NIM : P07124519027
Jawaban dan teori : Menurut WHO(2017), ada dua buah tindakan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya kanker serviks, yaitu :
1) Tindakan pencegahan primer (utama)
Pencegahan primer untuk mencegah terjadinya kanker serviks
adalah melalui vaksinasi HPV. Vaksinasi HPV membuat tubuh membentuk
antibodi terhadap virus HPV, sehingga virus yang masuk akan mati dan
tidak sampai menimbulkan kanker serviks.
Vaksin HPV dapat melindungi dari HPV tipe 6,11,16,18. HPV tipe
16 dan 18 penyebab 70% kanker serviks di seluruh dunia. HPV tipe 6 dan
11 menyebabkan kutil kelamin (genital warts). Vaksinasi HPV membuat
tubuh membentuk antibodi terhadap virus HPV sehingga virus yang
masuk akan mati dan tidak sampai menimbulkan kanker serviks serta kutil
kelamin.
Organisasi kesehatan internasional terkemuka di seluruh dunia
termasuk World Health Organization (WHO), US Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), Health Canada, European Medicines
Agency (EMEA), Australia Therapeutic Goods Administration (TGA) dan
yang lainnya juga terus merekomendasikan penggunaan Vaksin HPV.
WHO GACVS telah mengumpulkan data surveilans pasca-
pemasaran dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan dari perusahaan
manufaktur. Data tersebut dikumpulkan dari tahun 2006 sejak pertama
kali diluncurkannya vaksin HPV sampai tahun 2014. GACVS menyatakan
tidak menemukan isu keamanan yang dapat merubah rekomendasi
vaksinasi HPV. US CDC juga telah menyatakan bahwa pemantauan
keamanan pasca-lisensi dari Juni 2006 hingga Maret 2013 menunjukkan
bahwa tidak ada masalah keamanan baru terhadap vaksin HPV.
Sumber :
The American Cancer Society. Guidelines for the Prevention and Early
Detection of Cervical Cancer 2016. Available at
https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/prevention-and-early-
detection/cervical-cancer-screening-guidelines.htmlAccessed on July 25th,
2017
WHO Position Paper 2017. Available at
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/255353/1/WER9219.pdf?
uaAccessed on July 25th, 2017
2. Seorang perempuan umur 29 tahun datang ke BPM dengan keluhan kontrol
AKBK. Hasil anamnesis P1A0 post pemasangan AKBK 1 minggu yang lalu.
Klien mengatakan tidak mengalami keluhan yang berarti dan merasa cocok.
Hasil pemeriksaan KU baik, TD110/70mmHg, N 84kali/menit, S 36, P
16kali/menit, BB 54kg. Bagaimanakah mekanisme mencegah konsepsi
pemakaian konsepsi dari kasus tersebut.
Landasan teori :
AKBK/implan adalah kontrasepsi berupa kapsul kecil dari silikon yang
mengandung hormon progesteron. Cara kerjanya adalah yaitu AKBK yang
dimasukkan ke bawah kulit akan melepaskan hormon progestin dengan kadar
rendah, kemudian hormon tersebut akan mencegah ovulasi (pelepasan sel
telur), maka klien ini tidak akan berovulasi (tidak mengeluarkan ovum
matang) sehingga ketika ada sperma yang masuk tidak akan terjadi
pembuahan , karena sel telur tidak ada. Progestin yang dilepaskan AKBK
juga menebalkan lendir disekitar serviks yang akan mencegah sperma
memasuki rahim. Progestin juga akan menipiskan lapisan dinding rahim
sehingga jika ada sperma yang berhasil membuahi sel telur (sel telur yang
gagal dicegah ovulasinya), telur tersebut akan sulit menempel (implantasi)
pada dinding rahim untuk memulai kehamilan (Marmi, 2015)
Sumber :
1) Marmi. 2015. “Buku Ajar Pelayanan KB.” Yogyakarta : Pustaka Belajar
3. Seorang perempuan, umur 40 tahun datang ke BPM dengan keluhan haid
lebih banyakdari biasanya. Hasil anamnesis: P5 A1, akseptor KB Tubektomi
1 tahun, haid teraturtetapi jumlah haid lebih banyak dari biasanya dan disertai
stolsel saat menstruasi.Penderita DM tipe 2. Hasil pemeriksaan: KU sedang,
TD 110/70 mmHg, N 84x/mnt, S36,2 o C, P 16x/mnt, TB 159 cm, BB 56 Kg.
HB 9,5 gr/dl.
Kondisi apakah yang menjadi pemicu keluhan pada kasus tersebut?
Landasan teori :
Wanita dengan tubektomi memiliki lebih banyak ketidakteraturan
menstruasi daripada mereka yang tidak memiliki tubektomi (24,3 vs 10%, P =
0,002). Wanita dengan tubektomi memiliki lebih banyak polimenore (9,3 vs
1,4%, P = 0,006), hipmenmenore (12,1 vs 2,1%, P = 0,002), menorrhagia
(62,9 vs 22,1%, P <0,0001) dan menometrorrhagia (15,7 vs 3,6 %, P = 0,001)
dibandingkan yang tanpa tubektomi. Ada perbedaan yang signifikan dalam
skor PBLAC antara wanita dengan dan tanpa tubektomi (P <0,0001).
Menurut regresi logistik, rasio odds usia [(OR = 1,08, interval kepercayaan
(CI): 1,07-1,17, P = 0,03)], tubektomi (OR = 5,95, CI: 3,45-10,26, P <0,0001)
dan operasi caesar ( ATAU = 2,72, CI: 1,49-4,97, P = 0,001) secara bermakna
dikaitkan dengan menoragia.
Hal ini dijelaskan dengan hipotesis bahwa gangguan menstruasi
disebabkan oleh efek merusak pada tubektomi pada fungsi ovarium melalui
peningkatan tekanan dalam sirkulasi arteri utero-ovarium atau gangguan
pasokan darah ovarium, akan tetapi beberapa peneliti belum mengamati
perubahan dalam fungsi ovarium. Selain itu, penelitian laboratorium yang
membandingkan wanita sebelum dan sesudah tubektomi tidak menemukan
kelainan konstan pada fungsi ovarium, menunjukkan tidak ada perbedaan
dalam hormon luteinizing (LH), hormon perangsang folikel (FSH) dan kadar
estradiol (E2) pada wanita yang menjalani tubektomi ketika dibandingkan
dengan kelompok non-tubektomi.
Sedangkan, penelitian lain mengatakan siklus menstruasi yang panjang
bisa menjadi faktor risiko untuk pengembangan diabetes tipe 2, terutama pada
perempuan dengan obesitas. Frekuensi oligomenorea sebelum diagnosis
diabetes hampir dua kali lipat lebih tinggi pada wanita dengan diabetes tipe 2
daripada pada kelompok kontrol (16,1% vs 8,5%, P = 0,03). Oligomenore
dikaitkan dengan diabetes tipe 2 setelah disesuaikan dengan usia, IMT,
tekanan darah sistolik, trigliserida, dan kolesterol lipoprotein densitas tinggi
(rasio odds, 3,89; interval kepercayaan 95%, 1,37 hingga 11,04). Di antara
wanita dengan oligomenorea sebelum diagnosis diabetes, frekuensi diabetes
tipe 2 secara signifikan lebih tinggi pada subyek obesitas daripada pada rekan
non-obesitas mereka (90,9% vs 30,0%, P = 0,03).
Sumber :
1) Jahanian Sadatmahalleh Sh, Ziaei S, Kazemnejad A, Mohamadi E.
Menstrual pattern following tubal ligation: a historical cohort study. Int J
Fertil Steril. 2016; 9(4): 477-482.
2) Shim, Unjin et all. Long Menstrual Cycle Is Associated with Type 2
Diabetes Mellitus in Korean Women. Diabetes and Metabolism Journal.
2011;35:384-389.
Jawaban :
Pada kasus tersebut terdapat seorang wanita yang masih belia terpaksa
bekerja sebagai PSK karena faktor ekonomi. Apabila dikaitkan dengan teori
ABC maka atas dasar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ia bekerja
(perilaku positif) akan tetapi cara gadis ini bekerja sebagai PSK merupakan
consequence yang melemahkan. Sehingga sebenarnya pada diri PSK tersebut
terdapat kebingungan atau kebimbangan. Disisi lain harus mencukupi
kebutuhan ekonomi untuk bertahan hidup akan tetapi pekerjaan yang
dilakukan merupakan suatu hal yang memiliki risiko besar terhadap kondisi
kesehatan PSK tersebut terutama pada kesehtan reproduksi. Hal ini maka
tergolong pada kategori perilaku positif-consequnce tidak menyenangkan
yang bisa melemahkan -perilaku baru. Oleh karena itu peran bidan disini
sebagai konselor sekaligus pendamping PSK tersebut supaya dapat merubah
mindset dan secara bersama-sama dapat membantu permasalahan yang
dihadapi PSK tersebut.
Bidan dapat memberikan konseling terkait risiko pekerjaan yang ditekuni
wanita tersebut. Apabila hal ini terus berlanjut maka tidak menutup
kemungkinan wanita ini dapat terkena penyakit/infeksi menular seksual,
kanker, HIV/AIDS karena sering bergonta-ganti pasangan yang tentunya
dapat berisiko pada nyawanya. Oleh karena itu sebagai awal menginisiasi
merubah perilaku wanita tersebut maka bisa diedukasi dengan memberikan
syarat kepada pelanggan supaya bisa menggunakan kondom saat
berhubungan seksual sembari memotivasi dan mendukung wanita tersebut
untuk mencari pekerjaan lain yang lebih aman untuk kondisi kesehatannya.
Akan tetapi, apabila wanita tersebut setelah diberikan konseling bisa sadar
akan kondisinya maka bisa di motivasi untuk mencari pekerjaan lain yang
kiranya pekerjaan tersebut mampu dan dimiliki keterampilannya oleh wanita
tersebut. Oleh karena itu, goals dari klasifikasi consequences ini yakni untuk
dapat merubah perilaku wanita tersebut ke perilaku yang baru.
Landasan Teori :
Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan sekitar. Kejadian yang
terjadi di lingkungan sekitar dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
kejadian yang mendahului suatu perilaku dan kejadian yang mengikuti suatu
perilaku. Kejadian yang muncul sebelum suatu perilaku disebut anteseden
sedangkan kejadian yang mengikuti suatu perilaku disebut konsekuensi
(McSween, 2003). Perilaku memiliki prinsip dasar dapat dipelajari dan
diubah dengan mengidentifikasi dan memanipulasi keadaan lingkungan atau
stimulus yang mendahului dan mengkuti suatu perilaku (Geller,2001)
Elemen inti dari modifikasi perilaku adalah model ABC dari perilaku.
Menurut model ABC, perilaku dipicu oleh beberapa rangkaian peristiwa
anteseden (sesuatu yang mendahului sebuah perilakau dan secara kausal
terhubung dengan perilaku itu sendiri) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil
nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat meningkatkan atau menurunkan
kemungkinan perilaku tersebut akan terulang kembali. Analisis ABC
membantu dalam mengidentifikasi cara-carauntuk mengubah perilaku dengan
memastikan keberadaan anteseden yang tepat dan konsekuensi yang
mendukung perilaku yang diharapkan (Fleming, M. & R. Lardner. 2002).
Anteseden yang juga disebut sebagai activator dapat memunculkan
suatu perilaku untuk mendapatkan konsekuensi yang diharapkan (reward)
atau menghindari konsekuensi yang tidak diharapkan (penalty). Dengan
demikian, anteseden mengarahkan suatu perilaku dan konsekuensi
menentukan apakah perilaku tersebut akan muncul kembali (Geller,2001a).
Hubungan antara anteseden, perilaku, dan konsekuensi dapat dilihat
pada gambar. Panah dua arah di antara perilaku dan konsekuensi menegaskan
bahwa konsekuensi mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan
muncul kembali. Konsekuensi dapat menguatkan atau melemahkan perilaku
sehingga dapat meningkatkan atau mengrangi frekuensi kemunculan perilaku
tersebut. Dengan kata lain, konsekuensi dapat meningkatkan atau
menurunkan kemungkinan kemungkinan perilaku akan muncul kembali
dalam kondisi yang serupa (McSween, 2003). Anteseden adalah penting
namun tidak cukup berpengaruh untuk menghasilkan perilaku. Konsekuensi
Consequences
menjelaskan mengapa orang mengadopsi perilaku tertentu (Fleming, M. & R.
Lardner.2002).
Sumber :
1) Fleming, M. & R. Lardner. 2002. Strategies to Promote Safe Behavior
As Part of A Health and Safety Management System. Norwich, Health
and
safetyExecutive.www.hse.gov.uk/research/crr_pdf/2002/crr02430.pdf
diaksestanggal 25/03/20 pkl 12.46WIB
2) McSween, Terry E. 2003. The Values-Based Safety Process:
Improving YourSafety CulturewithBehavior-
BasedSafety.2ndEdition.NewJersey,JohnWiley& SonsInc.
3) Roughton, James E. & James J. Mercurio. 2002. Developing an
Effective Safety Culture: a Leadership Approach. USA, Butterworth
Heinemann.
Landasan Teori:
Berdasarkan model teori precede-proceede Lauren Green, faktor mediasi
yang membantu sebuah lingkungan positif atau perilaku positif. Faktor ini
dikelompokkan ke dalam 3 kategori : Faktor predisposisi, faktor pemungkin,
faktor penguat. Faktor predisposisi adalah yang dapat mendukung atau
mengurangi untuk memotivasi perubahan seperti sikap dan pengetahuan.
Faktor pemungkin adalah yang dapat mendukung atau mengurangi dari
perubahan seperti sumber daya dan keahlian. Faktor penguat yang dapat
membantu melanjutkan motivasi dan merubah dengan memberikan umpan
balik. Faktor-faktor ini dipilih untuk disajikan sebagai dasar pengembangan
program. Hal ini sesuai dengan kasus di atas yang mana puskesmas tersebut
telah mengembangkan layanan klinis IMS. Layanan yang diberikan yang
diberikan berupa konsultasi, pemeriksaan dan pengobatan penyakit IMS.
Sumber :
1. Sulaeman, Endang Sulistina, dkk. 2015. Aplikasi Model Precede-Proceed
Pada Perencanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Berbasis Penilaian Kebutuhan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kedokteran
Yasri