Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hiperplasia Endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kelenjar
endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan
pada rasio kalenjar/stroma..1,4
Di negara maju, diperkirakan ada 200.000 kasus baru endometrium
hiperplasia per tahun.
Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi
hormon estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja
dan beberapa tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak
berovulasi sehingga pada masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron
dan terjadilah hiperplasia.
Faktor resiko utama pada hiperplasia endometrium mirip dengan
kanker endometrium, di mana keduanya mempunyai populasi pasien beresiko
tinggi adalah wanita perimenopauese ataupun pascamenopause dengan berat
badan yang obesitas. Faktor resiko yang lain yaitu anovulasi yang bersifat
kronik, late onset of menopouse¸ dan diabetes. Secara teoritis kebanyakan dari
kondisi tersebut dihubungkan dengan peningkatan sirkulasi estrogen yang
relatif dari progesteron.
Klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) Tahun 1994 berdasarkan pada kedua kompleksitas
arsitektur kelenjar dan adanya nukleus atypia. terdiri dari empat kategori:
hiperplasia simpel tanpa atipia, hiperplasia simpel dengan atipia, hiperplasia
kompleks tanpa atipia , hiperplasia kompleks dengan atipia.4
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering
muncul pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari
penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia

1
endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada
usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat
Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS).

2. Tujuan
Dalam penysunan referat ini, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk
mengetahui dan memahami lebih dalam, bagaimana mendiagnosa serta
penanganan mengenai “Hiperplasia Endometrium”.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Endometrium

Uterus adalah organ muskular yang berbentuk buah pir yang terletak di
dalam pelvis dengan vesika urinaria di anterior dan rectum di posterior.
Uterus  biasanya terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh
endometrium dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus
menstruasi. Endometrium tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium
dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya sangat sensitive terhadap
kerja hormone seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita yaitu
estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana
estrogen merangsang pertumbuhan dan progesterone
mempertahankannya.1,2

Gambar 1. Anatomi Uterus dan Endometrium

Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan


kanalis endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis Endometrium
adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempat menempelnya ovum yang

3
telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat  pembuluh darah
yang berguna untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum
yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan
endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan badan
induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi.1
Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka
mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan,agar hasil konsepsi bisa
tertanam. Pada suatu fase dimana ovum tidak dibuahi
oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti memproduksi hormon
progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang menghasilkan
sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah
menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah  berhenti
diproduksi. Pada fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding
rahim. Siklus endometrium normal .2,4
Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa
pada endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan
aktivitas ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium,
yakni:

1. Fase Menstruasi (Deskuamasi)


Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan
endometrium dari dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang
mengalami disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih
utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan
hemolisis serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.5
2. Fase Pasca Haid (Regenerasi)
Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi
epitel mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini
membuat lapisan endometrium setebal ± 0,5 mm.5

4
3. Fase Intermenstrum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung
selama ± 10 hari (hari ke 5-14 siklus haid)
 Fase proliferasi dini (early proliferation phase) Fase ini berlangsung selama
± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini terdapat regenerasi kelenjar dari mulut
kelenjar dengan epitel permukaan yang tipis. Bentuk kelenjar khas fase
proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.
 Fase proliferasi madya (midproliferation phase) Fase ini berlangsung
selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini  merupakan bentuk transisi dan
dapat dikenal dari epitel  permukaan yang berbentuk torak dan tinggi.
Kelenjar berlekuk-lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma mengalami
edema. Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake
nucleus).
 Fase proliferasi akhir (late proliferation phase) Fase ini berlangsung selama
± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari permukaan kelenjar yang tidak rata
dengan banyak mitosis. Inti epitel kelenjar membentuk pseudostratifikasi.
Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.5
4. Fase Pra Haid (Sekresi)
Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai
hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang
berbeda adalah bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk,
panjang dan mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam endometrium
telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak diperlukan sebagai makanan
untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan perubahan ini adalah untuk
mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang dibuahi. Fase ini
terbagi menjadi dua, yakni
a. Fase sekresi dini
Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena
kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan menjadi
beberapa lapisan yakni

5
 Stratum basale yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan
dengan miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar
 Stratum spongiosum yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons.
Ini disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelok-kelok dan
hanya sedikit stroma di antaranya
 Stratum kompaktum yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar
sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema.
b. Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini terdapat
peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak
mengandung pembuluh darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen.
Fase ini sangat ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma
sel-sel stroma bertambah. Sel stroma ini akan berubah menjadi sel desidua
jika terjadi  pembuahan.5

B. HIPERPLASIA ENDOMETRIUM.
a. Defenisi

6
Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kelenjar
endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan
pada rasio kalenjar/stroma. Hiperplasia endometrium lebih jauh
diklasifikasikan menjadi hiperplasia sederhana dan kompleks berdasarkan
kompleksitas dan kerumunan dari struktur kalenjar.1,4
Hiperplasia endometrium juga didefinisikan sebagai lesi praganas yang
disebabkan oleh stimulasi estrogen yang tanpa lawan. Hal ini biasanya terjadi
sekitar atau setelah menopause dan terkait dengan perdarahan uterus
berlebihan dan ireguler.1
Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi
hormon estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja
dan beberapa tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak
berovulasi sehingga pada masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron
dan terjadilah hiperplasia. Kejadian ini juga sering terjadi pada ovarium
polikistik yang ditandai dengan kurangnya kesuburan (sulit hamil).2,3

Gambar 2. Gambar (sebelah kiri) menunjukkan gambar endometrium secara normal


dan gambar (sebelah kanan) menunjukkan hiperplasi endometrium.

Secara historis, beberapa istilah berbeda telah digunakan untuk


menggambarkan ketidaknormalan proliferasi endometrium, termasuk:
'hiperplasia adenomatosa', 'hiperplasia atipikal' dan 'karsinoma-in-situ'. Di
negara maju, diperkirakan ada 200.000 kasus baru endometrium hiperplasia

7
per tahun. Namun, ini kemungkinan besar meremehkan karena data registri
epidemiologi pada pasien EH dapat berbeda secara signifikan antar institusi

b.Faktor Resiko
Faktor resiko utama pada hiperplasia endometrium mirip dengan kanker
endometrium, di mana keduanya mempunyai populasi pasien beresiko tinggi
adalah wanita peimenopauese ataupun pascamenopause dengan berat badan
yang obesitas. Faktor resiko yang lain yaitu anovulasi yang bersifat kronik,
late onset of menopouse¸ dan diabetes. Secara teoritis kebanyakan dari kondisi
tersebut dihubungkan dengan peningkatan sirkulasi estrogen yang relatif dari
progesteron. Beberapa factor resiko lain dari hiperplasi endometrium seperti
pada table berikut.
Tabel 1. Faktor Resiko Hiperolasi Endometrium

c. Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari
onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang
terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma

8
folikuler, tetapi telah dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya.
Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang
menyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya
sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan
signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi. Kemunduran ekspresi dari
gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis pada endometrium
yang dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi siklus
menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal
endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam
terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada
hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara
mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan
karsinoma endometrium. Peran dari gen Fas/Fas L juga telah diteliti akhit-
akhir ini tentang kaitannya denga pembentukan hiperplasia endometrium.
Fas merupakan anggota dari keluarga tumor necrosis factor (TNF)/  Nerve
Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan Fas L (Fas Ligand ) dan
menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan Fas L meningkat pada
sampel endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi
Fas dan bcl-2 dapat dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2
menurun saat terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas
justru meningkat. Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan
tentang perubahan molekuler yang kemudian berkembang secara klinis
menjadi hiperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis
molekular terbentuknya hiperplasia endometrium dan karsinoma
endometrium.5,6
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperesterogen atau
adanya stimulasi unoppesd estrogen (estrogen tanpa pendamping
progesteron / estrogen tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini
menghambat produksi Gonadotrpin (feedback mechanism). Akibatnya

9
rangsangan terhadap pertumbuhan folikel berkurang, kemudian terjadi
regresi dan diikuti perdarahan.6
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar
sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum
sehingga estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan
ini adalah terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun
stroma endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang
menyebabkan proliferasi  berlebih dan terjadinya hiperplasia pada
endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali
mendapatkan terapi hormon penganti yaitu  progesteron dan estrogen,
maupun estrogen saja. Estrogen tanpa pendamping progesterone
(unopposed estrogen)  akan menyebabkan penebalan endometrium.
Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya kista ovarium serta pada
wanita dengan berat badan berlebih.4,5

d. Klasifikasi

Sistem klasifikasi untuk hiperplasia endometrium dikembangkan


berdasarkan karakteristik histologi dan potensi onkoge.
Klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) Tahun 1994 berdasarkan pada kedua
kompleksitas arsitektur kelenjar dan adanya nukleus atypia. terdiri dari
empat kategori: hiperplasia simpel tanpa atipia, hiperplasia simpel dengan
atipia, hiperplasia kompleks tanpa atipia , hiperplasia kompleks dengan
atipia.4
Asosiasi sitologi atypia dengan peningkatan risiko kanker
endometrium sudah dikenal sejak 1.985, Klasifikasi Intraepithelial
Neoplasia Endometrium (EIN) adalah sistem alternatif nonmenklatur yang
diusulkan di tahun 2003, tujuannya adalah untuk meningkatkan prediksi
hasil klinis , meningkatkan inter-observer reproduktifitas dan mengurangi
bias subjektif yang melekat pada klasifikasi WHO 1994. Skema EIN

10
diagnostik terdiri dari tiga kategori, Benign (hiperplasia endometrium),
premalignant (diagnosis EIN berdasarkan lima kriteria subjektif
histologis) dan malignant (kanker endometrium), tetapi klasifikasi ini tidak
banyak digunakan di Inggris.3,4
Berdasarkan Revisi terbaru Tahun 2014 klasifikasi WHO.
Hiperplasia endometrium dibedakan menjadi dua kelompok didasarkan
pada ada atau tidak adanya sitologi atypia , yaitu hiperplasia tanpa atypia
dan hiperplasia atipikal ; kompleksitas arsitektur tidak lagi merupakan
bagian dari klasifikasi . Diagnosis dari EIN dalam klasifikasi WHO baru
dianggap digantikan dengan hiperplasia atipikal .Tujuan pembaruan
klasifikasi hiperplasia endometrium berdasarkan WHO 2014 menjadi
dasar rekomendasi meskipun WHO Nomenklatur mengkategorikan
morfologi hiperplasia yang sederhana atau kompleks.5
Hiperplasia endometrium terbagi menjadi 4 jenis berdasarkan
morfologi pada pemeriksaan patologi anatomi, yakni :
1. Hiperplasia Sederhana tanpa Atipia (SH)
Disebut sebagai hiperplasia kistik atau ringan. Terdapat proliferasi
jinak dari kalenjar endometrium yang berbentuk ireguler dan juga
berdilatasi, mempunyai kelenjar pseudostratifikasi inti tetapi tidak
memiliki atypia serta aktivitas miosis yang bervariasi.6
2. Hiperplasia Sederhana Atipikal (SAH)
Pada dasar sama dengan hiperplasia sederhana tanpa atypia namun dalam
hal ini mempunyai atypia pada kelenjar inti.
3. Hiperplasia Kompleks Tanpa Atipia
Pada CH memiliki kelenjar yang penuh dengan bentuk kompleks atau
tubular disetrai dengan dilatasi atau tanpa dilatasi, stroma yang jarang dan
aktvitas mitosis yang bervariasi

4. Hiperplasia atipikal Kompleks (neoplasia intraepitelial


endometrium)

11
Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium dengan tepi yang
ireguler, arsitektur yang kompleks dan sel yang tumpang tindih. Terjadi
peningkatan jumlah dan ukuran endometrium sehingga kelenjar menjadi
berdesak-desakan, membesar dan berbentuk irreguler. Bentuk irreguler ini
adalah manifestasi utama meningkatnya stratifikasi sel dan pembesaran
nukleus serta mungkin meperlihatkan kompleksitas epitel permukaan yang
permukaannya menjadi berlekuk-lekuk atau bertumpuk-tumpuk.
Gambaran mitotik sering ditemukan, pada bentuk yang paling parah, atipia
sitologik dan arsitekturnya dapat sangat mirip dengan adenokarsinoma,
dan untuk membedakan hiperplasia atipikal dengan kanker secara pasti
harus dilakukan histerektomi.6

Tabel 2. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium Menurut WHO tahun 1994

e. Manifestasi Klinis

12
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering
muncul pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak
terlawan dari penggunaan eksogen atau siklus anovulatori
menghasilkan hiperplasia endometrium dengan perdarahan yang
banyak. Pasien yang lebih muda pada usia produktif biasanya muncul
hiperplasia endometrium sekunder akibat Polycystic Ovarian
Syndrome (PCOS). PCOS menghasilkan stimulasi estrogen yaang
tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori. Pada pasien yang
lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara sekunder
dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adiposa
(pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan
estrogen (pada granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi
perifer dari androgen menjadi estrogen pada tumor yang
mensekresikan androgen pada cortex adrenalis merupakan etiologi
yang jarang dari hiperplasia endometrium. Pada pasien menopause
dengan hiperplasia endometrium hampir selalu datang dengan
perdarahan pervaginam. Meskipun karsinoma harus dipertimbangkan
pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang sering
dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226
wanita dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan
karsinoma, 56 % dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk
hiperplasia. Hiperplasia dan karsinoma secara khusus memiliki gejala
perdarahan pervaginam yang berat sedangkan pasien dengan atrofi
biasanya hanya muncul bercak-bercak perdarahan. Pap Smear yang
spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi kelainan pada
endometrium. Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita post
menopause dengan perdarahan uterus abnormal meningkat 3-4 lipat
saat Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengandung sel inflamasi
akut yang difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu,
penemuan yang tidak sengaja dari histiosit pada wanita postmenopause

13
tanpa gejala tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko
hiperplasia endometrium ataupun karsinoma endometrium.5
Usia memiliki efek yang signifikan untuk menindak lanjuti
kelainan pada AGC pap smear. Pada studi retrospektif pada 281 wanita
dengan AGC papsmear, 90 wanita (32%) memiliki kelainan signifikan
yang membutuhkan intervensi. Pada pasien dengan usia < 50 tahun,
hanya 7 pasien (5%) memiliki lesi non skuamosa sedangkan 19 pasien
(15%) yang berusia > 50 tahun memiliki lesi non skuamosa. Pasien
diatas 50 tahun dengan AGC pap smear memiliki kemungkinan 13 kali
lipat menderita kanker rahim dibandingkan wanita yang berusia kurang
dari 50 tahun.5

f. Diagnosis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita
dengan perdarahan postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia
endometriumdan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan
penebalan dinding uterus secara tidak sengaja dengan USG harus
diperiksa lebih lanjut untuk mendiagnosis hiperplasia endometrium.
Pada sebuah penelitian dengan 460 wanita usia ≤ 40 tahun dengan
perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya 6 wanita (1,3%) yang
mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus hipeplasia
atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. Walaupun begitu,
wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti
obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya
dengan USG dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada
penelitian 36 wanita dengan PCOS, ketebalan endometrium kurang
dari 7 mm dan interval antar menstruasi kurang dari 3 bulan hanya
terkait dengan proliferasi endometrium dan tidak ditemukan adanya
hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang telah
diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya

14
perdarahan uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada
pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya hiperplasia atau
karsinoma.3,4
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosa hyperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan
Kuretase, lakukan pemeriksaan  Hysteroscopy  dan dilakukan juga
pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis
sering disebut Swiss cheese patterns.3

g. Pemeriksaan Penunjang
 Ultrasonografi
USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan gambaran
dari lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukan ketebalan
rahim. USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yang non
invasif dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada
endometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause, efikasi
alat ini sebagai pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma
tidak diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal
Estrogen/Progestin Intervensions), dengan batas ketebalan
endometrium 5 mm didaptkan positive predictive value (PPV),
negative predictive value (NPV),sensitifitas, dan spesifisitas untuk
hiperplasia endometrium atau karsinoma adalah 9%, 99%, 90%,
48%.USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika
wanita mengalami perdarahan post menopause (PMB) membutuhkan
tes diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret)
untuk menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium.
Pada 339 wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan
endometrium ≤ 4 mm yang berkembang menjadi karsinoma
endometrium selama 10 tahun. Pada wanita pasca menopause
ketebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal
kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum uteri

15
secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi
dengan memasukkan cairan kedalam uterus.6

 Pipelle endometrial biopsy


Pengambilan sampel endometrium dengan pipelle merupakan cara
yang ektif dan relatif tidak mahal untuk mengambil jaringan untuk
diagnosis histologi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal.
Pada penelitian prospektif, acak untuk membandingkan antara pipelle
(n = 149) dan kuret(n = 126) pada wanita dengan perdarahan uterus
abnormal, sampel jaringan yang kurang hanya 12,8% dan 9,5%.
Perbedaan ini tidak  30 signifikan (P<0,05). Pada kedua kelompok
pasien, memiliki kesamaan diagnosis dengan diagnosis histerektomi
sebesar 96%. Studi sebelumnya menjelaskan wanita dengan banyak
penyebab perdarahan uterus abnormal, bagaimanapun sangat penting
untuk dilakukan pemeriksaan pipelle EMB untuk membuat diagnosis
yang benar. Pada penelitian meta analisis pada 7914 pasien, pipelle
memiliki sensitifitas 99% untuk mendeteksi kanker endometrium pada
wanita post menopause, tetapi pada wanita dengan hiperplasia
endometrium, sensitivitas menurun hingga 75%.6

 Histeroskopi dan/atau Dilatasi dan Kuretase


Histeroskopi secara umum telah disepakati sebagai “gold standard”
untuk mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma
submukosa dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan sensitivitas
92% dan 82%.Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk mendeteksi
hiperplasia dan atau karsinoma endometrium meghasilkan angka false-
positive yang tinggi dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret
untuk diagnosis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%,
spesifisitas 95%, PPV 96%dan NPV 98% bila dibandingkan dengan
diagnosis hasil pemeriksaan jaringaan setelah histerektomi.6
 Sonohisterografi

16
Sonohisterografi merupakan pendekatan yang relatif baru
untuk mendiagnosis penyebab dari perdarahan uterus abnormal.
Keuntungan dari sonohisterografi yang melebihi dari USG transvaginal
adalah kemampuannya yang lebih baik untuk mengevaluasi kelainan
intrauterin seperti polip dan mioma submukosa. Walaupun begitu,
sonohisterografi sendiri memiliki nilai terbatas untuk mendiagnosis
hiperplasia dan karsinoma endometrium.
EMB dengan pipelle merupakan pembuktian yang efektif untuk
mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma namun memiliki sensitifitas
yang rendah untuk mendiagnosa lesi yang jinak didalam uterus.
Beberapa penelitian telah mengkombinasikan
transvaginal,sonohisterografi dan EMB dengan pipelle untuk
mengidentifikasi penyebab dari perdarahan uterus abnormal dan secara
spesifik perdarahan post menopause. Bila dibandingkan dengan DC-
histeroskopi sebagai standar utama, transvaginal, sonohisterografi, dan
EMB dengan pipelle memiliki sensitivitas lebih dari 94%.Wanita dengan
perdarahan post menopause harus menjalani pemeriksaan fisik yang
menyeluruh untuk menentukan sumber perdarahan. Jika pemeriksaan
fisik tidak dapat menjelaskan penyebab perdarahan, USG transvaginal
dapat digunakan sebagai panduan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Wanita post menopause dengan penebalan dinding uterus (>5mm) atau
wanita dengan perdarahan persisten yang tidak bisa dijelaskan
membutuhkan biopsi endometrium. Diagnosis hiperplasia atau
karsinoma endometrium pada pemeriksaan biopsi enometrium harus
dievaluasi dengan DC untuk memperoleh spesimen yang lebih luas.
Pada sebagian besar kasus , terapi hiperplasia endometrium
atipik dilakukan dengan memberikan hormon progesteron. Dengan
pemberian progesteron, endometrium dapat luruh dan mencegah
pertumbuhan kembali. Kadang kadang disertai dengan perdarahan per
vaginam. Besarnya dosis dan lamanya pemberian progesteron ditentukan

17
secara individual. Setelah terapi ,dilakukan biopsi ulang untuk melihat
efek terapi. Umumnya jenis progesteron yang diberikan adalah
Medroxyprogetseron acetate (MPA) 10 mg per hari selama 10 hari setiap
bulannya dan diberikana selama 3 bulan berturut turut.Pada pasien
hiperplasia komplek harus dilakukan evaluasi dengan D & Cfraksional
dan terapi diberikan dengan progestin setiap hari selama 6 bulan.Pada
pasien hiperplasia komplek dan atipik sebaiknya dilakukan
histerektomi kecuali bila pasien masih menghendaki anak. Pada pasien
dengan tumor penghasil estrogen harus dilakukan ekstirpasi.6

h. Penatalaksanaan
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai
berikut:5,6
 Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus
sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.
 Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar
hormon di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek
samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan
sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan,
gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin
sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik,
akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical
progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari
setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40
mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol
asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat
diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks
Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-
4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.

18
 Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan
perbaikan, biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid
kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa
mempersiapkan diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun
alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter.
Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah
salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya.
 Histerektomi Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi
perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori
atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya
adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan
angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup
memiliki anak dan sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang
tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.
Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering
terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan
yang efektif.

i. Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi
dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan
yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi
pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5%
pasien dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi
ternyata juga mengalami karsinoma endometrial pada saat yang
bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa

19
atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki
karsinoma endometrial.6

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Endometrium tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel
stroma mesenkim, yang keduanya sangat sensitive terhadap kerja hormone
seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron
mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhan
dan progesterone mempertahankannya.1,2
Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kelenjar
endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan
pada rasio kalenjar/stroma.
Faktor resiko utama pada hiperplasia endometrium mirip dengan
kanker endometrium, di mana keduanya mempunyai populasi pasien beresiko
tinggi adalah wanita peimenopauese ataupun pascamenopause dengan berat
badan yang obesitas.
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering
muncul pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari

20
penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia
endometrium dengan perdarahan yang banyak.
Histeroskopi secara umum telah disepakati sebagai “gold standard”
untuk mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma submukosa
dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan sensitivitas 92% dan 82%.
Pada penatalaksanaan Hiperplasia Endometrium membutuhkan
beberapa pertimbangan beberapa fakor terutama pada histerektomi yakni Usia,
keadaan hiperplasi, kemauan mempunyai anak.

Saran
Untuk penulisan referat selanjut agar dapat disusun dengan referensi-
refensi yang lebih lengkap dan terbaru.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jing Wang Chiang, M., & Warner K Huh, M. (2013, March 13).
Retrieved February 27, 2015, from
http://emedicine.medscape.com/article/269919-overview#showall
2. Peter A, dkk. New concepts for an old problem: the diagnosis of
endomentrial hyperplasia. 2016
3. Ara, S., & Roohi, M. (2012). Abnormal Uterine Bleeding;
Histopathological Diagnosis by Conventional Dilatation and Curretage.
The Professional Medical Journal , 587-591.
4. Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2013).
FIGO Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal
Uterine Bleeding in Non Gravid Women of Reproductive Age.
International Journal of Gynecology and Obstetrics , 3-12.
5. Ronald S. Gibbs MD, B. Y. (2008). Danforth's Obstetrics and Gynecology
Tenth Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
6. Schorge, J. O., Schaeffer, J. I., Halvorson, L. M., Hoffman, B. L.,
Bradshaw, K. D., & Cunningham, F. G. (2012). Endometrial Cancer. In J.

21
O. Schorge, J. I. Schaeffer, L. M. Halvorson, B. L. Hoffman, K. D.
Bradshaw, & F. G. Cunningham, Williams Gynecology. McGraw-Hill.
7. Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi
2. Jakarta : EGC..

22

Anda mungkin juga menyukai