Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kelainan kongenital adalah penyebab utama kematian bayi di negara maju maupun
negara berkembang. Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis
kelainan saja atau dapat pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan
sebagai kelainan kongenital multipel. Kadang- kadang suatu kelainan kongenital belum
ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa
waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kemajuan teknologi kedokteran,
kadang-kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus. Bila
ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu kewaspadaan
kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan bahwa bila ditemukan
dua atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukannya kelainan
kongenital besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila ditemukan tiga atau lebih
kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukan kelainan kongenital besar sebesar
90%.
Di negara maju, seperti Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 3% dari bayi yang
lahir (120.000) akan memiliki beberapa jenis cacat lahir utama. Sementara upaya-upaya
yang terpisah telah memantau terjadinya cacat lahir, peran cacat lahir dalam terjadinya
kelahiran prematur tidak baik dipahami.
Sedangkan di negara berkembang, data dari negara-negara berkembang pada cacat
lahir sulit untuk mendapatkannya. Hal ini dimungkinkan karena asfiksia dan infeksi
adalah masalah yang lebih besar. Malaysia, negara menengah berkembang telah
berkembang sedemikian rupa sehingga cacat lahir sekarang merupakan penyebab penting
kematian perinatal terhitung 17,5% kematian perinatal dan neonatal. Strategi untuk
mengurangi kelainan bawaan telah dibahas dalam agenda nasional.
Di Indonesia, sekitar 2% dari semua bayi yang dilahirkan membawa cacat
kongenital serius, yang mengancam nyawa, menyebabkan kecacatan permanen, atau
membutuhkan pembedahan untuk memperbaikinya. Kematian lebih banyak terjadi pada
awal-awal kehidupan dan lebih banyak pada anak laki-laki di semua umur.
Hal ini dikarenakan hanya sedikit pengetahuan yang kita miliki tentang penyebab
abnormalitas kongenital. Cacat pada gen tunggal dan kelainan kromosom bertanggung
jawab atas 10-20% dari total kecacatan yang terjadi. Sebagian kecil berkaitan pada
infeksi intrauterin (misalnya sitomegalovirus, rubella), lebih sedikit lagi disebabkan obat-
obatan teratogenik dan yang lebih sedikit lagi disebabkan radiasi ionisasi.
Sampai dengan 70% dari kelainan kongenital ternyata dapat dicegah atau dapat
diberikan perawatan yang bisa menyelamatkan nyawa bayi atau mengurangi keparahan
disabilitas yang mungkin diderita dengan memberikan terapi yang tepat yaitu dengan
pembedahan. Sedangkan untuk pencegahan, khususnya dilakukan sebelum terjadi
pembuahan atau pada kehamilan usia dini.
Kelainan kongenital pada sistem urogenital merupakan kelainan yang jauh dari
biasa. Sebanyak 10% dari bayi yang lahir dengan beberapa kelainan urogenital. Kejadian
ini dapat menyebabkan berbagai derajat morbiditas dan mortalitas pasien. Pemindaian
yang benar dan tepat untuk kelainan ini sangatlah penting. Kelainan yang dapat
terdeteksi dan dapat diobati secara tepat waktu dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas. Bahkan dalam kasus terburuk dari kelainan sistem urogenital yang tidak
terdeteksi dapat menyebabkan kematian dini, diagnosis yang tepat dapat membantu
dalam pengambilan keputusan antenatal dan postnatal termasuk pemeriksaan genetik
yang dapat membantu perencanaan masa kehamilan dan bahkan analisis kehidupan
anggota keluarga saat ini.
Hingga saat ini belum ada teori pasti yang dapat menjawab etiologi dari kelainan
kongenital sistem urogenital secara jelas. Beberapa peneliti hanya sepakat bahwa
kejadian kelainan kongenital sistem urogenital dikarenakan multi faktor yang
berhubungan dengan faktor dari ibu dan janin di antaranya infeksi intrauterin, obat-
obatan, usia ibu, gizi ibu, riwayat obstetrik, penyakit yang diderita ibu, antenatal care,
prematur dan mutai gen.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mencari faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian kelainan kongenital sistem urogenital supaya dapat
dikembangkan intervensi lain sebagai upaya pencegahan kelainan kongenital sistem
urogenital. Hingga saat ini, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kelainan kongenital sistem urogenital.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal kejadian
kelainan kongenital sistem urogenital.

B. RUMUSAN MASALAH
Apa saja patofisiologi maternal dalam kehamilan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal persalinan Preterm
2. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Ketuban Pecah Dini
3. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal anemia dalam kehamilan
4. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Cytomegalovirus
5. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal DM dalam kehamilan
6. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Hypertensi dalam kehamilan
7. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Rubella dalam kehamilan
8. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal toxoplasmosis dalam kehamilan
9. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal malaria dalam kehamilan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Persalinan Preterm
1. Pengertian
Persalian preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari pertama haid terakhir (ACOD 1995).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi
yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Persalinan preterm
merupakan hal yang berbahaya kerena potensial meningkatkan kematian perinatal
sebesar 65%-75%, umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah. Berat lahir
rendah dapat disebabkan oleh kelahiran preterm dan pertumbuhan janin yang
terhambat.
Keduanya sebaiknya harus dicegah karena dampaknya yang negatif; tidak
hanya kematian perinatal tetapi juga morbiditas, potensi generasi akan datang,
kelainan mental dan beban ekonomi bagi keluarga dan bangsa secara keseluruhan.
Pada kebanyakan kasus, penyebab pasti persalianan preterm tidak ketahui.
Berbagai sebab dan faktor demografik diduga sebagai penyebab persalinan
preterm, seperti : solusi plasenta, kehamilan ganda, kelainan uterus,
polihidramnion, kelainan kongenital janin, ketuban pecah dini dan lain-lain.
Penyebab persalinan preterm bukan tunggal tetapi multikompleks, antara lain
karena infeksi. Infeksi pada kehamilan akan menyebabkan suatu respon
imunologik spesifik melalui aktifasi sel limfosit B dan T dengan hasil akhir zat-zat
yang menginisasi kontraksi uterus. Terdapat makin banyak bukti yang
menunjukan bahwa mungkin sepertiga kasus persalinan preterm berkaitan dengan
infeksi membran korioamnion.
Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yg terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu .
2. Masalah persalinan preterm
Angka kejadianpersalinan preterm pada umunya adalah sekitar 6-10%
.Hanya 1,5 % persalinan terjadi pada usia kehamilan kuarang dari 32 minggu dan
0,5 % pada kehamilan kurang diri 28 minggu namun,kehamilan ini merupakan 2/3
dari kematian neonatal.Kesulitan utama dalam persalian preterm ialah perawatan
bayi preterm,yg semakin usia kehamilan yg semakin besar morbiditas dan
mortalitas.Penelitian lain menunjukan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir
saling berkaitan dengan resiko kematian perinatal.
3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial.
Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal
dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak
kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan
mediator biokimia yang mempunyai dampak yang terjadinya kontraksi rahim dan
perubahan serviks, yaitu:
a. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stres pada ibu atau janin
b. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari
traktus gebitourinaria atau infeksi sistemik
c. Perdarahan desidua
d. Peregangan uterus patologik
e. Kelianan pada uterus atau serviks
Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan
prematur harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi,
menyebabkan persalianan prematur atau seorang dokter terpaksa mengakhiri
kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan.
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah
a. Janin dan plasenta
1) Perdarahan trimester awa
2) Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)
3) Ketuban pecah dini (KPD)
4) Pertumbuhan janin terhambat
5) Cacat bawaan janin
6) Kehamilan ganda/gamely
7) Polihidramnion
b. Ibu
1) Penyakit berat pada ibu
2) Diabetes mellitus
3) Preeklamsia/ hipertensi
4) Infeksi saluran kemih/genetal/intrauterine
5) Penyakit infeksi dengan demam
6) Stres psikologik
7) Kelainan bentuk uterus/serviks
8) Riwayat persalinan preterm/abortus berulang
9) Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1cm)
10) Pemakaian obat narkotik
11) Trauma
12) Perokok berat
13) Kelainan imunologi/kelainan resus
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan preterm
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya persalianan preterm
dapat diklasifikasikan secara rinci sebagai berikut:
a. Kondisi umum
b. Keadaan sosial ekomoni rendah
c. Kurang gizi
d. Anemia
e. Perokok berat, dengan lebih dari 10batang/hari.
f. Umur hamil terlalu muda kurang dari atau terlalu tua di atas 35 tahun.
g. Penyakit ibu yang menyertai kehamilan
h. Penyulit kebidanan
Perkembangan dan keadaan hamil dapat meningkatkan terjadinya
persalinan perterm diantaranya :
a. Kehamilan dengan hidramnion, ganda, pre-eklamsia.
b. Kehamilan dengan perdarahan antepartum pada solusio plasenta, plasenta
previa, pecahnya sinus marginali
c. Kehamilan dengan ketuban pecah dini: gawat janin, temperatur tinggi.
d. Kelainan anatomi Rahim
e. Keadaan rahim yang sering menimbulkan kontraksi dini: serviks inkompeten
karena kondisi serviks, amputasi serviks.
f. Kelainan kongenital Rahim
g. Infeksi pada vagina aseden (naik) menjadi amninitis
Sedangkan menurut Mochtar (1998:220), faktor yang mempengaruhi
prematuritas adalah sebagai berikut:
a. Umur ibu, suku bangsa, sosila ekonomi
b. Bakteriura (infeksi saluran kencing)
c. BB ibu sebelum hamil, dan sewaktu hamil
d. Kawin dan tidak kawin: tak syah 15% prematur; kawin syah 13% premature
e. Prenatal (antenatal) care
f. Anemia, penyakit jantung
g. Jarak antara opersalian yang terlalu dekat
h. Pekerjaan yang terlalu berat sewaktu hamil berat
i. Keadaan bayi yang harus dilahirkan prematur, misalnya pada plasenta previa,
toksemia gravidarum, solusio plasentae atau kehamilan ganda.
5. Gejala klinis dari persalinan preterm
Tanda-tanda klinis dari persalinan preterm adalah didahului dengan adanya
kontrkasi uterus dan rasa menekan pada panggul kemudian diikuti dengan
keluarnya cairan vagina yang mengandung darah
6. Indikator-indikator untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm
Pengenalan dini wanita yang berisiko untuk terjadinya persalinan preterm
adalah hal yang sangat penting. Berbagai indikator telah dikemukakan untuk
pengenalan dini resiko terjadinya persalinan preterm antara lain sebagai berikut.
a. Indikator klinik
Seperti persalinan pada umumnya, kontraksi uterus, penipisan atau
pemendekan serviks baik dengan pemeriksaan klinis (manual) ataupun alat
tokodinaminometer (untuk mengetahui adanya kontraksi uterus yang adekuat),
serta ultrasonografi (untuk mengetahui pemendekan serviks) merupakan
indikator klinis yang sangat penting diketahui untuk meramalkan pakah
persalianan preterm akan terjadi dalam waktu singkat atau masih adapat
dipertahankan untuk meningkatkan usia hamil.
b. Indikator laboratorik
Jumlah leokosit dalam air ketuban dengan nilai batas 20 atau lebih
perml mempunyai arti dalam menentukan adanya korioamnionitis dengan OR
74,0 dibanding dengan pemeriksaan CRP (0,7mg/ml). Leokosit dalam serum
ibu (13rb/ml) pemeriksaan tersebut lebih bermakna.
c. Indikator biokimiawi
Fibronektin janin adalah protein pada selaput korio amnion desidua
dan dalam air ketuban. Fungsinya sebagai perekat antara buah kehamilan
dengan permukaan dalam dinding uterus. Produksi fibronektin janin oleh sel
korion manusia akan meningkat oleh reaksi peradangan. Beberapa peneliti
telah membuktikan peran fibronektin janin ini untuk meramalkan kejadian
persalinan preterm. Peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina serviks
dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara
korion dengan desidua. Pada kehamilan 24minggu atau lebih kadar fibronektin
janin dalam cairan servikskovagina 50mg/ml atau lebih kan meningkatkan
risiko terjadinya persalinan preterm dengan sensitifitas 80% dan nilai prediksi
positif 83% lebih jauh peningkatan kadar fibronektin janin pada kehamilan 8-
22mg pada wanita yang berisiko tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya
persalinan preterm secara bermakna.
d. Diagnosis dari persalinan
Diagnosis suatu persalinan preterm yang membakat (preterm labor)
didasarkan atas gejala klinis yang ditandai dengan suatu kontraksi rahim yang
teratur dengan interval <5-8 menit pada kehamilan 20-37mg, yang disertai
dengan satu atau lebih gejala-gejala berikut.
1) Perubahan serviks yang progresif
2) Pembukaan serviks 2cm atau lebih
3) Pendaftaran serviks 80% atau lebih
Lams dkk, mengemukakan tentang cara menentukan risiko terjadinya
persalinan preterm dengan USG dan pemeriksaan vagina pada kehamilan 24-
34mg dan sebelum 36mg.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Laboraturium
1) Pemeriksaan kultur urine
2) Pemeriksaan gas dan pH darah janin
3) Pemeriksaan darah tepi ibu
Jumlah leokosit
C-reactive protein (CRP) ada pada serum penderita yang menderita
infeksi akaut adan didekteksi berdasarkan kemampuannya untuk
mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman
Pneumococcus yang disebut fraksi C.
b. Amniosentesis
1) Hitung leokosit
2) Perwarnaan gram bakteri (+) pasti ammnionitis
3) Kultur
4) Kadar glukosa cairan amnion,
c. Pemeriksaan ultrasonografi
1) Oligohidramnion :
Goulk dkk. (1985) mendapati hubungan antara oligohidramnion
dengan korioamnionitis klinis antepartum.
2) Penipisan serviks :
Lams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan serviks <3cm (USG),
dapat dipastikan akan terjadi persalina preterm.
3) Kardiotokografi :
Kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi
8. Penatalaksanaan
Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm akibat
amnionitis dan yang mengalami gejala persalinan preterm membakat harus
ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran noenatal. Pada kasus-kasus
amnionitis yang tidak mungkin ditangani akspektatif, harus dilakukan intervensi,
yaitu dengan :
a. Akselerasi pematangan fungsi paru
1) Terapi glukokortikoid, misalnya dengan betamethasone 12mg im. 2kali
selang 24jam. Atau dexamethasone 5mg tiap 12 jam (IM) sampai 4 dosis.
2) Thyrotropin releasing hormone 400ug iv, akan meningkatkan kadar tri-
iodothyronine yang dapat meningkatkan produksi surfaktan. Suplemen
inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang
berperan dalam pembentukan surfaktan
b. Pemberian antibiotik
Mercer dan arheart (1995) menunjukan bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan spesies
neonatorum. Diberikan 2 gram ampicilin (iv) tiap 6 jam sampai persalinan
selesai (ACOG). Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman
aerob. Yyang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas setelah itu
dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm,
bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolitik.
c. Pemberian tokolitik
1) Nifedin 10mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya
hanya diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3 x 10 mg.
2) Golongan beta – mimetik
a) Salbutamol
b) Per infus : 20 – 50
c) Per oral : 4 mg ,2- 4 kali/hari( maintenance)
9. Penanganan
Penanganan umum
a. Lakukan evaluasi cepat keadaan ibu
b. Upayakan melakukan konfirmasi umur kehamilan bayi
Prinsip penanganan
a. Coba hentikan kontraksi uterus atau penundaan kehamilan
b. Persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya
Oleh karena usia hamil dan berat lahir merupakan faktor penentu dari fetal
survival, maka yang menjadi tujuan utama pengelolaan persalinan adalah sebagai
berikut.
a. Meningkatkan usia hamil
b. Meningkatkan berat lahir
c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal.
Prinsip pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah bergantung
pada hal-hal berikut ini.
a. Kondisi ketuban masih untuh atau sudah pecah
b. Usia kehamilan dan perkiraan berat janin
c. Ada atau tidak adanya gejala klinis dari infeksi intrauterine
d. Ada atau tidak petanda-petanda yang meramalkan persalinan dalam waktu
yang relatif dekat (kontraksi, penipisan serviks, dan kadar IL – dalam air
ketuban).
Pengelolaan persalinan preterm dengan ketuban yang masih lunak
Pada dasarnya apabila tidak ada bahaya untuk ibudan janin, maka
pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah konservatif, yaitu sebagai
berikut.
a. Menunda persalinan dengan tirah baring dan pemberian obat – obat tokolitik.
b. Memberikan obat-obat untuk memacu pematangan paru janin.
c. Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko terjadinya infeksi
perinatal
d. Merencanakan cara persalinan preterm yang aman dan dengan trauma yang
minimal
e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi
prematur.
Usia hamil <34 minggu
a. Tokolitik untuk menghentikan kontraksi uterus
Bermacam-macam tokolitik yang dikenal dengan titik tangkap dan cara
kerja yang berbeda dapat diberikan baik secara tunggal maupun kombinasi
sesuai dengan prosedur pemberian yang dianjurkan dengan tetap
memperhatikan kemungkinan efek samping yang dapat timbul pada ibu / atau
janin.
1) Beta -2 agonis
Terbutalin
Prosedur pengobatan dengan terabutalin.
1000 mcg (2 amp) terabutalin dalam 500 ml NaCL sehingga diperoleh
konsentrasi 2 mcg/ml atau 0,5 mcg/tetes.
Dosis awal diberikan 1 mcg/menit atau 10tetes/menit. Dosis dinaikan
setiap 15 menit dengan 0,5 mcg(5 tetes) sampai his menghilang atau
timbul tanda-tanda efek samping yang dirasakan membahayakan ibu dan
atau janin.
Dosis maksimum yang dianjurkan adalah 5mcg/menit (5 tetes/menit).bila
his berhenti,maka dosis dipertahankan pada kecepatan tersebut selama 1
jam, kemudian diturunkan 0,5mgc atau 5 tetes setiap 15 menit sampai
dosis pemeliharaan ( maintenance) sebesar 2 mcg/menit atau 20
tetes/menit dan dipertahankan sampai 8jam kemudian. Bila sebelum 8 jam
terjadi kontraksi lagi, maka dosis dinaikan lagi seperti diatas. Dosis total
yang dianjurkan sampai dengan 2.000 mgc (4amp) salam 1.000 ml NaCL.
Bila tidak timbul his lagi, setengah jam sebelum pemberian parenteral
dihentikan (7,5jam dalam dosis pemeliharaan), penderita boleh mulai
diberikan terbutalin oral (2,5 mg/tab) setiap 8 jam sampai 5 hari atau
sampai ada tanda-tanda efek samping yang membahayakan ibu dan atau
janin.
Beta -2 agonis yang lain dapat diberikan sesuai dengan prosedur yang
dianjurkan pada masing – masing obat.
Efek samping samping pemberian obat tersebut adalah sebagai berikut :
a) Ibu : efek beta – 1 terhadap jantung ibu berupa palpitasi hebat.
b) Janin : gangguan paada sirkulasi feto-plasental yang mengakibatkan
hipoksia janin intrauterin.
2) Non – steroid anti – inflamatory agents
Cox -2 inhibitor (nimesulid) oral dengen dosis 3x100 mg/hari.
Obat-obat NSAIAs yang lain (seperti indomethasin dan lain-lain, saat ini
tidak dianjurkan lagi terutama pada kehamilan >32minggu karena efek
samping penutupan dini duktus arteriosus).
3) Calsium Antagonis
Nifedipine oral dengan dosis 3x10 mg/hari. Pada dasarnya obat ini cukup
aman terhadap ibu dan janin, akan tetapi dalam beberapa penelitian pernah
ditemukan efek samping pada ibu berupa sakit kepala dan hipotensi.
4) Progesteron
Obat-obat progesteron diberikan parenteral maupun oral sesuai dosis yang
di anjurkan.
5) Oxytocin analog
Atosiban (Belum beredar di Indonesia)
b. Kortkosteroid untuk memacu pematangan paru janin intarauterine.
Betamethason 12-16 mg (3-4 amp) /IM,/hari diberikan selama 2 hari
(liggin dan Howie 1972) atau Dexamethason 6 mg/IM, diberikana 4 dosis tiap
6 jam sekali (Parkland Hospital, 1994). Pemberian ini hanya dianjurkan sekali
saja, tidak dianjurkan untuk mengulangi pemberian setelah ini karena efek
samping terhadap ibu (hipertensi) dan janin (gangguan perkembangan syaraf )
(NIHCDC-2000).
c. Antibiotik untuk mencegah infeksi perinatal (ibu dan bayi).
Ampisilin Sulbactam parenteral 2x1,5 g selama 2 hari, kemudian
dilanjutkan oral 3x 375 mg/hari selama 5 hari. Obat antibiotik yang lain
sebaiknya dipilih obat-obat golongan B (Klasifikasi FDA untuk obat-obat
untuk ibu hamil) terutama dianjurkan derivat penisilin/ampisilin mengingat
efek teratogenikterhadap janin. Pemberian antibiotik ini masih banyak
kontroversi karena satu pihak berhasil menurunkan kejadian infeksi pada
amnion/janin dan memperpanjang usia kehamilan (karena bisa meningkatkan
efek obat-obat tokolitik), akan tetapi pihak lain menolak memberikan karena
ternyata pemberian antibiotik ini tidak memperbaiki hasil akhir (outcome)
janin seperti kejadian-kejadian Necrotising Enterocolitis (NEC), Respiratory
Distress Syndrome (RDS), dan Intracranial Haemorhage (Mercer dan Arheart
1995). Kyle dan turner (1996) menolak memberikan antibiotik dalam jangka
waktu lama karena alasan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dari bakteri
lain dan resistensi bakteri terhadap antibiotik.
d. Cara Persalinan.
Upayakan persalinan preterm yang man dan non-traumatis, serta
perawatan intensif untuk bayi prematur. Cara persalinan yang dianjurkan
adalah spontan pervaginam atau SC atas indikasi obstetrik yang ada (Kelainan
letak, gawat janin).

Usia Hamil 34 Minggu/ Lebih


Oleh karena Survival Rate dan jangka kejadian RDS bayi prematur dengan
usia hamil 34 minggu tidak berbeda secara bermakna, maka pada kasus demikian
menuunda persalinan untuk meningkatkan usia hamil tidak terlalu diutamakan.
Akan tetapi, pemberian tokolitik hanya untuk menunda sampai dengan 48 jam
yang bertujuan untuk memberi kesempatan memberikan obat-obat kortikosteroid
kecuali bila pada pemeriksaan ditemukan L/S ratio >2 atau tes lain yang
menunjukan maturitas paru janin. Selanjutnya, pemberian antibiotik dan
mengupayakan persalinan yang aman dapat menghindari trauma persalinan yang
beresiko untuk terjadinya hipoksia janin selama persalinan.

B. Ketuban Pecah Dini (KPD)


1. Pengertian
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput sebelum terdapat tanda-tanda
persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu terjadi pada
pembukaan < 4 cm yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau
kurang waktu (Winkjosastro, 2011).
Ketuban pecah dini adalah keadan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan (Sarwono, 2010).
KPD didefinisikan sesuai dengan jumlah jam dari waktu pecah ketuban
sampai awitan persalinan yaitu interval periode laten yang dapat terjadi kapan saja
dari 1-12 jam atau lebih (Varney, 2008).
2. Klasifikasi
a. KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia
kehamilan < 37 minggu sebelum onset persalinan (Varney, 2008).
KPD preterm adalah saat umur kehamilan ibu antara 34 minggu
sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai
kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering digunakan adalah
persalinan kurang dari 37 minggu (Royal Hospital for Women, 2010).
Ketuban pecah dini adalah keadan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan (Sarwono, 2010).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan KPD preterm adalah
pecahnya ketuban yang terbukti dengan vaginal pooling pada usia kehamilan
kurang dari 37 minggu.
b. KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini atau premature rupture of membranes (PROM)
adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37
minggu (Cunningham, 2010).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput sebelum terdapat tanda-
tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu terjadi
pada pembukaan< 4 cm yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu
atau kurang waktu (Winkjosastro, 2011).
Ketuban pecah dini adalah keadan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan (Sarwono, 2010).
Dari beberapa devinisi diatas dapat disimpulkan ketuban pecah dini
atau premature rupture of membranes (PROM) adalah keadan pecahnya
selaput ketuban sebelum persalinan pada usia kehamilan ≥37 minggu.
3. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan ada faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-faktor mana yang
lebih berperan sulit diketahui. Adapun yang menjadi faktor adalah:
a. Faktor Maternal
1) Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil di mana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
2) Infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang secara spesifik permulaan
berasal dari vagina, anus, atau rectum dan menjalar ke uterus.
3) Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut kelainan
pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan
lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak
mampu menahan desakan janin yang semakin besar
4) Riwayat KPD sebelumnya (Winkjosastro, 2011).
b. Faktor Neonatal
1) Makrosomia adalah berat badan neonatus > 4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over
distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga
menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput ketuban menjadi teregang,
tipis, dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan selaput
ketuban mudah pecah.
2) Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya : Gemelli
(Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih). Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi
karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput
ketuban) relatif kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan
sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.
3) Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion > 2000mL.
Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.
Hidramnion kronis adalah peningkatan jumlah cairan amnion terjadi secara
berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba
dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja
(Winkjosastro, 2011).
4. Patofisiologi
Banyak teori, mulai dari defect kromosom, kelainan kolagen, sampai
infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai
65%). High virulensi berupa Bacteroides Low virulensi, Lactobacillus Kolagen
terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringa retikuler korion dan
trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system
aktifitas dan inhibisi interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan
inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan
kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/
amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
5. Faktor Risiko ibu bersalin dengan Ketuban Pecah Dini
a. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan atau aktivitas responden sehari-hari,
namun pada masa kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan
kehamilannya hendaklah dihindari untuk menjaga keselamatan ibu maupun
janin. Kejadian ketuban pecah sebelum waktunya dapat disebabkan oleh
kelelahan dalam bekerja. Hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi ibu-ibu hamil
agar selama masa kehamilan hindari/kurangi melakukan pekerjaan yang berat.
(Saifuddin, 2010).
Pola pekerjaan ibu hamil berpengaruh terhadap kebutuhan energi.
Kerja fisik pada saat hamil yang terlalu berat dan dengan lama kerja melebihi
tiga jam perhari dapat berakibat kelelahan. Kelelahan dalam bekerja
menyebabkan lemahnya korion amnion sehingga timbul ketuban pecah dini.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ibu yang bekerja dan lama kerja ≥40 jam/
minggu dapat meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali mengalami KPD
dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan fisik ibu juga berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi. Pada
ibu yang berasal dari strata sosial ekonomi rendah banyak terlibat dengan
pekerjaan fisik yang lebih berat (Indramarwan, 2012).
b. Paritas
Multigravida atau paritas tinggi merupakan salah satu dari penyebab
terjadinya kasus ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian. Paritas 1 dan paritas tinggi
(lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi, risiko pada
paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetric lebih baik, sedangkan risiko
pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.
Konsistensi serviks pada persalinan sangat mempengaruhi terjadinya ketuban
pecah dini pada multipara dengan konsistensi serviks yang tipis, kemungkinan
terjadinya ketuban pecah dini lebih besar dengan adanya tekanan intrauterin
pada saat persalinan. Konsistensi serviks yang tipis dengan proses pembukaan
serviks pada multipara (mendatar sambil membuka hampir sekaligus) dapat
mempercepat pembukaan serviks sehingga dapat beresiko ketuban pecah
sebelum pembukaan lengkap (Fatikah, 2010).
Paritas 2-3 merupakan paritas yang dianggap aman ditinjau dari sudut
insidensi kejadian ketuban pecah dini. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih
dari tiga) mempunyai resiko terjadinya ketuban pecah dini lebih tinggi. Pada
paritas yang rendah (satu), alat-alat dasar panggul masih kaku (kurang elastik)
daripada multiparitas. Uterus yang telah melahirkan banyak anak
(grandemulti) cenderung bekerja tidak efisien dalam persalinan (Cunningham,
2010).
Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relatif lebih aman
untuk hamil dan melahirkan pada masa reproduktif, karena pada keadaan
tersebut dinding uterus belum banyak mengalami perubahan, dan serviks
belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat menyanggah
selaput ketuban dengan baik. Ibu yang telah melahirkan beberapa kali lebih
berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami
gangguan yang mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan
akhirnya pecah spontan (Saifuddin, 2010).
c. Umur
Umur individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang
tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan
lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dengan bertambahnya umur
seseorang maka kematangan dalam berfikir semakin baik sehingga akan
termotivasi dalam pemeriksaan kehamilam untuk mecegah komplikasi pada
masa persalinan. Umur dibagi menjadi 3 kriteria yaitu < 20 tahun, 20-35 tahun
dan > 35 tahun. Usia reproduksi yang aman untuk kehamilan dan persalinan
yaitu usia 20-35 tahun. Pada usia ini alat kandungan telah matang dan siap
untuk dibuahi, kehamilan yang terjadi pada usia < 20 tahun atau terlalu muda
sering menyebabkan komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini
disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim
belum bisa menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban belum matang
dan mudah mengalami robekan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Sedangkan pada usia yang terlalu tua atau > 35 tahun
memiliki resiko kesehatan bagi ibu dan bayinya (Santoso, 2013).
Keadaan ini terjadi karena otot-otot dasar panggul tidak elastis lagi
sehingga mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salah satunya
adalah perut ibu yang menggantung dan serviks mudah berdilatasi sehingga
dapat menyebabkan pembukaan serviks terlalu dini yang menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini.
Hasil penelitian membuktikan bahwa umur ibu <20 tahun organ
reproduksi belum berfungsi secara optimal yang akan mempengaruhi
pembentukan selaput ketuban menjadi abnormal. Ibu yang hamil pada umur
>35 tahun juga merupakan faktor predisposisi terjadinya ketuban pecah dini
karena pada usia ini sudah terjadi penurunan kemampuan organ-organ
reproduksi untuk menjalankan fungsinya, keadaan ini juga mempengaruhi
proses embryogenesis sehingga pembentukan selaput lebih tipis yang
memudahkan untuk pecah sebelum waktunya (Kusmiawati, 2008).
d. Riwayat Ketuban Pecah Dini
Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami KPD kembali.
Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat adanya penurunan
kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya KPD aterm
dan KPD preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami
KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan
berikutnya akan lebih berisiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari
pada wanita yang tidak mengalami KPD sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2010).
Riwayat kejadian KPD sebelumnya menunjukkan bahwa wanita yang
telah melahirkan beberapa kali dan mengalami KPD pada kehamilan
sebelumnya diyakini lebih berisiko akan mengalami KPD pada kehamilan
berikutnya. Keadaan yang dapat mengganggu kesehatan ibu dan janin dalam
kandungan juga juga dapat meningkatkan resiko kelahiran dengan ketuban
pecah dini. Preeklampsia/ eklampsia pada ibu hamil mempunyai pengaruh
langsung terhadap kualitas dan keadaan janin karena terjadi penurunan darah
ke plasenta yang mengakibatkan janin kekurangan nutrisi (Cunningham,
2010).
e. Usia Kehamilan
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada
usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan
prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya
insiden Sectio Caesaria, atau gagalnya persalinan normal. Persalinan prematur
setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam
1 minggu. Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat
ukur kesehatan janin yang paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering
ditentukan dengan pengkajian usia kehamilan. Pada tahap kehamilan lebih
lanjut, pengetahuan yang jelas tentang usia kehamilan mungkin sangat penting
karena dapat timbul sejumlah penyulit kehamilan yang penanganannya
bergantung pada usia janin.
Periode waktu dari KPD sampai kelahiran berbanding terbalik dengan
usia kehamilan saat ketuban pecah. Jika ketuban pecah trimester III hanya
diperlukan beberapa hari saja hingga kelahiran terjadi dibanding dengan
trimester II. Makin muda kehamilan, antar terminasi kehamilan banyak
diperlukan waktu untuk mempertahankan hingga janin lebih matur. Semakin
lama menunggu, kemungkinan infeksi akan semakin besar dan
membahayakan janin serta situasi maternal (Astuti, 2012).
f. Cephalopelvic Disproportion (CPD)
Keadaan panggul merupakan faktor penting dalam kelangsungan
persalinan,tetapi yang tidak kurang penting ialah hubungan antara kepala janin
dengan panggul ibu. Partus lama yang sering kali disertai pecahnya ketuban
pada pembukaan kecil, dapat menimbul dehidrasi serta asidosis dan infeksi
intrapartum. Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan
yang penting untuk mendapat keterangan lebih banyak tentang keadaan
panggul (Sarwono, 2011).
6. Tanda Gejala
Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah keluarnya
cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan
tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau
menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan
berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila anda
duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina
yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-
tanda infeksi yang terjadi.(Saifuddin, 2010))
7. Diagnosis
Penegakkan diagnosis ketuban pecah dini adalah sebagai berikut: bila air
ketuban banyak dan mengandung mekonium verniks maka diagnosis dengan
inspeksi mudah ditegakkan, tapi bila cairan keuar sedikit maka diagnosis harus
ditegakkan pada :
a. Anamnesa : kapan keluar cairan, warna, bau, adakah partikel-partikel di dalam
cairan (lanugo serviks)
b. Inpeksi : bila fundus di tekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar cairan
dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior.
c. Periksa dalam : ada cairan dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada
lagi.
d. Pemeriksaan laboratorium : Kertas lakmus : reaksi basa (lakmus merah
berubah menjadi biru), Mikroskopik : tampak lanugo, verniks kaseosa (tidak
selalu dikerjakan).
e. Pemeriksaan penunjang (Ababi, 2008).
8. Komplikasi
a. Ibu
1) Infeksi pada ibu yang disebabkan oleh bakteri yang secara spesifik
permulaan berasal dari vagina, anus, atau rectum dan menjalar ke uterus.
2) Gagalnya persalinan normal yang diakibatkan oleh tidak adanya kemajuan
persalinan sehingga meningkatkan insiden seksio sesarea.
3) Meningkatnya angka kematian pada ibu (Sarwono, 2010).
b. Bayi
1) Hipoksia dan asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan
tali pusat sehingga terjadi asfiksia atau hipoksia.
2) Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul dengan persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi pada 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34
minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan dalam 1 minggu.
3) Sindrom Deformitas Janin
Ketuban pecah dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin.
4) Peningkatan morbiditas neonatal karena prematuritas (Sarwono, 2010).
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketuban pecah dini dibagi pada kehamilan aterm,
kehamilan pretem, serta dilakukan induksi, pada ketuban pecah dini yang sudah
inpartu (Ababi, 2008).
a. Ketuban pecah dengan kehamilan aterm
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm yaitu : diberi antibiotika,
Observasi suhu rektal tidak meningkat, ditunggu 24 jam, bila belum ada tanda-
tanda inpartu dilakukan terminasi. Bila saat datang sudah lebih dari 24 jam,
tidak ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi
b. Ketuban pecah dini dengan kehamilan premature
1) EFW (Estimate Fetal Weight) < 1500 gram yaitu pemberian Ampicilin 1
gram/ hari tiap 6 jam, IM/ IV selama 2 hari dan gentamycine 60-80 mg
tiap 8-12 jam sehari selama 2 hari, pemberian Kortikosteroid untuk
merangsang maturasi paru (betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam),
melakukan Observasi 2x24 jam kalau belum inpartu segera terminasi,
melakukan Observasi suhu rektal tiap 3 jam bila ada kecenderungan
meningkat > 37,6°C segera terminasi
2) EFW (Estimate Fetal Weight) > 1500 gram yaitu melakukan observasi
2x24 jam, melakukan observasi suhu rectal tiap 3 jam, pemberian
antibiotika/kortikosteroid, pemberian Ampicilline 1 gram/hari tiap 6 jam,
IM/IV selama 2 hari dan Gentamycine 60-80 mg tiap 8-12 jam sehari
selama 2 hari, pemberian Kortikosteroid untuk merangsang meturasi paru
(betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24jam ), melakukan VT selama
observasi tidak dilakukan, kecuali ada his/inpartu, Bila suhu rektal
meningkat >37,6°C segera terminasi, Bila 2x24 jam cairan tidak keluar,
USG: bagaimana jumlah air ketuban : Bila jumlah air ketuban cukup,
kehamilan dilanjutkan, perawatan ruangan sampai dengan 5 hari, Bila
jumlah air ketuban minimal segera terminasi. Bila 2x24 jam cairan
ketuban masih tetap keluar segera terminasi, Bila konservatif sebelum
pulang penderita diberi nasehat seperti segera kembali ke RS bila ada
tanda-tanda demam atau keluar cairan lagi (Ababi, 2008).

C. Anemia Dalam Kehamilan


1. Pengertian
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya
kurang dari 12 gr% .Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu
dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr%  pada trimester I dan III atau kadar <
10,5 gr% pada trimester II .
Anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena kekurangan zat besi,jenis
pengobatannya relatif mudah bahkan murah. Darah akan bertambah banyak dalam
kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi,
bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma
sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai
berikut : plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%.
Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10
minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu.
Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja
jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan. Kebanyakan anemia dalam
kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak
jarang keduanya saling berinteraksi.
2. Penyebab Anemia
Diketahui penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut :
a. Kurang gizi / malnutrisi
b. Kurang zat besi dalam diit
c. Malabsopsi
d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu,haid dan lain-lain
e. Penyakit-penyakit kronik seperti: TBC, paru,cacing usus, malaria dan lain-
lain

3. Gejala Anemia pada Ibu Hamil


Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah ,sering
pusing,mata berkunang- kunang,malaise, lidah luka, nafsu makan turun
(anoreksia),konsentrasi hilang, nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan
mual muntah lebih hebat pada hamil muda. Klasifikasi Anemia dalam kehamilan
sebagai berikut :
a. Anemia defisiensi besi
Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam
darah.pengobatannya yaitu, keperluan zat besi untuk wanita hamil,tidak hamil
dan dalam laktasi yang dianjurkan adalah pemberian tablet besi.
1) Pengobatan oral adalah dengan memberikan preparat besi yaitu fero sulfat,
fero glukonat atau Na-fero bisirat. Pemberian preparat 60mg/hari dapat
menaikkan kadar Hb  sebanyak 1 gr%/bulan.saat ini program nasional
menganjurkan kombinasi 60mg besi dan 50 nanogram asam folat untuk
profilaksis anemia.
2) Pengobatan melalui suntikan baru diperlukan apabila penderita tidak tahan
akan zat besi per oral,dan adanya gangguan penyerapan, untuk penyakit
saluran pencernaan atau masa kehamilannya tua. Untuk menegakan
diagnosa Anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesa.Hasil
anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing,mata berkunang-
kunang dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda. Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan
alat Sachli,dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I
dan III.
Hasil pemeriksaan Hb dengan sachli dapat digolongkan sebagai berikut :
1) Hb 11 gr%  : Tidak anemia
2) Hb  9 – 10 gr% : Anemia ringan
3)  Hb 7 – 8 gr% : Anemia sedang
4) Hb < 7 gr% : Anemia berat
Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata mendekati 800
mg.Kebutuhan ini terdiri dari, sekitar 300 mg diperlukan untuk janin dan
plasenta 500 mg lagi digunakan untuk meningkatkan masa haemoglobin
maternal. Kurang lebih 200 mg lebih akan diekskresikan lewat usus, urin dan
kulit. Makanan ibu hamil setiap 100 kalori akan menghasilkan sekitar 8- 10
mg zat besi. Perhitungan makan 3 kali dengan 2500 kalori akan menghasilkan
sekitar 20-25 mg zat besi perhari. Selama kehamilan dengan perhitungan 288
hari, ibu hamil akan menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg sehingga
kebutuhan zat besi masih kekurangan untuk wanita hamil.
b. Anemia Megaloblastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folik, jarang sekali
karena kekurangan vitamin B 12.
Pengobatannya:
1) Asam folik ? 15 -30 mg /hari
2)  Vitamin  B12 ?  3×1 tablet/hari
3) Sulfas ferosus ? 3×1 tablet/hari
4) Pada kasus berat dan pengobatan peroral hasilnya lamban sehingga dapat
diberikan tranfusi darah.
c. Anemia Hipoplastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang untuk
membentuk sel darah merah baru. Untuk diagnosis diperlukan pemeriksaan-
pemeriksaan diantaranya adalah darah tepi lengkap, pemeriksaan pungsi ekternal
dan pemeriksaan retikulosi.
d.  Anemia Hemolitik
Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel darah merah
yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan
kelainan – kelainan gambaran darah, kelemahan, serta gejala kompliksai bila
terjadi kelainan pada organ vital. Pengobatannya tergantung pada jenis anemia
hemolitik serta penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya
diberantas dan diberikan obat-obat penambah darah. Namun pada beberapa jenis
obat-obatan,hal ini tidak member hasil.Sehingga tranfusi darah berulang dapat
membantu penderita ini.

4. Efek Anemia Pada Ibu Hamil,Bersalin dan Nifas


Anemia dapat terjadi pada ibu hamil,karena itulah kejadian ini harus selalu
diwaspadai.anemia yang terjadi saat ibu hamil Trimester I akan dapat mengakibatkan
Abortus ( keguguran) dan kelainan kongenital. Anemia pada kehamilan trimester II
dapat menyebabkan : persalinan premature,perdarahan antepartum,gangguan
pertumbuhan janin dalam rahim,asfiksia intrauterin sampai kematian, Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR),gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Saat inpartu, anemia dapat menimbulkan gangguan his baik
primer maupun sekunder, janin akan lahir dengan anemia,dan persalinan dengan
tindakan yang disebabkan karena ibu cepat lelah. Saat pasca melahirkan anemia dapat
menyebabkan : atonia uteri ,retensio plasenta,perlukaan sukar sembuh,mudah
terjadinya febris puerpuralis dan gangguan involusi uteri.
Kejadian anemia pada ibu hamil harus selalu diwaspadai mengingat anemia dapat
meningkatkan risiko kematian ibu, angka prematuritas,BBLR dan angka kematian
bayi.Untuk mengenali kejadian anemia pada kehamilan, seorang ibu harus
mengetahui gejala anemia pada ibu hamil , yaitu cepat lelah,sering pusing,mata
berkunang-kunang, malaise,lidah luka,nafsu makan turun (anoreksia),konsentrasi
hilang, nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada
kehamilan muda.

D. Asma Dalam Kehamilan


1. Pengertian Asma pada Kehamilan
The American Thoracic Society (1962): adalah suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan.
Gibbs dkk (1992) mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik
pada saluran napas yang banyak diperankan oleh terutama sel mast dan
eosinophil. Beberapa pengertian Asma menurut beberapa sumber :
a. Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan heredites utama dimana
otot-otot bronchi (saluran udara pada paru) mengalami kontraksi
penyimpitan sehingga menyulitkan pernapasan.
b. Asma merupakan penyakit kronik dari saluran pernapasan yang hilang dan
timbul diduga mempunyai hubungan yang erat dengan sistem imun dari tubuh.
c. Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea
dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyimpitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik
secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thorakic
Society).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Asma dalam kehamilan adalah gangguan
inflamasi kronik jalan napas terutama sel mast dan eosinofil sehingga
menimbulkan gejala periodik berupa sesak napas, dada terasa berat, dan batuk
yang ditemukan pada wanita hamil.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering
dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil
menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi.
2. Jenis-jenis Asma
Asma dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Asma interisik (berasal dari dalam)
Yang sebab serangannya tidak diketahui
b. Asma eksterisik (berasal dari luar)
Yang pemicu serangannya berasal dari luar tubuh (biasanya lewat
pernafasan). Serangan asma dapat berlangsung singkat atau berhari-hari.
Bisanya serangan dimulai hanya beberapa menit setelah timbulnya pemicu.
Frekuensi asma berbeda-beda pada tiap penderita. Serangan asma yang hebat
dapat menyebabkan kematian
3. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
a. Faktor Predisposisi
1) Genetik.
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
2) Faktor Prepisitas
Alergen
Dimana alergen dapat dibagai menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Ex : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b) Ingestan, yahg masuk melalui mulut
Ex : Makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Ex : perhiasan, logam, dan jam tangan
b. Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti : musim hujan, musim kemarau, musim bunga,. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga danb debu
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
d. Lingkungan Kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja dilaboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polusi lalu lintas.
Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas.
4. Tanda / Gejala Asma
a. Kesulitan bernafas
b. Kenaikan denyut nadi
c. Nafas berbunyi, terutama saat menghembuskan udara
d. Batuk kering
e. Kejang otot di sekitar dada
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada tabel berikut dibawah :
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEVI (% predicted)
Alkalosis respiratori Normal ↓ ↑ 65 – 80
ringan
Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64

Tingkat waspada ↓ Norma Normal 35 – 49


l
Asidosis respiratori ↓ ↓ ↑ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh
hiperventilasi sebagai refleksi dari PO2 arteri normal, menurunnya PO2 dan
alkalosis respiratori. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena Fatigue
menjadikan retensi CO2. pada hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat
sebagai PO2 arteri yang berubah menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat
yang diikuti kegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan asedemia
5. Patofisiologi
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama.
Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada
kromosom 5, 6, 11, 12, 14 & 16 termasuk reseptor Ig E yang afinitasnya tinggi,
kelompok gen sitokin dan reseptor antigen Y –Cell sedangkan lingkungan yang
menjadi alergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok.
Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi
otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di
saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat
iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin
menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostalgladine
D2 dan leukotrienes. Karena prostagladin seri F dan ergonovine dapat menjadikan
asma, maka penggunaanya sebagai obat-obat dibidang obstetric sebaiknya dapat
dihindari jika memungkinkan.
6. Komplikasi
a. Keguguran
b. Persalinan premature
c. Pertumbuhan janin terhambat
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
a. Menurunnya aliran darah pada uterus
b. Menurunnya venous return ibu
c. Kurva dissosiasi oksi ttb bergeser ke kiri
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi :
a. Menurunnya aliran darah ke pusat
b. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
c. Menurunnya cardiac output
Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat-obatan asma terhadap
fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat – obat anti asma akan
membahayakan asma.
7. Pengaruh Kehamilan terhadap Asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak
dapat disuga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai
60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma.
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya
akan mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan
dengan mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil
dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-
kehamilan berikutnya.
Gluck & Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan
akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan
kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau
pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan
faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin,
sebagai faktor yang memberikan pengaruh.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi
serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung
pervaginam.
8. Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan
Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat
ringannya asma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara bermakna
mempengaruhi hasil akhir kehamilan, beberapa penelitian menunjukkan adanya
peningkatan insidensi abortus, kelahiran prematur, janin dengan berat badan lahir
rendah, dan hipoksia neonatus. Beratnya derajat serangan asma sangat
mempengaruhi hal ini, terdapat korelasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan
berat lahir janin. Angka kematian perinatal meningkat dua kali lipat pada wanita
hamil dengan asma dibandingkan kelompok kontrol.
Asma berat yang tidak terkontrol juga menimbulkan resiko bagi ibu,
kematian ibu biasanya dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, dan
komplikasi yang mengancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
kor pulmonale akut, aritmia jantung, serta kelemahan otot dengan gagal nafas.
Angka kematian menjadi lebih dari 40% jika penderita memerlukan ventilasi
mekanik.
Asma dalam kehamilan juga dihubungkan dengan terjadinya sedikit
peningkatan insidensi preeklampsia ringan, dan hipoglikemia pada janin, terutama
pada ibu yang menderita asma berat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penanganan penderita
secara intensif, akan mengurangi serangan akut dan status asmatikus, sehingga
hasil akhir kehamilan dan persalinan dapat lebih baik.
9. Diagnosis Asma Bronchial
Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik
seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang
dengan masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan,
tetapi kadang-kadang dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung
terus menerus.
Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis
alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan
penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai
faktor pencetus serangan.
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat
obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi,
pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam
serangan. Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan
mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang
10. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya :
1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil.
2) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
3) Crede yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
4) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang diatas 15000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
4) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
11. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen
yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang
menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat
adalah sebagai berikut :
1) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak dihilus akan bertambah
2) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
3) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltratepada paru.
4) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
5) Bila terjadi penuomonia mediastinum, pneuomotoraks dan penuomoperi
kardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjaid selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada
empisema paru, yaitu :
1) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi
dan clock wise rotation
2) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right Bundle Branch Block)
3) Tanda – tanda hipoksemia, yakni sinus tachycardia, SVES dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
d. Scanning Paru
Dengan scaning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang
paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan
dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis
asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidka saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting
untuk berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan
tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi
f. USG
Ibu hamil penderita asma sebaiknya rajin memeriksakan janinnya sejak
awal. Pemeriksaan denga USG dilakukan sejak usia kehamilan 12 – 20
minggu untuk mengetahui pertumbuhan janin. USG dapat diulang pada TM II
dan TM III terutama bila derajat asmanya berada pada tingkat sedang – berat
g. Electronic Fetal Heart rate Monitoring
             Untuk memeriksa detak jantung janin
12. Penatalaksanaan
a. Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1) Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera.
2) Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma.
3) Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan
penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatannya yang
diberikan dan bekerja sama dengan dokter atauperawat yang merawatnya.
b. Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu :
1) Pengobatan non Farmakologik :
a) Memberikan penyuluhan
b) Menghindari faktor pencetus
c) Pemberian cairan
d) Fisiotherapy
e) Beri O2 bila perlu
2) Pengobatan Farmakologi
a) Bronkodilator yang melebarkan saluran nafas
Seperti aminofilin atai kortikosteroid inhalasi atau oral pada
serangan asma ringan. Obat antiasma umumnya tidak berpengaruh
negatife terhadap janin kecuali adrenalin.
b) Adrenalin mempengaruhi pertumbuhan janin karena penyempitan
pembuluh daraj ke janin yang dapat mengganggu oksigenasi pada janin
tersebut.
c) Aminofilin dapat menyebabkan penurunan kontraksi uterus
Menangani serangan asma akut (sama dengan wanita tidak
hamil), yaitu :
i. Memberikan cairan intravena
ii. Mengencerkan cairan sekresi di paru
iii. Memberikan oksigen (setelah pengukuran PO2, PCO2) sehingga
tercapai PO2 lebih 60 mmHG dengan kejenuhan 95% oksigen
atau normal.
iv. Cek fungsi paru
v. Cek janin
vi. Memberikan obat kortikosteroid
Menangani status asmatikus dengan gagal nafas
vii. Secepatnya melakukan intubasi bila tidak terjadi perubahan
setelah pengobatan intensif selama 30 – 60 menit.
viii. Memberikan antibiotik saat menduga terjadi infeksi
ix. Persalinan  spontan dilakukan saat pasien tidak berada dalam
serangan
x. Melakukan ekstraksi vakum atau forseps saat pasien berada
dalam serangan
xi. Seksio sesarea atas indikasi asma jarang atau tidak pernah
dilakukan.
xii. Meneruskan pengobatan reguler asma selama proses kelahiran.
xiii. Jangan memberikan analgesik yang mengandung histamin
tetapi pilihlah morfin atau analgesik epidural.
xiv. Hati-hati pada tindakan intubasi dan penggunaan prostagladin
E2 karena dapat menyebabkan bronkospasme.
Memilih obat yang tidak mempengaruhi air susu.
xv. Aminofilin dapat terkandung dalam air susu sehingga bayi akan
mengalami gangguan pencernaan, gelisah dan gangguan tidur.
xvi. Obat antiasma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak
berbahaya karena kadarnya dalam air susu sangat kecil
c. Penanganan asma kronik pada kehamilan 
Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam
serangan akut, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan
dan ahli paru. Usaha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi
melalui pengobatan dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan asma
yang berat. Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi :
1) Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak
akan memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan
stres dapat memacu timbulnya serangan asma.
2) Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan
asma
3) Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa
adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus,
kematian neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya
terhadap penderita asma belum diketahui jelas.
4) Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam
plasma antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-
600 mg tiap 8-12 jam.
5) Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan
yang lainnya.
6) Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali
sehari, atau beta agonis lainnya.
7) Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat
gunakan prednison dengan dosis sekecil mungkin.
8) Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi
saluran nafas atas.
9) Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya
serangan asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi.
13. Hal-Hal Untuk Mencegah Agar Tidak Terjadi Serangan Asma Selama Hamil
a. Jangan merokok
b. Kenali faktor pencetus
c. Hindari flu, batuk, pilek atau infeksi saluran nafas lainnya. Kalu tubuh terkena
flu segera obati. Jangan tunda pengobatan kalu ingin asma kambuh.
d. Bila tetap mendapat serangan asma, segera berobat untuk menghindari
terjadinya kekurangan oksigen pada janin
e. Hanya makan obat-obatan yang dianjurkan dokter.
f. Hindari faktor risiko lain selama kehamilan
g. Jangan memelihara kucing atau hewan berbulu lainnya.
h. Pilih tempat tinggal yang jauh dari faktor polusi, juga hindari lingkungan
dalam rumah dari perabotan yang membuat alergi. Seperti bulu karpet, bulu
kapuk, asap rokok, dan debu yang menempel di alat-alat rumah tangga.
i. Hindari stress dan ciptakan lingkungan psikologis yang tenang
j. Sering – sering melakukan rileksasi dan mengatur pernafasan
k. Lakukan olahraga atau senam asma, agar daya tahan tubuh makin kuat
sehingga tahan terhadap faktor pencetus

E. Cyto Megalovirus
1. Pengertian
Cytomegalovirus (CMV) adalah infeksi oportunistik. CMV  Virus DNA
dan merupakan kelompok dari famili.Virus Herpes sehingga memiliki
kemampuan latensi. Sitomegalovirus (CMV) termasuk golonggan virus Herpes
DNA.Hal ini berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan
Replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga
terlihat sel membesar (Sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung
hantu.
2. Tanda dan Gejala
Penyakit yang paling umum disebabkan oleh CMV adalah retinitis. Ini
adalah kematian sel pada retina, bagian belakang mata. Dengan cepat dapat
menyebabkan kebutaan jika tidak diobati. CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh
dan menginfeksi beberapa organ sekaligus. Tanda-tanda pertama retinitis CMV
adalah masalah penglihatan seperti bergerak flek hitam. Ini disebut "floaters".
Mereka mungkin menunjukkan adanya radang pada retina. Pasien juga mungkin
melihat kilatan cahaya, penglihatan berkurang atau terganggu, atau bintik-bintik
buta.
3. Penularan CMV
Penularan CMV ini berlangsung secara horisontal, vertikal,  dan hubungan
Sexsual.Penularan horisontal terjadi melalui  droplet infection dan kontak dengan
air  ludah dan air seni.Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses
infeksi maternal ke janin.Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karenaa
transmisi trans-placenta selama kehamilan dan diperhatikan 0,5% - 2,5% dari
populasi neonatal.Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan
terhadap sekresi serviks yang  telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan
transfusi darah.
4. Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu
disebut infeksi primer.Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun
asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang
tidak terbatas.Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam
jaringan.Proses ini disebut infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai
multiplikasivirus.Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang
mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi
penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan.
Infeksi rekuren yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta keadaan
supresi imun yang bersifat iatrogenik.Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan
tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang
kronis.Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai
berbagai sindroma.
5. Infeksi CMV pada Kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan
infeksi pada UK < 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.Infeksi
CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus.
Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola
imunilogik seronegatif dn nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.
Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya
dalam keadaan paten.Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang
jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren.
6. Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dsengan metode
serologik maupun virologik.Dengan metodi serologik, diagnosa infeksi maternal
primer  dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropossitif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan
serial dengan interval kira-kira 3minggu.Dalam metode serologik infeksi primer
dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgGM
menunjukkan fungsional  aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama
kurang lebih 20minggu setelah infeksi primer.
Dengan Metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi
yang mengikat antigen, auatu protein dari CMV dalam sel leukosit dalam darah
ibu.
7. Terapi dan Konseling
Konseling infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan ≤ 20 minggu
setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan.Terapi diberikan guna mengobati infeksi
CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) serta tindakan profilaksis untuk mencegah
infeksi CMV setelah transplantasi organ.Obat yang digunakan untuk anti CMV
saat ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Falaaciclovir, tetapi sampai
saat ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan
intoksikasi serta resistensi.Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi kongenital.

F. DM Dalam Kehamilan
1. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan
keadaan hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak
dijumpai. Yang paling sering terjadi yaitu: diabetes mellitus yang diketahui
sewaktu hamil yang disebut DM gestasional dan DM yang telah terjadi sebelum
hamil yang dinamankan DM pragstasi. Diabetes mellitus merupakan ganguan
sistemik pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia atau peningkatan glukosa darah yang diakibatkan
produksi insulin yang tidak adekuat atau penggunaan insulin secara tidak efektif
pada tingkat seluler (Bobak. Lowdermilk, Jensen.2004. Edisi 4 hal 699).
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah kelainan pada metabolisme
karbohidrat dari faktor yang memberatkan yang terjadi selama kehamilan
(Marilyn, 2001).
Diabetes Mellitus Gestational adalah kehamilan normal yang disertai
dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Kehamilan yang disertai diabetes mellitus merupakan kondisi yang
berisiko tinggi, oleh karena itu perlu penanganan dan pendekatan multidisiplin
untuk mencapai hasil akhir yang baik. Perawat yang memberikan asuhan
keperawatan kepada wanita diabetik yang sedang hamil harus memahami respon
fisiologis normal terhadap kehamilan dan perubahan metabolisme akibat diabetes,
perawat juga harus mengetahui implikasi– implikasi psikososial kehamilan
diabetik, sehingga ia dapat mengarahkan wanita yang sedang hamil dalam
perencanaan pengimplementasian dan pengevaluasian terhadap wanita dan
keluarganya.
Disebut diabetes gestasional bila gangguan toleransi glukosa yang terjadi
sewaktu hamil kembali normal dalam 6 minggu setelah persalinan. Dianggap
diabetes mellitus (jadi bukan gestasi) bila gangguan toleransi glukosa menetap
setelah persalinan. Pada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama
masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali
didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga.
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi
glukosa berbagai tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa
membedakan apakah penderita perlu mendapat insulin atau tidak. Pada kehamilan
trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan
respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Sebagian besar DMG
asimtomatis sehingga diagnosis ditentukan secara kebetulan pada saat
pemeriksaan rutin. Diabetes melitus gestational adalah keadaan intoleransi
karbohidrat dari seorang wanita yang diketahui pertama kali ketika dia sedang
hamil. Diabetes gestational terjadi karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan,
diperkirakan karena terjadinya perubahan pada metabolisme glukosa.
Teori yang lain mengatakan bahwa diabetes tipe 2 ini disebut sebagai
“unmasked” atau baru ditemukan saat hamil dan patut dicurigai pada wanita yang
memiliki ciri gemuk, riwayat keluarga diabetes, riwayat melahirkan bayi > 4 kg,
riwayat bayi lahir mati, dan riwayat abortus berulang. Angka lahir mati terutama
pada diabetes yang tidak terkendali dapat terjadi 10 kali dari normal.
2. Perubahan metabolic selama dan setelah masa kehamilan
Kehamilan normal dikatakan sebagai suatu kondisi diabetogenik, dimana
kebutuhan akan glukosa meningkat. Metabolisme maternal mengalami perubahan
untuk memastikan suplai glukosa yang adekuat dan konstan untuk perkembangan
janin. Glukosa maternal ditransfer ke janin melalui proses difusi-difasilitasi.
Insulin ibu tidak menembusd plasenta. Pada usia gentasi sepuluh minggu, janin
meyekresi insulinnya sendiri dengan kadar yang adekutat, yang memungkinnya
menggunankan glukosa yang diperoleh dari ibu.
Pada trimester pertama kehamilan, kadar glukosa ibu menurun dengan
cepat dibawah kadar glukosa tidak hamil sampai antara 55 dan 65 mg/dl. Akibat
pengaruh estrogen dan progesterone, pancreas meningkatkan produksi insulin,
yang meningkatkan penggunaan glukosa. Pada saat yang sama, penggunaan
glukosa oleh janin meningkat, sehingga menurunkan kadar glukosa ibu. Selain itu,
trimester pertama juga ditandai dengan nausea, vomitus, dan penurunan asupan
makanan sehingga kadar glukosa ibu semakin menurun dan selama tri mester
kedua dan ketiga peningkatan kadar laktogen plasental human, estrogen,
progesterone, kortisol, prolaktin, dan insulin meningkatkan resistansi insulin
melalui kerjanya sebagai suatu antagonis. Resistansi insulin merupakan suatu
mekanisme penghematan glukosa yang memastikan suplai glukosa yang
berlimpah untuk janin. Kebutuhan ibu akan insulin meningkat sejak trimester ke
II. Kebutuhan insulin dapat meningkat 2-4 kali lipat pada kehamilan cukup bulan.
Pada saat bayi lahir, lepasnya plasenta menyebabkan penurunan mendadak
kadar hormone plasenta, kortisol dan insulin yang bersirkulasi. Ke jaringan
maternal dengan cepat kembali peka terhadap insulin seperti pada periode
sebelum hamil. Pada ibu yagn tidak menyusui bayi, keseimbangan insulin –
karbohidrat prakehamilan biasanya dicapai kembali dalam sekitar 7-10 hari.
Dalam laktasi, glukosa maternal digunakan sehinggu kebutuhan insulin ibu yang
menyusui ibu tetap rendah selama 9 bulan. Setelah penyapihan berakhir,
kebutuhan insulin ibu kembali ke kebutuhan insulinnya sebelum hamil.
3. Etilogi
Etiologi Diabetes Melitus menurut Kapita Selekta Jilid III, 2006, Yaitu :
a. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4.
b. Genetik
Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen
penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya
menderita diabetes mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai ke cucunya
bahkan cicit walaupun resikonya sangat kecil.
Secara klinis, penyakit DM awalnya didominasi oleh resistensi insulin
yang disertai defect fungsi sekresi. Tetapi, pada tahap yang lebih lanjut, hal itu
didominasi defect fungsi sekresi yang disertai dengan resistensi insulin.
Kaitannya dengan mutasi DNA mitokondria yakni karena proses produksi
hormon insulin sangat erat kaitannya dengan mekanisme proses oxidative
phosphorylation (OXPHOS) di dalam sel beta pankreas. Penderita DM proses
pengeluaran insulin dalam tubuhnya mengalami gangguan sebagai akibat dari
peningkatan kadar glukosa darah. Mitokondria menghasilkan adenosin
trifosfat (ATP). Pada penderita DM, ATP yang dihasilkan dari proses
OXPHOS ini mengalami peningkatan. Peningkatan kadar ATP tersebut
otomatis menyebabkan peningkatan beberapa senyawa kimia yang terkandung
dalam ATP. Peningkatan tersebut antara lain yang memicu tercetusnya proses
pengeluaran hormon insulin. Berbagai mutasi yang menyebabkan DM telah
dapat diidentifikasi. Kalangan klinis menyebutnya sebagai mutasi A3243G
yang merupakan mutasi kausal pada DM. Mutasi ini terletak pada gen
penyandi ribo nucleid acid (RNA). Pada perkembangannya, terkadang para
penderita DM menderita penyakit lainnya sebagai akibat menderita DM.
Penyakit yang menyertai itu antara lain tuli sensoris, epilepsi, dan stroke like
episode. Hal itu telah diidentifikasi sebagai akibat dari mutasi DNA pada
mitokondria. Hal ini terjadi karena makin tinggi proporsi sel mutan pada sel
beta pankreas maka fungsi OXPHOS akan makin rendah dan defect fungsi
sekresi makin berat.
Prevalensi mutasi tersebut biasanya akan meningkat jumlahnya bila
penderita DM itu menderita penyakit penyerta tadi.
c. Kerusakan/kelainan pankreas sehingga Kekurangan produksi insulin
Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat
menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi
pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses
metabolisme tubuh termasuk insulin. Penyakit seperti kolesterol tinggi dan
dislipidemia dapat meningkatkan resiko terkema diabetes mellitus.
d. Meningkatnya hormon antiinsulin seperti GH, glukogen, ACTH, kortisol, dan
epineprin.
e. Obat-obatan.
Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi pankreas
menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses
metabolisme tubuh termasuk insulin. Segala jenis residu obat yang
terakumulasi dalam waktu yang lama dapat mengiritasi pankreas. Contohnya
Minum soda dalam keadaan perut kososng (misalnya stelah berpuasa atau
waktu bangun tidur dipagi hari) juga harus dihindari. Sirup dengan kadar
fruktosa tinggi, soda, dan pemanis buatan yang terdapat dalam minuman soda
dapat merusak pangkreas yang menyebabkan meningkatnya berat badan, jika
kebiasaan ini diteruskan, lama kelamaan akan menderita penyakit DM.
Penelitian membuktikan bahwa perempuan yang mengkonsumsi soda lebih
dari 1 kaleng per hari memiliki resiko 2 kali terkena diabeters tipe 2 dalam
jangka waktu 4 tahun kedepannya.
f. Wanita obesitas
Sebenarnya DM bisa menjadi penyebab ataupun akibat. Sebagai
penyebab, obesitas menyebabkan sel beta pankreas penghasil insulin
hipertropi yang pada gilirannya akan kelelahan dan “jebol” sehingga insulin
menjadi kurang prodeksinya dan terjadilah DM. Sebagai akibat biasanya
akibat penggunaan insulin sebagai terapi DM berlebihan menyebabkan
penimbunan lemak subkutan yang berlebihan pula.
4. Patofisiologi
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolism endokrin dan karbohidrat
yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui.
Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga
kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tak
dapat mencapai janin, sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada
janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping
beberapa hormone lain seperti estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat
lambatnya resorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan ini
menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat
sehingga mencapai 3 kali dari keadaan normal. Hal ini disebut sebagai tekanan
diabetojenik dalam kehamilan. Secara fisiologik telah terjadi resistensi insulin
yaitu bila ia ditambah dengan insulin eksogen ia tidak mudah menjadi
hipoglikemi. Akan tetapi, bila ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin,
sehingga ia relative hipoinsulin yang menyebabkan hiperglikemia atau diabetes
kehamilan.
Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi
suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi
perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya,
komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi,
kadar insulin tetap tinggi). Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta,
dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal.
(menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga
hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan
sebagainya.
5. Faktor Predisposisi / Faktor Resiko
Faktor Predisposisi diabetes mellitus pada kehamilan :
a. Riwayat obstetrik yang mencurigakan :
1) Beberapa kali keguguran.
2) Riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab yang jelas.
3) Riwayat pernah melahirkan bayi 4000 gram
4) Pernah mengalami toxemia gravidarum
5) Polihidramnion
b. Riwayat ibu yang mencurigakan :
1) Umur ibu hamil > 30 tahun
2) Riwayat DM dalam keluarga.
3) Pernah DMG pada kehamilan sebelumnya
4) Obesitas.
5) Berat badan ibu waktu lahir > 5 kg
6) Infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil.
c. Bersifat keturunan
d. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4.
e. Meningkatnya hormon antiinsulin seperti GH, glukogen, ACTH, kortisol, dan
epineprin.
6. Komplikasi Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes mempengaruhi timbulnya komplikasi dalam kehamilan sebagai berikut :
a. Pengaruh dalam kehamilan
1) Abortus dan partus prematurus.
2) Pre-eklampsi
3) Hidramnion
4) Kelainan letak
5) Insufisiensi plasenta
b. Pengaruh dalam persalinan
1) Gangguan kontraksi otot rahim partus lama / terlantar.
2) Janin besar sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
3) Gangguan pembuluh darah plasenta sehingga terjadi asfiksia sampai
dengan lahir mati
4) Perdarahan post partum karena gangguan kontraksi otot rahim.
5) Post partum mudah terjadi infeksi.
6) Bayi mengalami hypoglicemi post partum sehingga dapat menimbulkan
kematian
7) Distosia bahu karena anak besar
8) Lebih sering pengakhiran partus dengan tindakan, termasuk seksio sesarea.
Seksio sesaria merupakan penyakit persalinan yang paling sering
ditemukan. Dari sebanyak 40 pasien DMG yang dipantau di klinik selama
3,5 tahun, Seksio sesaria dilakukan sebanyak 17,5 %.
9) Angka kematian maternal lebih tinggi
c. Pengaruh dalam nifas
1) Infeksi nifas/infeksi puerperalis.
2) Sepsis
3) Menghambat penyembuhan luka jalan lahir.
d. Pengaruh Diabetes pada Bayi
1) Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abortus.
2) Cacat bawaan terutama pada kelas D ke atas.
3) Dismaturitas terutama pada kelas D ke atas.
4) Janin besar (makrosomia) terutama pada kelas A-C.
5) Kematian dalam kandungan (Intra Uterin Fetal Death), biasanya pada
kelas D ke atas.
6) Kematian neonatal. Di klinik yang maju sekalipun angka kematian
dilaporkan berkisar antara 3-5 %.
7) Kelainan neurologik dan psikologik dikemudian hari.
7. Tanda dan Gejala Klinis
a. Polifagia.
b. Polidipsi
c. Poliuria.
d. Mata kabur .
e. Pruritus vulva.
f. Ketonemia.
g. Lemas.
h. Glikosuria.
i. Gula darah 2 jam pp > 200 mg/dl.
j. Kesemutan.
k. Gula darah puasa > 126 mg/dl
l. Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
m. Gatal
8. Penatalaksanaan
Pengobatan dan penanganan penderita diabetes yang hamil dilakukan
untuk mencapai 3 maksud utama, yaitu:
a. Menghindari ketosis dan hipoglikemia.
b. Mengurangi terjadinya hiperglikemia dan glisuria.
c. Mengoptimalkan gestasi.
Penanganan pada penderita DM meliputi:
a. Diet
Penderita harus mendapatkan lebih banyak kalori karena berat
badannya bertambah menurun. Penderita DM dengan berat badan rata-rata
cukup diberi diet yang mengandung 1200-1800 kalori sehari selama
kehamilan. Pemeriksaan urine dan darah berkala dilakukan untuk mengubah
dietnya apabila perlu. Diet dianjurkan ialah karbohidrat 40%, protein 2 gr/kg
berat badan, lemak 45-60gr. Garam perlu dibatasi untuk mengurangi
kecenderungan retensi air dan garam.
b. Olah raga
Wanita hamil perlu olah raga, tetapi sekedar untuk menjaga
kesehatannya. Kita tidak bisa memaksakan olah raga pada ibu hamil hanya
untuk menurunkan gula dalam darahnya.
c. Obat-obat antidiabetik
Selama kehamilan kadar darah diatur dengan antidiabetik. Pemeriksaan
kadar darah harus dilakukan lebih sering. Pemberian suntikan insulin
merupakan salah satu pengobatan bagi penderita penyakit DMG untuk
mengontrol kadar gula darahnya. Beberapa jenis obat-obat untuk penderita
DM yang dapat dikonsumsi dengan dimakan dan yang beredar di Indonesia
hingga saat ini memang tidak seluruhnya boleh diberikan pada ibu hamil,
karena dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi janin yang dikandung.
Misalnya menimbulkan cacat bawaan pada janin. Pada trimester pertama
paling sukar dilakukan pengobatan karena adanya nausea dan vomitus. Pada
timester kedua pengobatan tidak begitu sukar lagi karena tidak perlu
perubahan diet dan dosis antidiabetik. Dalam trimester ketiga sering
diperlukan lebih banyak antidiabetik karena meningginya toleransi hidrat
arang.
d. Diuretik
Jika ada hipertensi atau tanda-tanda retensi cairan dianjurkan miskin
garam. Jika ini tidak menolong dapat diberikan deuretik.
e. Steroid-steroid seks
Sekresi estrogen berkurang pada wanita hamil diabetik. Komplikasi
pada fetus berkurang jika selama kehamilan diberi estrogen dan progesteron
dalan dosis besar.
f. Penatalaksanaan obstetric
Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaanklinis ibu
dan janin, terutama tekanan darah, pembesaran/ tinggi fundus uteri, denyut
jantung janin, kadar gula darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi
(jika memungkinkan).
Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan
pengukuran tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin. Pada
tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin. Pada tingkat
rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara:
1) Pengukuran tinggi fundus uteri
2) USG serial
3) Penilaian menyeluruh janin dengan skor dinamik janin plasenta (FDJP),
nilai FDJP < 5 merupakan tanda gawat janin.
4) Penilaian ini dilakukan setiap minggu sejak usia kehamilan 36 minggu.
Adanya makrosomia, pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan gawat janin
merupakan indikasi untuk melakukan persalinan secara seksio sesarea.
5) Pada janin yang sehat, dengan nilai FDJP > 6, dapat dilahirkan pada usia
kehamilan cukup waktu (40-42 mg) dengan persalinan biasa. Pemantauan
pergerakan janin (normal >l0x/12 jam).
6) Bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memerlukan perawatan khusus.
7) Bila akan melakukan terminasi kehamilan harus dilakukan amniosentesis
terlebih dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila usia kehamilan
< 38 mg).
8) Kehamilan DMG dengan komplikasi (hipertensi, preeklamsia, kelainan
vaskuler dan infeksi seperti glomerulonefritis, sistitis dan monilisasis)
harus dirawat sejak usia kehamilan 34 minggu. Penderita DMG dengan
komplikasi biasanya memerlukan insulin.
9) Penilaian paling ideal adalah penilaian janin dengan skor fungsi dinamik
janin-plasenta (FDJP).
g. Persalinan dilakukan:
1) Pertahankan sampai aterm dan spontan.
2) Induksi persalinan pada minggu 37-38.
3) Primer seksio sesarea.
h. Penanganan bayi dengan DM:
1) Disamakan dengan bayi prematur.
2) Observasi kemungkinan hipoglisemia.
3) Perawatan intensif: neonatus intensif unit care dengan pengawasan ahli
neonatologi.
9. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Adanya kadar glukosa darah yang tinggi secara abnormal. Kadar gula
darah pada waktu puasa > 140 mg/dl. Kadar gula sewaktu >200 mg/dl.
2) Tes toleransi glukosa. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam pp
>200 mg/dl.
3) Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah
vena, serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan
deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi.
4) Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-
180% maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam
urin: + nilai ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang populer:
carik celup memakai GOD.
5) Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat
didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-
hidroksibutirat tidak terdeteksi.
6) Pemeriksan lain: fungsi ginjal (Ureum, creatinin), Lemak darah:
(Kholesterol, HDL, LDL, Trigleserid), Ffungsi hati, antibodi anti sel insula
langerhans (islet cellantibody).
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan kadar gula darah
atau skrining glukosa darah, ultrasonografi untuk mendeteksi adanya kelainan
bawaan dan makrosomia, Hemoglobin glikosida (HbA1c) yang menunjukkan
control diabetik (HbA1c lebih besar dari 8,5% khususnya sebelum kehamilan,
membuat janin berisiko anomaly kongenital).
10. Pencegahan
a. Mengurangi makan-makanan manis.
b. Menjaga jumlah asupan makanan terutama ketika trisemester ketiga kehamilan
agar berat badan tidak bertambah, akan tetapi ibu hamil tidak boleh sampai
kekurangan makanan.
c. Berolahraga dengan teratur serta melakukan aktivitas fisik dari mulai yang
ringan hingga sedang sehingga kalori yang tidak diperlukan dalam tubuh akan
terbakar dengan sendirinya.
11. Peran Bidan
Pada kasus ini bidan sangat berperan penting dalam pencegahan penyakit
diabetes mellitus gestational, selain memberikan konseling bagi pasien, bidan juga
berperan dalam mengevaluasi pemahaman pasien tentang aturan diet, dengan cara:
a. Timbang berat badan pasien setiap kunjungan prenatal. Penambahan berat
badan adalah kunci petunjuk untuk memutuskan penyesuaian kebutuhan kalori
b. Mengkaji masukan kalori dan pola makan dalam 24 jam. Membantu dalam
mengevaluasi pemahaman pasien tentang aturan diet.
c. Tinjau ulang dan berikan informasi mengenai perubahan yang diperlukan pada
penatalaksanaan diabetic. Kebutuhan metabolism dari janin dan ibu
membutuhkan perubahan besar selama gestasi memerlukan pemantauan ketat
dan adaptasi
d. Tinjau ulang tentang pentingnya makanan yang teratur bila memakai insulin.
Makan sedikit dan sering menghindari hiperglikemia.
e. Perhatikan adanya mual dan muntah khususnya pada trimester pertama. Mual
dan muntah dapat menyebabkan defisiensi karbohidrat yang dapat
mengakibatkan metabolism lemak dan terjadi ketosis.
f. Kaji pemahaman stress pada diabetic. Stress dapat mengakibatkan peningkatan
kadar glukosa, menciptakan fluktuasi kebutuhan insulin.
g. Tinjau ulang dan diskusikan tanda gejala kepentingan hipoglikemia dan
hiperglikemia. Hipoglikemia dapat terjadi secara cepat dan berat pada
trimester pertama karena peningkatan penggunaan glukosa dan glikogen oleh
ibu dan perkembangan janin. Hiperglikemia berefek terjadinya hidramnion.

G. Hypertensi Dalam Kehamilan


1. Pengertian
Hipertensi karena kehamilan yaitu : tekanan darah yang lebih tinggi dari
140/90mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu sendiri, memiliki potensi
yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan. (Sumber: SANFORD,MD
tahun 2006).
Nilai normal tekanan darah seseorang yang disesuaikan tingkat aktifitas dan
keseatan secara umum adalah 120/80mmHg. Tetapi secara umum, angka
pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat saat beraktifitas atau
berolahraga.
Hipertensi berasal dari bahasa latin yaitu hiper dan tension. Hiper artinya
tekanan yang berlebihan dan tension artinya tensi. Hipertensi atau tekanan darah
tinggi adalah suatu kondisi medis dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah secara kronis (dalam waktu yang lama) yang mengakibatkan angka
kesakitan dan angka kematian. Seseorang dikatakan mendetita tekanan darah
tinggi atau hipertensi yaitu apabila tekanan darah sistolik >140 mmHg dan
diastolik >90 mmHg (sumber : FK UI 2006).
Hipertensi karena kehamilan yaitu : hipertensi yang terjadi karena atau pada
saat kehamilan dapat mempengaruhi kehamilan itu sendiri biasanya terjadi pada
usia kehamilan memasuki 20 minggu (sumber: kebidanan) (Ai Yeyeh Rukiyah,
Asuhan Kebidanan 4 Patologi. Hal: 167-168).
Hipertensi yaitu peningkatan tekanan sistolik sekurang- kurangnya 30
mmHg atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mmHg, atau
adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140 mmHg dan tekanan diastolik
sekurang-kurangnya 90 mmHg. Hipertensi juga dapat ditentukan dengan tekanan
arteri rata-rata 105 mm Hg atau lebihatau dengan kenaikan 20 mmHg atau lebih
nilai-nilai yang disebutkan diatas harus bermanifesti sekurang-kurangnya dua
kesempatan dengan perbedaan waktu 6 jam atau lebih dan harus didasarkan pada
nilai tekanan darah sebelumnya yang diketahui.
Hipertensi kehamilan berkembangnya hipertensi selama kehamilan atau 24
jam pertama postpartum pada seseorang yang sebelumnya normotensi. Tak ada
petunjuk-petunjuk lain dari pre-eklamsia atau penyakit vaskuler hipertensi. Teknan
darah kembali dalam batas normal dalm sepuluh hari setelah persalinan. Beberapa
pasien dengan hipertensi kehamilan sebenarnya mungkin mengidap preeklamsia
atau penyakit vaskuler hipertensi, tetapi mereka tidak mempunyai criteria untuk
diagnosis ini.
Proteinuria yaitu adanya protein dalam urine dalam jumlah lebih besar dari
0,3 g per liter urine 24 jam atau dalam konsentrasi lebih besar dari 1 gram per liter
(1+ sampai 2+ dengan metode turbidimetrik standard) pada kumpulan urine sacara
acak pada dua atau lebih kesempatan sekurang-kurangnya dengan beda waktu 6
jam. Contoh urin harus bersih—sebaiknya urine midstream atau yang diambil
melalui kateter.
Edema yaitu akumulasi cairan yang menyeluruh dan berlebihan dalam
jaringan umumnya ditampakan dengan adanya pembengkakan ekstremitas dan
bawah.
Pre-eklamsia yaitu berkembangnya hipertensi dengan pre-eklamsia atau
edema atau keduanya yang disebabkan oleh kehamilan atau dipengaruhi oleh
kehamilan yang sekarang. Biasanya keadaan ini timbul setelah usia kehamilan 20
minggu tetapi dapat pula berkembang sebelum saat tersebut pada penyakkit
trofoblastik. Pre-eklamsia merupakan gangguan yang terutama terjadi pada
primigravida.
Eklamsia yaitu terjadinya satu atau beberapa kejang yang bukan
diakibatkan oleh keadaan serebral lain seperti epilepsi, atau perdarahan otak pada
pasien dengan pre-eklamsia.
Pre-eklamsia atau eklamsia penyerta : berkembangnya pre-eklamsia atau
eklamsia pada pasien dengan penyakit vascular hipertensi kronik atau penyakit
ginjal. Bila hipertensi mendahului kehamilan , seperti yang diperlibatkan oleh
catatan tekanan darah sebelumnya, suatu peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg
atau peningkatan tekanan diastolic 15 mmHg dan berkembangnya proteinuria,
edema atau keduanya harus terjadi selama kehamilan untuk menetapkan
diagnostik. (Kapita Selekta, Kegawatdaruratan Obstetri dan Ginekologi. Hal : 236)
2. Etiologi
Keturunan/genetik, obesitas, stress, rokok, pola makan yang salah,
emosioal, wanita yang mengandung bayi kembar, ketidak sesuaian RH, sakit
ginjal, hiper/hypothyroid, koarktasi aorta, gangguan kelenjar adrenal, gangguan
kelenjar parathyroid (Ai Yeyeh Rukiyah, Asuhan Kebidanan 4 Patologi. Hal :
168).
3. Manifestasi klinis
Gejala yang biasanya timbul pada ibu yang mengalami hipertensi pada
kehamilan harus diwaspadai jika ibu megeluh : nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual, muntah akibat peningkatan tekanan intrakranium,
penglihatan kabur, ayunan langkah yang tidak mantap, nokturia, oadema
dependem dan pembengkakan.
4. Klasifikasi Hipertensi
Kelainan yang menyebabkan hipertensi yang timbul sebagian akibat
kehamilan dan akan menghilang pada masa nifas seperti: hipertensi tanpa protein
urin atau oadema, preeklamsia ringan atau berat, eklamsia, hipertensi kronis,
kehamilan yang memperburuk hipertensi, hipertensi sementara (transient
hypertension) (Ai Yeyeh Rukiyah, Asuhan Kebidanan 4 Patologi. Hal : 168).
5. Pencegahan Penyakit Hipertensi
Pencegahan kejadian hipertensi secara umum agar menghindari tekanan
darah tinggi adalah dengan mengubah kearah hidup sehat, tidak terlalu banyak
pikiran, mengatur diet/pola makan seperti rendah garam, rendah kolesterol dan
lemak jenuh, meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, tidak mengkonsumsi
alkohol dan rokok, perbanyak makan mentimun, belimbing dan juga jus apel dan
seledri setiap pagi. Bagi yang mempunyai keluarga riwayat penyumbatan arteri
dapat meminum jus yang dicampur dengan susu nonfat yang mengandung
omega3 tinggi (Ai Yeyeh Rukiyah, Asuhan Kebidanan 4 Patologi. Hal : 168).
Jika seseorang dicurigai hipertensi, maka dilakukan beberapa pemeriksaan
yaitu anamnesa adakah dalam keluarga yang menderita hipertensi. Dilakukan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pegobatan nonfarmakologik,
mengurangi berat badan bila terdapat kelebihan (IMT: >27), membatasi alkohol
dan menghentikan rokok serta mengurangi makanan berkolesterol/lemak jenuh.
Menghentikan konsumsi kopi yang berlebih, berolahraga ringan, mengurangi
asupan natrium (400 mmd Na/64 NaCL/hari) mempertahankan asupan kalsium
dan magnesium adekuat, perbanyak unsure kalium (buah-buahan), tidak banyak
pikiran, istirahat yang cukup (Ai Yeyeh Rukiyah, Asuhan Kebidanan 4 Patologi.
Hal : 169).

6. Patofisiologi
Pada ibu hamil normal plasenta menghasilkan progesteron yang
bertambah hal ini menyebabkan ekresi natrium lebih banyak karena progesteron
berfungsi sebagai diuretik ringan.Kehilangan natrium menyebabakan
penyempitan dari vilume darah kompartemen vaskuler, pada kehamilan dengan
pre eklamsi menunjukan adanya peningkatan resistensi perifer dan vasokontriksi
pada ruang vaskuler, bertanbahnya protein serum (albumin dan globulin ) yang
lolos dalam urine disebabkan oleh adanya lesi dalam glomerolus ginjal, sehimgga
terjadi oliguri karena menurunya aliran darah ke ginjal dan menurunya GFR
(glomerulus filtrat rate ) kenaikan berat badan dan oedema yang disebabka
penambahan cairan yang berlebiha dalam ruang intrestisial mungkin berhubungan
dengan adanya retensi air dan garam, terjadinya pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke intertisialdiikuti oleh adanya kenaikan hematokrit, peningkatan
protei serum menambah oedem dan menyebabkan volume darah berkurang,
visikositas darah meningkat dan waktu peredaran darah teri menjadi lama.
7. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaannya antara lain :
a. Deteksi Prenatal Dini
Waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan setiap 4 minggu sampai usia
kehamilan 28 minggu, kemudian setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 36
minggu, setelah itu setiap minggu.
b. Penatalaksanaan Di Rumah Sakit
Evaluasi sistematik yang dilakukan mencakup :
1) Pemeriksaan terinci diikuti oleh pemantauan setiap hari untuk mencari
temuan-temuan klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri
epigastrium, dan pertambahan berat yang pesat.
2) Berat badan saat masuk
3) Analisis untuk proteinuria saat masuk dan kemudian paling tidak setiap 2
hari
4) Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk setiap 4 jam kecuali antara
tengah malam dan pagi hari
5) Pengukuran kreatinin plasma atau serum, gematokrit, trombosit, dan enzim
hati dalam serum, dan frekuensi yang ditentukan oleh keparahan hipertensi
6) Evaluasi terhadap ukuran janin dan volume cairan amnion baik secara
klinis maupun USG
7) Terminasi kehamilan
Pada hipertensi sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat
inap biasanya dianjurkan pelahiran janin demi kesejahteraan ibu dan janin.
Persalinan sebaiknya diinduksi dengan oksitosin intravena. Apabila
tampaknya induksi persalinan hampir pasti gagal atau upaya induksi gagal,
diindikasikan seksio sesaria untuk kasus-kasus yang lebih parah.
c. Terapi Obat Antihipertens
Pemakaian obat antihipertensi sebagai upaya memperlama kehamilan
atau memodifikasi prognosis perinatal pada kehamilan dengan penyulit
hipertensi dalam berbagai tipe dan keparahan telah lama menjadi perhatian.
d. Penundaan Pelahiran Pada Hipertensi Berat
Wanita dengan hiperetensi berat biasanya harus segera menjalani
pelahiran. Pada tahun-tahun terakhir, berbagai penelitian diseluruh dunia
menganjurkan pendekatan yang berbeda dalam penatalaksanaan wanita
dengan hiperetensi berat yang jauh dari aterm. Pendekatan ini menganjurkan
penatalaksanaan konservatif atau “menunggu” terhadap kelompok tertentu
wanita dengan tujuan memperbaiki prognosis janin tanpa mengurangi
keselamatan ibu.

H. Rubella Dalam Kehamilan


1. Pengertian
Ada 10 – 15% wanita dewasa rentan terhadap infeksi Rubella. Perjalanan
penyakit tidak dipengaruhi oleh kehamilan dan ibu hamil dapat atau tidak
memperlihatkan adanya gejala penyakit. Derajat penyakit terhadap ibu tidak
berdampak terhadap resiko infeksi janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I
memberikan dampak besar terhadap janin. Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi
pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika
infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan
adalah 50%, sedangkan jika infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya
menjadi 25% (menurut America College of Obstatrician and Gynecologists,
1981).
Bila ibu hamil yang belum kebal terserang virus Rubella saat hamil
kurang dari 4 bulan, akan terjadi berbagai cacat berat pada janin. Sebagian besar
bayi akan mengalami katarak pada lensa mata, gangguan pendengaran, bocor
jantung, bahkan kerusakan otak. Infeksi Rubella pada kehamilan dapaT
menyebabkan keguguran, bayi lahir mati atau gangguan terhadap janin Susahnya,
sebanyak 50% lebih ibu yang mengalami Rubella tidak merasa apa-apa. Sebagian
lain mengalami demam, tulang ngilu, kelenjar belakang telinga membesar dan
agak nyeri. Setelah 1-2 hari muncul bercak-bercak merah seluruh tubuh yang
hilang dengan sendirinya setelah beberapa hari. Tidak semua janin akan tertular.
Jika ibu hamil terinfeksi saat usia kehamilannya < 12 minggu maka risiko janin
tertular 80-90 persen. Jika infeksi dialami ibu saat usia kehamilan 15-30 minggu,
maka risiko janin terinfeksi turun yaitu 10-20 persen.
Namun, risiko janin tertular meningkat hingga 100 persen jika ibu
terinfeksi saat usia kehamilan > 36 minggu. Untungnya, Sindrom Rubella
Kongenital biasanya terjadi hanya bila ibu terinfeksi pada saat umur kehamilan
masih kurang dari 4 bulan. Bila sudah lewat 5 bulan, jarang sekali terjadi infeksi.
Di samping itu, bayi juga berisiko lebih besar untuk terkena diabetes melitus,
gangguan tiroid, gangguan pencernaan dan gangguan syaraf.
2. Pencegahan
Vaksinasi sejak kecil atau sebelum hamil. Untuk perlindungan terhadap
serangan virus Rubella telah tersedia vaksin dalam bentuk vaksin kombinasi yang
sekaligus digunakan untuk mencegah infeksi campak dan gondongan, dikenal
sebagai vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella).Vaksin Rubella diberikan pada
usia 15 bulan. Setelah itu harus mendapat ulangan pada umur 4-6 tahun. Bila
belum mendapat ulangan pada umur 4-6 tahun, harus tetap diberikan umur 11-12
tahun, bahkan sampai remaja. Vaksin tidak dapat diberikan pada ibu yang sudah
hamil.
Deteksi status kekebalan tubuh sebelum hamil. Sebelum hamil sebaiknya
memeriksa kekebalan tubuh terhadap Rubella, seperti juga terhadap infeksi
TORCH lainnya.
Jika anti-Rubella IgG saja yang positif, berarti Anda pernah terinfeksi atau
sudah divaksinasi terhadap Rubella. Anda tidak mungkin terkena Rubella lagi,
dan janin 100% aman. Jika anti-Rubella IgM saja yang positif atau anti-Rubella
IgM dan anti-Rubella IgG positif, berarti anda baru terinfeksi Rubella atau baru
divaksinasi terhadap Rubella. Dokter akan menyarankan Anda untuk menunda
kehamilan sampai IgM menjadi negatif, yaitu selama 3-6 bulan.
Jika anti-Rubella IgG dan anti-Rubella IgM negatif berarti anda tidak
mempunyai kekebalan terhadap Rubella. Bila anda belum hamil, dokter akan
memberikan vaksin Rubella dan menunda kehamilan selama 3-6 bulan. Bila anda
tidak bisa mendapat vaksin, tidak mau menunda kehamilan atau sudah hamil,
yang dapat dikerjakan adalah mencegah anda terkena Rubella. Bila sudah hamil
padahal belum kebal, terpaksa berusaha menghindari tertular Rubella dengan cara
berikut: Jangan mendekati orang sakit demam Jangan pergi ke tempat banyak
anak berkumpul, misalnya Playgroup sekolah TK dan SD. Jangan pergi ke tempat
penitipan anak Sayangnya, hal ini tidak dapat 100% dilaksanakan karena situasi
atau karena orang lain yang terjangkit Rubella belum tentu menunjukkan gejala
demam. Kekebalan terhadap Rubella diperiksa ulang lagi umur 17-20 minggu.
Bila ibu hamil mengalami Rubella, periksalah darah apa benar terkena Rubella.
Bila ibu sedang hamil mengalami demam disertai bintik-bintik merah, pastikan
apakah benar Rubella dengan memeriksa IgG danIgM Rubella setelah 1 minggu.
Bila IgM positif, berarti benar infeksi Rubella baru. Bila ibu hamil mengalami
Rubella, pastikan apakah janin tertular atau tidak Untuk memastikan apakah janin
terinfeksi atau tidak maka dilakukan pendeteksian virus Rubella dengan teknik
PCR (Polymerase Chain Reaction). Bahan pemeriksaan diambil dari air ketuban
(cairan amnion). Pengambilan sampel air ketuban harus dilakukan oleh dokter
ahli kandungan & kebidanan, dan baru dapat dilakukan setelah usia kehamilan
lebih dari 22 minggu.
3. Pemeriksaan
Pemeriksaan rubella harus dikerjakan pada semua pasien hamil dengan
mengukur IgG . Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa
pasca persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh
karena 20% yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya
respon pembentukan antibodi dengan baik. Infeksi rubella tidak merupakan
kontra indikasi pemberian ASI.
Tidak ada terapi khusus terhadap infeksi Rubella dan pemberian
profilaksis dengan gamma globulin pasca paparan tidak dianjurkan oleh karena
tidak memberi perlindungan terhadap janin.Pemeriksaan Laboratorium yang
dilakukan meliputi pemeriksaan Anti-Rubella IgG dana IgM. Pemeriksaan Anti-
rubella IgG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat
sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk
divaksinasi. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna
untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi
rubella bawaan.
4. Terapi Antivirus
a. Acyclovir adalah anti virus yang digunakan secara luas dalam kehamilan
b. Acyclovir diperlukan untuk terapi infkesi primer herpes simplek atau virus
varicella zoster yang terjadi pada ibu hamil
c. Selama kehamilan dosis pengobatan tidak perlu disesuaikan
d. Obat antivirus lain yang masih belum diketahui keamanannya selama
kehamilan : Amantadine dan Ribavirin

I. Toxoplasmosis Dalam Kehamilan


1. Pengertian
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan
yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang
dikenal dengan nama Toxoplasmosis gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang
banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliaharaan. Penderita Toxoplasmosis
sering tidak memperlihatkan suatu tanda klinis yang jelas sehingga dalam
menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering terabaikan dalam praktik
dokter sehari-hari. Apabila penyakit toxoplasmosis mengenai wanita hamil
trismester ketiga dapat mengakibatkan hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau
epilepsi.
Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi
penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan
hewan peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang
disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing
dan anjing. Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang
yang memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya
yang suka memakan makanan dari daging setengah matang atau sayuran lalapan
yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit toxoplasmosis.
Penyakit toksoplasmosis adalah infeksi yang bisa mengancam
pertumbuhan janin dan bisa menyebabkan keguguran. Parasit penyebabnya adalah
Toxoplasma gondii, yang berkembang biak dalam saluran pencernaan kucing dan
ikut keluar bersama fesesnya, terutama hidup di bak pasir tempat BAB kucing dan
di tanah atau pupuk kebun. Anda bisa terinfeksi oleh parasit ini ketika
membersihkan kotoran kucing atau memegang tanah yang terdapat feses kucing.
Anda juga bisa terkena toksoplasma karena mengonsumsi daging yang dimasak
setengah matang (dimana daging tersebut terinfeksi dengan parasit toksoplasma).
Meskipun kucing adalah tempat hidup utama parasit ini, toksoplasma juga bisa
hidup pada anjing, unggas dan hewan ternak seperti babi, sapi atau kambing. Janin
bisa terinfeksi toksoplasma melalui saluran plasenta jika si ibu terserang
toksoplasmosis ketika sedang mengandung. Infeksi parasit ini bisa menyebabkan
keguguran atau cacat bawaan seperti kerusakan pada otak dan fungsi mata.
Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada
binatang pengerat yaitu Ctenodactylus gundi, di suatu laboratorium di Tunisia dan
pada seekor kelinci di suatu laboratorium di Brazil (Nicolle & Splendore). Pada
tahun 1937, parasit ini ditemukan pada neonatus dengan enfalitis. Walaupun
trransmisi secara intrauterin transplasental sudah diketahui, tetapi baru pada tahun
1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada
kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes serologi yang sensitif oleh Sabin
dan Feldman (1948), zat anti Toxoplasma gondii ditemukan kosmopolit, terutama
di daerah beriklim panas dan lembab.
Pada manusia penyakit toxoplasmosis ini sering terinfeksi melalui saluran
pencernaan, biasanya melalui perantaraan makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit toxoplasmosis ini, misalnya
karena minum susu sapi segar atau makan daging yang belum sempurna
matangnya dari hewan yang terinfeksi dengan penyakit toxoplasmosis. Penyakit
ini juga sering terjadi pada sejenis ras kucing yang berbulu lebat dan warnanya
indah yang biasanya disebut dengan mink, pada kucing ras mink penyakit
toxoplasmosis sering terjadi karena makanan yang diberikan biasanya berasal dari
daging segar (mentah) dan sisa-sisa daging dari rumah potong hewan.
2. Etilogi Penyakit Toxoplasmosis
Toxoplasmosis ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun 1909
yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya setelah
diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu
genus termasuk famili babesiidae.
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel
endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat
atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam
jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum
tulang, pam-pam, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.
Perkembangbiakan toxoplasma terjadi dengan membelah diri menjadi 2,4
dan seterusnya, belum ada bukti yang jelas mengenai perkembangbiakan dengan
jalan schizogoni. Pada preparat ulas dan sentuh dapat dilihat dibawah mikroskop,
bentuk oval agak panjang dengan kedua Ujung lancip, hampir menyerupai bentuk
merozoit dari coccidium. Jika ditemukan diantara sel-sel jaringan tubuh berbentuk
bulat dengan ukuran 4 sampai 7 mikron. Inti selnya terletak dibagian ujung yang
berbentuk bulat. Pada preparat segar, sporozoa ini bergerak, tetapi peneliti-peneliti
belum ada yang berhasil memperlihatkan flagellanya. Toxoplasma baik dalam sel
monocyte, dalam sel-sel sistem reticulo endoteleal, sel alat tubuh viceral maupun
dalam sel-sel syaraf membelah dengan cara membelah diri 2,4 dan seterusnya.
Setelah sel yang ditempatinya penuh lalu pecah parasit-parasit menyebar melalui
peredaran darah dan hinggap di sel-sel baru dan demikian seterusnya. Toxoplasma
gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan. Cepat mati
karena pembekuan darah induk semangnya dan bila induk semangnya mati, jasad
inipun ikut mati. Toxoplasma membentuk pseudocyste dalam jaringan tubuh atau
jaringan-jaringan tubuh hewan yang diserangnya secara khronis. Bentuk
pseudocyste ini lebih tahan dan dapat bertindak sebagai penyebar toxoplasmosis.
3. Siklus Hidup Dan Morpologi Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista,
dan Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi
semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan
selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit dalam jaringan
akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit. Bentuk kedua adalah kista
yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista
penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot
jantung dan susunan syaraf pusat. Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista
yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan
dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing
berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan
sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing.
Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali exkresi akan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara
seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes
perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara
aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk
stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista
maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.
4. Cara Penularan Toxoplasmosis
Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang
matang yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor
lalat, kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke
janin terjadi utero melalui placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi
juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan
hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik
dan alat laboratorium lainnya yang terkontaminasi dengan toxoplasma gondii.
5. Tanda dan Gejala
Pada individu imunokompeten yang tidak hamil, infeksi toxoplasma
gondii biasanya tanpa gejala. Sekitar 10-20% pasien mengembangkan limfadenitis
atau sindrom, seperti flu ringan ditandai dengan demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit tenggorokan, limfadenopati dan ruam. Dalam beberapa kasus,
penyakit ini bisa meniru mononukleosis menular. Gejala biasanya dapat hilang
tanpa pengobatan dalam beberapa minggu ke bulan, meskipun beberapa kasus
dapat memakan waktu hingga satu tahun. Gejala berat, termasuk myositis,
miokarditis, pneumonitis dan tanda-tanda neurologis termasuk kelumpuhan wajah,
perubahan refleks parah, hemiplegia dan koma, tapi jarang. Ensefalitis, dengan
gejala sakit kepala, disorientasi, mengantuk, hemiparesis, perubahan refleks dan
kejang, dapat menyebabkan koma dan kematian. Nekrosis perbanyakan parasit
dapat menyebabkan beberapa abses dalam jaringan saraf dengan gejala lesi.
Chorioretinitis, miokarditis, dan pneumonitis juga terjadi. Penularan
Toksoplasmosis tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang kecuali
dalam rahim (Institute for International Cooperation in Animal Biologics, 2005).
Tanda-tanda yang terkait dengan toksoplasmosis yaitu (Medows, 2005):
a. Toxoplasma pada orang yang imunokompeten
Hanya 10-20% dari infeksi toksoplasma pada orang imunokompeten
dikaitkan dengan tanda-tanda penyakit. Biasanya, pembengkakan kelenjar
getah bening (sering di leher). Gejala lain bisa termasuk demam, malaise,
keringat malam, nyeri otot, ruam makulopapular dan sakit tenggorokan.
b. Toxoplasmosis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah
Toxoplasmosis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah
misalnya, pasien dengan AIDS dan kanker. Pada pasien ini, infeksi mungkin
melibatkan otak dan sistem syaraf, menyebabkan ensefalitis dengan gejala
termasuk demam, sakit kepala, kejang-kejang dan masalah penglihatan,
ucapan, gerakan atau pemikiran. Manifestasi lain dari penyakit ini termasuk
penyakit paru-paru, menyebabkan demam, batuk atau sesak nafas dan
miokarditis dapat menyebabkan gejala penyakit jantung, dan aritmia.
c. Toxoplasma Okular
Toksoplasmosis okular oleh uveitis, sering unilateral, dapat dilihat
pada remaja dan dewasa muda, sindrom ini sering merupakan akibat dari
infeksi kongenital tanpa gejala atau menunda hasil infeksi postnatal. Infeksi
diperoleh pada saat atau sebelum kehamilan sehingga menyebabkan bayi
toksoplasmosis bawaan. Banyak bayi yang terinfeksi tidak menunjukkan
gejala saat lahir, namun sebagian besar akan mengembangkan pembelajaran
dan visual cacat atau bahkan yang parah, infeksi yang mengancam jiwa di
masa depan, jika tidak ditangani.
d. Toksoplasmosis pada wanita hamil
Kebanyakan wanita yang terinfeksi selama kehamilan tidak
menunjukkan tanda-tanda penyakit. Hanya wanita tanpa infeksi sebelumnya
dapat menularkan infeksi ke janin. Kemungkinan penyakit toksoplasmosis
bawaan terjadi ketika bayi baru lahir, tergantung pada tahap kehamilan saat
infeksi ibu terjadi. Pada kondisi tertentu, infeksi pada wanita selama
kehamilan menyebabkan abortus spontan, lahir mati, dan kelahiran prematur.
Aborsi dan stillbirths juga dapat dipertimbangkan, terutama bila infeksi terjadi
pada trimester pertama. Tanda dan gejalanya yaitu penglihatan kabur, rasa
sakit, fotofobia, dan kehilangan sebagian atau seluruh keseimbangan tubuh.
e. Toxoplasmosis congenital
Bayi yang terinfeksi selama kehamilan trimester pertama atau kedua
yang paling mungkin untuk menunjukkan gejala parah setelah lahir. Tanda-
tandanya yaitu demam, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kuning
(menguningnya kulit dan mata), sebuah kepala yang sangat besar atau bahkan
sangat kecil, ruam, memar, pendarahan, anemia, dan pembesaran hati atau
limpa. Mereka yang terinfeksi selama trimester terakhir biasanya tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi pada kelahiran, tetapi mungkin
menunjukkan tanda-tanda toksoplasmosis okular atau penundaan
perkembangan di kemudian hari.
6. Perubahan Makroskopis Pada Penyakit Toxoplasmosis
Sarang-sarang nekrosa dapat ditemukan didalam paru-paru, hati, limpa,
anak ginjal dan sel-sel disekitar sarang-sarang ini mengandung toxoplasmosis
yang tergabung dalam koloni-koloni terminal (Pseudo-cysts) atau parasit-parasit
itu terletak bebas dalam jaringan-jaringan. Toxoplasma banyak dijumpai didalam
sel-sel pada pinggir ulkus-ulkus usus.
Didalam otak parasit-parasit terlihat didalam sel-sel glia atau neuron
sebagai paraasit-parasit intra selluler atau sebagai koloni-koloni terminal (pseudo
cysts).. Protozoa itu juga berada bebas dalam jaringan. Reaksi radang umumnya
jelas terlihat, sebagai gliosis, mikroglia, atan astrosit-astrosit. Penyerbukan
limfosit-limfosit dalam ruang virchow robin, disamping nekrosa lokal jaringan
otak. Juga terjadi proliferasi sel-sel adventisia, disamping nekrosa lokal jaringan
otak. Perubahan-perubahan itu paling banyak terdapat dalam cortex cerebralis.
Parasit itu juga bisa dijumpai pada selaput otak.
Hati memperlihatkan perdarahan-perdarahan lokal yaitu gambaran
degenerasi dan reaksi seluler disamping sarang-sarang nekrosa tersebut di atas.
Parasit-parasit dapat ditemukan didalam makrofag atau didalam sel-sel hati.
Didalam limpa kadang-kadang dijumpai sel-sel reticulum dan makrofag-
makrofag. Parasit-parasit terlihat didalam miokard yakni didalam makrofag-
makrofag atau didalam miofibril. Disamping itu serabut-serabut otot degenerasi.
Toxoplasmosis sekali-sekali ditemukan di dalam mata anjing. Disamping
itu juga memperlihatkan gejala renitis, newritis. Pada unggas toxoplasmosis otak
merupakan perubahan-perubahan yang sering terlihat.
7. Diagnosis Toxoplasmosis
Meskipun insiden infeksi toksoplasmosis tinggi, diagnosis klinis jarang
dilakukan karena tanda klinis dari toxoplasmosis mirip dengan penyakit infeksi
lainnya. Uji laboratorium biasanya digunakan untuk diagnosis. Hanya mendeteksi
antibodi yang spesifik saja tidak cukup karena banyak manusia dan binatang
memiliki titer antibodi. Sebuah infeksi baru dapat menjadi pembeda dengan
deteksi peningkatan jumlah antibodi (seroconversion) dari isotypes yang berbeda
(IgG, IgM, IgA) atau dari sirkulasi. Deteksi parasit yang bebas (takizoit) pada
kombinasi dengan gejala klinis dapat mengkonfirmasikan suatu infeksi, sebagai
contoh pada biopsi atau abortion material. Deteksi kista jaringan (hanya seperti
antibodi saja) tidak mengkonfirmasi infeksi aktif.
Identifikasi Toxoplasma gondii dalam darah atau cairan tubuh (Medows,
2005), yaitu :
a. Isolasi T. gondii dalam darah atau cairan tubuh (misalnya, CSF, cairan
ketuban) dengan inokulasi kultur jaringan.
b. Fluorescent antibodi atau tachyzooites pewarnaan immunoperoxidase.
c. Reaksi berantai polimerase (PCR) untuk deteksi T. gondii DNA.
d. Serologi, yaitu :
1) ELISA untuk mendeteksi IgG, IgM, IgA atau antibodi IgE
2) IFA deteksi IgG atau IgM
IgM spesifik tes yang dilakukan bila diperlukan untuk menentukan
waktu infeksi, misalnya dalam sebuah pregnansi. Sebuah tes negatif yang
kuat IgM menunjukkan bahwa infeksi ini tidak baru, tetapi tes IgM positif
sulit untuk menginterpretasikan. IgM spesifik toksoplasma dapat
ditemukan hingga 18 bulan setelah infeksi akut dan positif palsu yang
umum.
3) Uji aviditas imunoglobulin G.
4) Immunosorbant aglutinasi untuk IgM atau IgA.
5) Uji Sabin-Feldman dye, hemaglutinasi tidak langsung, aglutinasi lateks,
aglutinasi dimodifikasi dan fiksasi komplemen.
6) Pencitraan Radiologi
a) Computed Tomography (CT) atau radiologi dapat menunjukkan
toksoplasmosis otak, USG dapat digunakan pada janin dan kalsifikasi
atau ventrikel membesar dalam otak bayi baru lahir.
b) CT atau MRI dapat menunjukkan beberapa kontras, bilateral
meningkat ("cincin-lesi") dalam otak.
8. Diagnosis Toxoplasmosis Kongenital Pada Bayi.
Di Indonesia sering dijumpai bayi yang dilahirkan dengan kelainan
kongnital. Penyebab kelainan kongenital karena infeksi termasuk golongan
toxoplasma janin mulai membentuk zat anti pada akhir trimester pertama, yang
terdiri dari IgM zat anti ini biasanya menghilang setelah 1-3 bulan. Zat anti IgM
pada bayi didapat dari ibunya melalui plasenta Konsentrasi IgG pada neonatus
berkurang, dan akan naik lagi bila bayi dapat mebuat IgG sendiri pada umur lebih
kurang 3 bulan. Serodiagnosis infeksi kongenital berdasarkan kenaikan jumlah zat
anti IgG spesifik mau deteksi zat anti IgM spesifik. Tujuan penulisan makalah ini
untuk mengingat kembali kepentingan pemeriksaan zat anti IgG pada paired sera
untuk diagnosis toxoplasmosis kongenital bila zat anti IgG tidak ditemukan.
Pada bulan Januari 1986 Sampai Juni 1988 staf bagian parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yaitu Srisasi Ganda Husada telah
melakukan penelitian tentang toxoplasmosis yaitu telah memeriksa 99 bayi
berumur 1 hari sampai 6 bulan yang tersangka menderita toxoplasmosis
kongenital. Bayi-bayi ini dikirim oleh RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, rumah sakit
lain yang ada di Jakarta dan dari dokter-dokter praktek pribadi. Kelainan klinik
pada bayi-bayi yang tersangka toxoplasmosis kongenital ini adalah merupakan
trias klasik yaitu Hidrocephalus, korioretinitis, dan perkapuran otak. Ada bayi
yang hanya menunjukkan suatu kelainan seperti hepatosplenomegali katarak,
mikrosefalus, kejang, dan ada yang menunjukkan lebih dari satu kelainan di atas.
Dari tiap bayi diambil darah vena atan darah tali pusat serum dipisahkan
dari gumpalan darah dan disimpan dalam frezer pada suhu 20C sampai diperiksa
2m anti IgM ditentukan dengan Elisa dengan menggunakan test kit Eti-Toxox-M
reverse dari sorin Biomedica. Dalam test kit ini tersedia lempeng-lempeng plastik
dengan sumur-sumur ini diisi dengan serum kontrol dan serum pendertia,
kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C. Bila dalam serum tersebut
terdapat IgM spesifik, maka IgM ini akan diikat dan menempel pada dasar sumur.
Cairan dalam sumur-sumur dibuang dan lempeng-lempeng dicuci. Kemudian
sumur-sumur diisi dengan toxoplasmosis entigen yang dibuat dari toxoplasma
gondii RH Strain antigen ini dicanlpur dengan Enzyme tracer yang mengandung
IgG terhadap toxoplasma gondii (dari tikus) yang dikonjugasi pada horse radish
peroxydase. Setelah diinkubasi kembali selama 1 jam pada 370C, maka
toxoplasma gondii akan terikat pada IgM spesifik dan enzim tracer yang
menempel pada IgG terhadap toxoplasma gondii. Dengan demikian antivitas
enzim ini proposional dengan konsentrasi IgM spesifik dalam serum penderita
atau kontrol. Aktivitas enzim diukur dengan menambahkan Tetra Methilbenzidene
chromogen/substrat yang tidak warna. Lempeng-lempeng diinkubasi selama 30
menit pada suhu kamar. Enzym dicampur dengan chromogen substrat
menimbulkan warna kuning yang diukur dengan spektrofotometer dengan filter
450mm setelah reaksi dihentikan dengan laluran H2SO4In. Yang dianggap positif
adalah nilai besar dari pada Cut off Control.
Zat anti IgG pada bayi yang datang sebelum Juni 1987 di tentukan dengan
mikroteknik tes hemagtutinasi tidak langsung (IHA) menurut Milgram dengan
menggunakan antigen dari laboratorium NAMRU 2 yang dibuat dari RH strain
toxoplasma gondii sebelum diperiksa serum diinativasi pada suhu 56°C selama
setengah jam,. Titer dimana masih tampak aglutinasi. Mulai Juni 1987 telah
tersedia Toxo Elisa Test Kit dari MA Bio product dan untuk penentuan zat anti
IgG lalu digunakan Test Kit tersebut. Dalam Test Kit tersebut digunakan
lempeng-lempeng plastik dengan sumur-sumur yang telah dilapisi dengan antigen
toxoplasma gondii. Sumur-sumur ini diisi dengan senun kontrol dan serum
penderita. Kemudian diinkubasi 45 menit pada suhu kamar. Bila serum yang
diperiksa mengandung zat anti IgG spesifik maka zat anti ini terikat pada antigen.
Setelah dicuci sumur-sumur diisi dengan antihuman IgG yang dikonjugasi pada
enzim alkalin fosfatase. Lempeng-lempeng diinkubasi selama 45 menit pada subu
kamar. Konjugat ini akan terikat pada IgG spesifik (bila) ada pada dasar sumur
diisi dengan substat P-nitro fenifostat. Setelah diinkubasi kembali selama 45 menit
subtract akan dihirrolisa oleh enzim yang menimbulkan warna kuning. Setelah
reaksi dihentikan dengan larutan NaOH I N perubahan warna dibaca dengan
spektrofotometer dengan filter 405 mm. Intentitas perubahan warna sejajar dengan
jumlah IgG spesifik. Yang dianggap positif adalah nilai yang sama dengan atau
lebih besar dapat pada 0,21.
9. Penanganan
Indikasi infeksi pada janin bisa diketahui dari pemeriksaan USG, yaitu
terdapat cairan berlebihan pada perut (asites), perkapuran pada otak atau
pelebaran saluran cairan otak (ventrikel). Sebaliknya bisa saja sampai lahir tidak
menampakkan gejala apapun, namun kemudian terjadi retinitis (radang retina
mata), penambahan cairan otak (hidrosefalus), atau perkapuran pada otak dan hati.
Pemeriksaan awal bisa dilakukan dengan pengambilan jaringan (biopsi) dan
pemeriksaan serum (serologis). Umumnya cara kedua yang sering dilakukan. Pada
pemeriksaan serologi akan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya
reaksi imun dalam darah, dengan cara mendeteksi adanya IgG (imunoglobulin G),
IgM, IgA, IgE. Pemeriksaan IgM untuk ini mengetahui infeksi baru. Setelah IgM
meningkat, maka seseorang akan memberikan reaksi imun berupa peningkatan
IgG yang kemudian menetap. IgA merupakan reaksi yang lebih spesifik untuk
mengetahui adanya serangan infeksi baru, terlebih setelah kini diketahui lgM
dapat menetap bertahun-tahun, meskipun hanya sebagian kecil kasus.
Sebenarnya sebagian besar orang telah terinfeksi parasit toksoplasma ini.
Namun sebagian besar diantaranya telah membentuk kekebalan tubuh sehingga
tidak berkembang, dan parasit terbungkus dalam kista yang terbentuk dari kerak
perkapuran (kalsifikasi). Sehingga wanita hamil yang telah memiliki lgM negatif
dan lgG positif berarti telah memiliki kekebalan dan tidak perlu khawatir
terinfeksi. Sebaliknya yang memiliki lgM dan lgG negatif harus melakukan
pemeriksaan secara kontinyu setiap 3 bulan untuk mengetahui secara dini bila
terjadi infeksi.
Bagaimana bila lgM dan lgG positif ? Untuk ini disarankan melakukan
pemeriksaan ulang. Bila ada peningkatan lgG yang signifikan, diduga timbul
infeksi baru. Meski ini jarang terjadi, tetapi adakalanya terjadi. Untuk lebih
memastikan akan dilakukan juga pemeriksaan lgA. Pemeriksaan bisa juga
dilakukan dengan PCR, yaitu pemeriksaan laboratorium dari sejumlah kecil
protein parasit ini yang diambil dari cairan ketuban atau darah janin yang
kemudian digandakan.
Bila indikasi infeksi sudah pasti, yaitu lgM dan lgA positif, harus segera
dilakukan penanganan sedini mungkin. Pengobatan bisa dilakukan dengan
pemberian sulfa dan pirimethamin atau spiramycin dan clindamycin. Sulfa dan
pirimethamin dapat menembus plasenta dengan baik sehingga dianjurkan untuk
pengobatan pertama. Terapi harus dilakukan terus sampai persalinan. Bahkan
setelah persalinan akan dilakukan pemeriksaan pada bayi. Bila didapat lgM positif
maka bisa dipakstikan bayi telah terinfeksi. Meski hasilnya negatif sekalipun,
tetap harus dilakukan pemeriksaan berkala sesudahnya. Dengan pemeriksaan dan
pengobatan secara dini penularan pada bayi akan bisa ditekan seminimal
mungkin. Selain itu pengobatan dini yang tepat saat awal kehamilan akan
menurunkan secara signifikan kemungkinan janin terinfeksi.
10. Pencegahan Toxoplasmosis
Terdapat beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari
penyakit toksoplasmosis, antara lain (Chin, 2000):
a. Mendidik ibu hamil tentang langkah-langkah pencegahan:
1) Gunakan iradiasi daging atau memasak daging pada suhu 150°F (66°C)
sebelum dimakan. Pembekuan daging tidak efektif untuk menghilangkan
Toxoplasma gondii.
2) Ibu hamil sebaiknya menghindari pembersihan sampah panci dan kontak
dengan kucing. Memakai sarung tangan saat berkebun dan mencuci tangan
setelah kerja dan sebelum makan.
3) Makanan kucing sebaiknya kering, kalengan atau rebus dan mencegah
kucing tersebut berburu (menjaga mereka sebagai hewan peliharaan dalam
ruangan).
4) Menghilangkan feses kucing (sebelum sporocyst menjadi infektif). Feses
kucing dapat dibakar atau dikubur. Mencuci tangan dengan bersih setelah
memegang material yang berpotensial terdapat Toxoplasma gondii.
5) Cuci tangan sebelum makan dan setelah menangani daging mentah atau
setelah kontak dengan tanah yang mungkin terkontaminasi kotoran kucing.
6) Control kucing liar dan mencegah mereka kontak dengan pasir yang
digunakan anak-anak untuk bermain.
7) Penderita AIDS yang telah toxoplasmosis dengan gejala yang parah harus
menerima pengobatan profilaksis sepanjang hidup dengan pirimetamin,
sulfadiazine dan asam folinic.
11. Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam foist. Dosis yang
dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari selama sebulan dan
trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari selama sebulan. Karena
efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan
untuk menambahkan asam folat dan selama pengobatan. Trimetoprimn juga
ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan
kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim
masih kalah efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai
sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan
terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.

J. Malaria Dalam Kehamilan


1. Pengertian
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus
Plasmodium yang hidup pada nyamuk, dapat bersifat akut maupun kronik.
Nyamuk membawa Plasmodium dan menularkannya pada manusia melalui
gigitannya.
Malaria pada manusia disebabkan oleh lima spesies Plasmodium: P.
falciparum, P. vivax, P. ovale, P. malariae dan P. knowlesi. Sebagian besar
infeksi disebabkan P. falciparum atau P. vivax, namun infeksi campuran dengan
lebih dari satu spesies malaria juga dapat terjadi. Sebagian besar kematian terkait
malaria disebabkan oleh P. falciparum.
Infeksi malaria pada kehamilan merupakan masalah medis yang serius karena
risiko pada janin seperti abortus, kematian janin, pertumbuhan janin terhambat
(PJT) dan meningkatnya anemia dan kematian pada ibu.
2. Prevalensi, Mikrobiologi dan Epidemiologi
Setiap tahun, terjadi kehamilan pada sekitar 50 juta perempuan yang tinggal di
daerah endemis malaria, termasuk Indonesia. Diperkirakan 10.000 perempuan
dan 200.000 bayi meninggal akibat infeksi malaria selama kehamilan; anemia
berat ibu, prematuritas, dan berat lahir rendah berkontribusi terhadap lebih dari
setengah dari kematian ini.
Angka kesakitan malaria di Indonesia menurut Riskesdas 2009 adalah 2,89
% yang dihitung berdasarkan hasil positif pemeriksaan darah, dan menurun
menjadi 2,4 % pada tahun 2010 (Data sementara Riskesdas, 2010), sehingga
tercatat tingkat kejadian malaria 18,6 juta kasus per tahun.
Di daerah endemis malaria, prevalensi malaria lebih tinggi pada primigravida
dibandingkan dengan wanita tidak hamil atau multigravida. Infeksi pada
kehamilan terutama oleh P. falciparum dan menimbulkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi pada kehamilan.
Infeksi P. vivax dapat menimbulkan beberapa komplikasi yang sama dengan
P. falciparum, namun, komplikasinya lebih jarang dan kurang keparahannya.
Infeksi oleh P. knowlesi relatif jarang pada kehamilan
3. Patogenesis
Malaria ditularkan melalui masuknya sporozoit plasmodium melalui gigitan
nyamuk betina Anopheles yang spesiesnya dapat berbeda dari satu daerah dengan
daerah lainnya. Penularan malaria dapat juga terjadi dengan masuknya parasit
bentuk aseksual (tropozoit) melalui transfusi darah, suntikan atau melalui plasenta
(malaria kongenital). Patogenesis malaria melibatkan faktor parasit, faktor
penjamu, dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama lain, dan
menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang paling
berat, yaitu malaria dengan komplikasi gagal organ (malaria berat), malaria tanpa
komplikasi, atau yang paling ringan, yaitu infeksi tanpa gejala.

4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis malaria bervariasi sesuai dengan endemisitas yang mendasari
daerah. Di daerah-daerah transmisi stabil malaria (daerah holo-endemik),
sebagian besar infeksi malaria pada ibu hamil tidak menunjukkan gejala, tapi ibu
tetap berisiko untuk anemia dan melahirkan janin dengan berat badan lahir
rendah. Bagi perempuan yang tinggal di daerah mesoendemik, atau bagi wanita
kembali ke daerah holo-endemik setelah lama tidak tinggal di sana, malaria lebih
cenderung mengakibatkan penyakit demam, penyakit gejala yang parah, kelahiran
prematur, dan kematian ibu atau janin. Manifestasi klinis pada malaria ringan
dan tanpa komplikasi:
 Demam (dapat periodik)
 Menggigil
 Berkeringat
 Sakit Kepala
 Mialgi
 Lesu
 Mual, Muntah, Diare, Nyeri Perut
 Kulit Pucat
 Perspirasi
 Hepatomegali
 Splenomegali

Dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil, ibu hamil mengalami


penyakit malaria yang lebih berat, hipoglikemia lebih berat, dan komplikasi
pernapasan (edema paru, sindrom gangguan pernapasan akut) lebih sering
terjadi.
Anemia merupakan komplikasi umum dari malaria dalam kehamilan; sekitar 60
persen wanita hamil yang mengalami infeksi malaria mengalami anemia karena
parasit menyerang eritrosit. Tanda dan gejala malaria berat:
 Gangguan kesadaran
 Halusinasi
 Gangguan nafas asidosis (Acute Respiratory Distress Syndrome)
 Kejang-kejang
 Hipotensi, Syok
 Perdarahan, Disseminaten Intravasculair Coagulopathy
 Ikterik
 Hemoglobinuri (tanpa G6PD)
Temuan laboratorium pada malaria berat:
 Anemi berat (Hb < 8gr%)
 Trombositopeni
 Hipoglikemi
 Asidosis (pH < 7,3)
 Gangguan fungsi ginjal (oliguria < 0,4 ml/KgBB/jam ; kreatinin >
265umol/l)
 Hiperlaktatemi
 Gram negatif septicemia
Untuk membedakan antara kejang pada malaria berat dengan meningitis, perlu
dilakukan punksi lumbal untuk menapis meningitis.

5. Diagnosis
Tidak ada gejala kilinis yang spesifik pada malaria. Pada malaria ringan dapat
bermanifestasi seperti flu (flu like illness), atau seperti infeksi virus lainnya.
Riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria harus ditanyakan pada ibu hamil
dengan demam yang tidak diketahui sebabnya.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan apus darah tepi, baik apus tebal
maupun apus tipis yakni bila ditemukan parasit dengan mikroskop atau hasil
positif pada pemeriksaan rapid diagnostic test (RDT).
a. Pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan hemoglobin dan hematocrit
 Jumlah leukosit dan trombosit
 Gula darah untuk menentukan hipoglikemi
 Fungsi hati : serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase
 Fungsi Ginjal: albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan
kalium, analisis gas darah, laktat
 Urinalisis
Diagnosis malaria harus dipertimbangkan pada setiap ibu hamil yang mengalami
demam yang tinggal di daerah malaria, atau melakukan perjalanan ke daerah
malaria walaupun hanya sebentar atau hanya transit.

6. Penatalaksanaan
Ibu hamil sebaiknya dicegah untuk bepergian ke daerah endemis malaria.
Apabila tidak mungkin menghindarinya, ibu harus diberi pengobatan pencegahan,
yakni klorokuin bila bepergian ke daerah malaria yang sensitif terhadap
klorokuin, atau meflokuin untuk daerah malaria yang resisten terhadap klorokuin.
Pada wanita hamil yang tinggal di daerah endemik dan telah mempunyai
kekebalan alami (karena kontak yang lama dengan malaria), pemberian
kemoprofilaksis terhadap malaria menyebabkan kejadian bayi berat badan lahir
rendah dan anemia ibu menurun. Pengobatan Pencegahan Intermiten selama
kehamilan ( IPTp -Intermittent Preventive Treatment during pregnancy) lebih
disukai karena efektif dan lebih praktis.
Rekomendasi WHO (2012) untuk IPTp
a) Semua ibu hamil diberikan IPTp dengan sulfadoksin-pirimetamin (SP) pada
kunjungan pemeriksaan antenatal ke-2 dan ke-3 (WHO merekomendasikan
empat kunjungan pemeriksaan antenatal standar, yakni kunjungan pertama
pada trimester pertama, kunjungan kedua pada 24 hingga 26 minggu
kehamilan, kunjungan ketiga pada 32 minggu, dan kunjungan keempat pada
36 sampai 38 minggu).
b) Setiap dosis dapat menekan atau menghilangkan infeksi asimtomatik pada
plasenta dan memberikan profilaksis pasca-pengobatan untuk 6 minggu.

7. Pengobatan
Malaria dalam kehamilan dapat memiliki konsekuensi buruk bagi ibu dan
janin, oleh karena itu ibu hamil dengan malaria harus segera diobati dengan agen
antimalaria yang efektif untuk parasit penyebabnya.

a) Malaria Falsiparum
Tabel 1. Pengobatan Infeksi Malaria Falsiparum Tanpa Komplikasi
Usia Kehamilan
1. Kurang dari 3 Kina 3x2 tablet selama 7 hari atau
bulan 3x10mg/kgBB selama 7 hari ditambah
dengan Klindamisin 2x300mg atau
2x10mg/kgBB selama 7 hari
2 Lebih dari 3 DHP (dihidroartemisinin-piperakuin) 1 x 3
bulan tablet (untuk ibu dengan BB 41-59 kg), DHP
1x4 tablet (BB ibu ≥ 60 kg) selama 3 hari,
ATAU
Artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4
tablet selama 3 hari.
Ibu hamil dengan infeksi malaria oleh P. falciparum yang berat, harus menerima
terapi parenteral; rute intravena lebih disukai daripada rute intramuskular. Pilihan
terapi adalah artesunate atau quinine ditambah klindamisin.

Tabel 2. Pengobatan Parenteral Ibu Hamil pada Malaria Falsiparum Berat

1 Derivat
Artemisin
Artesunate 2,4 mg/kgBB intravenus
sebagai dosis initial,
dilanjutkan dengan 2,4
mg/kgBB pada 12 dan 24
jam, diikuti oleh 2,4
mg/KgBB sekali sehari.
2. Derivat Kina
Quinine Loading dose : 20mg/kgBB
dihydrochloride dalam dekstrosa 5%
diberikan dalam waktu 4
jam, dilanjutkan dengan 20-
30 mg/kgBB perhari dalam
dosis terbagi 2-3 kali dalam
waktu 2 jam selang 8-12
jam.
Quinidine Loading dose : 20 mg/kgBB
gliconate dalam NaCL 0,9% diberikan
dalam waktu 1-2 jam
dilanjutkan dengan 0,02
mg/KgBB/menit sampai 24
jam.
Ditambah dengan
Klindamisin 20mg/kgBB/hari (maksimum
1800 mg) diberikan per oral,
dalam dosis terbagi 3 X
sehari selama 7 hari

4)
5)

Pada ibu hamil dengan malaria berat, periksa tanda-tanda vital, periksa
kesadaran, jalan nafas (airway), ada tidaknya kaku kuduk, berikan terapi inisial
(loading dose), lakukan stabilisasi dan segera rujuk ibu ke fasilitas yang lebih lengkap
atau RS yang mempunyai unit fetomaternal /NICU.
Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian dosis lengkap artesunate atau quinine/quinidine.
Infeksi Malaria bukan oleh P. falciparum (misalnya infeksi malaria oleh P.
vivax , P. ovale , P. malariae , dan P. knowlesi ) jarang menyebabkan kematian ,tetapi
dapat menjadi penyebab morbiditas yang signifikan dalam kehamilan.
Tabel 3 Pengobatan Malaria non falsiparum pada ibu hamil
1. Usia kehamilan < Kina 3 x 2 tablet selama 7 hari atau 3 x
3 bulan 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Usia kehamilan > DHP (dihidroartemisin-piperakuin) 1-3 tablet
3 bulan untuk BB ibu 41-59 kg selama 3 hari,
ATAU
Artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4
tablet selama 3 hari.

8. Luaran Persalinan
1. Morbiditas perinatal yang berhubungan dengan malaria selama kehamilan
adalah:
a. Abortus (tiga kali lebih tinggi, terutama pada infeksi oleh P. falciparum dan
P.vivax).
b. Pertumbuhan Janin Terhambat (berkorelasi kuat dengan malaria plasenta,
USG Doppler menunjukkan adanya gangguan sirkulasi plasenta).
c. Kelahiran preterm (<37 minggu kehamilan).
d. Berat lahir rendah (BBLR, <2500 g saat lahir).
e. Kematian perinatal ( berkorelasi dengan malaria plasenta; OR 2.19, 95% CI
1,49-3,22).
f. Infeksi kongenital, semua jenis malaria dapat ditularkan kongenital, tetapi
paling sering dikaitkan dengan infeksi plasenta oleh P. vivax dan P.
falciparum.
2. Morbiditas Ibu
a. Anemi berat dan kematian.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan keparahan infeksi malaria
selama kehamilan adalah paritas rendah, usia muda, status imunologi
nonimmun, infeksi oleh P. falciparum atau P. vivax, derajat parasitemia dan
infeksi plasenta, latar belakang sosial ekonomi pasien, tempat domisili
(pedesaan atau perkotaan) dan musim.
b. Kematian ibu
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 10.000 kematian
ibu setiap tahun berhubungan dengan infeksi malaria selama kehamilan.
Malaria merupakan penyebab utama kematian ibu di daerah endemik tidak
stabil saat terjadi wabah periodik pada pasien nonimmun. Lebih dari sepertiga
kematian ibu terkait malaria, terjadi pada remaja primigravida, terutama
berhubungan dengan anemia berat. Sebuah studi yang dilakukan di rumah
sakit rujukan utama di Gambia mendapatkan kejadian kematian ibu meningkat
168 persen pada saat wabah malaria dan proporsi kematian akibat anemia
meningkat tiga kali. Diperkirakan bahwa malaria berkontribusi pada 93
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Usia muda ibu dikaitkan dengan
derajat anemi yang lebih parah dan kejadian berat lahir rendah. Remaja di
daerah pedesaan yang belum pernah hamil sebelumnya, meningkat risikonya
untuk mengalami infeksi malaria dan infeksi ini sangat terkait dengan anemia.
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengendalian terhadap infeksi malaria
harus ditargetkan pada perempuan pedesaan primigravida dengan usia muda.
9. Pencegahan
Masalah malaria dalam kesehatan masyarakat terus meningkat karena kombinasi
berbagai faktor, seperti:
a) ketahanan parasit malaria terhadap kemoterapi
b) Meningkatkan daya tahan vektor (nyamuk Anopheles) terhadap insektisida
c) Perubahan ekologis dan iklim
d) Meningkatkan perjalanan wisatawan internasional ke daerah endemis malaria
Anjuran WHO untuk pencegahan malaria dalam kehamilan:
a) Hindari bepergian ke daerah endemi malaria.
b) Pengobatan pencegahan intermiten pada kehamilan (IPTp) dengan sulfadoksin-
pirimetamin (SP).
c) Berikan pengetahuan tentang terapi pencegahan (mefloquine), tanda dan gejala
malaria.
d) Pencegahan terhadap gigitan nyamuk ( kelambu, pakaian, obat nyamuk balur kulit,
obat semprot nyamuk atau obat nyamuk dalam ruangan).
e) Berikan pengetahuan tentang keadaan emergensi dan siapa yang harus dihubungi
apabila bepergian ke daerah endemis.
f) Semua wanita hamil harus menerima suplemen zat besi dan sasam folat sebagai
bagian dari perawatan antenatal rutin.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan materi di atas masih banyak masalah yang terjadi pada proses kehamilan
yang dapat menjadi penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia dikarenakan
beberapa factor, salah satunya kurangnya skrinning awal resiko pada kehamilan sehingga
pencegahan pada kehamilan bermasalah tidak dilakukan. Oleh karena itu, penanganan
yang tepat, asuhan yang bermutu tinggi sangat diperlukan dalam menangani komplikasi
dalam kehamilan sehingga ibu dan bayi sehat selama masa kehamilan.

B. SARAN
Dalam penanganan kasus komplikasi pada kehamilan dibutuhkan pengambilan
keputusan yang tepat, akurat dan cepat. Dengan adanya pembelajaran ini diharapkan
mahasiswi dapat menjadi bidan yang lebih professional dalam menganalisis suatu
masalah dan tepat dalam memberikan asuhan kebidanan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Sylvia Anderson. (2000).  Patofisiologi penyakit, edisi 4, penerbit EGC buku kedokteran,
Jakarta.

Marylynn. E.Doengus. (2000). Rencana Asuhan keperawatan. edisi 3, penerbit buku


kedokteran, Jakarta.
Sarwono P. 1999. Ilmu Kandungan. Yayasan bina pustaka, edisi 2, Jakarta.
Prawiroharjo, Sarwono. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Ikram, Ainal (2000) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Ibu Hamil jilid
I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Mansjoer, A, (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta , Media
Aesculapius.

Fadiun & Feryanto, Achmad. 2012. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Marmi, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai