PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kelainan kongenital adalah penyebab utama kematian bayi di negara maju maupun
negara berkembang. Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis
kelainan saja atau dapat pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan
sebagai kelainan kongenital multipel. Kadang- kadang suatu kelainan kongenital belum
ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa
waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kemajuan teknologi kedokteran,
kadang-kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus. Bila
ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu kewaspadaan
kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan bahwa bila ditemukan
dua atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukannya kelainan
kongenital besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila ditemukan tiga atau lebih
kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukan kelainan kongenital besar sebesar
90%.
Di negara maju, seperti Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 3% dari bayi yang
lahir (120.000) akan memiliki beberapa jenis cacat lahir utama. Sementara upaya-upaya
yang terpisah telah memantau terjadinya cacat lahir, peran cacat lahir dalam terjadinya
kelahiran prematur tidak baik dipahami.
Sedangkan di negara berkembang, data dari negara-negara berkembang pada cacat
lahir sulit untuk mendapatkannya. Hal ini dimungkinkan karena asfiksia dan infeksi
adalah masalah yang lebih besar. Malaysia, negara menengah berkembang telah
berkembang sedemikian rupa sehingga cacat lahir sekarang merupakan penyebab penting
kematian perinatal terhitung 17,5% kematian perinatal dan neonatal. Strategi untuk
mengurangi kelainan bawaan telah dibahas dalam agenda nasional.
Di Indonesia, sekitar 2% dari semua bayi yang dilahirkan membawa cacat
kongenital serius, yang mengancam nyawa, menyebabkan kecacatan permanen, atau
membutuhkan pembedahan untuk memperbaikinya. Kematian lebih banyak terjadi pada
awal-awal kehidupan dan lebih banyak pada anak laki-laki di semua umur.
Hal ini dikarenakan hanya sedikit pengetahuan yang kita miliki tentang penyebab
abnormalitas kongenital. Cacat pada gen tunggal dan kelainan kromosom bertanggung
jawab atas 10-20% dari total kecacatan yang terjadi. Sebagian kecil berkaitan pada
infeksi intrauterin (misalnya sitomegalovirus, rubella), lebih sedikit lagi disebabkan obat-
obatan teratogenik dan yang lebih sedikit lagi disebabkan radiasi ionisasi.
Sampai dengan 70% dari kelainan kongenital ternyata dapat dicegah atau dapat
diberikan perawatan yang bisa menyelamatkan nyawa bayi atau mengurangi keparahan
disabilitas yang mungkin diderita dengan memberikan terapi yang tepat yaitu dengan
pembedahan. Sedangkan untuk pencegahan, khususnya dilakukan sebelum terjadi
pembuahan atau pada kehamilan usia dini.
Kelainan kongenital pada sistem urogenital merupakan kelainan yang jauh dari
biasa. Sebanyak 10% dari bayi yang lahir dengan beberapa kelainan urogenital. Kejadian
ini dapat menyebabkan berbagai derajat morbiditas dan mortalitas pasien. Pemindaian
yang benar dan tepat untuk kelainan ini sangatlah penting. Kelainan yang dapat
terdeteksi dan dapat diobati secara tepat waktu dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas. Bahkan dalam kasus terburuk dari kelainan sistem urogenital yang tidak
terdeteksi dapat menyebabkan kematian dini, diagnosis yang tepat dapat membantu
dalam pengambilan keputusan antenatal dan postnatal termasuk pemeriksaan genetik
yang dapat membantu perencanaan masa kehamilan dan bahkan analisis kehidupan
anggota keluarga saat ini.
Hingga saat ini belum ada teori pasti yang dapat menjawab etiologi dari kelainan
kongenital sistem urogenital secara jelas. Beberapa peneliti hanya sepakat bahwa
kejadian kelainan kongenital sistem urogenital dikarenakan multi faktor yang
berhubungan dengan faktor dari ibu dan janin di antaranya infeksi intrauterin, obat-
obatan, usia ibu, gizi ibu, riwayat obstetrik, penyakit yang diderita ibu, antenatal care,
prematur dan mutai gen.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mencari faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian kelainan kongenital sistem urogenital supaya dapat
dikembangkan intervensi lain sebagai upaya pencegahan kelainan kongenital sistem
urogenital. Hingga saat ini, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kelainan kongenital sistem urogenital.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal kejadian
kelainan kongenital sistem urogenital.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa saja patofisiologi maternal dalam kehamilan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal persalinan Preterm
2. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Ketuban Pecah Dini
3. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal anemia dalam kehamilan
4. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Cytomegalovirus
5. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal DM dalam kehamilan
6. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Hypertensi dalam kehamilan
7. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal Rubella dalam kehamilan
8. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal toxoplasmosis dalam kehamilan
9. Untuk mengetahui patofisiologi fetomaternal malaria dalam kehamilan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Persalinan Preterm
1. Pengertian
Persalian preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari pertama haid terakhir (ACOD 1995).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi
yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Persalinan preterm
merupakan hal yang berbahaya kerena potensial meningkatkan kematian perinatal
sebesar 65%-75%, umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah. Berat lahir
rendah dapat disebabkan oleh kelahiran preterm dan pertumbuhan janin yang
terhambat.
Keduanya sebaiknya harus dicegah karena dampaknya yang negatif; tidak
hanya kematian perinatal tetapi juga morbiditas, potensi generasi akan datang,
kelainan mental dan beban ekonomi bagi keluarga dan bangsa secara keseluruhan.
Pada kebanyakan kasus, penyebab pasti persalianan preterm tidak ketahui.
Berbagai sebab dan faktor demografik diduga sebagai penyebab persalinan
preterm, seperti : solusi plasenta, kehamilan ganda, kelainan uterus,
polihidramnion, kelainan kongenital janin, ketuban pecah dini dan lain-lain.
Penyebab persalinan preterm bukan tunggal tetapi multikompleks, antara lain
karena infeksi. Infeksi pada kehamilan akan menyebabkan suatu respon
imunologik spesifik melalui aktifasi sel limfosit B dan T dengan hasil akhir zat-zat
yang menginisasi kontraksi uterus. Terdapat makin banyak bukti yang
menunjukan bahwa mungkin sepertiga kasus persalinan preterm berkaitan dengan
infeksi membran korioamnion.
Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yg terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu .
2. Masalah persalinan preterm
Angka kejadianpersalinan preterm pada umunya adalah sekitar 6-10%
.Hanya 1,5 % persalinan terjadi pada usia kehamilan kuarang dari 32 minggu dan
0,5 % pada kehamilan kurang diri 28 minggu namun,kehamilan ini merupakan 2/3
dari kematian neonatal.Kesulitan utama dalam persalian preterm ialah perawatan
bayi preterm,yg semakin usia kehamilan yg semakin besar morbiditas dan
mortalitas.Penelitian lain menunjukan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir
saling berkaitan dengan resiko kematian perinatal.
3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial.
Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal
dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak
kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan
mediator biokimia yang mempunyai dampak yang terjadinya kontraksi rahim dan
perubahan serviks, yaitu:
a. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stres pada ibu atau janin
b. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari
traktus gebitourinaria atau infeksi sistemik
c. Perdarahan desidua
d. Peregangan uterus patologik
e. Kelianan pada uterus atau serviks
Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan
prematur harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi,
menyebabkan persalianan prematur atau seorang dokter terpaksa mengakhiri
kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan.
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah
a. Janin dan plasenta
1) Perdarahan trimester awa
2) Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)
3) Ketuban pecah dini (KPD)
4) Pertumbuhan janin terhambat
5) Cacat bawaan janin
6) Kehamilan ganda/gamely
7) Polihidramnion
b. Ibu
1) Penyakit berat pada ibu
2) Diabetes mellitus
3) Preeklamsia/ hipertensi
4) Infeksi saluran kemih/genetal/intrauterine
5) Penyakit infeksi dengan demam
6) Stres psikologik
7) Kelainan bentuk uterus/serviks
8) Riwayat persalinan preterm/abortus berulang
9) Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1cm)
10) Pemakaian obat narkotik
11) Trauma
12) Perokok berat
13) Kelainan imunologi/kelainan resus
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan preterm
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya persalianan preterm
dapat diklasifikasikan secara rinci sebagai berikut:
a. Kondisi umum
b. Keadaan sosial ekomoni rendah
c. Kurang gizi
d. Anemia
e. Perokok berat, dengan lebih dari 10batang/hari.
f. Umur hamil terlalu muda kurang dari atau terlalu tua di atas 35 tahun.
g. Penyakit ibu yang menyertai kehamilan
h. Penyulit kebidanan
Perkembangan dan keadaan hamil dapat meningkatkan terjadinya
persalinan perterm diantaranya :
a. Kehamilan dengan hidramnion, ganda, pre-eklamsia.
b. Kehamilan dengan perdarahan antepartum pada solusio plasenta, plasenta
previa, pecahnya sinus marginali
c. Kehamilan dengan ketuban pecah dini: gawat janin, temperatur tinggi.
d. Kelainan anatomi Rahim
e. Keadaan rahim yang sering menimbulkan kontraksi dini: serviks inkompeten
karena kondisi serviks, amputasi serviks.
f. Kelainan kongenital Rahim
g. Infeksi pada vagina aseden (naik) menjadi amninitis
Sedangkan menurut Mochtar (1998:220), faktor yang mempengaruhi
prematuritas adalah sebagai berikut:
a. Umur ibu, suku bangsa, sosila ekonomi
b. Bakteriura (infeksi saluran kencing)
c. BB ibu sebelum hamil, dan sewaktu hamil
d. Kawin dan tidak kawin: tak syah 15% prematur; kawin syah 13% premature
e. Prenatal (antenatal) care
f. Anemia, penyakit jantung
g. Jarak antara opersalian yang terlalu dekat
h. Pekerjaan yang terlalu berat sewaktu hamil berat
i. Keadaan bayi yang harus dilahirkan prematur, misalnya pada plasenta previa,
toksemia gravidarum, solusio plasentae atau kehamilan ganda.
5. Gejala klinis dari persalinan preterm
Tanda-tanda klinis dari persalinan preterm adalah didahului dengan adanya
kontrkasi uterus dan rasa menekan pada panggul kemudian diikuti dengan
keluarnya cairan vagina yang mengandung darah
6. Indikator-indikator untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm
Pengenalan dini wanita yang berisiko untuk terjadinya persalinan preterm
adalah hal yang sangat penting. Berbagai indikator telah dikemukakan untuk
pengenalan dini resiko terjadinya persalinan preterm antara lain sebagai berikut.
a. Indikator klinik
Seperti persalinan pada umumnya, kontraksi uterus, penipisan atau
pemendekan serviks baik dengan pemeriksaan klinis (manual) ataupun alat
tokodinaminometer (untuk mengetahui adanya kontraksi uterus yang adekuat),
serta ultrasonografi (untuk mengetahui pemendekan serviks) merupakan
indikator klinis yang sangat penting diketahui untuk meramalkan pakah
persalianan preterm akan terjadi dalam waktu singkat atau masih adapat
dipertahankan untuk meningkatkan usia hamil.
b. Indikator laboratorik
Jumlah leokosit dalam air ketuban dengan nilai batas 20 atau lebih
perml mempunyai arti dalam menentukan adanya korioamnionitis dengan OR
74,0 dibanding dengan pemeriksaan CRP (0,7mg/ml). Leokosit dalam serum
ibu (13rb/ml) pemeriksaan tersebut lebih bermakna.
c. Indikator biokimiawi
Fibronektin janin adalah protein pada selaput korio amnion desidua
dan dalam air ketuban. Fungsinya sebagai perekat antara buah kehamilan
dengan permukaan dalam dinding uterus. Produksi fibronektin janin oleh sel
korion manusia akan meningkat oleh reaksi peradangan. Beberapa peneliti
telah membuktikan peran fibronektin janin ini untuk meramalkan kejadian
persalinan preterm. Peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina serviks
dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara
korion dengan desidua. Pada kehamilan 24minggu atau lebih kadar fibronektin
janin dalam cairan servikskovagina 50mg/ml atau lebih kan meningkatkan
risiko terjadinya persalinan preterm dengan sensitifitas 80% dan nilai prediksi
positif 83% lebih jauh peningkatan kadar fibronektin janin pada kehamilan 8-
22mg pada wanita yang berisiko tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya
persalinan preterm secara bermakna.
d. Diagnosis dari persalinan
Diagnosis suatu persalinan preterm yang membakat (preterm labor)
didasarkan atas gejala klinis yang ditandai dengan suatu kontraksi rahim yang
teratur dengan interval <5-8 menit pada kehamilan 20-37mg, yang disertai
dengan satu atau lebih gejala-gejala berikut.
1) Perubahan serviks yang progresif
2) Pembukaan serviks 2cm atau lebih
3) Pendaftaran serviks 80% atau lebih
Lams dkk, mengemukakan tentang cara menentukan risiko terjadinya
persalinan preterm dengan USG dan pemeriksaan vagina pada kehamilan 24-
34mg dan sebelum 36mg.
7. Pemeriksaan penunjang
a. Laboraturium
1) Pemeriksaan kultur urine
2) Pemeriksaan gas dan pH darah janin
3) Pemeriksaan darah tepi ibu
Jumlah leokosit
C-reactive protein (CRP) ada pada serum penderita yang menderita
infeksi akaut adan didekteksi berdasarkan kemampuannya untuk
mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman
Pneumococcus yang disebut fraksi C.
b. Amniosentesis
1) Hitung leokosit
2) Perwarnaan gram bakteri (+) pasti ammnionitis
3) Kultur
4) Kadar glukosa cairan amnion,
c. Pemeriksaan ultrasonografi
1) Oligohidramnion :
Goulk dkk. (1985) mendapati hubungan antara oligohidramnion
dengan korioamnionitis klinis antepartum.
2) Penipisan serviks :
Lams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan serviks <3cm (USG),
dapat dipastikan akan terjadi persalina preterm.
3) Kardiotokografi :
Kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi
8. Penatalaksanaan
Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm akibat
amnionitis dan yang mengalami gejala persalinan preterm membakat harus
ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran noenatal. Pada kasus-kasus
amnionitis yang tidak mungkin ditangani akspektatif, harus dilakukan intervensi,
yaitu dengan :
a. Akselerasi pematangan fungsi paru
1) Terapi glukokortikoid, misalnya dengan betamethasone 12mg im. 2kali
selang 24jam. Atau dexamethasone 5mg tiap 12 jam (IM) sampai 4 dosis.
2) Thyrotropin releasing hormone 400ug iv, akan meningkatkan kadar tri-
iodothyronine yang dapat meningkatkan produksi surfaktan. Suplemen
inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang
berperan dalam pembentukan surfaktan
b. Pemberian antibiotik
Mercer dan arheart (1995) menunjukan bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan spesies
neonatorum. Diberikan 2 gram ampicilin (iv) tiap 6 jam sampai persalinan
selesai (ACOG). Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman
aerob. Yyang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas setelah itu
dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm,
bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolitik.
c. Pemberian tokolitik
1) Nifedin 10mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya
hanya diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3 x 10 mg.
2) Golongan beta – mimetik
a) Salbutamol
b) Per infus : 20 – 50
c) Per oral : 4 mg ,2- 4 kali/hari( maintenance)
9. Penanganan
Penanganan umum
a. Lakukan evaluasi cepat keadaan ibu
b. Upayakan melakukan konfirmasi umur kehamilan bayi
Prinsip penanganan
a. Coba hentikan kontraksi uterus atau penundaan kehamilan
b. Persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya
Oleh karena usia hamil dan berat lahir merupakan faktor penentu dari fetal
survival, maka yang menjadi tujuan utama pengelolaan persalinan adalah sebagai
berikut.
a. Meningkatkan usia hamil
b. Meningkatkan berat lahir
c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal.
Prinsip pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah bergantung
pada hal-hal berikut ini.
a. Kondisi ketuban masih untuh atau sudah pecah
b. Usia kehamilan dan perkiraan berat janin
c. Ada atau tidak adanya gejala klinis dari infeksi intrauterine
d. Ada atau tidak petanda-petanda yang meramalkan persalinan dalam waktu
yang relatif dekat (kontraksi, penipisan serviks, dan kadar IL – dalam air
ketuban).
Pengelolaan persalinan preterm dengan ketuban yang masih lunak
Pada dasarnya apabila tidak ada bahaya untuk ibudan janin, maka
pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah konservatif, yaitu sebagai
berikut.
a. Menunda persalinan dengan tirah baring dan pemberian obat – obat tokolitik.
b. Memberikan obat-obat untuk memacu pematangan paru janin.
c. Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko terjadinya infeksi
perinatal
d. Merencanakan cara persalinan preterm yang aman dan dengan trauma yang
minimal
e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi
prematur.
Usia hamil <34 minggu
a. Tokolitik untuk menghentikan kontraksi uterus
Bermacam-macam tokolitik yang dikenal dengan titik tangkap dan cara
kerja yang berbeda dapat diberikan baik secara tunggal maupun kombinasi
sesuai dengan prosedur pemberian yang dianjurkan dengan tetap
memperhatikan kemungkinan efek samping yang dapat timbul pada ibu / atau
janin.
1) Beta -2 agonis
Terbutalin
Prosedur pengobatan dengan terabutalin.
1000 mcg (2 amp) terabutalin dalam 500 ml NaCL sehingga diperoleh
konsentrasi 2 mcg/ml atau 0,5 mcg/tetes.
Dosis awal diberikan 1 mcg/menit atau 10tetes/menit. Dosis dinaikan
setiap 15 menit dengan 0,5 mcg(5 tetes) sampai his menghilang atau
timbul tanda-tanda efek samping yang dirasakan membahayakan ibu dan
atau janin.
Dosis maksimum yang dianjurkan adalah 5mcg/menit (5 tetes/menit).bila
his berhenti,maka dosis dipertahankan pada kecepatan tersebut selama 1
jam, kemudian diturunkan 0,5mgc atau 5 tetes setiap 15 menit sampai
dosis pemeliharaan ( maintenance) sebesar 2 mcg/menit atau 20
tetes/menit dan dipertahankan sampai 8jam kemudian. Bila sebelum 8 jam
terjadi kontraksi lagi, maka dosis dinaikan lagi seperti diatas. Dosis total
yang dianjurkan sampai dengan 2.000 mgc (4amp) salam 1.000 ml NaCL.
Bila tidak timbul his lagi, setengah jam sebelum pemberian parenteral
dihentikan (7,5jam dalam dosis pemeliharaan), penderita boleh mulai
diberikan terbutalin oral (2,5 mg/tab) setiap 8 jam sampai 5 hari atau
sampai ada tanda-tanda efek samping yang membahayakan ibu dan atau
janin.
Beta -2 agonis yang lain dapat diberikan sesuai dengan prosedur yang
dianjurkan pada masing – masing obat.
Efek samping samping pemberian obat tersebut adalah sebagai berikut :
a) Ibu : efek beta – 1 terhadap jantung ibu berupa palpitasi hebat.
b) Janin : gangguan paada sirkulasi feto-plasental yang mengakibatkan
hipoksia janin intrauterin.
2) Non – steroid anti – inflamatory agents
Cox -2 inhibitor (nimesulid) oral dengen dosis 3x100 mg/hari.
Obat-obat NSAIAs yang lain (seperti indomethasin dan lain-lain, saat ini
tidak dianjurkan lagi terutama pada kehamilan >32minggu karena efek
samping penutupan dini duktus arteriosus).
3) Calsium Antagonis
Nifedipine oral dengan dosis 3x10 mg/hari. Pada dasarnya obat ini cukup
aman terhadap ibu dan janin, akan tetapi dalam beberapa penelitian pernah
ditemukan efek samping pada ibu berupa sakit kepala dan hipotensi.
4) Progesteron
Obat-obat progesteron diberikan parenteral maupun oral sesuai dosis yang
di anjurkan.
5) Oxytocin analog
Atosiban (Belum beredar di Indonesia)
b. Kortkosteroid untuk memacu pematangan paru janin intarauterine.
Betamethason 12-16 mg (3-4 amp) /IM,/hari diberikan selama 2 hari
(liggin dan Howie 1972) atau Dexamethason 6 mg/IM, diberikana 4 dosis tiap
6 jam sekali (Parkland Hospital, 1994). Pemberian ini hanya dianjurkan sekali
saja, tidak dianjurkan untuk mengulangi pemberian setelah ini karena efek
samping terhadap ibu (hipertensi) dan janin (gangguan perkembangan syaraf )
(NIHCDC-2000).
c. Antibiotik untuk mencegah infeksi perinatal (ibu dan bayi).
Ampisilin Sulbactam parenteral 2x1,5 g selama 2 hari, kemudian
dilanjutkan oral 3x 375 mg/hari selama 5 hari. Obat antibiotik yang lain
sebaiknya dipilih obat-obat golongan B (Klasifikasi FDA untuk obat-obat
untuk ibu hamil) terutama dianjurkan derivat penisilin/ampisilin mengingat
efek teratogenikterhadap janin. Pemberian antibiotik ini masih banyak
kontroversi karena satu pihak berhasil menurunkan kejadian infeksi pada
amnion/janin dan memperpanjang usia kehamilan (karena bisa meningkatkan
efek obat-obat tokolitik), akan tetapi pihak lain menolak memberikan karena
ternyata pemberian antibiotik ini tidak memperbaiki hasil akhir (outcome)
janin seperti kejadian-kejadian Necrotising Enterocolitis (NEC), Respiratory
Distress Syndrome (RDS), dan Intracranial Haemorhage (Mercer dan Arheart
1995). Kyle dan turner (1996) menolak memberikan antibiotik dalam jangka
waktu lama karena alasan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dari bakteri
lain dan resistensi bakteri terhadap antibiotik.
d. Cara Persalinan.
Upayakan persalinan preterm yang man dan non-traumatis, serta
perawatan intensif untuk bayi prematur. Cara persalinan yang dianjurkan
adalah spontan pervaginam atau SC atas indikasi obstetrik yang ada (Kelainan
letak, gawat janin).
E. Cyto Megalovirus
1. Pengertian
Cytomegalovirus (CMV) adalah infeksi oportunistik. CMV Virus DNA
dan merupakan kelompok dari famili.Virus Herpes sehingga memiliki
kemampuan latensi. Sitomegalovirus (CMV) termasuk golonggan virus Herpes
DNA.Hal ini berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan
Replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga
terlihat sel membesar (Sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung
hantu.
2. Tanda dan Gejala
Penyakit yang paling umum disebabkan oleh CMV adalah retinitis. Ini
adalah kematian sel pada retina, bagian belakang mata. Dengan cepat dapat
menyebabkan kebutaan jika tidak diobati. CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh
dan menginfeksi beberapa organ sekaligus. Tanda-tanda pertama retinitis CMV
adalah masalah penglihatan seperti bergerak flek hitam. Ini disebut "floaters".
Mereka mungkin menunjukkan adanya radang pada retina. Pasien juga mungkin
melihat kilatan cahaya, penglihatan berkurang atau terganggu, atau bintik-bintik
buta.
3. Penularan CMV
Penularan CMV ini berlangsung secara horisontal, vertikal, dan hubungan
Sexsual.Penularan horisontal terjadi melalui droplet infection dan kontak dengan
air ludah dan air seni.Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses
infeksi maternal ke janin.Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karenaa
transmisi trans-placenta selama kehamilan dan diperhatikan 0,5% - 2,5% dari
populasi neonatal.Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan
terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan
transfusi darah.
4. Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu
disebut infeksi primer.Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun
asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang
tidak terbatas.Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam
jaringan.Proses ini disebut infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai
multiplikasivirus.Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang
mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi
penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan.
Infeksi rekuren yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta keadaan
supresi imun yang bersifat iatrogenik.Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan
tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang
kronis.Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai
berbagai sindroma.
5. Infeksi CMV pada Kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan
infeksi pada UK < 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.Infeksi
CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus.
Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola
imunilogik seronegatif dn nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.
Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya
dalam keadaan paten.Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang
jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren.
6. Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dsengan metode
serologik maupun virologik.Dengan metodi serologik, diagnosa infeksi maternal
primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropossitif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan
serial dengan interval kira-kira 3minggu.Dalam metode serologik infeksi primer
dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgGM
menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama
kurang lebih 20minggu setelah infeksi primer.
Dengan Metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi
yang mengikat antigen, auatu protein dari CMV dalam sel leukosit dalam darah
ibu.
7. Terapi dan Konseling
Konseling infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan ≤ 20 minggu
setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan.Terapi diberikan guna mengobati infeksi
CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) serta tindakan profilaksis untuk mencegah
infeksi CMV setelah transplantasi organ.Obat yang digunakan untuk anti CMV
saat ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Falaaciclovir, tetapi sampai
saat ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan
intoksikasi serta resistensi.Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi kongenital.
F. DM Dalam Kehamilan
1. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan
keadaan hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak
dijumpai. Yang paling sering terjadi yaitu: diabetes mellitus yang diketahui
sewaktu hamil yang disebut DM gestasional dan DM yang telah terjadi sebelum
hamil yang dinamankan DM pragstasi. Diabetes mellitus merupakan ganguan
sistemik pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia atau peningkatan glukosa darah yang diakibatkan
produksi insulin yang tidak adekuat atau penggunaan insulin secara tidak efektif
pada tingkat seluler (Bobak. Lowdermilk, Jensen.2004. Edisi 4 hal 699).
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah kelainan pada metabolisme
karbohidrat dari faktor yang memberatkan yang terjadi selama kehamilan
(Marilyn, 2001).
Diabetes Mellitus Gestational adalah kehamilan normal yang disertai
dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Kehamilan yang disertai diabetes mellitus merupakan kondisi yang
berisiko tinggi, oleh karena itu perlu penanganan dan pendekatan multidisiplin
untuk mencapai hasil akhir yang baik. Perawat yang memberikan asuhan
keperawatan kepada wanita diabetik yang sedang hamil harus memahami respon
fisiologis normal terhadap kehamilan dan perubahan metabolisme akibat diabetes,
perawat juga harus mengetahui implikasi– implikasi psikososial kehamilan
diabetik, sehingga ia dapat mengarahkan wanita yang sedang hamil dalam
perencanaan pengimplementasian dan pengevaluasian terhadap wanita dan
keluarganya.
Disebut diabetes gestasional bila gangguan toleransi glukosa yang terjadi
sewaktu hamil kembali normal dalam 6 minggu setelah persalinan. Dianggap
diabetes mellitus (jadi bukan gestasi) bila gangguan toleransi glukosa menetap
setelah persalinan. Pada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama
masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali
didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga.
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi
glukosa berbagai tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa
membedakan apakah penderita perlu mendapat insulin atau tidak. Pada kehamilan
trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan
respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Sebagian besar DMG
asimtomatis sehingga diagnosis ditentukan secara kebetulan pada saat
pemeriksaan rutin. Diabetes melitus gestational adalah keadaan intoleransi
karbohidrat dari seorang wanita yang diketahui pertama kali ketika dia sedang
hamil. Diabetes gestational terjadi karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan,
diperkirakan karena terjadinya perubahan pada metabolisme glukosa.
Teori yang lain mengatakan bahwa diabetes tipe 2 ini disebut sebagai
“unmasked” atau baru ditemukan saat hamil dan patut dicurigai pada wanita yang
memiliki ciri gemuk, riwayat keluarga diabetes, riwayat melahirkan bayi > 4 kg,
riwayat bayi lahir mati, dan riwayat abortus berulang. Angka lahir mati terutama
pada diabetes yang tidak terkendali dapat terjadi 10 kali dari normal.
2. Perubahan metabolic selama dan setelah masa kehamilan
Kehamilan normal dikatakan sebagai suatu kondisi diabetogenik, dimana
kebutuhan akan glukosa meningkat. Metabolisme maternal mengalami perubahan
untuk memastikan suplai glukosa yang adekuat dan konstan untuk perkembangan
janin. Glukosa maternal ditransfer ke janin melalui proses difusi-difasilitasi.
Insulin ibu tidak menembusd plasenta. Pada usia gentasi sepuluh minggu, janin
meyekresi insulinnya sendiri dengan kadar yang adekutat, yang memungkinnya
menggunankan glukosa yang diperoleh dari ibu.
Pada trimester pertama kehamilan, kadar glukosa ibu menurun dengan
cepat dibawah kadar glukosa tidak hamil sampai antara 55 dan 65 mg/dl. Akibat
pengaruh estrogen dan progesterone, pancreas meningkatkan produksi insulin,
yang meningkatkan penggunaan glukosa. Pada saat yang sama, penggunaan
glukosa oleh janin meningkat, sehingga menurunkan kadar glukosa ibu. Selain itu,
trimester pertama juga ditandai dengan nausea, vomitus, dan penurunan asupan
makanan sehingga kadar glukosa ibu semakin menurun dan selama tri mester
kedua dan ketiga peningkatan kadar laktogen plasental human, estrogen,
progesterone, kortisol, prolaktin, dan insulin meningkatkan resistansi insulin
melalui kerjanya sebagai suatu antagonis. Resistansi insulin merupakan suatu
mekanisme penghematan glukosa yang memastikan suplai glukosa yang
berlimpah untuk janin. Kebutuhan ibu akan insulin meningkat sejak trimester ke
II. Kebutuhan insulin dapat meningkat 2-4 kali lipat pada kehamilan cukup bulan.
Pada saat bayi lahir, lepasnya plasenta menyebabkan penurunan mendadak
kadar hormone plasenta, kortisol dan insulin yang bersirkulasi. Ke jaringan
maternal dengan cepat kembali peka terhadap insulin seperti pada periode
sebelum hamil. Pada ibu yagn tidak menyusui bayi, keseimbangan insulin –
karbohidrat prakehamilan biasanya dicapai kembali dalam sekitar 7-10 hari.
Dalam laktasi, glukosa maternal digunakan sehinggu kebutuhan insulin ibu yang
menyusui ibu tetap rendah selama 9 bulan. Setelah penyapihan berakhir,
kebutuhan insulin ibu kembali ke kebutuhan insulinnya sebelum hamil.
3. Etilogi
Etiologi Diabetes Melitus menurut Kapita Selekta Jilid III, 2006, Yaitu :
a. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4.
b. Genetik
Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen
penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya
menderita diabetes mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai ke cucunya
bahkan cicit walaupun resikonya sangat kecil.
Secara klinis, penyakit DM awalnya didominasi oleh resistensi insulin
yang disertai defect fungsi sekresi. Tetapi, pada tahap yang lebih lanjut, hal itu
didominasi defect fungsi sekresi yang disertai dengan resistensi insulin.
Kaitannya dengan mutasi DNA mitokondria yakni karena proses produksi
hormon insulin sangat erat kaitannya dengan mekanisme proses oxidative
phosphorylation (OXPHOS) di dalam sel beta pankreas. Penderita DM proses
pengeluaran insulin dalam tubuhnya mengalami gangguan sebagai akibat dari
peningkatan kadar glukosa darah. Mitokondria menghasilkan adenosin
trifosfat (ATP). Pada penderita DM, ATP yang dihasilkan dari proses
OXPHOS ini mengalami peningkatan. Peningkatan kadar ATP tersebut
otomatis menyebabkan peningkatan beberapa senyawa kimia yang terkandung
dalam ATP. Peningkatan tersebut antara lain yang memicu tercetusnya proses
pengeluaran hormon insulin. Berbagai mutasi yang menyebabkan DM telah
dapat diidentifikasi. Kalangan klinis menyebutnya sebagai mutasi A3243G
yang merupakan mutasi kausal pada DM. Mutasi ini terletak pada gen
penyandi ribo nucleid acid (RNA). Pada perkembangannya, terkadang para
penderita DM menderita penyakit lainnya sebagai akibat menderita DM.
Penyakit yang menyertai itu antara lain tuli sensoris, epilepsi, dan stroke like
episode. Hal itu telah diidentifikasi sebagai akibat dari mutasi DNA pada
mitokondria. Hal ini terjadi karena makin tinggi proporsi sel mutan pada sel
beta pankreas maka fungsi OXPHOS akan makin rendah dan defect fungsi
sekresi makin berat.
Prevalensi mutasi tersebut biasanya akan meningkat jumlahnya bila
penderita DM itu menderita penyakit penyerta tadi.
c. Kerusakan/kelainan pankreas sehingga Kekurangan produksi insulin
Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat
menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan fungsi
pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses
metabolisme tubuh termasuk insulin. Penyakit seperti kolesterol tinggi dan
dislipidemia dapat meningkatkan resiko terkema diabetes mellitus.
d. Meningkatnya hormon antiinsulin seperti GH, glukogen, ACTH, kortisol, dan
epineprin.
e. Obat-obatan.
Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi pankreas
menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses
metabolisme tubuh termasuk insulin. Segala jenis residu obat yang
terakumulasi dalam waktu yang lama dapat mengiritasi pankreas. Contohnya
Minum soda dalam keadaan perut kososng (misalnya stelah berpuasa atau
waktu bangun tidur dipagi hari) juga harus dihindari. Sirup dengan kadar
fruktosa tinggi, soda, dan pemanis buatan yang terdapat dalam minuman soda
dapat merusak pangkreas yang menyebabkan meningkatnya berat badan, jika
kebiasaan ini diteruskan, lama kelamaan akan menderita penyakit DM.
Penelitian membuktikan bahwa perempuan yang mengkonsumsi soda lebih
dari 1 kaleng per hari memiliki resiko 2 kali terkena diabeters tipe 2 dalam
jangka waktu 4 tahun kedepannya.
f. Wanita obesitas
Sebenarnya DM bisa menjadi penyebab ataupun akibat. Sebagai
penyebab, obesitas menyebabkan sel beta pankreas penghasil insulin
hipertropi yang pada gilirannya akan kelelahan dan “jebol” sehingga insulin
menjadi kurang prodeksinya dan terjadilah DM. Sebagai akibat biasanya
akibat penggunaan insulin sebagai terapi DM berlebihan menyebabkan
penimbunan lemak subkutan yang berlebihan pula.
4. Patofisiologi
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolism endokrin dan karbohidrat
yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui.
Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga
kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tak
dapat mencapai janin, sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada
janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping
beberapa hormone lain seperti estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat
lambatnya resorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan ini
menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat
sehingga mencapai 3 kali dari keadaan normal. Hal ini disebut sebagai tekanan
diabetojenik dalam kehamilan. Secara fisiologik telah terjadi resistensi insulin
yaitu bila ia ditambah dengan insulin eksogen ia tidak mudah menjadi
hipoglikemi. Akan tetapi, bila ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin,
sehingga ia relative hipoinsulin yang menyebabkan hiperglikemia atau diabetes
kehamilan.
Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi
suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi
perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya,
komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi,
kadar insulin tetap tinggi). Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta,
dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal.
(menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga
hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan
sebagainya.
5. Faktor Predisposisi / Faktor Resiko
Faktor Predisposisi diabetes mellitus pada kehamilan :
a. Riwayat obstetrik yang mencurigakan :
1) Beberapa kali keguguran.
2) Riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab yang jelas.
3) Riwayat pernah melahirkan bayi 4000 gram
4) Pernah mengalami toxemia gravidarum
5) Polihidramnion
b. Riwayat ibu yang mencurigakan :
1) Umur ibu hamil > 30 tahun
2) Riwayat DM dalam keluarga.
3) Pernah DMG pada kehamilan sebelumnya
4) Obesitas.
5) Berat badan ibu waktu lahir > 5 kg
6) Infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil.
c. Bersifat keturunan
d. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4.
e. Meningkatnya hormon antiinsulin seperti GH, glukogen, ACTH, kortisol, dan
epineprin.
6. Komplikasi Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes mempengaruhi timbulnya komplikasi dalam kehamilan sebagai berikut :
a. Pengaruh dalam kehamilan
1) Abortus dan partus prematurus.
2) Pre-eklampsi
3) Hidramnion
4) Kelainan letak
5) Insufisiensi plasenta
b. Pengaruh dalam persalinan
1) Gangguan kontraksi otot rahim partus lama / terlantar.
2) Janin besar sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
3) Gangguan pembuluh darah plasenta sehingga terjadi asfiksia sampai
dengan lahir mati
4) Perdarahan post partum karena gangguan kontraksi otot rahim.
5) Post partum mudah terjadi infeksi.
6) Bayi mengalami hypoglicemi post partum sehingga dapat menimbulkan
kematian
7) Distosia bahu karena anak besar
8) Lebih sering pengakhiran partus dengan tindakan, termasuk seksio sesarea.
Seksio sesaria merupakan penyakit persalinan yang paling sering
ditemukan. Dari sebanyak 40 pasien DMG yang dipantau di klinik selama
3,5 tahun, Seksio sesaria dilakukan sebanyak 17,5 %.
9) Angka kematian maternal lebih tinggi
c. Pengaruh dalam nifas
1) Infeksi nifas/infeksi puerperalis.
2) Sepsis
3) Menghambat penyembuhan luka jalan lahir.
d. Pengaruh Diabetes pada Bayi
1) Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abortus.
2) Cacat bawaan terutama pada kelas D ke atas.
3) Dismaturitas terutama pada kelas D ke atas.
4) Janin besar (makrosomia) terutama pada kelas A-C.
5) Kematian dalam kandungan (Intra Uterin Fetal Death), biasanya pada
kelas D ke atas.
6) Kematian neonatal. Di klinik yang maju sekalipun angka kematian
dilaporkan berkisar antara 3-5 %.
7) Kelainan neurologik dan psikologik dikemudian hari.
7. Tanda dan Gejala Klinis
a. Polifagia.
b. Polidipsi
c. Poliuria.
d. Mata kabur .
e. Pruritus vulva.
f. Ketonemia.
g. Lemas.
h. Glikosuria.
i. Gula darah 2 jam pp > 200 mg/dl.
j. Kesemutan.
k. Gula darah puasa > 126 mg/dl
l. Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
m. Gatal
8. Penatalaksanaan
Pengobatan dan penanganan penderita diabetes yang hamil dilakukan
untuk mencapai 3 maksud utama, yaitu:
a. Menghindari ketosis dan hipoglikemia.
b. Mengurangi terjadinya hiperglikemia dan glisuria.
c. Mengoptimalkan gestasi.
Penanganan pada penderita DM meliputi:
a. Diet
Penderita harus mendapatkan lebih banyak kalori karena berat
badannya bertambah menurun. Penderita DM dengan berat badan rata-rata
cukup diberi diet yang mengandung 1200-1800 kalori sehari selama
kehamilan. Pemeriksaan urine dan darah berkala dilakukan untuk mengubah
dietnya apabila perlu. Diet dianjurkan ialah karbohidrat 40%, protein 2 gr/kg
berat badan, lemak 45-60gr. Garam perlu dibatasi untuk mengurangi
kecenderungan retensi air dan garam.
b. Olah raga
Wanita hamil perlu olah raga, tetapi sekedar untuk menjaga
kesehatannya. Kita tidak bisa memaksakan olah raga pada ibu hamil hanya
untuk menurunkan gula dalam darahnya.
c. Obat-obat antidiabetik
Selama kehamilan kadar darah diatur dengan antidiabetik. Pemeriksaan
kadar darah harus dilakukan lebih sering. Pemberian suntikan insulin
merupakan salah satu pengobatan bagi penderita penyakit DMG untuk
mengontrol kadar gula darahnya. Beberapa jenis obat-obat untuk penderita
DM yang dapat dikonsumsi dengan dimakan dan yang beredar di Indonesia
hingga saat ini memang tidak seluruhnya boleh diberikan pada ibu hamil,
karena dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi janin yang dikandung.
Misalnya menimbulkan cacat bawaan pada janin. Pada trimester pertama
paling sukar dilakukan pengobatan karena adanya nausea dan vomitus. Pada
timester kedua pengobatan tidak begitu sukar lagi karena tidak perlu
perubahan diet dan dosis antidiabetik. Dalam trimester ketiga sering
diperlukan lebih banyak antidiabetik karena meningginya toleransi hidrat
arang.
d. Diuretik
Jika ada hipertensi atau tanda-tanda retensi cairan dianjurkan miskin
garam. Jika ini tidak menolong dapat diberikan deuretik.
e. Steroid-steroid seks
Sekresi estrogen berkurang pada wanita hamil diabetik. Komplikasi
pada fetus berkurang jika selama kehamilan diberi estrogen dan progesteron
dalan dosis besar.
f. Penatalaksanaan obstetric
Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaanklinis ibu
dan janin, terutama tekanan darah, pembesaran/ tinggi fundus uteri, denyut
jantung janin, kadar gula darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi
(jika memungkinkan).
Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan
pengukuran tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin. Pada
tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin. Pada tingkat
rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara:
1) Pengukuran tinggi fundus uteri
2) USG serial
3) Penilaian menyeluruh janin dengan skor dinamik janin plasenta (FDJP),
nilai FDJP < 5 merupakan tanda gawat janin.
4) Penilaian ini dilakukan setiap minggu sejak usia kehamilan 36 minggu.
Adanya makrosomia, pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan gawat janin
merupakan indikasi untuk melakukan persalinan secara seksio sesarea.
5) Pada janin yang sehat, dengan nilai FDJP > 6, dapat dilahirkan pada usia
kehamilan cukup waktu (40-42 mg) dengan persalinan biasa. Pemantauan
pergerakan janin (normal >l0x/12 jam).
6) Bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memerlukan perawatan khusus.
7) Bila akan melakukan terminasi kehamilan harus dilakukan amniosentesis
terlebih dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila usia kehamilan
< 38 mg).
8) Kehamilan DMG dengan komplikasi (hipertensi, preeklamsia, kelainan
vaskuler dan infeksi seperti glomerulonefritis, sistitis dan monilisasis)
harus dirawat sejak usia kehamilan 34 minggu. Penderita DMG dengan
komplikasi biasanya memerlukan insulin.
9) Penilaian paling ideal adalah penilaian janin dengan skor fungsi dinamik
janin-plasenta (FDJP).
g. Persalinan dilakukan:
1) Pertahankan sampai aterm dan spontan.
2) Induksi persalinan pada minggu 37-38.
3) Primer seksio sesarea.
h. Penanganan bayi dengan DM:
1) Disamakan dengan bayi prematur.
2) Observasi kemungkinan hipoglisemia.
3) Perawatan intensif: neonatus intensif unit care dengan pengawasan ahli
neonatologi.
9. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Adanya kadar glukosa darah yang tinggi secara abnormal. Kadar gula
darah pada waktu puasa > 140 mg/dl. Kadar gula sewaktu >200 mg/dl.
2) Tes toleransi glukosa. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam pp
>200 mg/dl.
3) Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah
vena, serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan
deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi.
4) Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-
180% maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam
urin: + nilai ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang populer:
carik celup memakai GOD.
5) Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat
didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-
hidroksibutirat tidak terdeteksi.
6) Pemeriksan lain: fungsi ginjal (Ureum, creatinin), Lemak darah:
(Kholesterol, HDL, LDL, Trigleserid), Ffungsi hati, antibodi anti sel insula
langerhans (islet cellantibody).
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan kadar gula darah
atau skrining glukosa darah, ultrasonografi untuk mendeteksi adanya kelainan
bawaan dan makrosomia, Hemoglobin glikosida (HbA1c) yang menunjukkan
control diabetik (HbA1c lebih besar dari 8,5% khususnya sebelum kehamilan,
membuat janin berisiko anomaly kongenital).
10. Pencegahan
a. Mengurangi makan-makanan manis.
b. Menjaga jumlah asupan makanan terutama ketika trisemester ketiga kehamilan
agar berat badan tidak bertambah, akan tetapi ibu hamil tidak boleh sampai
kekurangan makanan.
c. Berolahraga dengan teratur serta melakukan aktivitas fisik dari mulai yang
ringan hingga sedang sehingga kalori yang tidak diperlukan dalam tubuh akan
terbakar dengan sendirinya.
11. Peran Bidan
Pada kasus ini bidan sangat berperan penting dalam pencegahan penyakit
diabetes mellitus gestational, selain memberikan konseling bagi pasien, bidan juga
berperan dalam mengevaluasi pemahaman pasien tentang aturan diet, dengan cara:
a. Timbang berat badan pasien setiap kunjungan prenatal. Penambahan berat
badan adalah kunci petunjuk untuk memutuskan penyesuaian kebutuhan kalori
b. Mengkaji masukan kalori dan pola makan dalam 24 jam. Membantu dalam
mengevaluasi pemahaman pasien tentang aturan diet.
c. Tinjau ulang dan berikan informasi mengenai perubahan yang diperlukan pada
penatalaksanaan diabetic. Kebutuhan metabolism dari janin dan ibu
membutuhkan perubahan besar selama gestasi memerlukan pemantauan ketat
dan adaptasi
d. Tinjau ulang tentang pentingnya makanan yang teratur bila memakai insulin.
Makan sedikit dan sering menghindari hiperglikemia.
e. Perhatikan adanya mual dan muntah khususnya pada trimester pertama. Mual
dan muntah dapat menyebabkan defisiensi karbohidrat yang dapat
mengakibatkan metabolism lemak dan terjadi ketosis.
f. Kaji pemahaman stress pada diabetic. Stress dapat mengakibatkan peningkatan
kadar glukosa, menciptakan fluktuasi kebutuhan insulin.
g. Tinjau ulang dan diskusikan tanda gejala kepentingan hipoglikemia dan
hiperglikemia. Hipoglikemia dapat terjadi secara cepat dan berat pada
trimester pertama karena peningkatan penggunaan glukosa dan glikogen oleh
ibu dan perkembangan janin. Hiperglikemia berefek terjadinya hidramnion.
6. Patofisiologi
Pada ibu hamil normal plasenta menghasilkan progesteron yang
bertambah hal ini menyebabkan ekresi natrium lebih banyak karena progesteron
berfungsi sebagai diuretik ringan.Kehilangan natrium menyebabakan
penyempitan dari vilume darah kompartemen vaskuler, pada kehamilan dengan
pre eklamsi menunjukan adanya peningkatan resistensi perifer dan vasokontriksi
pada ruang vaskuler, bertanbahnya protein serum (albumin dan globulin ) yang
lolos dalam urine disebabkan oleh adanya lesi dalam glomerolus ginjal, sehimgga
terjadi oliguri karena menurunya aliran darah ke ginjal dan menurunya GFR
(glomerulus filtrat rate ) kenaikan berat badan dan oedema yang disebabka
penambahan cairan yang berlebiha dalam ruang intrestisial mungkin berhubungan
dengan adanya retensi air dan garam, terjadinya pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke intertisialdiikuti oleh adanya kenaikan hematokrit, peningkatan
protei serum menambah oedem dan menyebabkan volume darah berkurang,
visikositas darah meningkat dan waktu peredaran darah teri menjadi lama.
7. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaannya antara lain :
a. Deteksi Prenatal Dini
Waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan setiap 4 minggu sampai usia
kehamilan 28 minggu, kemudian setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 36
minggu, setelah itu setiap minggu.
b. Penatalaksanaan Di Rumah Sakit
Evaluasi sistematik yang dilakukan mencakup :
1) Pemeriksaan terinci diikuti oleh pemantauan setiap hari untuk mencari
temuan-temuan klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri
epigastrium, dan pertambahan berat yang pesat.
2) Berat badan saat masuk
3) Analisis untuk proteinuria saat masuk dan kemudian paling tidak setiap 2
hari
4) Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk setiap 4 jam kecuali antara
tengah malam dan pagi hari
5) Pengukuran kreatinin plasma atau serum, gematokrit, trombosit, dan enzim
hati dalam serum, dan frekuensi yang ditentukan oleh keparahan hipertensi
6) Evaluasi terhadap ukuran janin dan volume cairan amnion baik secara
klinis maupun USG
7) Terminasi kehamilan
Pada hipertensi sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat
inap biasanya dianjurkan pelahiran janin demi kesejahteraan ibu dan janin.
Persalinan sebaiknya diinduksi dengan oksitosin intravena. Apabila
tampaknya induksi persalinan hampir pasti gagal atau upaya induksi gagal,
diindikasikan seksio sesaria untuk kasus-kasus yang lebih parah.
c. Terapi Obat Antihipertens
Pemakaian obat antihipertensi sebagai upaya memperlama kehamilan
atau memodifikasi prognosis perinatal pada kehamilan dengan penyulit
hipertensi dalam berbagai tipe dan keparahan telah lama menjadi perhatian.
d. Penundaan Pelahiran Pada Hipertensi Berat
Wanita dengan hiperetensi berat biasanya harus segera menjalani
pelahiran. Pada tahun-tahun terakhir, berbagai penelitian diseluruh dunia
menganjurkan pendekatan yang berbeda dalam penatalaksanaan wanita
dengan hiperetensi berat yang jauh dari aterm. Pendekatan ini menganjurkan
penatalaksanaan konservatif atau “menunggu” terhadap kelompok tertentu
wanita dengan tujuan memperbaiki prognosis janin tanpa mengurangi
keselamatan ibu.
4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis malaria bervariasi sesuai dengan endemisitas yang mendasari
daerah. Di daerah-daerah transmisi stabil malaria (daerah holo-endemik),
sebagian besar infeksi malaria pada ibu hamil tidak menunjukkan gejala, tapi ibu
tetap berisiko untuk anemia dan melahirkan janin dengan berat badan lahir
rendah. Bagi perempuan yang tinggal di daerah mesoendemik, atau bagi wanita
kembali ke daerah holo-endemik setelah lama tidak tinggal di sana, malaria lebih
cenderung mengakibatkan penyakit demam, penyakit gejala yang parah, kelahiran
prematur, dan kematian ibu atau janin. Manifestasi klinis pada malaria ringan
dan tanpa komplikasi:
Demam (dapat periodik)
Menggigil
Berkeringat
Sakit Kepala
Mialgi
Lesu
Mual, Muntah, Diare, Nyeri Perut
Kulit Pucat
Perspirasi
Hepatomegali
Splenomegali
5. Diagnosis
Tidak ada gejala kilinis yang spesifik pada malaria. Pada malaria ringan dapat
bermanifestasi seperti flu (flu like illness), atau seperti infeksi virus lainnya.
Riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria harus ditanyakan pada ibu hamil
dengan demam yang tidak diketahui sebabnya.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan apus darah tepi, baik apus tebal
maupun apus tipis yakni bila ditemukan parasit dengan mikroskop atau hasil
positif pada pemeriksaan rapid diagnostic test (RDT).
a. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan hemoglobin dan hematocrit
Jumlah leukosit dan trombosit
Gula darah untuk menentukan hipoglikemi
Fungsi hati : serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase
Fungsi Ginjal: albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan
kalium, analisis gas darah, laktat
Urinalisis
Diagnosis malaria harus dipertimbangkan pada setiap ibu hamil yang mengalami
demam yang tinggal di daerah malaria, atau melakukan perjalanan ke daerah
malaria walaupun hanya sebentar atau hanya transit.
6. Penatalaksanaan
Ibu hamil sebaiknya dicegah untuk bepergian ke daerah endemis malaria.
Apabila tidak mungkin menghindarinya, ibu harus diberi pengobatan pencegahan,
yakni klorokuin bila bepergian ke daerah malaria yang sensitif terhadap
klorokuin, atau meflokuin untuk daerah malaria yang resisten terhadap klorokuin.
Pada wanita hamil yang tinggal di daerah endemik dan telah mempunyai
kekebalan alami (karena kontak yang lama dengan malaria), pemberian
kemoprofilaksis terhadap malaria menyebabkan kejadian bayi berat badan lahir
rendah dan anemia ibu menurun. Pengobatan Pencegahan Intermiten selama
kehamilan ( IPTp -Intermittent Preventive Treatment during pregnancy) lebih
disukai karena efektif dan lebih praktis.
Rekomendasi WHO (2012) untuk IPTp
a) Semua ibu hamil diberikan IPTp dengan sulfadoksin-pirimetamin (SP) pada
kunjungan pemeriksaan antenatal ke-2 dan ke-3 (WHO merekomendasikan
empat kunjungan pemeriksaan antenatal standar, yakni kunjungan pertama
pada trimester pertama, kunjungan kedua pada 24 hingga 26 minggu
kehamilan, kunjungan ketiga pada 32 minggu, dan kunjungan keempat pada
36 sampai 38 minggu).
b) Setiap dosis dapat menekan atau menghilangkan infeksi asimtomatik pada
plasenta dan memberikan profilaksis pasca-pengobatan untuk 6 minggu.
7. Pengobatan
Malaria dalam kehamilan dapat memiliki konsekuensi buruk bagi ibu dan
janin, oleh karena itu ibu hamil dengan malaria harus segera diobati dengan agen
antimalaria yang efektif untuk parasit penyebabnya.
a) Malaria Falsiparum
Tabel 1. Pengobatan Infeksi Malaria Falsiparum Tanpa Komplikasi
Usia Kehamilan
1. Kurang dari 3 Kina 3x2 tablet selama 7 hari atau
bulan 3x10mg/kgBB selama 7 hari ditambah
dengan Klindamisin 2x300mg atau
2x10mg/kgBB selama 7 hari
2 Lebih dari 3 DHP (dihidroartemisinin-piperakuin) 1 x 3
bulan tablet (untuk ibu dengan BB 41-59 kg), DHP
1x4 tablet (BB ibu ≥ 60 kg) selama 3 hari,
ATAU
Artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4
tablet selama 3 hari.
Ibu hamil dengan infeksi malaria oleh P. falciparum yang berat, harus menerima
terapi parenteral; rute intravena lebih disukai daripada rute intramuskular. Pilihan
terapi adalah artesunate atau quinine ditambah klindamisin.
1 Derivat
Artemisin
Artesunate 2,4 mg/kgBB intravenus
sebagai dosis initial,
dilanjutkan dengan 2,4
mg/kgBB pada 12 dan 24
jam, diikuti oleh 2,4
mg/KgBB sekali sehari.
2. Derivat Kina
Quinine Loading dose : 20mg/kgBB
dihydrochloride dalam dekstrosa 5%
diberikan dalam waktu 4
jam, dilanjutkan dengan 20-
30 mg/kgBB perhari dalam
dosis terbagi 2-3 kali dalam
waktu 2 jam selang 8-12
jam.
Quinidine Loading dose : 20 mg/kgBB
gliconate dalam NaCL 0,9% diberikan
dalam waktu 1-2 jam
dilanjutkan dengan 0,02
mg/KgBB/menit sampai 24
jam.
Ditambah dengan
Klindamisin 20mg/kgBB/hari (maksimum
1800 mg) diberikan per oral,
dalam dosis terbagi 3 X
sehari selama 7 hari
4)
5)
Pada ibu hamil dengan malaria berat, periksa tanda-tanda vital, periksa
kesadaran, jalan nafas (airway), ada tidaknya kaku kuduk, berikan terapi inisial
(loading dose), lakukan stabilisasi dan segera rujuk ibu ke fasilitas yang lebih lengkap
atau RS yang mempunyai unit fetomaternal /NICU.
Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian dosis lengkap artesunate atau quinine/quinidine.
Infeksi Malaria bukan oleh P. falciparum (misalnya infeksi malaria oleh P.
vivax , P. ovale , P. malariae , dan P. knowlesi ) jarang menyebabkan kematian ,tetapi
dapat menjadi penyebab morbiditas yang signifikan dalam kehamilan.
Tabel 3 Pengobatan Malaria non falsiparum pada ibu hamil
1. Usia kehamilan < Kina 3 x 2 tablet selama 7 hari atau 3 x
3 bulan 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Usia kehamilan > DHP (dihidroartemisin-piperakuin) 1-3 tablet
3 bulan untuk BB ibu 41-59 kg selama 3 hari,
ATAU
Artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4
tablet selama 3 hari.
8. Luaran Persalinan
1. Morbiditas perinatal yang berhubungan dengan malaria selama kehamilan
adalah:
a. Abortus (tiga kali lebih tinggi, terutama pada infeksi oleh P. falciparum dan
P.vivax).
b. Pertumbuhan Janin Terhambat (berkorelasi kuat dengan malaria plasenta,
USG Doppler menunjukkan adanya gangguan sirkulasi plasenta).
c. Kelahiran preterm (<37 minggu kehamilan).
d. Berat lahir rendah (BBLR, <2500 g saat lahir).
e. Kematian perinatal ( berkorelasi dengan malaria plasenta; OR 2.19, 95% CI
1,49-3,22).
f. Infeksi kongenital, semua jenis malaria dapat ditularkan kongenital, tetapi
paling sering dikaitkan dengan infeksi plasenta oleh P. vivax dan P.
falciparum.
2. Morbiditas Ibu
a. Anemi berat dan kematian.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan keparahan infeksi malaria
selama kehamilan adalah paritas rendah, usia muda, status imunologi
nonimmun, infeksi oleh P. falciparum atau P. vivax, derajat parasitemia dan
infeksi plasenta, latar belakang sosial ekonomi pasien, tempat domisili
(pedesaan atau perkotaan) dan musim.
b. Kematian ibu
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 10.000 kematian
ibu setiap tahun berhubungan dengan infeksi malaria selama kehamilan.
Malaria merupakan penyebab utama kematian ibu di daerah endemik tidak
stabil saat terjadi wabah periodik pada pasien nonimmun. Lebih dari sepertiga
kematian ibu terkait malaria, terjadi pada remaja primigravida, terutama
berhubungan dengan anemia berat. Sebuah studi yang dilakukan di rumah
sakit rujukan utama di Gambia mendapatkan kejadian kematian ibu meningkat
168 persen pada saat wabah malaria dan proporsi kematian akibat anemia
meningkat tiga kali. Diperkirakan bahwa malaria berkontribusi pada 93
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Usia muda ibu dikaitkan dengan
derajat anemi yang lebih parah dan kejadian berat lahir rendah. Remaja di
daerah pedesaan yang belum pernah hamil sebelumnya, meningkat risikonya
untuk mengalami infeksi malaria dan infeksi ini sangat terkait dengan anemia.
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengendalian terhadap infeksi malaria
harus ditargetkan pada perempuan pedesaan primigravida dengan usia muda.
9. Pencegahan
Masalah malaria dalam kesehatan masyarakat terus meningkat karena kombinasi
berbagai faktor, seperti:
a) ketahanan parasit malaria terhadap kemoterapi
b) Meningkatkan daya tahan vektor (nyamuk Anopheles) terhadap insektisida
c) Perubahan ekologis dan iklim
d) Meningkatkan perjalanan wisatawan internasional ke daerah endemis malaria
Anjuran WHO untuk pencegahan malaria dalam kehamilan:
a) Hindari bepergian ke daerah endemi malaria.
b) Pengobatan pencegahan intermiten pada kehamilan (IPTp) dengan sulfadoksin-
pirimetamin (SP).
c) Berikan pengetahuan tentang terapi pencegahan (mefloquine), tanda dan gejala
malaria.
d) Pencegahan terhadap gigitan nyamuk ( kelambu, pakaian, obat nyamuk balur kulit,
obat semprot nyamuk atau obat nyamuk dalam ruangan).
e) Berikan pengetahuan tentang keadaan emergensi dan siapa yang harus dihubungi
apabila bepergian ke daerah endemis.
f) Semua wanita hamil harus menerima suplemen zat besi dan sasam folat sebagai
bagian dari perawatan antenatal rutin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan materi di atas masih banyak masalah yang terjadi pada proses kehamilan
yang dapat menjadi penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia dikarenakan
beberapa factor, salah satunya kurangnya skrinning awal resiko pada kehamilan sehingga
pencegahan pada kehamilan bermasalah tidak dilakukan. Oleh karena itu, penanganan
yang tepat, asuhan yang bermutu tinggi sangat diperlukan dalam menangani komplikasi
dalam kehamilan sehingga ibu dan bayi sehat selama masa kehamilan.
B. SARAN
Dalam penanganan kasus komplikasi pada kehamilan dibutuhkan pengambilan
keputusan yang tepat, akurat dan cepat. Dengan adanya pembelajaran ini diharapkan
mahasiswi dapat menjadi bidan yang lebih professional dalam menganalisis suatu
masalah dan tepat dalam memberikan asuhan kebidanan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Sylvia Anderson. (2000). Patofisiologi penyakit, edisi 4, penerbit EGC buku kedokteran,
Jakarta.
Fadiun & Feryanto, Achmad. 2012. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika.
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Marmi, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.