Anda di halaman 1dari 19

TUGAS II TUTORIAL PROFESI

Senin, 13 April 2020

OLEH :
LATIFATUN NISWAH
NIM. P07124519025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
2020
1. Bayi baru lahir di RS dengan riwayat persalinan presbo, bayi rewel dan
tidak mau menyusu. KU bayi sedang, N 124x/menit, S 37 0C, P
44x/menit, regular, lengan dan tangan kanan lemas, tidak ada gerakan
spontan. Terdapat robekan radiks superir dextra. Trauma apakah yang
paling mungkin dialami bayi tersebut?
Jawaban : Trauma yang mungkin dialami bayi tersebut adalah trauma
pada flexus brachialis yang dapat menyebabkan bayi mengalami erb’s
palsy.
Landasan Teori :
a. Pengertian Trauma pada Flexus Brachialis
Cedera flexus brachialis sering terjadi dan ditemukan pada hampir 1
dalam 500 kelahiran aterm. Cedera tersebut biasanya terjadi setelah
suatu persalinan yang sulit namun kadang kala sesudah persalinan
yang tampaknya mudah, bayi yang mengalami kelumpuhan lengan.
Trauma ini dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukran
dalam melahirkan kepala atau bahu.
b. Penyebab
Regangan atau robekan pada radiks superior, flexus brachialis yang
mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan ke lateral sehingga
dengan tajam memfleksikan flexus tersebut ke arah salah satu bahu.
c. Tanda dan Gejala
1) Tidak ada gerakan spontan pada salah satu lengan
2) Lengan dan tangan lemas
3) Gangguan posisi dan fungsi otot eksremitas atas

d. Diagnosis
Temuan-temuan
Anamnesis Pemeriksaan Kemungkinan
Diagnois
Kesulitan Lahir Tidak ada gerakan spontan Palsi lengan
pada salah satu tangan Erb’s/klumpke
Lahir - Lengan dan tangan lemas
Sungsang - Bayi besar (berat lahir
>4000 gram)

e. Komplikasi
1) Paralis duchnae atau erb
2) Paralis permanent
3) Paralis tangan / paralis klumpke ( namun ini jarang terjadi )
f. Erb’s Palsy
Erb’s Paralysis merupakan lesi pada plexus brachialis bagian atas
karena cedera yang diakibatkan perpindahan kepala yang berlebihan
dan depresi bahu pada sisi yang sama saat kelahiran, sehingga
menyebabkan traksi yang berlebihan bahkan robeknya akar saraf C5
dan C6 dari plexsus brachialis. Hal ini sering disebabkan ketika leher
bayi itu ditarik ke samping selama kelahiran yang sulit. Kebanyakan
bayi dengan lesi plexus brachialis lahir akan memulihkan kedua
gerakan dan perasaan di lengan yang terpengaruh. Untuk mendiagnosa
cedera plexus brachialis pada bayi baru lahir, dapat dilihat dari
manifestasi klinisnya berupa tidak adanya respon motorik yang normal
pada otot-otot ekstremitas atas, seperti tidak adanya refleks
menggenggam dan refleks moro asimetris. Namun agak sulit untuk
menentukan diagnosis otot yang mengalami kelumpuhan karena bayi
belum dapat melakukan apa yang diperintahkan.
Sebagian besar rumah sakit melaporkan satu sampai dua bayi yang
lahir dengan plexus brachialis mengalami cedera pada 1000 kelahiran.
Informasi yang cukup tentang insiden cedera plexus brachialis atas
(erb’s paralysis) trumatis sulit ditemukan, insiden pastinya tidak
diketahui. Saat ini, insiden tersebut adalah 0,8 per 1000 kelahiran bayi.
Angka ini turun dari tingkat pada tahun 1900, ketika dilaporkan jumlah
penderita yang mencapai dua kali lipat dari pada saat ini. Penurunan
penderita ini dipengaruhi oleh pelayanan kebidanan yang terus
ditingkatkan. Diperkirakan terjadi 400-450 penderita cedera tertutup
supraclavicular di inggris setiap tahunnya. Laki-laki lebih banyak yang
terkena trauma. Masalah utama yang timbul pada penderita Erb’s
Paralysis adalah lesi pada plexus brachialis yang dapat menyebabkan
adanya nyeri pada bahu, adanya penurunan kekuatan pada otot-otot
lengan atas, keterbatasan lingkup gerak sendi pada lengan dan
penurunan aktivitas fungsional.
Pada penelitian oleh Andreas Vincent Handoyo, dkk (2010) bahwa
Obstetrical brachial plexus palsy dapat terjadi akibat teregangnya satu
atau lebih komponen plexus brachialis oleh karena proses penarikan
(traksi) pada saat lahir dan pada presentasi bokong, risiko meningkat
175 kali. Faktor risiko lain antara lain janin dengan pertumbuhan lebih
besar dari usia gestasional, diabetes maternal, obesitas dan
penambahan berat badan ibu yang berlebihan selama kehamilan.
g. Penatalaksanaan dan Asuhan Kebidanan
1) Hati-hati waktu memegang bayi, agar tidak terjadi trauma yang
ebih parah.
2) Dalam minggu pertama, balut lengan dengan posisi seperti pada
bayi dengan fraktur humerus.
3) Minta ibu membawa bayinya pada waktu umur 1 minggu untuk :
(Melihat apakah keadaan bayi membaik, Minta ibu melakukan
latihan pasif bila gerakan lengan belum normal).
4) Lakukan tindak lanjut tiap bulan dan jelaskan pada ibu bahwa
sebagian besar kasus palsi lengan dapat sembuh setelah umur 6
sampai 9 bulan. Apabila setelah umur 1 tahun gerakan lengan
masih terbatas, kemungkinan kelainan tersebut akan berlangsung
lama.
Referensi :
Handoyo Andreas Vincent,Isminarto Yoyos Dias Isminarto. 2010.
Characteristics and Risk Factors of Obstetrical Brachial Plexus Palsy
in Newborn Baby. Universitas Padjajaran : Bandung.
IDAI (UKK Perinatologi) MNN.JPHPIEGO, Buku panduan masalah bayi
baru lahir untuk dokter bidan dan perawat di rumah sakit maternal,
neonatal health, kerjasama Departemen Kesehatan RI.
Mahadewa, Tjokorda Gde Bagus, 2013; Saraf Perifer masalah dan
Penanganannya : Indeks, Jakarta
2. Bayi baru lahir di RS, kondisi tidak menangis, nafas megap-megap dan
tonus otot lemah, air ketuban keruh. Ibu bayi umur 38 tahun G4 P1 A2 UK
42 minggu, riwayat persalinan yang lalu dengan VE. Ibu mempunyai
riwayat DM. Faktor apakah yang paling mungkin menyebabkan kondisi
bayi tersebut?

Jawaban: Faktor yang paling mungkin menyebabkan bayin asfiksia


adalah riwayat persalinan tindakan VE.

Landasan Teori:

Faktor persalinan memberikan konstribusi yang besar terhadap


kejadian Asfiksia Neonatorum. Hal ini disebabkan karena faktor
persalinan (ketuban pecah dini, partus lama dan jenis persalinan, kelahiran
sungsang). Menurut Prawiroharjo (2010), faktor penyebab terjadinya
asfiksia neonatorum karena adanya persalinan dengan tindakan yaitu
penggunaan alat pada tindakan vakum ekstraksi dan adanya penggunaan
obat bius dalam tindakan seksio sesarea. Bayi yang lahir melalui ekstraksi
vakum dan Sectio Caesarea (SC) tidak ada pengurangan cairan paru dan
penekanan pada thoraks sehingga mengalami paruparu basah yang lebih
persisten. Situasi ini dapat mengakibatkan takipnea sementara pada bayi
baru lahir. Proses persalinan yang merupakan tindakan yang diberikan
kepada ibu hamil oleh penolong persalinan pada saat proses persalinan
berlangsung. Namun demikian, persalinan tindakan memberikan dampak
kesakitan pada ibu dan bayi karena tidak ada pengurangan cairan pada
paru-paru dan ini sesuai dengan data yang didapat peneliti bahwa sebagian
besar persalinan dengan tindakan mengalami asfiksia neonatorum.

Hal ini juga sejalan dg penelitian yg dilakukan oleh Yuanita Syaiful


dan Umi Khudzaifah (2016) yg berjudul “Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Di Rs Muhammadiyah Gresik
(The Factors Causing Asphyxia Neonatorum in Gresik Muhammadiyah
Hospital)”, bahwa Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asfiksia
neonatorum antara lain masa gestasi (ρ=0,000), jenis tindakan persalinan
(ρ=0,041) dan lama persalinan (ρ=0,041). Penelitian lainnya dari
Muthmainnah (2017) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia Neonatorum Pada Kehamilan Aterm
Di RSUD (Analysis Of Factors Affecting Asphyxia Neonatorum In
Pregnancy Aterm In General Hospital)”, menunjukkan bahwa jenis
persalinan tindakan mempengaruhi kejadian asfiksia neonatorum (p-value
0,0372).

Referensi :

Prawirohardjo, S., (2010).Buku pedoman praktis pelayanan kesehatan


maternal dan neonatal.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.

Yuanita Syaiful. 2016. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Asfiksia Neonatorum Di Rs Muhammadiyah Gresik (The Factors
Causing Asphyxia Neonatorum In Gresik Muhammadiyah Hospital).
Journal of Ners Community.

Muthmainnah. 2017. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Terjadinya Asphyxia Neonatorum Pada Kehamilan Aterm Di RSUD
(Analysis Of Factors Affecting Asphyxia Neonatorum In Pregnancy
Aterm In General Hospital). Healthy-MU Journal

3. Bayi baru lahir di RS 2 jam yang lalu, ibu bayi mempunyai riwayat DM.
Berat bayi 4000 gram, PB 50 cm, suhu 36 C, bayi tampak pucat, kulit
kebiruan, refleks hisap lemah dan bayi mengalami kesulitan minum.
Faktor risiko apakah yang menyebabkan keadaan bayi tersebut?
Jawaban : faktor risiko yang menyebabkan keadaan bayi tersebut adalah
ibu riwayat DM.
Landasan Teori:
Kadar gula darah yang tinggi pada wanita hamil dapat memengaruhi
bayi setelah lahir. Bayi yang lahir dari ibu dengan penyakit diabetes sering
lahir dengan ukuran lebih besar (makrosomia/ berat bayi lebih dari 4000
gram) dibandingkan bayi lainnya. Organ dalam seperti liver, kelenjar
adrenal, dan jantung cenderung membesar. Bayi seperti ini biasanya akan
mengalami masa di mana kadar gula darah mereka rendah (hipoglikemia)
tak lama setelah lahir, karena meningkatnya kadar insulin di dalam darah
mereka. Insulin adalah zat yang menggerakkan kadar gula (glukosa) dari
darah ke dalam jaringan tubuh. Kadar gula darah si bayi perlu diawasi
dalam waktu 12-24 jam pertama setelah kelahiran.
Gejala yang ditunjukkan adalah, warna kulit biru atau berbintik-bintik,
denyut jantung cepat, nafas cepat (tanda-tanda paru-paru yang belum
sempurna atau gagal jantung), kulit bayi kuning, tidak mau makan atau
nafsu makan buruk, lesu, menangis lemah (tanda-tanda gula darah rendah
yang parah), wajah bengkak, gemetar segera setelah lahir.
Pengobatan yang bisa dilakukan, semua bayi yang lahir dari ibu yang
mengidap diabetes harus diuji mendeteksi gejala gula darah rendah
(hipoglikemia), bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala. Jika bayi
menunjukkan salah satu gejala gula darah rendah, tes dapat dilakukan
selama beberapa hari. Tes akan terus dilanjutkan sampai gula darah bayi
bisa kembali stabil sambil tetap diberi ASI secara normal. Dalam beberapa
kasus ringan, pemberian ASI setelah melahirkan dapat berkhasiat untuk
mencegah gula darah rendah. Kadar gula darah rendah yang tidak kembali
normal dengan cepat dapat ditangani dengan pemberian gula (glukosa) dan
air yang diberikan melalui nadi.

Referensi :
Maryuni, Amik NS. 2008. Buku Saku Diabetes Pada Kehamilan. Jakarta :
Trans Info
Putri, Meggeria dkk. 2017. Gambaran Kondisi Ibu Hamil dengan Diabetes
Melitus. Vol.6 (No 1) Januari 2018
4. Anak umur 5 tahun diare sejak 2 hari yang lalu, BAK 2x/hari, warna
kuning pekat dan berbau tajam. Hasil pemeriksaan: KU sedang, N 96
x/menit, S 37,9 0C, P 60x/menit, regular. Turgor kulit 4 detik. Jelaskan
fungsi ginjal dalam menjaga homeostasis tubuh.
Jawaban : Pada kasus di atas, anak umur 5 tahun mengalami diare dengan
dehidrasi sedang. Hal ini didapatkan dari tanda dehidrasi yaitu KU sedang,
kondisi turgor kulit kembali 4 detik, suhu hipertermi, belum ada letargi,
mata cekung, dan atau tidak bisa minum atau malas minum.
Landasan Teori :
Menurut Sulaiman, dkk (2011) pada diare, dehidrasi menyebabkan
penurunan volume ekstraseluler yang menyebabkan perfusi jaringan
berkurang. Peningkatan kecepatan nadi terjadi sebagai kompensasi karena
jantung berusaha untuk meningkatkan keluaran (output) dalam
menghadapi volume pukulan (stroke volume) yang berkurang. Perfusi
jaringan yang berkurang juga menghambat fungsi ginjal sehingga bisa
menyebabkan asidosis dan uremia.
Homeostasis atau mempertahankan keseimbangan tubuh pada ginjal
meliputi keseimbangan asam basa, mempertahankan volume plasma tekanan
darah, Na+, H2O; mempertahankan osmolaritas, ginjal juga menjaga
keseimbangan tubuh karena adanya filtrasi, sekresi, ekskresi, dan reabsorpsi
pada urin. Mekanisme homeostasis pada ginjal melibatkan ion, hormon,
substansi, dan enzim pada prosesnya. Berikut merupakan berbagai mekanisme
homeostasis ginjal yang utama:
a. Filtrasi
Proses ini merupakan proses penyaringan awal, dimana darah yang
melewati glomerulus akan difiltrasi menuju ke kapsula Bowman. Cairan
yang difiltrasikan melalui glomerulus ke dalam kapsul Bowman disebut
filtrat glomerulus, dan membran kapiler glomerulus disebut membran
glomerulus yang memiliki permeabilitas 100-1000 kali permebialitas
kapiler biasa. Filtrat glomerulus mempunyai komposisi yang hampir sama
dengan komposisi cairan yang merembes dari ujung arteri kapiler pada
cairan interstisial. Di sini tidak ditemukannya eritrosit dan hanya
mengandung sekitar 0,03 % protein. berikut gambar untuk proses filtrasi:

Gambar 5. Proses Filtrasi.

Elektrolit dan komposisi solute lain dari filtrat glomerulus juga


serupa dengan yang ditemukan di dalam cairan interstitial. Karena filtrat
tersebut kekurangan ion protein bermuatan negatif, maka terjadi suatu efek
Donnan yang menyebabkan konsentrasi ion-ion negatif seperti ion klorida
dan bikarbonat, di dalam cairan interstitial dan filtrat glomerulus kira-kira
5% lebih tinggi daripada di dalam plasma, dan konsentrasi ion-ion positif
kira-kira 5% lebih rendah. Juga, zat-zat yang tak terionisasi seperti ureum,
kreatinin, dan glukosa meningkat sekitar 4% karena hampir tidak ada
protein sama sekali tersebut. Filtrasi glomerulus terjadi dengan cara yang
sama seperti merembesnya cairan dari setiap kapiler bertekanan tinggi di
dalam tubuh. Yaitu tekanan dalam kapiler glomerulus menyebabkan
filtrasi cairan melalui membran kapiler ke dalam kapsul Bowman.
Sebaliknya tekanan osmotik koloid di dalam darah dan tekanan di dalam
kapsul Bowman menentang filtrasi tersebut.

Proses filtrasi bergantung sepenuhnya pada tekanan yang


dihasilkan dalam glomerulus. Berikut berbagai macam tekanan yang
berpengaruh terhadap ginjal:

1) Tekanan kapiler glomerulus (TKG). Merupakan tekanan cairan yang


disebabkan oleh darah di dalam glomerulus. Tekanan ini bergantung
pada kontraksi jantung dan tahanan dari aliran darah dari arteriol dan
afferent dan efferen. Diperkirakan sebesar 55 mmHg. Tekanan yang
besar ini akan mendukung filtrasi.
2) Tekanan osmotik koloid-plasma (TOKP). Disebabkan oleh distribusi
protein plasma yang tidak merata. Karena protein plasma tidak bisa
difiltrasi, mereka berada pada kapiler glomerulus (bukan dalam
kapsula Bowman). Konsentrasi H2O pada Kapsula Bowman yang
lebih tinggi daripada glomerulus menyebabkan H2O untuk cenderung
bergerak secara osmosis sehingga melawan filtrasi. TOKP kurang
lebih 30 mmHg.
3) Tekanan hidrostatik Kapsula Bowman (THKB) merupakan tekanan
yang dihasilkan oleh cairan dari bagian awal tubulus. Kurang lebih 15
mmHg dan melawan filtrasi.

Karena ketiga tekanan ini, terbentuklah yang namanya Net


Filtration Pressure (NFP), dengan jumlahnya NFP = TKG – TOKP –
THKB = 55 – 30 – 15 = 10 mmHg.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Filtrasi Glomerulus

1) Efek Aliran Darah. Laju filtrasi glomerulus sangat dipengaruhi oleh


kecepatan aliran darah melalui nefron-nefron. Semakin besar koefisien
filtrasi glmerulus, semakin besar efek aliran darah pada laju filtrasi
glomerulus. Sebaliknya, semakin kecil koefisien filtrasi, semakin
besar efek tekanan glomerulus pada laju filtrasi.
2) Efek konstriksi arteriol aferen. Konstriksi arteriol aferen menurunkan
kecepatan aliran darah ke dalam glomerulus dan juga menurunkan
tekanan glomerulus, kedua efek ini menurunkan laju filtrasi tersebut.
Sebaliknya dilatasi arteriol aferen meningkatkan tekanan glomerulus,
dengan disertai kenaikan laju filtrasi glomerulus.
3) Efek perangsangan simpatis. Selama perangsangan simpatis yang
ringan sampai moderat ke ginjal, dengan demikian menurunkan laju
filtrasi glomerulus (kecuali bila tekanan arteri meningkat pada saat
yang sama, seperti biasa terjadi selama perangsangan simpatis).
Dengan perangsangan simpatis yang kuat, aliran darah glomerulus dan
tekanan glomerulus berkurang sedemikian besar sehingga laju filtrasi
glomerulus turun hampir menjadi nol.
4) Efek Tekanan Arteri. Bila tekanan arteri meningkat, arteriol aferen
berkonstriksi secara otomatis, ini menghalangi peningkatan besar
dalam tekanan glomerulus meskipun terjadi peningkatan tekanan
arteri.
b. Autoregulasi Ginjal
Ginjal sendiri bekerja menjaga aliran darah ginjal tetap konstan
serta GFR normal, meski terdapat perubahan tiap harinya pada tekanan
darah. Mekanisme pertama, mekanisme miogenik, terjadi ketika
peregangan memicu kontraksi otot polos pada arteriol afferent. Seiring
meningkatnya tekanan darah, GFR juga meningkat. Dengan adanya
peningkatan tekanan darah, otot polos akan terpicu dan berkontraksi
sehingga lumen arteriol menyempit sehingga GFR akan berkurang, dan
sebaliknya. Mekanisme kedua adalah umpan balik tubuloglomeular,
dinamakan demikian karena macula densa—bagian dari
ginjal—menyediakan umpan balik ke glomerulus. Ketika GFR di atas
normal, macula densa akan mendeteksi adanya peningkatan Na+, Cl- serta
air dan akan menghambat pelepasan NO (agen penyebab vasodilatasi).

Jika GFR meningkat karena elevasi dari tekanan arterial, lebih banyak
cairan dari normal terfiltrasi dan mengalir menuju tubulus distal. Sebagai
respon, macula densa akan melepaskan adenosine, yang bekerja sebagai
parakrin terhadap arteriol afferent terdekat, membuatnya konstriksi dan
menurunkan aliran darah sehingga GFR kembali normal. Dua mekanisme
di atas dapat bekerja selama tekanan darah berjarak antara 80 sampai 180
mmHg. berikut gambar untuk mekanisme kedua autoregulasi:

Autoregulasi miogenik (kiri) dan umpan balik tubuloglomerular (kanan)


c. Reabsorpsi dan Sekresi
Filtrat glomerulus yang memasuki tubulus nefron mengalir melalui
tubulus proksimalis, kemudian melalui Ansa Henle, melalui tubulus distal,
dan melalui tubulus koligens ke dalam pelvis ginjal. Sepanjang perjalanan
ini, zat-zat direabsorpsi atau disekresi secara selektif oleh epitel tubulus,
dan cairan yang dihasilkannya memasuki pelvis ginjal sebagai urin.
Reabsorpsi peranannya lebih dominan daripada sekresi dalam
pembentukan urin ini, tetapi sekresi sangat penting dalam menentukan
jumlah ion kalium, hidrogen, dan beberapa zat lain di dalam urin.
Reabsorpsi dan sekresi pada beberapa tempat di nefron berbeda-beda. Sel
tubulus proksimalis memiliki sejumlah besar mitokondria untuk
menyokong proses transport aktif yang sangat cepat. Ditemukan kurang
lebih 65% dari semua proses reabsorpsi dan sekresi yang berlangsung
dalam sistem tubulus terjadi di dalam tubulus proksimalis. Jadi, biasanya
35% filtrat glomerulus masih mengalir pada akhir tubulus proksimalis,
65% sisanya direabsorpsi sebelum mencapai Ansa Henle.
Segmen tipis Ansa Henle memiliki pori-pori yang memiliki
permebialiatas besar. Sel-sel ini tidak mempunyai brush border dan jumlah
mitokondrianya sangat sedikit, sehingga menunjukkan bahwa sel tersebut
mempunyai tingkat metabolik minimal. Sel segmen tebal Ansa Henle yang
serupa dengan sel di dalam tubulus proksimalis, kecuali selnya
mempunyai brush border yang tidak sempurna dan mempunyai zona
okludens yang lebih erat pada perlekatan antara sel-sel tersebut. Sel-sel itu
khusus disesuaikan untuk transport aktif natrium melawan perbedaan
konsentrasi dan gradien listrik yang tinggi. Juga epitel tersebut kurang
permeabel terhadap air dan hampir impermeabel terhadap ureum. Untuk
memberikan enersi bagi pompa natrium melawan gradien elektrokmia
yang tinggi tersebut, sejumlah besar mitokondria terdapat di dekat
membran basalis sel epitel.
Di dalam tubulus koligens urin menjadi sangat pekat atau sangat
encer, sangat asam atau sangat basa. Epitel tubulus koligens dirancang
khusus untuk menahan sifat-sifat ekstrim cairan tubulus. Bagian korteks
tubulus koligens hampir impermeabel terhadap ureum. Sebaliknya bagian
medula cukup permeabel terhadap ureum sehingga sejumlah besar ureum
biasanya direabsorpsi dari tubulus koligens medula ke dalam interstisial
medula, suatu efek yang sangat penting untuk memekatkan urin tersebut.
Permebialitas epitel terhadap air di dalam kedua bagian tubulus koligens
tersebut terutama ditentukan oleh konsentrasi hormon antidiuretik di
dalam darah. Bila ada sejumlah besar hormone antidiuretik, tubulus
koligens menjadi sangat permeabel terhadap air, dan kebanyakan air
tersebut akan direabsorpsi dari tubulus dan dikembalikan ke darah. Bila
tidak ada hormon antidiuretik, sedikit sekali air direabsopsi, kebanyakan
akan keluar sebagai urin. Berikut merupakan gambar proses reabsorpsi dan
sekresi serta bagaimana komponennya dapat diproses:
Proses sekresi dan reabsorpsi.

1) Air. Transport air terjadi sepenuhnya dengan difusi osmotik, yaitu


bilamana suatu solute di dalam fitrat glomerulus diabsorpsi baik dengan
absorpsi aktif atau difusi yang disebabkan oleh gradien elektrokimia,
penurunan konsentrasi solute di dalam cairan tubulus dan peningkatan
konsentrasi di dalam cairan peritubulus yang diakibatkannya
menyebabkan osmosis air keluar dari tubulus tersebut.
2) Glukosa dan Asam Amino. Biasanya zat-zat ini direabsorpsi oleh
proses transpor aktif di dalam tubulus ginjal. Oleh karena itu, dalam
cairan yang memasuki Ansa Henle tidak ada zat-zat tersebut.
3) Ureum, Kreatinin. Jumlah ureum yang direabsorpsi adalah kira-kira
50% dari jumlah total yang direabsorpsi selama seluruh perjalanan
melalui sistem tubulus tersebut. Kreatinin sama sekali tidak
direabsorpsi di dalam tubulus, sejumlah kecil kreatinin benar-benar
disekresikan ke dalam tubulus oleh tubulus proksimalis sehingga
jumlah total kreatinin meningkat kira-kira 20%.
4) Natrium, klorida, dan kalium. Semua ion ini sangat berkurang karena
reabsorpsi ketika cairan tubulus diolah dari filtrat glomerulus menjadi
urin. Ion positif umumnya ditranspor melalui epitel tubulus dengan
proses transport aktif, sedangkan ion negatif ditranspor secara pasif
sebagai akibat perbedaan listrik yang timbul pada membrane tersebut
ketika ion positif ditranspor. Misalnya ketika ion natrium ditranspor
keluar dari cairan tubulus, keadaan elektronegatif yang timbul di dalam
cairan tubulus menyebabkan ion klorida mengikuti di belakang ion
natrium tersebut.2 Ion kalium direabsorpsi pada tubulus proksimalis dan
disekresikan di dalam tubulus distal dan koligens. Sekresi ini
bersamaan dengan reabsorpsi natrium dengan pompa Na +-K+. Karena
K+ masuk ke dalam sel, konsentrasi intraseluler dari kalium
menyebabkan perpindahan K+ menuju lumen. Kesimpulannya,
reabsorpsi Na+ pada akhirnya mempengaruhi sekresi K+. Dengan
demikian, aldosteron mempengaruhi sekresi K+ Pada keadaan tubuh
terlalu asam, K+akan digantikan oleh H+ untuk kompensasi.
5) Ion hidrogen. Ion hidrogen disekresi secara aktif di dalam tubulus
proksimalis, tubulus distal, tubulus koligens. Sekresi H+ bertujuan untuk
mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh. Ketika cairan tubuh
terlalu asam, sekresi H+ akan menigkat. Sebaliknya, sekresi H+ akan
berkurang ketika konsentrasi H+ pada tubuh rendah.
6) Ion bikarbonat. Ion bikarbonat terutama direabsorpsi dalam bentuk
karbon dioksida, bukan dalam bentuk ion bikarbonat itu sendiri.
Pertama, ion bikarbonat bergabung dengan ion hidrogen yang
disekresikan ke dalam cairan tubulus oleh sel epitel. Reaksi tersebut
membentuk asam karbonat yang kemudian berdisosiasi menjadi air dan
karbondioksida. Karbondioksida tersebut, karena sangat larut dalam
lemak, berdifusi dengan cepat melalui membran tubulus ke dalam darah
kapiler kapiler peritubulus.
d. Counter Current dalam Medula
Mekanisme counter current terbagi atas dua bagian, yaitu
multiplier dan exchanger. Mekanisme counter current multiplier memilki
syarat dua pembuluh yang sejajar, berlawanan arah, cukup panjang, aliran
yang berlawanan, dan bentuk pipa U. Pada awal di tubulus proksimal,
tonus plasma darah bersifat isotonis yang sama sifatnya seperti tonus di
glomerulus, ketika turun ke tubulus proksimalis sampai pars desendens
Ansa Henle; bagian ini akan impermeabel terhadap bahan lain dan air
keluar melalui transpor pasif karena cairan interstisial hiperosmolar. Pada
keadaan di tubulus proksimalis, di dalm tubulus tersebut juga mengalami
peningkatan osmolaritas, ketika naik ke tubulus distal; osmolaritas akan
kembali turun serta disinilah terjadi transpor aktif Na + dan Cl- keluar ke
interstisial. ketika akan naik ke duktus koligens, osmolaritas kembali sama
seperti di glomerulus (isotonis). Dan ketika proses ion sudah terjadi, pada
duktus koligens, karena syarat sejajar dan satu arah, maka hal yang terjadi
di tubulus proksimal kembali terulang tetapi urea akan ditranspor pasif ke
interstisial pada duktus ini. Berikut gambar untuk mekanisme counter
current:

Gambar 9. Mekanisme Counter Current.8

Mekanisme counter current yang kedua adalah vasa rekta. Dimana


tugas utamanya adalah sebagai peredam karena sifatnya yang sangat
permeabel terhadap solute maupun air. Vasa rekta lebih memfokuskan ke
mempertahankan hiperosmolaritas medulla dan mengangkut nutrien dan
oksigen ke tubulus.

e. Keseimbangan Asam Basa

Ginjal mengatur keseimbangan asam basa dengan mengeksresikan


urin yang asam dan basa. Pengeluaran urin asam akan mengurangi jumlah
asam dalam cairan ekstrasel. Sedangkan pengeluaran urin basa berarti
menghilangkan basa dari cairan ekstrasel. Keseluruhan mekanisme
ekskresi urin asam atau basa oleh ginjal adalah sebagai berikut. Sejumlah
besar HCO3- difiltrasi secara terus menerus ke dalam tubulus, dan bila
HCO3- ini di ekskresikan ke dalam urin, maka keadaan ini menghilangkan
basa dari darah. Sejumlah besar H+ juga di ekskresikan ke dalam lumen
tubulus oleh sel epitel tubulus sehingga menghilangkan asam dari darah.
Bila lebih banyak H+ yang disekresikan daripada HCO3- yang di filtrasi,
akan terjadi kehilangan asam dari cairan ekstrasel. Sebaliknya, apabila
lebih banyak HCO3- yang di sekresikan daripada H+ yang di filtrasi, akan
terjadi kehilangan basa.

Komponen dalam Kadar Normal yang Berkaitan dengan Ginjal

Komponen ini merupakan komponen yang digunakan untuk uji tes


fungsi fisiologis pada ginjal. Biasanya uji ini dilakukan dengan
pemeriksaan dari laboratorium sebagai bahanya yaitu urin sebagai sampel.
Komponen tersebut adalah:7

1) Ion Na+: berkisar dari 135-148 mEq/L


2) Ion K+: berkisar dari 3,5-5,5 mEq/L
3) Ion Cl-: Berkisar dari 95-105 mEq/L
4) Ion HCO3-: berkisar dari 22-26 mEq/L
5) Urea: tidak lebih dari 30 mEq/L
6) Kreatinin: berkisar dari 0,5-1,3 mg/dL

Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system


saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melali baroreseptor di arkus
aorta dan sinus karotiikus, osmoreseptor di hypothalamus, dan
volumereseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem
endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan
cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ ADH dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium dan air.
Pada kondisi dehidrasi akibat diare tubuh akan mengalami hiponatremia,
hipokalemia, dan hipoklorinemia. Dengan kondisi dehidrasi tersebut maka
ginjal akan berusaha mempertahankan cairan dalam keadaan normal. Semua
pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut
homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh
mempertahankan keseimbangan antara substansi-substansi yang ada di milieu
interior.
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter
penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel.
Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan
keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai
kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air
dan garam tersebut.
Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-
basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urin
sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan
asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresi ion hidrogen dan CO2, dan
sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.
Hemostasis ginjal dalam kondisi dehidrasi dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Keseimbangan Cairan dan elektrolit
a. Pengaturan volume cairan ekstrasel
Pada dehidrasi, Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan
penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma.
Sehingga ginjal mengontrol jumlah garam. Ginjal mengontrol jumlah
garam yang diekskresi dengan cara:
1) Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).
2) Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal.
Pada saat dehidrasi, Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur
reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi
Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri .
b. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel
1) Perubahan osmolaritas di nefron
Pada dehidrasi, terjadi peningkatan osmolaritas di nefron. Di
sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai
dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di duktus koligen.
Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal
(± 300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat
permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi
cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan
cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
2) Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic
hormone/ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan
merangsang osmoreseptor di hypothalamus. Rangsangan ini akan
dihantarkan ke neuron hypothalamus yang menyintesis vasopressin.
Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah
dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan
vasopressin dengan resptornya di duktus koligen memicu
terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks
duktus koligen. Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya
reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urin yang
terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau
pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat dipertahankan.
Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke
pusat haus di hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk
mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.
2. Keseimbangan asam-basa
Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan
asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat
dalam urin sesuai kebutuhan. Diare akut, diabetes mellitus, olahraga yang
terlalu berat, dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan
penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha
mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:
a. mengaktifkan sistem dapar kimia
b. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan
c. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan.

Referensi :
Kuntarti. 2005. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, Asam dan Basa. FIK UI.
Sulaiman, dkk. 2011. Gambaran Derajat Dehidrasi dan Gangguan Fungsi
Ginjal pada Diare Akut. Sari Pediatri : Vol. 13, No.3, Oktober 2011.
Calvin Augurius. Struktur dan Fungsi Kerja Homeostasis pada Ginjal
Manusia. FK UKKW.
Ganong. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed.24. Jakarta: EGC; 2012 h.397-
502.
Marks DB, Marks AD. Biokimia kedokteran dasar. Jakarta: EGC; 2007. h.
696-710.
Kumpulan gambar-gambar anatomi tubuh. Diunduh dari:
http://www.walgreens.com/marketing/library/graphics/images, 24
September 2017.
Guyton, A.C, Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th Ed. Jakarta:
EGC; 2008.

Anda mungkin juga menyukai