uterus,
yaitu Cavitas uteri di dalam Corpus uteri dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri.
Dinding uterus terdiri dari 3 lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica
mukosa atau endometrium, kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica
muscularis atau miometrium, dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau
perimetrium (Paulsen dan Waschke, 2013).
Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina dan
Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut posisi
antefleksi. Hal ini mencegah adanya prolaps Uterus melalui Vagina selama
peningkatan tekanan intraabdominal saat batuk dan bersin (Paulsen dan Waschke,
2013). Otot polos uterus terdiri dari 2 sel penting, yaitu sel-sel otot polos dan sel
intersisial yang disebut telocyte. Sel-sel ini dapat ditemukan di organ lain seperti
jantung, trakea, placenta, pembuluh darah, dan lain-lain (Cretoiu, et al., 2013).
Perkembangan uterus dipengaruhi oleh hormon maternal dan plasental. Pada
saat lahir, besarnya Corpus uteri lebih kecil atau sama dengan besar Cervix uteri.
Saat dewasa, ukuran corpus uteri dua atau tiga kali lebih besar dari cervix. Uterus
divaskularisasi oleh 2 arteri uterina, cabang dari arteri illiaca interna yang masuk
mulai dari kedua sisi lateral bawah uterus. Target steroid seks ovarium adalah
endometrium. Seiring dengan pertumbuhan folikel, terjadi perubahan histologik
pada endometrium. Ada 2 lapisan pada endometrium, yaitu lapisan basalis atau
nonfungsional dan lapisan fungsional. Lapisan basalis menempel pada miometrium
dan tidak banyak berubah selama siklus menstruasi. Disebut nonfungsional karena
tidak memberikan respon terhadap stimulus steroid seks. Lapisan di atasnya adalah
lapisan fungsional yang memberikan respon terhadap stimulus sterois seks dan
nantinya akan terlepas pada saat menstruasi. Pada hari ke-7 pascaovulasi terjadi
2
peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang memicu sintesis prostaglandin
sehingga permeabilitas pembuluh darah kapiler meningkat dan terjadi edema
stroma. Dengan meningkatnya kadar estrogen, progesteron, dan prostaglandin,
menyebabkan proliferasi pembuluh darah spiralis yang berlangsung sampai hari 22.
Sel desidua mulai terbentuk pada hari 22-23 siklus (Noerpramana, 2011;
Samsulhadi, 2011). Jika terjadi fertilisasi, uterus mengalami perubahan yang
nantinya mempengaruhi fisiologi hampir seluruh sistem dalam tubuh seperti
pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Volume uterus bisa membesar hingga
1000 kali, dan beratnya lebih dari 20 kali pada masa kehamilan. Pertumbuhan
ukuran volume dan berat ini merupakan hasil dari hiperplasia dan hipertropi
(Maruyama, et al., 2012).
Regulasi aktivitas uterus selama masa kehamilan terbagi menjadi 4 fase :
a. Fase 0, yaitu masa dimana terjadi aktivitas inhibitor yang menyebabkan uterus
tidak berkontraksi. Inhibitor yang bekerja di antaranya progesteron, prostacyclin,
relaxin, parathyroid hormonerelated peptide Nitric Oxide, kalsitonin,
adrenomedullin, dan peptida intestinal vasoaktif.
b. Fase 1 atau masa aktivasi myometrium dimana uterus mulai aktif berkontraksi
karena pengaruh dari uterotropin seperti estrogen. Fase ini ditandai dengan
menigkatnya ekspresi dari serangkaian reseptor kontraksi seperti reseptor
oksitosin dan prostaglandin, aktivasi beberapa ion tertentu, dan peningkatan gap
junction. Adanya peningkatan gap junction adalah untuk pembentukan kontraksi
yang terkoordinasi.
c. Fase 2 atau fase stimulatorik, yaitu kelanjutan dari fase 1. Kontraksi secara ritmis
terjadi hingga menjelang partus. Hal ini diperantarai oleh agonis uterotonik
seperti prostaglandin dan oksitosin.
d. Fase 3 atau fase involusi. Pada fase ini terjadi involusi uterus setelah terjadi
partus. Mekanisme ini paling dipengaruhi oleh oksitosin (Safdar, et al., 2013).
III. Konsep Teori
2.1 Definisi
3
Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot polos dinding
uterus. Beberapa istilah untuk mioma uteri adalah fibromioma, miofibroma,
laiomioma, fibroleiomioma, atau uterin fibroid. Mioma merupakan tumor uterus
yang ditemukan pada 20-25% wanita diatas umur 35 tahun (Nurarif, Amin Huda
dan Hardhi Kusuma, 2015).
Mioma adalah penyakit yang berjenis tumor. Berbeda dengan penyakit
kanker, mioma tidak mempunyai kemampuan menyebar ke seluruh tubuh.
Konsistensinya padat dan sering mengalami degerasi dalam kehamilan dan sering
kali ditemui pada wanita berumur 35-45 tahun. Tumor ini mebutuhkan waktu 4-5
tahun dan untuk mencapai ukuran sebesar buah jeruk. Tumor ini sering pula
ditemukan pada wanita yang belum pernah melahirkan atau wanita yang sulit
hamil (inferentil) (Setiati, 2015).
Dari berbagai pengertian dapat disimpulkan bahwa mioma uteri adalah suatu
pertumbuhan jinak dari otot-otot polos, tumor jinak otot rahim, disertai jaringan
ikat, neoplasma yang berasal dari otot uterus yang merupakan jenis tumor uterus
yang paling sering, dapat bersifat tunggal, ganda, dapat mencapai ukuran besar,
biasanya mioma uteri banyak terdapat pada wanita usia reproduksi terutama pada
usia 35 tahun.
2.2 Etiologi
Walaupun mioma uteri ditemukan terjadi tanpa penyebab yang pasti, namun
dari hasil penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa mioma uteri terjadi
tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada “Cell Nest” yang selanjutnya
dapat dirangsang terus-menerus oleh hormone estrogen. Namun demikian, beberapa
factor yang dapat menjadi factor pendukung terjadinya mioma adalah : wanita usia
35-45 tahun, hamil pada usia muda, genetic, zat-zat karsinogensik, sedangkan yang
menjadi factor pencetus dari terjadinya mioma uteri adalah adanya sel yang imatur.
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifactorial. Dipercayai, bahwa mioma merupakan sebuah
tumor monoclonal yang dihasilkan dari mutasi somatic dari sebuah sel neoplastic
4
tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom, khususnya pada
kromosom lengan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor,
disamping factor predisposisi genetic, adalah estrogen, progesterone dan human
growth hormone.
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor
yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan
mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Adanya hubungan
dengan kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti endometriosis (50%),
perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan
hyperplasia endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan
dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. 17B
hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah estradiol (sebuah estrogen
kuat)menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada
jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih
banyak daripada myometrium normal.
b. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara, yaitu : mengaktifkan 17B
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
c. Hormon Pertumbuhan
Level hormone pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormone yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologic serupa yaitu HPL, terlihat pada
periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomyoma
selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL
dan Estrogen.
Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa factor yang
diduga kuat sebagai factor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :
a. Umur
5
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan
sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling
sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.
b. Paritas
Lebih sering terjadi pada nulipara atau pada wanita yang relative infertile,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas menyebabkan
mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertilitas,
atau apakah kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
c. Factor ras dan Genetik
Menurut Manuaba, pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit
hitam, angka kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari factor ras, kejadian
tumor ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga, ada yang menderita
mioma.
Belum diketahui secara pasti, tetapi asalnya disangka dari sel-sel otot
yang belum matang. Disangka bahwa estrogen mempunyai peranan
penting, tetapi dengan teori ini sukar diterangkan apa sebabnya pada
seorang wanita estrogen pada nuli para, factor keturunan juga berperan
mioma uteri terdiri dari otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti
konde diliputi pseudakapsul.
Menurut Mansjoer, perubahan sekunder pada mioma uteri sebagian
besar bersifat degenerative karena berkurangnya aliran darah ke mioma
uteri. Perubahan sekunder meliputi atrofi, degenerasi hialin, degenerasi
kistik, degenerasi membantu, marah, lemak.
6
Separuh penderita mioma uteri tidak memperlihatkan gejala.
Umumnya gejala yang temukan bergantung pada lokasi, ukuran, dan
perubahan pada mioma tersebut seperti :
7
mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi
karena kompresi massa tumor.
Mekanisme gangguan fungsi reproduksi dengan mioma uteri :
1. Gangguan transportasi gamet dan embrio
2. Pengurangan kemampuan bagi pertumbuhan uterus
3. Perubahan aliran darah vaskuler
4. Perubahan histologi endometrium
(Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma, 2015)
2.4 Patofisiologi
8
kasus mioma uteri setelah menopause. Estrogen estradiol yang poten akan
menginduksi produksi reseptor progesteron melalui reseptor estrogen alfa
(ER-α). Reseptor-reseptor progesteron ini merupakan komponen penting
dalam respons jaringan mioma terhadap progesteron yang disekresi oleh
ovarium. Oleh karenanya, baik progesteron dan reseptor progesteron sangat
diperlukan bagi terjadinya pertumbuhan tumor, peningkatan proliferasi sel,
serta bagi ketahanan dan peningkatan pembentukan matriks-matriks
ekstraseluler. Estrogen dan ER-α sendiri tidaklah cukup untuk pertumbuhan
mioma uteri tanpa adanya progesteron dan reseptor progesteron.
9
2.5 Pathway
Hb menurun
Penekanan organ
sekitar
Tak tertangani
dengan cepat
Resiko Syok
Pola eliminasi
terganggu Nyeri Akut
Retensi Urine 10
Konstipasi
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes laboratorium
Hitung darah lengkap dan apusan darah : leukositosis dapat disebabkan
oleh nekrosis akibat torsi atau degenerasi. Menurunnya kadar
hemoglobin dan hematocrit menunjukkan adanya kehilangan darah yang
kronik.
b. Tes kehamilan terhadap chorioetic gonadotropin
Sering membantu dalam evaluasi suatu pembesaran uterus yang simetrik
menyerupai kehamilan atau terdapat bersama-sama dengan kehamilan.
c. Ultrasonografi
Apabila keberadaan massa pelvis meragukan, sonografi dapat
membantu.
d. Pielogram intravena
Dapat membantu dalam evaluasi diagnostic.
e. Pap smear serviks
Selalu diindikasikan untuk menyingkap neoplasia serviks sebelum
histerektomi.
f. Histerosal pingogram
Dianjurkan bila klien menginginkan anak lagi dikemudian hari untuk
mengevaluasi distorsi rongga uterus dan kelangsungan tuba falopi.
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan yang dapat dilakukan ada dua macam, yaitu penanganan secara
konservatif dan penanganan secara operatif.
a. Penanganan konservatif sebagai berikut :
1) Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodic setiap 3-6 bulan
2) Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC
3) Pemberian zat besi
b. Penanganan operatif, bila :
11
1) Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu
2) Pertumbuhan tumor cepat
3) Mioma subserosa bertangkai dan torsi
4) Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya
5) Hipermenorea pada mioma submukosa
6) Penekanan pada organ sekitarnya
12
Masa pemulihan :
13
mioma kembali membesar setelah 6 bulan obat GnRH
dihentikan.
7. Bila uterus hanya sedikit membesar apalagi tidak ada keluhan,
tidak memerlukan pengobatan khusus.
14
dihubungkan dengan hormone estrogen, pada masa ini
dihasilkan dalam jumlah yang besar.
b. Jumlah kehamilan dan anak yang hidup mempengaruhi
psikologi klien dan keluarga terhadap hilangnya organ
kewanitaan.
15
4. Data Psikologi
Pengangkatan organ reproduksi dapat sangat berpengaruh
terhadap emosional klien dandiperlukan waktu untuk memulai
perubahan yang terjadi. Oragan reproduksi merupakan
komponen kewanitaan, wanita melihat fungsi menstruasi
sebagai lambing feminitas sehingga berhentinya menstruasi
biasanya dirasakan sebagai hilangnya perasaan kewanitaan.
Perasaaan seksualitas dalam arti hubungan seksual perlu
ditangani. Beberapa wanita merasa cemas bahwa hubungan
seksualitas terhalangi atau hilangan kepuasan. Pengetahuan
klien tentang dampak yang akan terjadi sangat perlu persiapan
psikologi klien.
1. Tes laboratorium
Hitung darah lengkap dan apusan darah : leukositosis dapat
disebabkan oleh nekrosis akibat torsi atau degenerasi.
Menurunnya kadar hemoglobin dan hematocrit menunjukkan
adanya kehilangan darah yang kronik.
2. Tes kehamilan terhadap chorioetic gonadotropin
Sering membantu dalam evaluasi suatu pembesaran uterus yang
simetrik menyerupai kehamilan atau terdapat bersama-sama
dengan kehamilan.
3. Ultrasonografi
Apabila keberadaan massa pelvis meragukan, sonografi dapat
membantu.
4. Pielogram intravena
Dapat membantu dalam evaluasi diagnostic.
5. Pap smear serviks
16
Selalu diindikasikan untuk menyingkap neoplasia serviks sebelum
histerektomi.
6. Histerosal pingogram
Dianjurkan bila klien menginginkan anak lagi dikemudian hari
untuk mengevaluasi distorsi rongga uterus dan kelangsungan tuba
falopi.
17
2. Diagnosa 2 : Resiko syok
a. Definisi
Beresiko terhadap ketidak cukupan aliran darah kejaringan
tubuh, yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang
mengancam jiwa.
b. Faktor-faktor resiko
1. Hipotensi
2. Hipovolemi
3. Hipoksemia
4. Hipoksia
5. Infeksi
6. Sepsis
7. Sindrom respons inflamasi sistemik
3. Diagnose 3 : Resiko infeksi
a. Definisi
Mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik.
b. Factor-faktor resiko
1. Penyakit kronis (DM,Obesitas)
2. Pengetahuan yang tidak cukup untung menghindari
pemanjangan pathogen
3. Pertahan tubuh primer yang tidak adekuat
4. Ketidak adekuatan pertahan sekunder
5. Vaksinasi tidak adekuat
6. Prosuder invasive
7. Malnutrisi
18
Pengosongan kandung kemih tidak komplit
b. Batasan karakteristik
1. Tidak ada haluaran urine
2. Distensi kandung kemih
3. Menetees
4. Dysuria
5. Sering berkemih
6. Inkontensia aliran berlebihan
7. Residu urine
8. Sensasi kandung kemih penuh
9. Berkemih sedikit
c. Factor yang berhubungan
1. Sumbatan
2. Tekanan ureter tinggi
3. Inhibisi arkus reflex
4. Sfingter kuat
5. Diagnosa 5: Konstipasi
a. Definisi
Penurunan pada frekuensi normal defakasi yang disertai oleh
kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap fases atau
penegeluaran fases yang kering, kerasa dan banyak.
b. Batasan karakteristik
1. Nyeri abdomen
2. Nyeri tekan abdomen dengan teraba retensi otot
3. Nyeri tekan abdomen tanpa teraba retensi otot
4. Anoraksia
5. Borbogrigmi
6. Darah merah pada feces
7. Penurunan frekuensi
8. Penurunan volume feses
19
c. Factor-faktor yang berhubungan
1. Fungsional
2. Psikologis
3. Farmakologis
4. Mekanis
5. Fisologis
20
rasa pengalaman serta tidak
nyaman nyeri pasien
mengganggu
setelah 4. Kontrol
nyeri lingkungan kenyaman
berkurang yang dapat
pasien pada
mempengaru
hi nyeri saat
seperti suhu
berkomunikasi
ruangan,
pencahayaan, 4. Membantu
kebisingan
mengurangi
5. Pilih dan
lakukan dan mencegah
penanganan
rasa nyeri yang
nyeri
(farmakologi, timbul
non
5. Membantu
farmakologi,
dan inter mereda kan
personal)
nyeri
6. Kaji tipe dan
sumber nyeri 6. Mengetahui
untuk
intervensi yang
menentukan
intervensi akan dilakukan
7. Ajarkan
selanjutnya
tentang
teknik non 7. Membantu
farmakologi
merileksasikan
8. Berikan
analgetik serta
untuk
meredakan
mengurangi
nyeri rasa nyeri
8. Mengurangi
rasa nyeri
21
sitemik batas yang warna kulit, keadaan umum
diharapkan suhu kulit,
dan resiko
2. Irama denyut
jantung jantung, HR, syok yang
dalam batas dan ritme,
akan dialami
yang nadi perifer,
diharapkan dan kapiler oleh pasien
3. Frekuensi refill
2. Mengetahui
nafas dalam 2. Monitor
batas yang tanda sistem
diharapkan inadekuat
pernapasan
4. Irama oksigenasi
pernapasan 3. Monitor suhu serta oksigen
dalam batas dan
yang keluar
yang pernapasan
diharapkan 4. Monitor dan masuk
5. Natrium input dan
3. Mengetahui
serum dbn output
6. Kalium 5. Lihat dan perubahan
serum dbn pelihara
sushu dan
7. Klorida kepatenan
serum dbn jalan napas pernapasan
8. Kalsium 6. Berikan
4. Mengetahui
serum dbn cairan iv dan
9. Magnesium atau oral jumlah output
serum dbn yang tepat
dan input
10. PH darah 7. Ajarkan
serum dbn keluarga dan 5. Mempertahan
pasien
kan ventilasi
tentang tanda
dan gejala demham baik
datangnya
6. Membantu
syok
8. Ajarkan pencegahan
keluarga dan
syok
pasien
tentang 7. Agar keluarga
langkah
mengetahui
untuk
mengatasi tanda dan
gejala syok
gejala syok
dan segera
melaporkan ke
22
petugas
8. Agar keluarga
lebih cepat dan
mampu
menangani
syok
3. Resiko infeksi NOC NIC
b.d faktor - Imunne Status
Infection Control :
resiko - Knowledge:
masuknya Infection control 1. Bersihkan 1. Mencegah
mikroorganis - Risk control dlingkungan
terjadinya
me keruang setelah
yang terbuka dipakai infeksi dari
Kriteria Hasil: pasien lain
lingkungan
1. Klien bebas 2. Batasi
dari tanda dan pengunjung pasien lainnya
gejala infeksi bila perlu
2. Mencegah
2. Mendeskripsik 3. Instruksikan
an proses pada terjadinya
penularan pengunjung
penularan
penyakit, untuk
faktor yang mencuci kuman
mempengaruhi tangan saat
3. Mencegah
penularan serta berkunjung
pelaksanaanny dan setelah terjadinya
a berkunjung
infeksi serta
3. Menunjukkan meninggalka
kemampuan n pasien kuman yang
untuk 4. Gunakan
ada di tangan
mencegah sabun
timbulnya antimikroba atau
infeksi untuk cuci
lingkunagn
4. Jumlah tangan
leukosit dalam 5. Cuci tangan pasien dari
batas normal setiap
pengunjung
5. Menunjukkan sebelum dan
perilaku hidup sesudah 4. Agar kuman
sehat tindakan
tidak
keperawatan
6. Gunakan berkembang
baju, sarung
biak
tangan
23
sebagai alat 5. Mencegah
pelindung
terjadinya
7. Pertahankan
lingkungan terinfeksi
aseptic
penularan dari
selama
pemasangan perawat atau
alat
tindakan yang
8. Gunakan
kateter dilakukan
intermiten
6. Agar
untuk
menurunkan terlindung dari
infeksi
cairan tubuh
kandung
kencing serta darah
dari pasien
untuk perawat
7. Agar
mencegah
terjadinya
infeksi
8. Mempermudah
serta
mencegah
kesulitan
pasien dalam
buang air kecil
4. Retensi urine NOC NOC
b.d penekanan - Urinary
Urinary retention
oleh masa elimination
jaringan - Urinary care 1. Mengetahui
neoplasma continence intake dan
1. Monitor
pada organ
intake dan output urine
sekitarnya Kriteria Hasil:
output
1. Kandung 2. Memantau
2. Monitor
kemih kosong penggunaan
penggunaan
secara penuh
obat obat secara
24
2. Tidak ada antikolionerg berkala
residu urin > ik 3. Mencegah
100-200 cc 3. Monitor
3. Bebas dari ISK derajat terjadinya
4. Tidak ada distensi infeksi
spasme bladder bladder 4. Mengetahui
5. Balance cairan 4. Instruksikan
seimban pada pasien jumlah urine
dan keluarga 5. Agar dapat
untuk
melakukan
mencatat
output urine eliminasi
5. Sediakan dengan baik
privacy untuk
eliminasi 6. Agar dapat
6. Stimulus melakukan
refleks bleder dengan
bladder
dengan baik dan
kompres nyaman
dingin pada
7. Membantu
abdomen
7. Kateterisasi pengeluaran
jika perlu urine
8. Monitor
tanda dan 8. Mengetahui
gejala ISK tanda dan gejala
ISK
5. Konstipasi b.d NOC NIC
penurunan - Bowel
Constipation/impac
frekuensi elimination
peristaltik - Hydration tion Management :
usus,
penekanan
pada rectum Kriteria Hasil: 1. Monitor 1. Mengetahui
1. Mempertah
tanda dan tnada dan
ankan
bentuk gejala gejala yang
feses lunak
konstipasi timbul
setiap 1-3
hari 2. Monitor 2. Mengetahui
2. Bebas dari
bising usus jumlah bising
ketidak
nyamanan 3. Monitor feses usus
25
dan : frekuensi, 3. Mengetahui
konstipasi
konsistensi jumlah serta
3. Mengidentif
ikasi dan volume jenis feses
indicator
4. Konsultasi pasien
untuk
mencegah dengan 4. Agar dokter
konstipasi
dokter dapat
4. Feses lunak
dan tentang menentukan
berbentuk
penurunan tindakan medis
dan yang akan
peningkatan dilakukan
bising usus apabila terjadi
5. Monitor peningkatan
tanda dan bising usus
gejala rupture 5. Mengetahui
usus/peritonit adanya rupture
is pada abdomen
6. Jelaskan atau usus
etiologi dan 6. Agar pasien
rasionalisasi tau tindakan
tindakan yang akan
terhadap dilakukan
pasien terhadap
7. Identifikasi pasien
factor 7. Mengidentifik
penyebab dan asi secara
kontribusi spesipik
konstipasi penyeba
8. Dukung konstipasi
intake cairan 8. Mencegah
terjadinya
26
kekurangan
dan kelebihan
volume cairan.
Daftar Pustaka
27
Aimee, et al. 2015. Association of Intrauterine and Early-Life Exposures with
Diagnosis of Uterine Leimyomata by 35 Years of Age in the Sister Study.
Environmental Health Perpectives. Volume 118. No 3 pages 375.
Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Kelima.
Yogyakarta: Moco Media
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Jakarta : EGC
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC Edisi revisi Jilid 3.
Jakarta : Mediaction.
28