Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Menurut WHO dan American College of Obstetricians and Gynecologist
yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat
badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan
pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi.1
Angka kematian janin termasuk dalam angka kematian perinatal yang
digunakan sebagai ukuran dalam menilai kualitas pengawasan antenatal. Angka
kematian perinatal di Indonesia tidak diketahui dengan pasti karena belum ada
survei yang menyeluruh. Angka yang ada ialah angka kematian perinatal dari
rumah sakit besar yang pada umumnya merupakan referral hospital, sehingga
belum dapat menggambarkan angka kematian perinatal secara keseluruhan.1
Patogenesis kelahiran mati bersifat multifaktorial, dengan infeksi dan komplikasi
medis ibu menyebabkan kejadian yang signifikan.2
Penyebab kematian janin bersifat multifaktorial baik dari faktor fetal,
maternal, plasenta maupun iatrogenik dengan 15 – 35 % kasus tidak diketahui
penyebabnya.3 Untuk dapat menentukan penyebab pasti harus dilakukan
pemeriksaan autopsi.4 Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini
melaporkan sejumlah faktor risiko kematian fetal, khususnya IUFD. Peningkatan
usia maternal akan meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35 tahun
memiliki risiko 40-50% lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan dengan
wanita pada usia 20-29 tahun. Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada
pasien primipara dibanding multipara. Selain itu, kebiasaan buruk (merokok),
berat maternal, kunjungan antenatal care, faktor sosioekonomi juga
mempengaruhi resiko terjadinya IUFD.5

1
2. Tujuan
Tujuan dalam penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui dan
memahami apa yang di maksud dengan “Intrauterine Fetal Death” dan
bagaimana mendiagnosanya serta bagaimana penanganannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI IUFD
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and
Gynecologist yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam
rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil
akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi1

Gambar 1. Intrauterina Fetal Death1

B. EPIDEMIOLOGI
Kelahiran mati lebih sering terlihat dengan semakin mudanya usia
gestasional.3 Melahirkan bayi (kematian janin di luar usia kehamilan 20
minggu) terjadi pada tingkat keseluruhan 6,2 per 1.000 kelahiran di Amerika
Serikat. Tingkat kematian janin antara usia kehamilan 20-27 minggu tetap
stabil pada 3,2 per 1.000 kelahiran, sementara tingkat kematian janin di luar
usia kehamilan 28 minggu sedikit menurun dari 4,3 menjadi 3,0 per 1.000
kelahiran sejak 1990.2
Di A.S., masih ada perbedaan ras yang signifikan dalam tingkat
kelahiran mati, dengan wanita kulit hitam non-Hispanik yang mengalami
kelahiran mati pada tingkat 11,13 vs 4,79 per 1.000 kelahiran hidup dan
kematian janin dibandingkan dengan wanita kulit putih non-Hispanik. Wanita

3
Hispanik juga berisiko tinggi lahir mati dibandingkan dengan wanita kulit
putih non-Hispanik (5,44 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian janin).
Meskipun akar perbedaan ini tidak diragukan lagi bersifat multifaktorial,
sebagian besar peningkatan kematian janin diperkirakan disebabkan oleh
etiologi infeksius dan komplikasi kebidanan.2

C. ETIOLOGI1,3
Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian
janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelaianan patologik
plasenta. Penyebab kematian janin bersifat multifaktorial, yaitu :
1. Faktor Fetal (24 – 40%)
Anomali kromosom, defek kelahiran non-kromosom, non-imun
hidrops, infeksi (virus, bakteri, protozoa), kehamilan kembar, kelaianan
kongenital. 1,3
2. Faktor Plasenta (25- 35%)
Kelainan plasenta (abrupsi plasenta, insufisiensi plasenta kronik,
plasenta previa), perdarahan feto-maternal, asfiksia intrapartum, twin-to-
twin transfusi, korioamnionitis. 1,3
3. Faktor Maternal (5-10%)
Diabetes Mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus eritematosus,
infeksi, hipertensi gestasional, preeklamsia, eklamsia, hemoglobinopati,
umur ibu tua, penyakit rhesus, ruptur uteri, antifosfolipid sindrom,
hipotensi akut ibu, kematian ibu.1,3
Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin intra uterin
meningkat pada ibu >40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada
ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu, dan
kegemukan.1

D. PATOFISIOLOGI 2,3

4
Patogenesis kelahiran mati bersifat multifaktorial, dengan infeksi dan
komplikasi medis ibu menyebabkan kejadian yang signifikan. Sampai 20%
kelahiran mati diyakini terkait dengan infeksi, baik karena infeksi janin
langsung atau penyakit ibu berat. Infeksi dengan Treponema pallidum dapat
menyebabkan angka kematian janin 50% di dalam rahim. Patogen lain yang
terlibat dalam kelahiran mati termasuk Escherichia coli, Streptococci
kelompok B, Mycoplasma hominis, Ureaplasma, Gardnerella dan
Bacteroides spp. Toxoplasma gondii, leptospirosis dan Listeria
monocytogenes kurang umum. Infeksi virus, seperti parvovirus dan
cytomegalovirus (CMV) juga dikaitkan dengan kematian janin.2
Banyak kondisi medis ibu dikaitkan dengan peningkatan risiko
lahir mati:
a. Diabetes
b. Hipertensi
c. Penyakit ginjal
d. Lupus eritematosus sistemik
e. Kolestasis intrahepatik kehamilan
f. Memperoleh trombofilia
g. Alloimunisasi.2
Penderita diabetes berisiko tinggi lahir mati, terutama jika ada
riwayat kontrol glikemik yang buruk. Kehamilan ini berisiko tinggi
mengalami kelainan kongenital, kelainan pada pertumbuhan janin dan
perkembangan persalinan abnormal. Hiperglikemia ibu memicu
peningkatan produksi insulin pada janin untuk mengendalikan
hiperglikemia janin berikutnya. Insulin, pada gilirannya, merangsang
pertumbuhan janin, yang jika berlebihan dapat menyebabkan asidosis
metabolik karena insufisiensi plasenta. Beberapa penelitian melaporkan
kontrol glikemik ibu yang buruk sebagai temuan pada wanita dengan lahir
mati, dengan peningkatan risiko keseluruhan 2,5-5 kali lipat dibandingkan
dengan pasien diabetes non-diabetes.2
1. Penyebab Fetal

5
Beberapa tipe abnormalitas janin menyumbang sekitar 25 hingga 50
persen dari seluruh kelahiran mati. Insidennya malformasi kongenital
mayor sangat bervariasi karena beberapa bias. Hal ini bergantung pada
bagaimana otopsi dilakukan dengan dan jika demikian, meliputi
pengalaman, minat, dan pelatihan terhadap ahli patologi. Defek tabung-
saraf, hidrops, hidrosefalus terisolasi, dan penyakit jantung kongenital
kompleks merupakan penyebab tersering. 3
Kelahiran mati yang disebabkan oleh infeksi janin juga sering
ditemukan, terutama jika ditemukan sumber infeksi bakterial asendens
pada cairan amnion dan plasenta. Infeksi lain yang berpotensi letal
meliputi gangguan yang disebabkan oleh cytomegalovirus, dan provovirus
B19, rubella, varicella, listeriosis, borreliosis, toksoplasmosis, dan banyak
lagi. 3

2. Penyebab Plasental
Banyak penyakit janin akibat abnormalitas plasenta yang juga
dikategorikan sebagai penyebab maternal atau fetal. Solusio plasenta
merupakan penyebab kematian janin tunggal yang paling sering
teridentifikasi. Infeksi membran dan plasenta yang bermakna biasanya
berkaitan dengan infeksi janin. Infark plasenta terlihat sebagai area
degenerasi trofoblastik fibrinoid, klasifikasi, dan infark iskemik akibat
oklusi arteria spiralis. Perdarahan fetal-maternal yang cukup untuk
menenimbulkan kematian janin dilaporkan pada 4,7 persen dari 319
kematian janin di Los Angeles Country Women’s Hospital. Sindrom twin-
twin transfusion merupakan penyebab umum kematian janin pada
kehamilan multifetal multikorionik.3

3. Penyebab Maternal
Meskipun terlihat hanya memberikan sedikit kontribusi pada kematian
janin, faktor maternal sering kurang diperhatikan. Beberapa hipertensif
dan diabetes merupakan dua penyakit maternal yang paling sering dan
menyebabkan 5 sampai 8 persen kelahiran mati.3

6
E. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS IUFD 1,3,4,5
Penentuan penyebab kematian janin membantu adaptasi fisiologis
terhadap rasa kehilangan yang besar, membantu mengatasi rasa bersalah
yang merupakan bagian dari rasa berkabung, membuat konseling dengan
memperhatikan rekurensi sehingga lebih akurat dan dapat memastikan
terapi atau intervensi untuk mencegah hasil akhir yang sama pada kehamilan
berikutnya. 3
Diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi dan
pemeriksaan plasenta serta selaput.1
1. Anamnesis :
Pasien mengeluh gerakan janin berkurang atau tidak lagi gerakan
janinnya.
2. Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi :Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih rendah dari usia
kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang
biasanya dapat terlihat pada ibu yang kurus.
Palpasi : Tidak teraba gerakan- gerakan janin.
Auskultasi :Tidak dapat didengar adanya bunyi jantung janin setelah
usia kehamilan 10-12 minggu pada pemeriksaan
ultrasonic Doppler merupakan bukti kematian janin yang
kuat.

3. Pemeriksaan Penunjang :
a. USG (Ultrasonografi)
USG sebagai baku emas untuk mengkonfirmasi suatu IUFD
dengan mendokumentasikan tidak adanya pergerakan janin, aktivitas
jantung janin setelah usia gestasi 6 minggu yang diukur selama
periode observasi 10 menit dengan USG, merupakan bukti kuat
adanya kematian janin. Selain itu dapat ditemukan juga adanya edema
kulit kepala dan maserasi janin.6

7
Gambar 2. Tanda Spalding sign pada pemeriksaan USG6

Tingkatan perubahan-perubahan yang terjadi pada janin yang


meninggal antara lain:
1) Rigor Mortis (Kaku mayat). Berlangsung kurang lebih 2,5 jam
setelah kematian janin kemudian otot menjadi relaksasi.

8
Gambar 3. Rigor Mortis3

2) Maserasi Tingkat I
Kulit janin belum rusak tapi mudah lepas dan terjadi gelembung-
gelembung berisi cairan jernih lalu beberapa saat kemudian berisi
darah.Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.

Gambar 4. Maserasi Tingkat I3

3) Maserasi Tingkat II
Tampak gelembung-gelembung mudah lepas yang berisi cairan
kecoklatan sehingga air ketuban menjadi merah coklat, terjadi
setelah 48 jam janin mati.

9
Gambar 5. Maserasi Tingkat II3

4) Maserasi Tingkat III


Terjadi kurang lebih 3 minggu setelah janin mati.
Badan janin sangat lemas, hubungan antar tulang-tulang sangat
longgar. Edema di bawah kulit.

Gambar 6. Maserasi Tingkat III3

b. Foto Radiologi
Secara histologi, foto rontgen abdominal digunakan untuk
mengkonfirmasi IUFD. Tiga temuan sinar X yang dapat menunjukkan
adanya kematian janin yaitu 5 hari tanpak tulang kepala kolaps, tulang
kepala saling tumpang tindih (gejala ‘spalding’), tulang belakang
hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala, tampak gambaran gas pada
jantung dan pembuluh darah.

c. Pemeriksaan Urine

10
Penurunan kadar gonadotropin korionik manusia (Human
Chorionis Gonadotropin/HCG) mungkin dapat membantu diagnosis
dini selama kehamilan. Pemeriksaan hCG menjadi negatif setelah
beberapa hari kematian janin.

F. ALUR INVESTIGASI PADA IUFD 3


Bertujuan untuk :
1. Memastikan diagnosis IUFD secara sonografi atau radiologi
2. Memeriksa kadar fibrinogen darah dan masa
tromboplastin parsial secara periodik, terutama bila
janin dipertahankan dalam kandungan > 2 minggu.
3. Mencari penyebab kematian janin.

Alur Pemeriksaan Kelahiran Mati 3

1. Deskripsi bayi
a. malformasi
b. bercak/ noda
c. warna kulit – pucat, pletorik
d. derajat maserasi
2. Tali pusat prolaps
a. pembengkakan - leher, lengan, kaki
b. hematoma atau striktur
c. jumlah pembuluh darah
d. panjang tali pusat
3. Cairan Amnion
a. warna – mekoneum, darah
b. konsistensi
c. volume
4. Plasenta

11
a. berat plasenta
b. bekuan darah dan perlengketan
c. malformasi struktur – sirkumvalata, lobus aksesorius
d. edema – perubahan hidropik
5. Membran amnion
a. bercak/noda
b. ketebalan

G. PENATALAKSANAAN 2,5
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera
diberi informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana
penatalaksanaannya. Rekomendasikan untuk segera diintervensi.
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun
dengan kecenderungan terjadinya koagulopati.
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan
pemeriksaan tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi
pembekuan, dan gula darah. Diberitahukan kepada keluarga tentang
kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental
emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir
pervaginam.1 Begitu kematian janin didiagnosis, waktu dan rute persalinan
harus ditentukan pada usia kehamilan, keadaan klinis yang sesuai, dan yang
terpenting, preferensi pasien.
Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2
minggu, umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif
dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan
perabdominam bila janin letak lintang. 1 Induksi persalinan dapat
dikombinasi oksitosin dan misoprostol. Jika induksi persalinan dipilih,
misoprostol adalah metode induksi yang paling disukai pada usia kehamilan
24-28 minggu, misoprostol secara vaginal (50-100 ug tiap 4-6 jam) dengan
dosis oksitosin yang tinggi merupakan alternatif yang valid. Untuk induksi
pada kehamilan diatas 28 minggu, protokol obstetrik standar harus diikuti,

12
dengan penggunaan oksitosin dan prostaglandin yang sesuai dengan dosis
misoprostol 25 ug pervaginam/6 jam.2
Penatalaksanaan pada kasus kematian janin dalam rahim yaitu
dengan terminasi kehamilan. Beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun
ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum
keputusan diambil.
2. Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu persalinan
spontan hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan spontan
akan terjadi tanpa komplikasi
3. Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan,
lakukan penanganan aktif.
4. Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks yaitu:
a. Jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin
atau prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan
prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi
c. Persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir
5. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun
dan serviks belum matang, dilakukan pematangan serviks dengan
misoprostol:
a. Berikan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina dan dapat diulang
sesudah 6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol maka naikkan
dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg
setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis.
6. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.
7. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah
pecah, waspada koagulopati

13
8. Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan
melakukan kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut.
9. Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya
patologi plasenta dan infeksi.5
Kematian janin secara psikologis sangat traumatik untuk wanita dan
keluarganya. Stres yang lebih lanjut terjadi pada interval lebih dari 24 jam
antara diagnosis kematian janin dan induksi persalinan. 3 Penyedia layanan
harus menawarkan dukungan emosional dan layanan berkabung kepada
pasien dan keluarga. Pengawasan yang ketat diperlukan untuk
pengembangan depresi. Pasien harus didorong untuk mencari konseling
prakonsepsi mengenai kehamilan berikutnya.2
Induksi persalinan adalah suatau tindakan terhadap ibu hamil yang
belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi Rahim sehingga terjadi persalinan.
1) Indikasi janin
a. Kehamilan lewat waktu
b. Ketuban pecah dini
c. Janin mati
2) Indikasi ibu
a. Kehamilan dengan hipertensi
b. Kehamilan dengan diabetes mellitus
Kontaindikasi induksi persalinan antara lain:
a. Malposisi janin
b. Insufisinesi plasenta
c. Disporposi sefalopelvik
d. Cacat rahim, misalnya pernah mengalami seksio sesarea, enukleasi
miom
e. Grande multipara
f. Gemelli
g. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion
h. Plasenta previa

14
Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi, diantaranya:
1) Hendaknya serviks uteri sudah matang, yaitu serviks sudah mendatar
dan menipis dan sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, sumbu
serviks menghadap ke depan.
2) Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
3) Tidak ada kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan
4) Sebaiknya kepala jani sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop. Jika skor
Bishop kurang atau sama dengan 3 maka angka kegagalan induksi
mencapai lebih dari 20% dan berakhir pada seksio sesarea, bila nilai lebih
dari 8 induksi persalinan kemungkinan akan berhasil. Angka yang tinggi
menunjukkan kematangan serviks.

Tabel 1. Skor Bishop untuk menilai kematangan serviks untuk induksi persalinan.1

SKOR 0 1 2 3
Pembukaan 0 1-2 3-4 5-6
serviks
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan kepala -3 -2 -1 0 +1 +2
diukur dari
bidang H III (cm)
Konsistensi keras sedang lunak
serviks
Posisi serviks kebelakang Searah sumbu Kearah depan
jalan lahir

15
Jika bishop skor kurang dari 6 direkomendasikan menggunakan agen
pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pendekatan non farmakologi
dalam pematangan serviks dan induksi persalinan meliputi senyawa herbal,
minyak merica, mandi air hangat, enema, hubungan seksual, stimulasi payudara,
akupuntur, akupresur, stimulasi saraf transkutaneus, serta modalitas mekanis dan
bedah. Dari metode-metode non farmakologis ini, hanya metode-metode mekanis
dan bedah yang telah membuktikan manfaat dalam pematangan swrviks dan
induksi persalinan meliputi prostaglandin, misoprostol, mifepristone dan relaxin.
Apabila skor bishop cukup, agen farmakologi yang lebih disukai adalah
oksitosin.1
Pada janin mati dan tidak mungkin lahir spontan pervaginam dan ibu
dalam keadaan bahaya (maternal distress) seksio sesarea tidak dilakukan, sebagai
gantinya dapat dilakukan embriotomi.1
Evaluasi pada bayi lahir mati
Evaluasi pada bayi lahir mati berfungsi untuk:1
1) Adaptasi psikologis terhadap kehilangan yang mendalam dapat dipermudah
apabila etiologi spesifiknya dapat diketahui.
2) Dapat meredakan rasa bersalah yang merupakan bagian dari kedukaan.
3) Diagnosis yang tepat menyebabkan penyuluhan mengenai kekambuhan akan
lebih akut dan bahkan memungkinkan dilakukannya terapi atau intervensi
untuk mencegah terjadinya hal yang sama pada kehamilan berikutnya.
4) Memberi informasi identifikasi sindrom-sindrom herediter.
Protokol pemeriksaan bayi lahir mati harus diulas secara sistematik dan
terperenci tentang kejadian-kejadian prenatal, dan bayi, plasenta, serta selaput
ketuban harus diperiksa secara cermat disertai pencataan temuan, baik yang
positif maupun negatif. Dianjurkan tindakan otopsi, baik secara lengkap (lebih
dianjurkan) atau terbatas. Sampel dikirim untuk penelitian sitogenik pada
kasus malformasi janin, kematian janin berulang atau hambatan pertumbuhan.
Protokol untuk pemeriksaan bayi lahir mati di Parkland Hospital

16
H. KOMPLIKASI 2,5
1. Gangguan psikologis
Trauma psikis ibu ataupun keluarga, apalagi bila waktu antara
kematian janin dan persalinan berlangsung lama. Dampak psikologis
dapat timbul pada ibu setelah labih dari 2 minggu kematian janin yang
dikandungnya.
2. DIC (Disseminated Intravascular Coagulopaty)
Janin yang mati menyebabkan kebocoran tromboplastin dan bahan
seperti tromboplastin yang melintasi plasenta menuju sirkulasi ibu
sehingga konsumsi faktor-faktor koagulasi termasuk faktor V, VIII,
protrombin dan trombosit
3. Ensefalomalasia multikistik
Hal ini dapat terjadi pada kehamilan kembar, terutama kehamilan
monozigotik dimana memiliki sirkulasi bersama antara janin kembar
yang masuk hidup dengan yang salah satu janinya meninggal. Dalam
hal ini sering kali mengakibatkan kematian segera janin lainnya. Jika
janin kedua masih dapat bertahan hidup, maka janin tersebut mamiliki
resiko tinggi terkena ensefalomalasia multikistik.
Bila salah satu bayi kembar ada yang meninggal dapat terjadi
embolisasi bahan tromboplastik dari janin yang meninggal melalui
komunikasi vascular plasenta ke janin yang masih hidup dengan atau
tanpa perubahan hemodinamik (hipotensi) pada saat kematian janin
sehingga terjadi infark cedera selular pada otak (ensefalomalasia
multikistik, yang diagnosisnya dikonfirmasi dengan ekonsefalografi),
usus, ginjal dan paru.
4. Hemoragik post partum
Hipofibrinogenemia (kadar fibrionogen < 100 mg%), biasa pada 4-5
minggu sesudah IUFD (kadar normal fibrinogen pada wanita hamil
adalah 300-700 mg%). Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat
terjadi hemoragik post partum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu
setelah janin mati.

17
5. Infeksi intrauterin bila terjadi ketuban pecah dan koagulopati konsumtif
bila kematian janin lebih dari 2 minggu dan dapat terjadi pada hingga
4% wanita yang ditangani dengan harapan setelah diagnosis kematian
janin. Risiko ini meningkat jika dugaan abrupsi, namun umumnya jarang
terjadi dalam 4 minggu pertama setelah diagnosis.

I. PENCEGAHAN
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau
mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak
bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan
USG untuk mengevaluasi kegawatan janin sebelum terjadi kematian dan
terminasi kehamilan dapat segera dilakukan bila terjadi gawat janin.1
Resiko kematian janin dapat sepenuhnya dihindari dengan antenatal
care yang baik. Ibu menjauhkan diri dari penyakit infeksi, merokok,
minuman beralkohol atau penggunaan obat-obatan.1
Pencegahan kelahiran mati pada kehamilan berikutnya harus berfokus
pada modifikasi faktor risiko melalui perawatan kondisi medis ibu,
mencapai berat badan pra-kehamilan yang optimal, dan obat-obatan, alkohol
dan penghentian merokok jika ada. Konseling prakonsepsi sangat
dianjurkan. Riwayat menyeluruh yang merinci keadaan kematian janin
sebelumnya harus diperoleh termasuk: usia kehamilan pada saat kematian,
morbiditas medis, komplikasi kehamilan, dan patologi dan hasil evaluasi
kelahiran mati lainnya jika tersedia.2
Respon kesedihan yang segera atau terlambat dari para calon ibu dan
ayah adalah alamiah dan perlu diantisipasi. Separuh wanita yang mengalami
kematian perinatal membutuhkan perawatan psikiatri untuk menghindari
komplikasi psikiatri.4

18
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat
badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada
kehamilan 20 minggu atau lebih.1
Kelahiran mati lebih sering terlihat dengan semakin mudanya usia
gestasional.3 Melahirkan bayi (kematian janin di luar usia kehamilan 20
minggu) terjadi pada tingkat keseluruhan 6,2 per 1.000 kelahiran di
Amerika Serikat.2
Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin
dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelaianan patologik
plasenta.
Dalam diagnosis, Pasien mengeluh gerakan janin berkurang atau
tidak lagi gerakan janinnya.Pada pemeriksaan fisik didapatkan salah satunya

19
adalah tidak didapatkan adanya gerakan janin saat palpasi serta tidak
didapatkan ada bunyi jantung janin pada pemeriksaa ultrasonic doppler.
Dan untuk lebih memastikan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
USG.1,3
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan
pemeriksaan tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi
pembekuan, dan gula darah. Diberitahukan kepada keluarga tentang
kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental
emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir
pervaginam.1

2. Saran.
Saran dalam penyusunan referat selanjutnya agar dapat disusun dengan
referensi-referensi lebih terbaru dan terlengkap.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Winkjosastro H. Kematian Janin. In: Rachimhadhi T,


editor. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014. p. 732-734
2. Timofeev, Julia. Intra Uterine Fetal Death (IUFD). American Journal of
Obstetrics & Gynecology. USA. [ Journal ] January 8th
2012. Available from
https://www.journals.elsevier.com/american-journal-of-obstetrics-and-
gynecology/ Accesed November 20, 2017.
3. Cunningham, FG. Leveno, KJ. Bloom, SL. (et al). Kematian Janin. In: Rudi
Setia, editor. Williams Obstetrics Volume 1, 23rd Edition. Jakarta: EGC;
2013. p 658-662.

20
4. Rayburn, WF. Carey JC. Bayi Lahir Mati dan Abortus Berulang. In: Virgi
Saputra, editor. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika; 2012. p
150-152.
5. A, Ardy C. G3P2A0, 38 Years Old, Gravid 28 weeks, Single Fetal Death,
Intrauterine, Breech Presentation, Breech, Yet In Partu With Intrauterine
Fetal Death (IUFD). Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. [ serial
online ] 2013 Available from
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/92 Accesed
April 02, 2019.
6. Morgal MA, Refaey M. et al. Fetal death in utero. Radiopedia [online] 2019
[cited 2019 Apr 10]. Available from: URL:
https://radiopaedia.org/articles/fetal-death-in-utero-1
7.  O’Donell C. Fetal death: splading sign. Radiopedia [online] 2019 [cited 2019
Apr 10]. Available from: URL: https://radiopaedia.org/cases/fetal-death-
spalding-sign

21

Anda mungkin juga menyukai