MIOMA UTERI
Pembimbing :
Dr. Gunawan Budi Santoso, Sp.OG (K)
Disusun Oleh :
Frianto Ismail
BAB 1. PENDAHULUAN
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot polos
rahim. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari otot polos dan jaringan fibrosa.
Mioma uteri juga dikenal dengan sebutan fibromioma uteri, uterin fibroid, atau
leiomioma uteri.1, 11
Angka kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan usia
reproduktif, yaitu sekitar 20%-25% dengan faktor yang tidak diketahui secara pasti.
Kejadian lebih tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya kejadian mioma uteri antara usia
35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen. Insiden
mioma uteri 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras
kulit putih. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada
ras kulit berwarna.11 Sebuah penelitian di AS dari perempuan yang dipilih secara acak
usia 35-49 tahun, kejadian mioma uteri pada ras Arfika-Amerika sebanyak 60% pada
usia 35 tahun dan >80% pada usia 50 tahun. Pada ras kaukasia angka kejadian
menunjukkan 40% pada usia 35 tahun dan hampir 70% pada usia 50 tahun. Di
Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua pasien
ginekologi yang dirawat.8
Pasien dengan mioma uteri seringkali asimtomatik, namun gejala yang ungkin
ditimbulkan sangat bervariasi seperti metroragia, nyeri, menoragia, hingga fertilitas.
Penyulit yang ditimbulkan dari asimtomatik mioma uteri adalah seringkali
menyebabkan gejala yang ditimbulkan dari organ sekitarnya (tuba, ovarium, dan
usus) menjadi terabaikan. Masalah lain terkait dengan asimtomatik mioma uteri, yaitu
mengabaikan pemeriksaan lanjutan dari spesimen hasil enukleasi atau histerektomi,
sehingga miosarkoma menjadi tidak dikenali. Perdarahan hebat yang disebabkan oleh
mioma uteri merupakan indikasi utama Histerektomi di Amerika Serikat.11
pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli mengatakan bahwa mioma uteri diwariskan dari
gen sisi paternal. 7
Mioma biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil pada saat
menopause, sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi
seperti estrogen dan progesteron. Selain itu juga jarang ditemukan sebelum menarke.
Pengaruh estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau melalui
mediator, masih menimbulkan silang pendapat. Telah ditemukan banyak sekali
mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin growth factor1, (IGF-1), connexin-43-Gapjunction protein, dan marker proliferasi.7
Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan
penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas
romosom non random. Abnormalitas ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup sitogenik
yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12 dan 14, trisomi 12, penyusunan
kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang kromosom 10, dan delesi
kromosom 3 dan 7. Penting untuk diketahui mayoritas mioma uteri memiliki
kromosom yang normal.5
2.4.1. Pengaruh Hormonal
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor
yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteriakan
mengecil pada saat menopause dan pada pengangkatan ovarium. Mioma uteri
banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan
sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor
estrogen di miometrium normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat
ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan
selama kehamilan.
b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium. Pada mioma reseptor ditemukan
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis
natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan dua
cara yaitu: Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah
reseptor estrogen pada mioma.
c. Hormon Pertumbuhan
pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko mioma karena
pada kehamilan hormon progesteron lebih dominan.9
2.5 KLASIFIKASI
2.5.1 Klasifikasi
Mioma di uterus dapat berasal dari servik uteri (1-3%) dan selebihnya adalah
dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya,
maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain:
a. Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini
dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun dengan ukuran besar mungkin
belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa meski
berukuran kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan tindakan kuretase,
ditemukan benjolan (currete bump) dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat
diketahui posisi tangkai tumor. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama
pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis
mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga
rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan,
yang mudah mengalami torsi, nekrosis, infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa
kasus penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses tersebut.
b. Mioma Intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan
tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka
uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang
padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya
akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat
menimbulkan keluhan miksi.
c. Mioma Subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan
uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
d. Mioma Intraligamenter
10
11
12
urine,
apabila
berlangsung
kronis
dapat
menyebabkan
13
infertilitas. Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau
menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa dapat memudahkan
terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Perubahan bentuk kavum uteri
karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan
implasntasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan
histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor. Apabila
penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab
infertilitas
tersebut,
maka
merupakan
suatu
indikasi
untuk
dilakukan
miomektomi.13
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding mioma subserosum yang perlu dipikirkan adalah tumor
abdomen di bagian bawah atau panggul dan kehamilan; mioma submukosum yang
dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma intramural harus dibedakan
dengan suatu adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau suatu
sarkoma uteri.11
2.8 DIAGNOSIS
2.8.1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan antara lain:
a. Faktor-faktor risiko terjadinya mioma uteri, seperti:
1) Umur, kebanyakan wanita mulai didiagnosis mioma uteri pada usia diatas 40
tahun.
2) Menarche dini (<10 tahun) meningkatkan resiko kejadian mioma 1,24 kali.
3) Ras, dari hasil penelitian didapatkan bahwa wanita keturunan Afrika- Amerika
memiliki resiko 2,9 kali lebih besar untuk menderita mioma uteri dibandingkan
dengan wanita Caucasian.
4) Riwayat keluarga, jika memiliki riwayat keturunan yang menderita mioma uteri,
akan meningkatkan resiko 2,5 kali lebih besar.
5) Kehamilan, semakin besar jumlah paritas, maka akan menurunkan angka
kejadian mioma uteri.
14
15
3) Gejala dan tanda penekanan (Pressure Effects) yang tergantung pada besar dan
tempat mioma uteri. Gejala yang timbul dapat berupa poliuri, retention urine,
obstipasi serta edema tungkai dan nyeri panggul.
4) Pada penderita dengan uterus fibroid tidak dapat dipastikan apakah akan
mempengaruhi tingkat kesuburan atau tidak. Fibroid hanya akan mempengaruhi
fertilitas hanya berkisar 2-3% kasus. Seberapa besar pengaruh fibroid terhadap
kehamilan atau kejadian abortus tergantung dari luasnya fibroid yang
menyebabkab distorsi dinding uterus. Dengan adanya fibroid akan mencegah
proses implantasi pada dinding uterus.14
16
17
tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi
sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma.4
2.9 TATALAKSANA
Sebanyak 55% dari semua kasus mioma uteri tidak membutuhkan suatu
pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak
menimbulakan gangguan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pemantauan
setiap 3-6 bulan. Tatalaksana mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas,
kehamilan, konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, gejala yang ditimbulkan,
lokasi, dan ukuran tumor. Bila kondisi pasien sangat buruk perlu dilakukan perbaikan
nutrisi, suplementasi zat esensial, maupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat
akibat infeksi atau gejala abdomen akut, perlu disiapkan tindakan bedah cito untuk
menyelamatkan pasien.11
2.9.1 Terapi Hormonal
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki gejala klinis mioma uteri. Tujuan
pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan jalan mengurangi
produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan
tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan
memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal yang lainnya seperti
kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala pendarahan tetapi
tidak mengurangi ukuran mioma uteri.6
2.9.2 Terapi Pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of
obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive
Medicine (ASRM) adalah:
a. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
b. Sangkaan adanya keganasan.
c. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
d. Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi tuba.
18
miomektomi
secara
histeroskopi
dilakukan
terhadap
mioma
submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi
namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit,
dan perdarahan.
Miomamektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara
laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga
dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada
pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus,
19
20
21
BAB. 3 KESIMPULAN
Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos yang
ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari sel- sel
jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Penyebab mioma uteri
dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu hormonal, genetik, dan faktor lingkungan
sosial seperti usia, paritas, gizi, dan kehamilan. Adanya mioma uteri tidak
menimbulkan gejala yang spesifik karena gejala muncul berdasarkan letak, ukuran,
dan kecepatan tumbuh dari massa miom. Gejala yang umum adalah adanya
perdarahan uterus abnormal yang dapat menimbulkan anemia. Diantara terapi
hormonal dan terapi pembedahan, terapi mioma uteri yang terbaik adalah
pembedahan, yakni melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan terapi
histerektomi,
prosedur
histerektomi
laparoskopi
memiliki
kelebihan
DAFTAR PUSTAKA
1. A, Sylvia dan M, Lorraine S. 2006. Gangguan Sistem Reproduksi.
Pathophysiology: Clinical Concepts od Disease Processes Ed.6. Jakarta: EGC.
2. Djuwantono,
T.
2004.
Terapi
GnRH
22
Agonis
Sebelum
Histerektomi.
3. E, Serdar. 2013. Uterine Fibroids. The New England Jaournal of Medicine. 13441355.
4. Goodwin, S dan Spies, T. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697.
5. Gross, K dan Morton, C. 2001. Genetic and Development of Fibroid. 44: 355- 349.
6. Hadibroto, Budi. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.38 (3):
254-259.
7. Hart, MD dan McKay, D. 2000. Fibroids in Gynecology Ilustrated. London:
Churchill Livingstone.
8. Joedosapoetro, M. 2005. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
9. ManuabaB.G.2003.PenuntunKepaniteraanKlinikObstetricdanGinekologi
Edisi
23