Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dismenore merupakan suatu gejala rasa sakit atau rasa tidak enak diperut
bagian bawah pada masa menstruasi sampai dapat menggangu aktifitas sehari-hari
yang paling sering ditemui pada wanita muda dan reproduktif (Winknjosastro,
2007)
Sebanyak 90% dari remaja wanita di seluruh dunia mengalami masalah saat
haid dan lebih dari 50% dari wanita haid mengalami dismenore primer dengan 10-
20% dari mereka mengalami gejala yang cukup parah (barkley, 2013).
Menurut Journal Pediomaternal tahun 2013, di Africa 85,4% remaja putri
mengalami dismenore primer. Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Gagua et al (2012) di Jerman, bahwa 52,07% remaja putri mengalami
dismenore primer. Di Indonesia angka kejadian dismenore terdiri dari 54,89%
dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder. Sedangkan di daerah Jakarta
terdapat 83,5% yang mengalami dismenore. Biasanya gejala dismenore primer
terjadi pada wanita usia produktif 3 sampai 5 tahun setelah mengalami haid
pertama dan wanita yang belum pernah hamil (Calis AK,2011)
Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita kaum
perempuan.Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun
data pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian
diIndonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik,
tapidari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-69,5% pada
kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk
sekarang,maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis
padawanita usia produktif. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai
penyakityang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini (Widhi,
2007).
Penyebab endometriosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik,gangguan
sistem kekebalan yang memungkinkan sel endometrium melekat dan berkembang,
serta pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Sumber lain menyebutkan bahwa
pestisida dalam makanan dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon. Faktor-
2

faktor lingkungan seperti pemakaian wadah plastik, microwave, dan alatmemasak


dengan jenis tertentu dapat menjadi penyebab endometriosis (Wood,2008).
Penyakit endometriosis umumnya muncul pada usia reproduktif. Angka
kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya dan lebih dari50%
terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung pada
letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya nyeri
pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri
kronis hebat pada saat haid (dismenore), dan hanya 38% yang muncul akibat
keluhaninfertil (mandul).
Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa menopause dan
bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien histerektomi (pengangkatan
rahim). Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada orang yang
mempunyai riwayat endometriosis dalam keluarganya (Widhi, 2007).
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Menstruasi


2.1.1 Pengertian
Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari
setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus (Bobak,
2004). Suzannec (2001), mendeskripsikan siklus menstruasi adalah proses kompleks
yang mencakup reproduktif dan endokrin. Menurut Bobak (2004), Siklus menstruasi
merupakan rangkaian peristiwa yang secara kompleks saling mempengaruhi dan terjadi
secara simultan.
2.1.2 Fisiologis Siklus Menstruasi
Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus,
hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran pada
saluran reproduksi normal, ovarium memainkan peranan penting dalam proses ini,
karena tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik
maupun lama siklus menstruasi (Bobak, 2004).
Ovarium menghasilkan hormon steroid, terutama estrogen dan progesteron.
Beberapa estrogen yang berbeda dihasilkan oleh folikel ovarium, yang mengandung
ovum yang sedang berkembang dan oleh sel-sel yang mengelilinginya. Estrogen
ovarium yang paling berpengaruh adalah estradiol. Estrogen bertanggung jawab
terhadap perkembangan dan pemeliharaan organ-organ reproduktif wanita dan
karakteristik seksual sekunder yang berkaitan dengan wanita dewasa. Estrogen
memainkan peranan penting dalam perkembangan payudara dan dalam perubahan
siklus bulanan dalam uterus. Progesteronjuga penting dalam mengatur perubahan yang
terjadi dalam uterus selama siklus menstruasi. Progesteron merupakan hormon yang
paling penting untuk menyiapkan endometrium yang merupakan membran mukosa
yang melapisi uterus untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Jika terjadi kehamilan
sekresi progesteron berperan penting terhadap plasenta dan untuk mempertahankan
kehamilan yang normal. Sedangkan endrogen juga dihasilkan oleh ovarium, tetapi
hanya dalam jumlah kecil. Hormon endrogen terlibat dalam perkembangan dini folikel
dan juga mempengaruhi libido wanita (Suzannec, 2001).
Menstruasi disertai ovulasi terjadi selang beberapa bulan sampai 2-3 tahun
setelah menarche yang berlangsung sekitar umur 17-18 tahun. Dengan memperhatikan
4

komponen yang mengatur menstruasi dapat dikemungkakan bahwa setiap


penyimpangan system akan terjadi penyimpangan pada patrum umun menstruasi. Pada
umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama 7 hari. Lama
perdarahannya sekitas 3-5 hari dengan jumlah darah yang hilang sekitar 30-40 cc.
Puncak pendarahannya hari ke-2 atau 3 hal ini dapat dilihat dari jumlah pemakaian
pembalut sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari (Manuaba dkk,
2006).
Bagian-bagian Siklus Menstruasi Menurut Bobak (2004), ada beberapa rangkaian dari
siklus menstruasi, yaitu:
2.1.3 Siklus Endomentrium
Siklus endometrium menurut Bobak (2004), terdiri dari empat fase, yaitu :
2.1.3.1 Fase menstruasi
Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai
pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini
berlangsung selama lima hari (rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi
kadar estrogen, progesteron,LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar
terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru
mulai meningkat.
2.1.3.2 Fase proliferasi
Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang
berlangsung sejak sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid, misalnya
hari ke-10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari.
Permukaan endometriumsecara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau
menjelang perdarahan berhenti. Dalam fase ini endo metrium tumbuh menjadi
setebal 3,5 mm atau sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir
saat ovulasi. Fase proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal
dari folikel ovarium.
2.1.3.3 Fase sekresi/luteal
Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari
sebelum periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium
sekretorius yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru
yang tebal dan halus. Endo metrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi
kelenjar.
5

2.1.3.4 Fase iskemi/premenstrual


Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10
hari setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus
luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring
penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi
spasme, sehingga suplai darah ke endo metrium fungsional terhenti dan terjadi
nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan
menstruasi dimulai.
2.1.3.5 Siklus Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon).
Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel. Folikel
primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum ovulasi,
satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah pengaruh FSH
dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang
terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel
yang kosong memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum
mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi
baik hormon estrogen maupun progesteron. Apabila tidak terjadi implantasi,
korpus luteum berkurang dan kadar hormon menurun. Sehingga lapisan
fungsional endometrium tidak dapat bertahan dan akhirnya luruh.
2.1.3.6 Siklus Hipofisis-hipotalamus
2.1.3.7 Menjelang akhir siklus menstruasi yang normal, kadar estrogen dan
progesteron darah menurun. Kadar hormon ovariumyang rendah dalam darah ini
menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi gonadotropin realising hormone
(Gn-RH). Sebaliknya, Gn-RH menstimulasi sekresi folikel stimulating hormone
(FSH). FSH menstimulasi perkembangan folikel de graaf ovarium dan produksi
estrogennya. Kadar estrogen mulai menurun dan Gn-RH hipotalamus memicu
hipofisis anterior untuk mengeluarkan lutenizing hormone (LH). LH mencapai
puncak pada sekitar hari ke-13 atau ke-14 dari siklus 28 hari. Apabila tidak
terjadi fertilisasi dan implantasi ovum pada masa ini, korpus luteum menyusut,
oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron menurun, maka terjadi
menstruasi.
6

gambar 2.1 siklus menstruasi (Bobak,2004)

Faktor-faktor yang Berperan dalam Siklus Menstruasi Menurut Prawirohardjo (2002),


ada beberapa faktoryang memegang peranan dalam siklus menstruasi antara lain
2.1.3.8 Faktor enzim
Dalam fase proliferasi estrogen mempengaruhi tersimpannya enzim enzim
hidrolitik dalam endometrium, serta merangsang pembentukan glikogen dan asam-
asam mukopolisakarida. Zat-zat yang terakhir ini ikut berperan dalam pembangunan
endometrium, khususnya dengan pembentukan stroma di bagian bawahnya. Pada
pertengahan fase luteal sintesis mukopolisakarida terhenti, yang berakibat
mempertinggi permeabilitas pembuluh-pembuluh darah yang sudah berkembang sejak
permulaan fase proliferasi. Dengan demikian lebih banyak zat-zat makanan mengalir ke
stroma endometrium sebagai persiapan untuk implantasi ovum apabila terjadi
kehamilan. Jika kehamilan tidak terjadi, maka dengan menurunnya kadar progesterone,
enzim-enzim hidrolitik dilepaskan, karena itu timbul gangguan dalam metabolisme
endometrium yang mengakibatkan regresi endomentrium dan perdarahan.
2.1.3.9 Faktor vaskuler
Mulai fase proliferasi terjadi pembentukan sistem vaskularisasi dalam
lapisan fungsional endometrium. Pada pertumbuha n endometrium ikut tumbuh
pula arteri-arteri, vena-vena. Dengan regresi endo metrium timbul statis dalam
vena serta saluran-saluran yang menghubungkannya dengan arteri, dan akhirnya
terjadi nekrosis dan perdarahan dengan pembentukan hematom baik dari arteri
maupun dari vena.
7

2.1.3.10 Faktor prostaglandin


Endometrium mengandung banyak prostaglandin E2 dan F2. dengan
desintegrasi endometrium, prostaglandin terlepas dan menyebabkan
berkontraksinya miometrium sebagai suatu faktor untuk membatasi perdarahan
pada haid.
2.2 Dysmenorrhea
2.2.1 Pengertian
Dismenore adalah nyeri saat haid, dengan rasa kram dan terpusat di abdomen
bawah. Keluhan nyeri haid bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Nyeri haid
adalah nyeri haid berat sampai menyebabkan perempuan atau penderita datang berobat
ke dokter atau mengobati dirinya sendiri dengan obat anti nyeri (Sarwono 2011).

Dismenore adalah nyeri kram (tegang) daerah perut mulai terjadi pada 24 jam
sebelum terjadinya perdarahan haid dan dapat bertahan selama 24-36 jam meskipun
beratnya hanya berlangsung selama 24 jam pertama. Kram terutama dirasakan di
daerah perut bagian bawah tetapi dapat menjalar ke punggung atau permukaan dalam
paha, yang terkadang menyebabkan penderita tidak berdaya dalam menahan nyeri
(Hendrik, 2006).

Suzannec (2001) mendeskripsikan dysmenorrhea sebagai nyeri saat menstruasi


pada perut bagian bawah yang terasa seperti kram. Menurut Manuaba dkk (2006)
dysmenorrhea adalah rasa sakit yang menyertai menstruasi sehingga dapat
menimbulkan gangguan pekerjaan sehari-hari. Dysmenorrheamerupakan menstruasi
yang sangat menyakitkan, terutama terjadi pada perut bagian bawah dan punggung
bawah yang terasa seperti kram (Varney, 2004).

2.2.2 Patofisiologis Dysmenorrhea


Dysmenorrhea terjadi pada saat fase pramenstruasi (sekresi). Pada fase ini
terjadi peningkatan hormon prolaktin dan hormon estrogen. Sesuai dengan sifatnya,
prolaktin dapat meningkatkan kontraksi uterus. Hormon yang juga terlibat dalam
dysmenorrhea adalah hormon prostaglandin. Prostaglandin sangat terkait dengan
infertilitas pada wanita, dysmenorrhea , hipertensi, preeklamsi-eklamsi, dan anafilaktik
syok. Pada fase menstruasi prostaglandin meningkatkan respon miometrial yang
menstimulasi hormon oksitosin. Dan hormon oksitosin ini juga mempunyai sifat
8

meningkatkan kontraksi uterus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa


dysmenorrheasebagian besar akibat kontraksi uterus (Manuaba , 2006).
Patofisiologi dismenore menurut Prabowo,2005 dismenore primer adalah rasa
nyeri yang terjadi selama masa menstruasi dan selalu berhubungan dengan siklus
ovulasi. Hal ini disebabkan oleh kontraksi dari miometrium yang diinduksi oleh
prostaglandin tanpa adanya kelainan patologis pelvis. Pada remaja dengan dismenore
primer akan dijumpai peningkatan produksi prostaglandin oleh endometrium. Pelepasan
prostaglandin terbanyak selama menstruasi didapati pada 48 jam pertama dan
berhubungan dengan gejala yang terjadi. Beberapa faktor resiko yang berhubungan
dengan beratnya gejala dismenore adalah usia lebih muda saat terjadinya menarche
periode menstruasi yang lebih lama, banyaknya darah yang keluar selama menstruasi,
perokok, riwayat keluarga dengan dismenore. Obesitas dan penggunaan alkohol juga
dihubungkan dengan terjadinya dismenore primer. Prostaglandin F2-alfa (PGF2- alfa)
adalah perantara yang berperan dalam terjadinya dismenore primer. Prostaglandin ini
merupakan stimulan kontraksi miometrium yang kuat serta efek vasokonstriksi
pembuluh darah. Peningkatan PGF2-alfa dalam endometrium diikuti dengan penurunan
progesteron pada fase luteal membuat membran lisosomal menjadi tidak stabil sehingga
melepaskan enzim lisosomal. Pelepasan enzim ini menyebabkan pelepasan enzim
pospolipase A2 yang berperan pada konversi fosfolipid menjadi asam arakidonat.
Selanjutnya menjadi PGF2 alfa dan prostaglandin E2 (PGE2) melalui siklus
endoperoxidase dengan perantara prostaglandin G2 (PGG2) dan prostaglandin H2
(PGH2). Peningkatan kadar prostaglandin ini mengakibatkan peningkatan tonus
miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan sehingga menyebabkan nyeri pada
saat menstruasi.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Dysmenorrhea Menurut Prawirohardjo (2002), ada beberapa faktor diduga
berperan dalam timbulnya dysmenorrhea yaitu:
2.2.4 Faktor psikis
Pada wanita yang secara emosional tidak stabil, dysmenorrhea primer mudah
terjadi. Kondisi tubuh erat kaitannya dengan faktor psikis, faktor ini dapat menurunkan
ketahanan terhadap rasa nyeri. Seringkali segera setelah perkawinan Dysmenorrhea
hilang, dan jarang sekali dysmenorrhea menetap setelah melahirkan. Mungkin kedua
keadaan tersebut (perkawinan dan melahirkan) membawa perubahan fisiologis pada
9

genitalia maupun perubahan psikis. Disamping itu, psikoterapi terkadang mampu


menghilangkan dysmenorrhea primer.
2.2.5 Vasopresin
Kadar vasopresin pada wanita dengan dysmenorrhea primer sangat tinggi
dibandingkan dengan wanita tanpa dysmenorrhea. Pemberian vasopresin pada saat
menstruasi menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, menurunnya aliran darah
pada uterus, dan menimbulkan nyeri. Namun, peranan pasti vasopresin dalam
mekanisme terjadinya dysmenorrhea masih belum jelas.
2.2.6 Prostaglandin
Penelitian pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa prostaglandin
memegang peranan penting dalam terjadinya dysmenorrhea. Prostaglandin yang
berperan di sini yaitu prostaglandin E2 (PGE2) dan F2 (PGF2). Pelepasan
prostaglandin di induksi oleh adanya lisis endometrium dan rusaknya membran sel
akibat pelepasan lisosim. Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan
serabut-serabut saraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar
prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intrauterus
hingga 400 mmHg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Selanjutnya,
kontraksi miometrium yang disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran
darah, sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya
nyeri spasmodik. Jika prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam
peredaran darah, maka selain dysmenorrhea timbul pula diare, mual, dan muntah.
2.2.7 Faktor hormonal
Umumnya kejang atau kram yang terjadi pada dysmenorrhea primer dianggap
terjadi akibat kontraksi uterus yang berlebihan. Tetapi teori ini tidak menerangkan
mengapa dysmenorrhea tidak terjadi pada perdarahan disfungsi anovulatoar, yang
biasanya disertai tingginya kadar estrogen tanpa adanya progesteron. Kadar progesteron
yang rendah menyebabkan terbentuknya PGF2 dalam jumlah banyak. Kadar
progesteron yang rendah akibat regresi korpus luteum menyebabkan terganggunya
stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase-A2
yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis prostaglandin melalui perubahan
fosfolipid menjadi asam archidonat. Peningkatan prostaglandin pada endometrium yang
mengikuti turunnya kadar progesteron pada fase luteal akhir menyebabkan peningkatan
tonus miometrium dan kontraksi uterus.
10

Faktor Resiko dysmenorrhea Menurut Widjanarko,2006 ada beberapa faktor


resiko yang bisa meningkatkan terjadinya dysmenorrhea yaitu:
a. Wanita yang merokok
Merokok dapat mengakibatkan nyeri saat haid karena di dalam rokok
terdapat kandungan zat yang dapat memengaruhi metabolisme estrogen,
sedangkan estrogen bertugas untuk mengatur proses haid dan kadar estrogen
harus cukup di dalam tubuh. Apabila estrogen tidak tercukupi akibat adanya
gangguan dari metabolismenya akan menyebabkan gangguan pula dalam
alat reproduksi termasuk nyeri saat haid (Megawati, 2006).
b. Wanita yang minum alkohol selama menstruasi karena alkohol akan
memperpanjang nyeri pada saat menstruas
c. Wanita yang kelebihan berat badan dan obesitas
d. Wanita yang tidak memiliki anak
e. Menarche dini (wanita yang pertama menstruasi sebelum umur 12 tahun)
Mempunyai riwayat yang sama dalam keluarga
2.2.4 Gejala Dysmenorrhea
Menurut Kasdu (2005), gejala dysmenorrhea yang sering muncul adalah :
a. Rasa sakit yang dimulai pada hari pertama menstruasi
b. Terasa lebih baik setelah pendarahan menstruasi mulai
c. Terkadang nyerinya hilang setelah satu atau dua hari. Namun, ada juga wanita
yang masih merasakan nyeri perut meskipun sudah dua hari haid.
d. Nyeri pada perut bagian bahwa, yang bisa menjalar ke punggung bagian bahwa
dan tungkai.
e. Nyeri dirasakan sebagai kram yang hilang timbul atau sebagai nyeri tumpul
yang terus menerus.
f. Terkadang disertai rasa mual, muntah, pusing atau pening.
a. Klasifikasi dan Karakteristik
Gejala Dysmenorrhea Menurut Jones (2001), dysmenorrhea berdasarkan
penyebabnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. Dysmenorrhea primer
Dysmenorrhea primer merupakan nyeri haid tanpa kelainan anatomis
genitalis yang dapat diidentifikasi. Dysmenorrhea primer timbul pada masa
remaja, yaitu sekitar usia 2-3 tahun setelah menarchedan mencapai maksimal
antara usia 15-25 tahun. Akan tetapi, dysmenorrhea primer juga mengenai
11

sekitar 50-70% wanita yang masih menstruasi. Dysmenorrhea primer diduga


sebagai akibat dari pembentukan prostaglandin yang berlebih, yang
menyebabkan uterus untuk berkontraksi secara berlebihan dan juga
mengakibatkan vasospasme anteriolar. Nyeri dymenorrhea primer seperti mirip
kejang spasmodik, yang dirasakan pada perut bagian bawah (area supra pubik)
dan dapat menjalar ke paha dan pinggang bawah dapat juga disertai dengan
mual, muntah, diare, nyeri kepala, nyeri pinggang bawah, iritabilitas, rasa lelah
dan sebagainya. Nyeri mulai dirasakan 24 jam saat menstruasi dan bisa
bertahan selama 48-72 jam (Baradero, 2006 & Suzannec, 2001).
2. Dysmenorrhea sekunder
Dysmenorrhea sekunder merupakan nyeri haid sebelum menstruasi yang
disertai kelainan anatomis genitalis. Dysmenorrhea sekunder terjadi pada
wanita berusia 30-45 tahun dan jarang sekali terjadi sebelum usia 25 tahun.
Nyeri dysmenorrhea sekunder dimulai 2 hari atau lebih sebelum menstruasi,
dan nyerinya semakin hebat serta mencapai puncak pada akhir menstruasi yang
bisa berlangsung selama 2 hari atau lebih. Secara umum, nyeri datang ketika
terjadi proses yang mengubah tekanan di dalam atau di sekitar pelvis,
perubahan atau terbatasnya aliran darah, atau karena iritasi peritoneum pelvis.
Proses ini berkombinasi dengan fisiologi normal dari menstruasi sehingga
menimbulkan ketidaknyamanan. Ketika gejala ini terjadi pada saatmenstruasi,
proses ini menjadi sumber rasa nyeri. Penyebab dysmenorrhea sekunder seperti:
endometriosis, adenomiosis, radang pelvis, sindrom menoragia, fibroid dan
polip dapat pula disertai dengan dispareuni, kemandulan, dan perdarahan yang
abnormal.
Karakteristik Gejala dysmenorrhea berdasarkan derajat nyerinya menurut
Manuaba (2001) dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Dysmenorrhea ringan
Dysmenorrhea ringan adalah rasa nyeri yang dirasakan waktu menstruasi
yang berlangsung sesaat, dapat hilang tanpa pengobatan, sembuh hanya dengan
cukup istirahat sejenak, tidak mengganggu aktivitas harian, rasa nyeri tidak
menyebar tetapi tetap berlokasi di daerah perut bawah.
b. Dysmenorrhea sedang
Dysmenorrhea yang bersifat sedang jika perempuan tersebut merasakan
nyeri saat menstruasi yang bisa berlangsung 1-2 hari, menyebar di bagian perut
12

bawah, memerlukan istirahat dan memerlukan obat penangkal nyeri, dan hilang
setelah mengko nsumsi obat anti nyeri,kadang-kadang mengganggu aktivitas
hidup sehari-hari.
c. Dysmenorrhea berat
Dysmenorrhea berat adalah rasa nyeri pada perut bagian bawah pada saat
menstruasi dan menyebar kepinggang atau bagian tubuh lain juga disertai
pusing, sakit kepala bahkan muntah dan diare. Dysmenorrhea berat memerlukan
istirahat sedemikian lama yang bisa mengganggu aktivitas sehari-hari selama 1
hari atau lebih, dan memerlukan pengobatan dysmenorrhea.
2.2.5 Terapi dan Penatalaksanaan Medik
Terapi dysmenorrhea terbagi atas dua macam yaitu:
2.2.5.1 Terapi Farmakologi
Untuk mengurangi rasa nyeri bisa diberikan obat anti peradangan
nonsteroid (misalnya ibu profen, naproxen dan asam mefenamat). Obat anti
peradangan non steroid akan sangat efektif jika mulai diminum 2 hari sebelum
menstruasi dan dilanjutkan sampai hari 1-2 menstruasi. Untuk mengatasi mual
dan muntah bisa diberikan obat anti mual, tetapi mual dan muntah biasanya
menghilang jika kramnya telah teratasi, Jika nyeri terus dirasakan dan
mengganggu kegiatan sehari-hari, maka diberikan pil KB dosis rendah yang
mengandung estrogen dan progesteron atau diberikan medroxiprogesteron.
Pemberian kedua obat tersebut dimaksudkan untuk mencegah ovulasi
(pelepasan sel telur) dan mengurangi pembentukan prostaglandin, yang
selanjutnya akan mengurangi beratnya dysmenorrhea. Jika obat ini juga tidak
efektif, maka dilakukan pemeriksaan tambahan (misalnya laparoskopi). Jika
dysmenorrhea sangat berat bisa dilakukan ablasio endometrium, yaitu suatu
prosedur dimana lapisan rahim dibakar atau diuapkan dengan alat pemanas.
2.2.5.2 Terapi nonfarmakologi
Terapi pengobatan yang bisa dilakukan dalam mengurangi gejala
Dysmenorrhea yang bersifat nonfarmako logi yaitu:
a. Istirahat yang cukup
Olahraga yang teratur (terutama berjalan). Olah raga Mampu
meningkatkan produksi endorphin otak yang dapat menurunkan stress sehingga
secara tidak langsung juga mengurangi nyeri
13

b. Pemijitan.
Pijatan lembut pada bagian tubuh klien yang nyeri dengan menggunakan tangan
akan menyebabkan relaksasi otot dan memberikan efek sedasi.
c. Yoga
d. Orgasme pada aktivitas seksual
e. Kompres hangat di daerah perut. Suhu panas dapat memperingan keluhan.
Lakukan pengompresan dengan handuk panas atau botol air panas pada perut
atau punggung bawah atau mandi dengan air hangat
f. TENS ( Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation). Tindakan ini melalui
pendekatan gate control of pain atau gerbang transmisi nyeri yaitu memblok
stimuli nyeri dengan stimuli kurang nyeri kepada serabut-serabut besar. Stimuli
listrik dapat mengakibatkan opiat dan non opiat jalur yang menurun.
g. Distraksi pendengaran. Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau
suara burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang
disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi
pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.
2.3 Endometriosis
2.3.1 Definisi
Endometriosis adalah jaringa ektopik (tidak ada permukaan dalam uterus) yang
memiliki susunan kelenjar atau stroma endometriumm atau kedua-duanya dengan atau
tanpa magrofag yang berisi hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium
karena berhubungan dengan haid dan bersifat sinak, tetapi dapat menyebar ke organ-
organ susunan lainnya (Baziat, 1993) Endometriosis menrupakan suatu keadaan dimana
jaringan endometrium masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri
maupun dimiometrium (otot rahim) (mounsey,2006). Bila jaringan endometrium
tersebut berimplantasi didalam miometrium disebut endometriosis interna atau
adenomiosis, sedangkan jaringan endometrium yang berimplantasi diluar kavum uteri
disebut endometriosis eksterna.
2.3.2 Gambaran Klinis
Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yaitu bergantung pada
hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus meningkat selama hormon masih
ada dalam tubuh, setelah menopause gejala endometriosis akan menghilang. Gejala-
gejala yang dapat ditimbulkan pada penyakit endometriosis berupa:
14

1. Dismenore adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering diumpai.
Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang
keluar keluhan dismenore akan mereda (Baziaad,1993). Penyebab dismenore
belum diketahui tatapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan
perdarahan dalam sarang sendometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid
(Prabowo,2005).
2. Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea, keluhan
ini disebabkan adanya endometriosis didalam kavum douglas (prabowo,2005)
3. Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid (Prabowo,205)
4. Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis dikandung kencing,
tetapi gejala ini jarang terjadi (Prabowo,2005)
5. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan
pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu
6. Infertilitas juga merpakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti (Mooere,2001). Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas
pada endometrium ialah mobilitas-mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan
perlekatan jaringan sekitarnya.
Pada pemeriksaan ginekologi khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto-
abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar butir
beras sampai butir jagung di kavum douglasi, dan pada ligamentum sakrouterinum
dengan uterus dalam retrofleksi dan terfikasasi Dasar pengobatan hormonal
endometriosis ialah bahwapertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis sama
seperti jaringan endometrium yang normal, dimana jaringan endometriosis
jugadikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa
jaringan endometriosis mengandung reseptor estrogen,progesteron dan androgen,
yakni estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen
menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron
sintetik yang mengandung efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan
endometriosis.
Dari dasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonalendometriosis
adalah menciptakanlingkungan hormon rendah estrogendan asiklik, sehingga
diharapkan kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis
dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid1 yang berarti tidak terjadinya
15

pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis.


Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen
atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan
endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga
menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada
pertumbuhan folikel (Prabowo,2005)
2.3.3 Faktor Resiko Endmometriosis
Wanita yang beresiko terkena penyakit endometriosis menurut Wood,
2008
a. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita
endometriosis
b. Memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari
c. Menarke (menstruasi yang pertama) terjadi pada usia relatif muda
(<11thn)
d. Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih
e. Orgasme saat menstruasi
2.3.4 Etiologi Endometriosis
Beragam postulat mengenai patogenesis endometriosis berusaha
menerangkan mekanisme terjadinya endometriosis, namun patogenesis endometriosis
secara pasti masih belum dipahami secara jelas. Menurut Amer (2008) mengatakan
masing masing tipe endometriosis memiliki sebab yang berbeda (sebab
multifaktorial). Misalnya, peritoneal endometriosis dijelaskan dengan model
menstruasi retrograde, ovarian endometriosis merupakan hasil dari metaplasia sel-sel
coelomik, endometriosis rektovaginal dapat dijelaskan dengan teori sisa duktus
mulleri atau vide infra (Endometriosis disease model).
Selain itu, Bulun (2009) menjelaskan mekanisme endometriosis yang
dihubungkan dengan patogenesis steroid secara selular dan molekular. Dalam
pengamatannya, fungsi hormon ovarium, estrogen dan progesteron, memainkan
peranan penting dalam pertumbuhan endometriosis. Pada manusia dan beberapa
hewan primata, estrogen menstimulasi jaringan endometriosis, dimana inhibitor
aromatase yang memblokade bentuk estrogen dalam hal ini menguntungkan, sebagai
antiprogestin, pada pasien endometriosis. Tingkatan reseptor terkecil bagi estrogen
dan progesteron masih membingungkan antara jaringan endometrium dan jaringan
endometriosis. Secara biologi, sejumlah progesteron dan estrogen akan
16

memproduksi jaringan endometriosis, melalui aktivasi abnormal proses


steroidogenesis yang melibatkan aromatase.
Sampai saat ini belum ada yang dapat menjelaskan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain:Teori implantasi dan regurgitasi Endometriosis
terjadi karena darah haid mengalir kembali melalui tuba ke dalam rongga pelvis,
sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang
masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian mengadakan implantasi dipelvis
(Prabowo,2005).
2.3.4.1 Teori metaplasia
Endometriosis terjadi kaena rangsangan pada sel-sel epitel yang dapat
mempertahankan hidupnya didalam pelvis. Rangsanga ini akan menyebabkan
metaplasi dari sel-sel epitel. Sehingga terbentuk jaringan endometrium. Secara
endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium , endometrium dan peritoneum
berasal dari epitel yang sama (Baziat dkk, 1993)
2.3.4.2 Teori pnyebaran secara limfogen
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai
tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan
endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita
endometriosis (Moore,2001)
2.3.4.3 Teori imunologik
Banyak peneliti bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun
karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan. Bersifat familiar,
dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Disamping itu telah dikemukakan
bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endomeriosis yang disangka
bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah telah dipakai ntuk mengobati
penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan igG pada
monosit sehingga memengaruhi aktivitas fagosistik (Baziat dkk, 1993)
2.3.5 Patogenesis endometriosis
Adapun teori-teori pathogenesis endometriosis antara lain, sebagai berikut:
17

2.3.5.1 Teori retrograde menstruasi


Teori pertama yaitu teori retrograde menstruasi, juga dikenal sebagai teori
implantasi jaringan endometrium yang viable (hidup) dari Sampson. Teori ini
didasari atas 3 asumsi:
2.3.5.1.1 Terdapat darah haid berbalik melewati tuba falopii
2.3.5.1.2 Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut hidup dalam rongga
peritoneum
2.3.5.1.3 Sel-sel endometrium yang mengalami refluks tersebut dapat menempel
keperitoneum dengan melakukan invasi, implantasi dan proliferasi.
Retrogade Menstruation dan teori implantasi (teori Sampson) Sejak
dicetuskan oleh Sampson pada tahun 2009, model retrograde menstruation
merupakan teori yang paling luas diterima dalam menjelaskan pertumbuhan
endometriosis. Sampson mengajukan teorinya berdasarkan pengamatannya selama
melakukan pembedahan pelvis, seperti darah menstruasi terdapat di ostium tuba
pada wanita yang menstruasi. Jaringan endometrium juga dideteksi dalam tuba
falopi yang diangkat saat histerektomi. Refluks jaringan endometrium diperkirakan
berimplantasi pada permukaan peritoneum dan ovarium. Hal ini dapat terjadi pada
80% wanita yang menstruasi, namun tidak menjadikan semuanya menderita
endometriosis. Untuk menjelaskan ketidaksesuaian ini, penganut teori ini
berhipotesis bahwa endometriosis terjadi pada wanita yang memiliki gangguan
sistem imunitas seperti gangguan yang tidak dapat mengidentifikasi dan
menghancurkan sel endometrium yang berada pada kavum peritoneum. Teori ini
mendapat bantahan dengan alasan hal ini tidak mungkin karena sistem imun tidak
dikerahkan untuk menyerang sel endometrium, yang merupakan self-antigen.
Fakta lain adalah endometriosis dapat terjadi setelah ligasi tuba yang kambuh
setelah pembedahan atau de novo.
18

Gambar 2.2 Origin of iron overload in the pelvic cavity of endometriosis patients Erythrocytes are carried
into the pelvic cavity by retrograde menstruation and haemorrhaging foci of ectopic endometrium. A
proportion of them are phagocytosed by peritoneal macrophages. Macrophages store some iron in the
form of ferritin or haemosiderin, and release some that binds to transferrin. Lysis of erythrocytes also
releases haemoglobin into peritoneal fluid. Transferrin and haemoglobin cause increased pelvic iron
concentrations and may be assimilated by ectopic endometrial cells, resulting in the formation of
irodeposits (ferritin or haemosiderin) (Sampson, 2009)

2.3.5.2 Teori metaplasia soelomik


Teori ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini
menyatakan bahwa endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam
sel-sel mesotelial yang berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan
pleura). Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor
seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini dapat
menerangkan endometriosis yang ditemukan pada laki-laki, sebelum pubertas dan
gadis remaja, pada wanita yang tidak pernah menstruasi, serta yang terdapat di
tempat yang tidak biasanya seperti di pelvik, rongga toraks, saluran kencing dan
saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus, dimana faktor lain juga berperan
seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel endometrium. Metaplasia coelomic
(teori Meyer) dan teori induksi.
Teori Meyer berdasarkan fakta bahwa sel dari peritoneum, permukaan
ovarium dan endometrium berasal dari prekursor embriologikal, yakni sel coelomic.
Pada saat pubertas, estrogen yang tinggi menginduksi sel peritoneum maupun
permukaan sel telur yang mengalami metaplasia menjadi sel endometrium.
Metaplasia ini juga diinduksi oleh substansi yang memproduksi sel endometrium
yang terdapat di kavum peritoneum akibat retrograde menstruation. Teori ini tidak
didukung bukti ilmiah yang kuat. Penelitian belum bisa menunjukkan sel-sel
peritoneum mampu berdiferensiasi menjadi sel sel yang mirip endometrium.
Metaplasia merupakan proses yang berhubungan dengan umur, yang meningkat
19

seiringnya bertambah usia. Endometriosis terjadi terutama pada usia reproduktif,


dengan insidensi tertinggi usia 28 tahun.
2.3.5.3 Teori transplantasi langsung
Transplantasi langsung jaringan endometrium pada saat tindakan yang
kurang hati-hati seperti saat seksio sesaria, operasi bedah lain, atau perbaikan
episiotomi, dapat mengakibatkan timbulnya jaringan endometriosis akibat bekas
parut operasi dan pada perineum bekas perbaikan episiotomi tersebut.
2.3.5.4 Teori genetik dan imun
Endometriosis 6-7 kali lebih sering ditemukan pada hubungan keluarga ibu
dan anak dibandingkan populasi umum, karena endometriosis mempunyai suatu
dasar genetik. Matriks metaloproteinase (MMP) merupakan enzim yang
menghancurkan matriks ekstraseluler dan membantu lepasnya endometrium normal
dan pertumbuhan endometrium baru yang dirangsang oleh estrogen. Tampilan
MMP meningkat pada awal siklus haid dan biasanya ditekan oleh progesteron
selama fase sekresi. Tampilan abnormal dari MMP dikaitkan dengan penyakit-
penyakit invasif dan destruktif. Pada wanita yang menderita endometriosis, MMP
yang disekresi oleh endometri-um luar biasa resisten terhadap penekanan
progesteron. Tampilan MMP yang menetap didalam sel-sel endometrium yang
terkelupas dapat mengakibatkan suatu potensi invasif terhadap endometrium yang
berbalik arah sehingga menyebabkan invasi dari permukaan peritoneum dan
selanjutnya terjadi proliferasi sel.
Pada penderita endometriosis terdapat gangguan respon imun yang
menyebabkan pembuangan debris pada darah haid yang membalik tidak efektif.
Makrofag merupakan bahan kunci untuk respon imun alami, bagian sistem imun
yang tidak antigen-spesifik dan tidak mencakup memori imunologik. Makrofag
mempertahankan tuan rumah melalui pengenalan, fagositosis, dan penghancuran
mikroorganisme yang jahat dan juga bertindak sebagai pemakan, membantu untuk
membersihkan sel apoptosis dan sel-sel debris. Makrofag mensekresi berbagai
macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim dan prostaglandin dan membantu
fungsi-fungsi faktor diatas disamping merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe
sel yang lain. Makrofag terdapat dalam cairan peritoneum normal dan jumlah serta
aktifitasnya meningkat pada wanita dengan endometriosis. Pada penderita
endometriosis, makrofag yang terdapat di peritoneum dan monosit yang beredar
teraktivasi sehingga penyakitnya berkembang melalui sekresi faktor pertumbuhan
20

dan sitokin yang merangsang proliferasi dari endometrium ektopik dan menghambat
fungsi pemakannya. Natural killer juga merupakan komponen lain yang penting
dalam proses terjadinya endometriosis, aktifitas sitotoksik menurun dan lebih jelas
terlihat pada wanita dengan stadium endometriosis yang lanjut (Harada,2004).
2.3.5.5 Faktor endokrin
Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis tergantung kepada estrogen
(estrogen-dependent disorder). Penyimpangan sintesa dan metabolisme estrogen
telah diimplikasikan dalam patogenesa endometriosis. Aromatase, suatu enzim yang
merubah androgen, androstenedion dan testosteron menjadi estron dan estradiol.
Aromatase ini ditemukan dalam banyak sel manusia seperti sel granulosa ovarium,
sinsiotrofoblas diplasenta, sel lemak dan fibroblas kulit.

Gambar 2.3 Biosintesa Estrogen Wanita Usia Reproduksi


(Harada,2004)

Kista endometriosis dan susukan endometriosis diluar ovarium menampilkan kadar


aromatase yang tinggi sehingga dihasilkan estrogen yang tinggi pula. Dengan kata
lain, wanita dengan endometriosis mempunyai kelainan genetik dan membantu
perkembangan produksi estrogen endometrium lokal. Disamping itu, estrogen juga
dapat merangsang aktifitas siklooksigenase tipe-2 lokal (COX-2) yang membuat
prostaglandin (PG)E2, suatu perangsang poten terhadap aromatase dalam sel
stroma yang berasal dari endometriosis, sehingga produksi estrogen berlangsung
terus secara lokal.
21

Gambar 2.4. Sintesis Estrogen Pada Endometriosis


(Harada,2004)

Estron dan estradiol saling dirubah oleh kerja 17 -hidroksisteroid dehidrogenase


(17 HSD), yang terdiri dari 2 tipe: tipe-1 merubah estron menjadi estradiol
(bentuk estrogen yang lebih poten) dan tipe-2 merubah estradiol menjadi estron.
Dalam endometrium eutopik normal, progesteron merangsang aktifitas tipe-2
dalam kelenjar epitelium, enzim tipe-2 ini sangat banyak ditemukan pada kelenjar
endometrium fase sekresi. Dalam jaringan endometriotik, tipe-1 ditemukan secara
normal, tetapi tipe-2 secara bersamaan tidak ditemukan. Progesteron tidak
merangsang aktiftas tipe-2 dalam susukan endometriotik karena tampilan reseptor
progesteron juga abnormal. Reseptor progesteron terdiri dari 2 tipe: PR-A dan PR-
B, keduanya ini ditemukan pada endometrium eutopik normal, sedangkan pada
jaringan endometriotik hanya PR-A saja yang ditemukan. Metastasis vaskular dan
limfatik (teori Halban) Teori Halban mengatakan bahwa endometriosis yang terjadi
pada organ jauh akibat sel endometrium yang hidup menyebar melalui pembuluh
darah dan limfatik. Teori ini menjelaskan kejadian endometriosis yang jarang
terjadi di ekstrapelvis, seperti di otak dan paru -paru, tapi tidak menjelaskan lesi
pelvik yang biasa terjadi yang mengacu akibat lokasi berdasarkan posisi gravitasi.
2.3.5.6 Teori penyakit sel endometrium dengan mekanisme seluler.
Implantasi superficial kavum peritoneum dianut sebagai temuan fisiologis
yang dapat menghilang secara spontan. Deep infiltrating endometriosis dan kista
ovarium endometriosis (kista coklat) merupakan lesi patologik yang berasal dari sel
- sel yang mengalami mutasi somatik. Mutasi ini dipercaya merupakan hasil dari
faktor faktor lingkungan tertentu seperti polutan dan dioxin. Sel yang abnormal ini
kemudian berkembang menjadi tumor jinak yang terdiri dari glandula endometrium
dan stroma. Terdapat perbedaan secara molekular yang jelas antara jaringan
endometriosis dengan endometrium, seperti overproduksi estrogen, prostaglandin
dan sitokin pada jaringan endometriosis yang diterangkan oleh Bulun dkk (2009).
22

Bentuk yang sulit dipisahkan pada kelainan ini juga terjadi pada
endometrium wanita dengan endometriosis dibanding endometrium wanita normal.
Ekspresi gen membentuk endometrium wanita dengan endometriosis sebanding
dengan endometrium dari wanita yang normal mengungkapkan kandidat gen yang
berhubungan dengan kegagalan implantasi, infertilitas dan resistensi progesteron.
Inflamasi, sebagai tanda dari jaringan endometriosis, dihubungkan dengan
overproduksi prostaglandin, metalloproteinase, sitokin dan kemokin. Peningkatan
kadar sitokin pada inflamasi akut seperti interleukin-1, interleukin 6, dan tumor
nekrosis faktor memungkinkan peningkatan adesi dari luapan fragmen jaringan
endometrial ke dalam permukaan peritoneum dan proteolitik membrane
metalloproteinase lebih jauh menyokong implantasi fragmen tersebut. Monocyte
chemoattractant protein 1, interleukin-8, dan RANTES (regulated upon activation
normal T-cell expressed and secreted) menarik granulosit, NK sel, dan makrofag
yang merupakan tipikal endometriosis. Pengulangan autoregulasi positif feedback
memastikan akumulasi sel sel imun ini, sitokin dan kemokin dalam menegakkan
lesi. Pada pasien dengan endometriosis, respon inflamasi dan imun, angiogenesis
dan apoptosis mengubah fungsi penyokong kehidupan sel dan mengisi ulang
jaringan endometriosis. Proses dasar patologi ini tergantung pada estrogen dan
progesteron.
Bentuk berlebihan dari estrogen dan prostaglandin dan perkembangan
resistensi progesteron memiliki poin klinis yang penting untuk penelitian karena
target terapi dari aromatase ada dalam jalur biosintesis estrogen, 9 mengurangi nyeri
pelvik atau secara laparoskopi terlihat jaringan endometriosis atau kombinasi
keduanya. Tiga target penting ini telah diketahui dengan marker epigenetik spesifik
(hypomethylation) yang menyebabkan overekspresi dari reseptor terkecil dari SF1
(steroidogenif factor) dan estrogen reseptor (Bulun dkk,2009)
2.3.6 Patologi
Gambaran mikroskopik dari endometrium sangat variabel. Lokasi yang sering
terdapat ialah pada ovarium dan biasanya bilateral. Pada ovarium tampak kista-kista
biru kecil sampai besar berisi darah tua menyerupai coklat. Darah tua dapat keluar
sedikit- sedikit karena luka pada dinding kista dan dapat menyebabkan perlekatan
antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat
kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum
karena robekan dinding kista dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada
23

endometriosis biasanya normal. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri


khas bagi endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium dan
perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag
berisi hemosiderin.
Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis yakni
kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium dan perdarahan bekas dan baru berupa
eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya
tampak sel sel radang dan jaringan ikat sebagai reaksi dari jaringan norrmal
disekelilingnya. Jaringan endometriosis seperti jaringan endometrium didalam uterus
dapat dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron. Sebagai akibat dari pengaruh
hormon-hormon tersebut, sebagian besar sarang endometriosis berdarah secara
periodik yang mrnyebabkan reaksi jaringan berupa radang dan perlekatan
(Prabowo,2005)
2.3.7 Diagnosa
Visualisasi endometriosis diperlukan untuk memastikan diagnosis.Cara-cara
yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis adalah dengan melakukan pemeriksaan
laparoskopi untuk melihat lesi (Rayburn, 2001). Diagnosa laparoskopi dilakukan setiap
hari dari siklus menstruasi dengan pasien dibawah pengaruh anestesia (obat bius).
Diagnostik endometriosisdibutuhkan untuk melihat keberadaan dari satu atau lebih lesi
kebiru-biruanatau hitam. Stadium endometriosis menurut revisi klasifikasi dari
AmericanFertility Society (R-AFS). Implantasi endometriosis pada peritoneum
atauovarium nilainya ditentukan dari diameter dan kedalaman, yang mana
nilai perlekatan digunakan dalam lampiran catatan kepadatan dan derajat. TotalR-AFS
nilai (implan dan perlekatan) berurutan dari 1-5, 6-15, 16-40, dan41-150 dapat
disamakan dari minimal (stadium I), ringan (stadium II), sedang (stadium III), dan berat
(stadium IV) endometriosis (Marcoux, 1997). Pendapat saat ini bahwa prosedur
pembedahan sepertilaparoskopi dibutuhkan untuk menentukan diagnosa endometriosis.
Laparoskopi dilakukan untuk melihat keberadaan endometriosis. Pemeriksaan riwayat
dan pemeriksaan badan dapat menemukan nyeri pelvik kronik dan dysmenorrheal,
pemunduran uterus, penebalan ligamenuterosakral tidak sama sekali terdiagnostik
(American Fertility Society, 2007).
Proses diagnosa lain dilakukan pada kasus yang lebih khusus, dokter mungkin
akan menggunakan teknik pengambilan gambar yang khusus seperti ultrasound,
Computerized Tomography (CT scan), atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
24

untuk menambah informasi tentang pelvis. Prosedur ini dapat mengidentifikasi kista
dan mengetahui karekteristik cairan dengan kista ovarium, kista endometrioma dan
kista korpus luteum mungkin serupa kelihatannya. Uji ini digunakan bila menilai
seorang wanita infertil atau nyeri pelvis kronis. (American Fertility Society, 2007)
2.3.8 Penatalaksanaan
2.3.8.1 Terapi Medis
Standar terapi medis pada pasien endometriosis meliputi: analgesik (NSIAD
atau acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol) agen
progesteron ( medroksiprogesteron) Gonadotropin releasing hormon (GNRH) dan
anti progesteron.
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialaha pertumbuhan dan funsi jaringan
endometriosis dengan jaringan endometrium yang normal, dimana jaringan
endometriosis juga dikontrol oleh hormon-hormon seroid. Dasar pengobatan hormonal
endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti
jaringan endometrium yang normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh
hormon-hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis
mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen merangsang
pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang
progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang mengandung efek
androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis. Dari dasar tersebut,
prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan
hormon rendah estrogendan asiklik, sehingga diharapkan kadar estrogen yang rendah
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan keadaan yangasiklik mencegah
terjadinya haid yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang
normal maupun jaringan endometriosis. Kemudian prinsip keduaadalah menciptakan
lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggiprogestogen yang secara langsung
menyebabkan atrofi jaringanendometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau
tinggiprogestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena
gangguan pada pertumbuhan folikel (Moore,2001)
25

Gambar 2.5 Treatment pada pasien endometriosis


(Oliv, 2001)
2.3.8.2 Terapi Pembedahan
Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapatmenyebabkan
kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangatmemungkinkan merusak
fertilitas (kesuburan) dengan caramengganggu jangkauan oosit dan transportasi
sepanjang tuba fallopi.Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan.6
Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifatbedah konservatif
yakni mengangkat saranng-sarang endometriosisdengan mempertahankan fungsi
reproduksi dengan cara meninggalkanuterus dan jaringan ovarium yang masih sehat,
dan perlekatan sedapatmungkin dilepaskan (Prabowo,2005)
pembedahan konservatif dapat dilakukandengan dua cara pendekatan yakni
laparotomi atau laparoskopioperatif. Pembedahan konservatif pada pasien usia dua
puluhan akhi rdan awal empa tpuluhan terutama bila fertilitas di masa depan
dikehendaki, maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan
1. reseksi endometriomata
2. melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk
mengurangi dismenorea)
3. suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus uteri dari kavumDouglasi
akibat perlekatan endometriotik)
4. menghilangkan apendiksdikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis
terdapat padaserosa apendiks
5. Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun denganmenderita
endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihanpembedahan radikal
histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateraldan pengangkatan sarang-
sarang endometriosis yang ditemukan (Oliv,2001).
2.3.9 Komplikasi
Komplikas tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat
terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini mengakibatkan
26

tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah pecahnya kista, dianjurkan


pengobatan terapi hormonal praoperatif selama beberapa bulan. Cara lain untuk
mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista per-laparaskopi yang kemudian
dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi cara ini masih belum banyak
dilakukan dan masih diperdebatkan (Baziad, 1993).
27

BAB 3

RINGKASAN

3.1 Ringkasan

Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari
setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus pada saat
menstruasi biasanya seseoran yang mengalami nyeri yang biasa disebut dengan
dismenore.Dimana dismenore itu sendiri nyeri kram (tegang) daerah perut mulai terjadi
pada 24 jam sebelum terjadinya perdarahan haid dan dapat bertahan selama 24-36 jam.

Dismenore diklasifikasikan menjadi dua yaitu dismenore primer dan dismenore


sekunder dimana penyebab dari dismenore itu sendiri karena adanya beberapa faktor
seperti faktor kejiwaan, faktor konstitusi, faktor obstruksi kanalis servikalis, faktor
endokrin, faktor alergi, serta faktor prostaglandinPenatalaksanaan dismenore terdiri dari
penatalaksanaan farmakologis dimana menggunakan NSAID, Pil kotrasepsi,
Gonadotropin Releasing Hormon Agonis dan non-farmakologis dengan pembedahan.

Pada penderita yang mengalami dismenore sekunder biasanya disebabkan karena


adanya kelainan anatomi salah satunya ialah endometriosis. Endometriosis merupakan
jaringan ektopik (tidak ada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan kelenjar
atau stroma endometriumm atau kedua-duanya dengan atau tanpa magrofag yang berisi
hemosiderin dan fungsinya mirip dengan endometrium karena berhubungan dengan
haid dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ susunan
lainnya.Penatalaksanaan pada penderita endometriosis ini bisa dilakukan dengan terapi
medik dan terapi pembedahan.
28

DAFTAR PUSTAKA

American Fertility Society. 2007. Booklet Endometriosis A Guide For Patien.


American Society For Reproductive Medicine.Alabama. j2010. 12 hal
Badziad, Ali.2003.Endokrinologi Ginekologi edisi kedua. Jakarta: MediaAesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1-25
Berkley KJ. Primary dysmenorrhea:an urgent mandate. International Association for the
Study of Pain. 2013;21(3):1-8

Baradero, dkk. (2006). Seri Asuhan Keperawatan : Klien Gangguan Sistem Reproduksi
dan Seksualitas, Jakarta: EGC

Bulun, S. E. 2009. Endometriosis. The new england journal of medicine. Vol.360.


No.3:289-279

Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2004, Buku Ajar Keperawatan Maternitas / Maternity


Nursing (Edisi 4), Alih Bahasa Maria A. Wijayati, Peter I. Anugerah, Jakarta :
EGC

Calis,KarimAnton2011:dysmenorrhea.dari:http://emedicine.medscape.com/article/2538
12-overvie : (Diakses pada tanggal 14 desember 2012)
Hendrik, H. 2006. Problema Haid (Tinjauan Syariat Islam dan Medis).Solo: Tiga
Serangkai

Jones. (2001). Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Ed. Ke-6, Jakarta: Hipokrates

Kasdu D., 2005. Solusi Problem Persalinan.Jakarta : Puspa Swara


Manuaba, Ida Bagus Gde, 2001. Endokrinologi. Dalam : Kapita Selekta
Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.Jakarta: EGC, 518-519
Manuaba, et al.2006. Buku Ajar Patologi Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan.
Cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Megawati, Ginna. 2006. Bahaya Mengintai Wanita Perokok. Pikiran Rakyat. 27
Agustus 2007.
Mounsey Al, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of Endometriosis.
www.aafp.org/afp 2006
Sarwono. S.W. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
29

Suzanne, C. Smeltzer.2001.Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta :EGC.

Varney, H., 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4. Jakarta : EGC
WiknjosastroH. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayaan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009, hal 523 -529.

Widjanarko, Bambang. 2006. Dismenore Tinjauan Terapi pada Dismenore Primer.


Majalah Kedokteran Damianus. Volume 5. No1, Januari 2006.

Anda mungkin juga menyukai