Anda di halaman 1dari 10

Intra Uterine Fetal Death (IUFD)

A. Definisi

Ketiadaan daya hidup janin pada berbagai tahap merupakan kematian janin.

Berdasarkan revisi tahun 2003 dari Prosedur Pengkodean Penyebab dari Kematian Janin
ICD-10, Pusat Statistik Kesehatan Nasional mendefinisikan kematian janin sebagai
”kematian yang terutama berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi
dari Ibu, pada durasi yang tidak dapat diperkirakan di dalam masa kehamilan, dan
merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi”.

(Cousens, 2011) Kematian janin diindikasikan oleh adanya fakta setelah terjadi ekspulsi
atau ekstraksi, janin tidak bernafas atau menunjukkan tanda-tanda lain dari kehidupan
seperti detak jantung, pulsasi umbilical cord atau gerakan yang berarti dari otot-otot
volunter. Detak jantung tidak termasuk kontraksi transien dari jantung, respirasi tidak
termasuk pernafasan yang sangat cepat atau “gasping”. Pengertian ini kemudian
diklasifikasikan sebagai kematian awal (<20 minggu kehamilan), pertengahan (20-27
minggu kehamilan) dan lambat (>28 minggu kehamilan) (Khashogi,2005).

IUFD ( Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab
yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (Uncomplicated Pregnancy).
Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin
jika terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia
di bawah usia 20 minggu disebut abortus. Sedangkan WHO menyebutkan bahwa yang
dinamakan kematian janinadalah kematian yang terjadi bila usia janin 20 minggu dan
berat janin waktulahir diatas 500 gram (ACOG, 1996 , Khashogi, 2005).

Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American
College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikanbahwa statistik
untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intrauterine dimana berat janin
500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara
menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari
pengertian IUFD (Cousens, 2011).
B. Etiologi

Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%,
insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang
penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari
faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta (Cunningham, 2005).

1. Faktor Ibu

a. Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin

b. Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin

c. Berbagai penyakit pada ibu hamil (hipertensi, preeklampsia, eklampsia, diabetes


mellitus tidak terkontrol, lupus eritematosus sistemik)

d. Trauma saat hamil

e. Infeksi pada ibu hamil

f. Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu)

g. Hamil pada usia lanjut

h. Ruptur uteri

i. Kematian Ibu

2. Faktor Janin

a. Gerakan Sangat Berlebihan

b. Kelainan kromosom

c. Kelainan bawaan bayi

d. Malformasi janin

e. Kehamilan multipel
f. Intra Uterine Growth Restriction

g. Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)

h. Insufisiensi plasenta yang idiopatik

3. Faktor Plasenta

a. Perlukaan cord

b. Ketuban pecah secara mendadak (abruption)

c. Premature Rupture of Membrane

d. Vasa Previa

C. Epidemiologi

Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko mortalitas dan
morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka insidensikematian janin di
seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 – 3,82 juta jiwa. Angka ini
mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut
adalah 18,9 lahir mati per 1000 kelahiran (MacDorman,2009). Pada tahun 2005, data
dari Laporan Statistik Vital Nasional menunjukkan tingkat nasional AS kelahiran mati
rata-rata 6,2 per 1000 kelahiran (Barfield,2002). Pada tahun 2009, jumlah global
diperkirakan saat dilahirkan adalah 2,64 juta (berkisar ketidakpastian, 2,14 – 3820000).
Tingkat kelahiran mati di seluruhdunia menurun 14,5% dari 22,1 bayi lahir mati per
1000 kelahiran pada tahun1995-18,9 lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 2009
(MacDorman, 2009).

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2003 (POGI,2006)


mengenai kegagalan yang terjadi selama masa kehamilan, didapatkan datamortalitas
perinatal di Indonesia berkisar 24 dari 1000 kehamilan. Kondisi kesehatan janin
memiliki kontribusi tertinggi dalam mengakibatkan mortalitasperinatal (39%)
dibandingkan dengan faktor maternal (5,1%). Resiko tingginya angka kematian yang
berkaitan dengan faktor maternal kebanyakan berupa jarak 15 bulan kehamilan dari
persalinan terakhir dan usia ibu hamil diatas 40 tahun.

D. Patogenitas, Patofisiologi dan Tanda-Gejala

Sesuai dengan etiologi dari kematian janin dalam rahim atau Intra Uterine Fetal Death
(IUFD), kematian janin disebabkan oleh tiga permasalahan pokok yaitu kausa dari janin,
kausa dari ibu, dan kausa dari plasenta (Cunningham,2005).

Penyebab dari janin bisa berasal dari cacat genetik atau malformasi kongenital mayor,
infeksi janin, gestasi multipel, dan cacat lahir non kromosom (Silver, 2007).

Dari penyebab maternal yang berakibat IUFD antara lain faktor diabetes tidak
terkontrol, hipertensi kehamilan hingga preeklampsia-eklampsia, kematian ibu, infeksi
ibu, SLE, auto antibodi, hemoglobinopati, ruptur uterina, antifosfolipid, dan lainnya
(Nybo-Andersen, 2004).

Faktor-faktor kausa dariplasenta berupa adanya ruptura plasenta prematur, vasa


previa, insufisiensi plasenta, perdarahan fetomaternal, trauma pada umbilikus, dan
semacamnya (Korteweg, 2009 , Suparman, 2003).

1. Kausa Janin

Dari 25 – 40% kasus kematian janin, penyebab terseringnya adalah karena faktor
janin itu sendiri. Kausa pada janin tersebut mencakup cacat genetik atau malformasi
kongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel,dan cacat lahir non kromosom
(Cunningham, 2005). Malformasi kongenital mayor merupakan adanya kelainan
kromosomautosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain neural-tube defect ,
hidrosefalus, penyakit jantung kongenital, hidrops dan lain-lain. Malformasi
kongenital mayor ini merupakan kelainan genetis yang mengancam hidup janin dan
mengganggu kerja organ-organ vital (Silver, 2007).

Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkatkegawatdaruratan


janin. Semakin parah morbiditas dan virulensi dari infeksiyang diderita janin,
semakin buruk kemungkinan janin untuk dapat hidup didalam uterus. Beberapa
infeksi janin yang dapat membahayakan janin antaralain infeksi TORCH (CMV,
Toxoplasma, Rubella), malaria, infeksi Streptococcus grup A dan Streptococcus grup
B, Salmonelosis atau demamtifoid, hingga gangguan pembekuan darah dan syok
(Silver, 2007;Cunningham, 2005).

Rubella dan Parovirus B19 merupakan salah satu agen palingteratogenik yang
diketahui. Sekitar 80% wanita hamil terinfeksi rubella danruam selama 12 minggu
akan mengalami infeksi kongenital, usia 13-14 minggu berjumlah 54 %, dan pada
akhir trimester kedua sebanyak 25%. Adanya infeksi virus Rubella dan Parovirus ini
akan menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin intra uterin yang berakibat pada
kegagalan perkembangan jantung, defek susunan syaraf pusat, ikterus,
hepatitis,hambatan pertumbuhan janin, trombositopenia, anemia, dan lain-lain.
Sitomegalovirus lebih banyak menyebabkan infeksi dan kecacatan
perinataldibandingkan dengan hambatan perkembangan dan pertumbuhan janin
intrauterin. Infeksi CMV menyebabkan mikrosefalus, retardasi mental-motorik,defisit
sarafsensori, hepatosplenomegali, anemia hemolitik, hingga sindromaanti-fosfolipid
(Cunningham, 2005 , Lembar, 2009).

Toksoplasmosis akut merupakan penyulit sekitar 1-5 dari 1000kehamilan.


Setidaknya pada wanita hamil, keguguran atau lahirnya bayihidup dengan tanda-tanda
kecacatan akibat toksoplasmosis kongenital rentanterjadi. Gejala dan tanda klinis
yang didapatkan berupa berat lahir rendah,anemia, ikterus, hepatosplenomegali,
kalsifikasi intrakranial, limfadenopati,rasa lelah, nyeri otot, bahkan hingga retardasi
mental (Ma’roef, 2003).

Infeksi Streptococcus grup A saat ini sudah jarang dijumpai. Walau demikian,
infeksi ini tergolong infeksi yang berat karena menimbulkan syok dan sangat toksik,
sehingga berakibat pada kematian ibu – janin. Infeksi Streptococcus grup B berperan
dalam menyebabkan gangguan hasilkehamilan (persalinan preterm, ketuban pecah
dini, korioamnionitis, dansepsis nifas). Oleh karena itu, infeksi Streptococcus
merupakan infeksi yangcukup berbahaya bagi kelangsungan hidup janin di dalam
uterus (Silver,2007).
Penyakit sistemik lain yang menimbulkan kematian janin sekaligus kematian
maternal antara lain malaria, demam tifoid, demam berdarah dengue, gangguan
pembekuan darah, dan syok. Semua gangguan sistemik ini membutuhkan adanya
penanganan yang lebih komprehensif untuk ibu hamil, dengan mempertimbangkan
konsultasi pada ahli-ahli penyakit dalam yang kompeten (Silver, 2007).

2. Kausa Maternal

Kasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal ternyata hanya
memiliki peranan yang kecil. Beberapa penyakit dari ibu yang mempunyai kausa
tersering berupa hipertensi dan diabetes pada kehamilan. Penyakit-penyakit lain
seperti autoantibodi, SLE, penyakit rhesus merupakan sebab yang jarang jumlah
kejadiannya. Pada intinya, kasus kematian janin yang disebabkan oleh kausa ibu
diakibatkan oleh adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik
tersebut mengganggu perfusi darah dariibu ke janin (Nicholson, 2009 , Lembar 2009).
Penyebab lainnya seperti penurunan alfa feto protein, cukup memberikan arti yang
besar dalam menimbulkan kematian janin, walaupun kejadian tersebut bersifat jarang
ditemukan (Smith, 2004).

Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua mempunyai peran


dalam IUFD. Golongan darah Rhesus yang berbeda tersebutmemberikan suatu bentuk
autoantibodi pada tubuh janin, sehingga berakibatpada hiperkoagulitas darah dan
reaksi autoimun janin. Hampir semua kasusibu hamil dengan inkompatibilitas Rhesus
berakibat pada kematian janin(Cunningham, 2005).

3. Kausa Plasenta

Kasus kematian janin yang dikaitkan dengan kausa plasenta relatif bersifat
dependent , tidak bisa berdiri sendiri, atau tergantung dari adanyapenyebab yang
lainnya. Kasus-kasus yang sering menyebabkan kematian janin antara lain solusio
plasenta, infeksi plasenta dan ketuban, infark plasenta, dan perdarahan janin ke ibu
(French, 2005)
E. Diagnosis

Pada anamnesis ibu hamil tidak merasakan ada pergerakan janin danhilangnya
tanda-tanda dan gejala kehamilan.

Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda pertumbuhan uterus,


padapemeriksaan laboratorium terdapat penurunan kadar serial β-Hcg, pada pemeriksaan
x-ray ditemukan Spalding sign dan Robert’s sign, dan padapemeriksaan USG ditemukan
jelas keadaan janin mati intra uterin.

F. Komplikasi

Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi rusak. Plasenta yang
rusak akan menghasilkan tromboplastin. Tromboplastin masuk kedalam peredaran darah
ibu yang mengakibatkan pembekuan intravaskuler yangdimulai dari endotel pembuluh
darah oleh trombosit sehingga terjadi pembekuandarah yang meluas (Disseminated
intravascular coagulation atau DIC). Dampak dari adanya DIC tersebut adalah terjadinya
hipofibrinogenemia.Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%), biasa pada 4-5
minggusesudah IUFD. Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700mg
%.Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi perdarahan post partum.Perdarahan
post partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati (Flenady, 2011).

Selain dari komplikasi fisik yang serius pada ibu, dampak secara kejiwaan pun
dapat terjadi. Dampak psikologis dapat timbul pada ibu setelah lebih dari 2minggu
kematian janin yang dikandungnya (Nybo-Andersen, 2004). Hal tersebut dapat
mempengaruhi kesehatan jiwa ibu. Faktor resiko terjadinya depresi padaibu hingga
psikosis dapat terjadi (Rahayu, 2008 ; Nybo-Andersen, 2004)

G. Penatalaksanaan

Bila disangka telah terjadi kematian janin dalam rahim, sebaiknya diobservasi
dahulu dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosis. Selama observasi, 70-90 %
akan terjadi persalinan yang spontan (POGI, 2006).
Jika pemeriksaan Radiologi tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5hari.
Tanda-tandanya berupa overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi kolumnavertebralis,
gelembung udara didalam jantung dan edema scalp. USG merupakan sarana penunjang
diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin dimanagambarannya
menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala
janin dan cairan ketuban berkurang (POGI, 2006).

Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien. Sebaiknya pasien


selalu didampingi oleh orang terdekatnya. Yakinkan bahwa kemungkinan besar dapat
lahir pervaginam. Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun
ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil
(POGI, 2006).

Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu persalinan spontan


hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan spontan akanterjadi tanpa
komplikasi (POGI, 2006).

Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan,


lakukanpenanganan aktif. Penanganan aktif dilakukan pada serviks matang, dengan
melakukan induksi persalinan menggunakan oksitosin atau prostaglandin. Jika serviks
belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley,
dengan catatan jangan lakukan amniotomi karena berisiko infeksi (POGI, 2006).

Mekanisme kerja kateter Foley adalah untuk membantu mematangkanserviks.


Secara teknis, kateter Foley ukuran no.18 dimasukkan hingga ke OstiumUteri Internum,
mengembangkan balón kateter dengan aquadest 30 mL, dan mempertahankan selama 8-
12 jam. Dari sini, akan terjadi pemisahan antaraselaput ketuban dengan Segmen Bawah
Rahim. Hal ini akan menimbulkan pelepasan lisosom oleh desidua basalis dan pelepasan
enzim lithik fosfolipase Ayang akan membentuk asam arakhidonat. Asam arakhidonat ini
akanmeningkatkan pembentukan prostaglandin, sehingga serviks menjadi matang
(Suparman, 2003 ; Nicholson, 2009). Efek samping dari kateter Foley ini adalah demam
intrapartum atau postpartum, perdarahan per vaginam pasca pemasangankateter, KPD,
prolapsus tali pusat, dan lain-lain (Nicholson, 2009).
Persalinan dengan sectio cesare merupakan alternatif terakhir. Jika persalinan
spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan serviksbelum matang,
matangkan serviks dengan misoprostol: Tempatkan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina,
dapat diulang sesudah 6 jam (Gomes, 2003).

Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi
50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan melebihi 4
dosis. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika. Jika tespembekuan sederhana lebih dari
7 menit atau bekuan mudah pecah, waspadakoagulopati (Dickinson, 2003). Berikan
kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan kegiatan ritual
bagi janin yang meninggal tersebut.

Pemeriksaan patologi plasenta dapat dilakukan untuk mengungkapkan adanya


patologi plasenta dan infeksi (Gomes, 2003).

Bila setelah 3 minggu kematian janin dalam kandungan atau 1 minggusetelah


diagnosis, pasien belum ada tanda untuk partus, maka pasien harusdirawat agar dapat
dilakukan induksi persalinan. Induksi persalinan dapatdimulai dengan pemberian
esterogen untuk mengurangi efek progesteron ataulangsung dengan pemberian oksitosin
drip dengan atau tanpa amniotomi (Gomes,2003).

Penanganan terhadap hasil konsepsi adalah penting untuk menyarankan kepada


pasien dan keluarganya bahwa bukan suatu kegawatan dari bayi yang sudah meninggal :

1. Jika uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan maka pengosonganuterus


dilakukan dengan suction curetase
2. Jika ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat digunakan prostaglandin E2 vaginal
supositoria dimulai dengan dosis 10 mg,
3. Jika kehamilan > 28 minggu dapat dilakukan induksi dengan oksitosin.Selama
periode menunggu diusahakan agar menjaga mental/psikis pasien yang sedang
berduka karena kematian janin dalam kandungannya.
Kematian janin adalah suatu kejadian traumatik psikologik bagi wanita dan
keluarganya. Radestat mendapatkan bahwa interval yang lebih dari 24 jam sejak diagnosa
kematian janin sampai induksi persalinan berkaitan dengan ansietas berlebihan (Barfield,
2002).
Faktor lain yang berperan adalah apabila wanita yang bersangkutan tidak melihat
bayinya selama yang dia inginkan dan apabila dia tidak memiliki barang kenangan dapat
timbul kecemasan pada ibu sampaigejala depresi dan gejala somatisasi yang dapat
bertahan sampai lebih dari 6bulan. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi
meninggal, telah lama dianggap memiliki resiko yang lebih besar mengalami gangguan
hasil kehamilanpada kehamilan berikutnya (Kashoghi, 2007).
Beberapa penelitian menyebutkan kisaran angka kekambuhan lahir matiantara 0
sampai 8 persen.Kematian janin sebelumnya walaupun tidak semua lahir mati
menyebabkan gangguan hasil pada kehamilan berikutnya. Evaluasi prenatal penting
dilakukan untuk memastikan penyebab. Apabila penyebab lahir mati terdahulu adalah
kelainan karyotipe atau kausa poligenik, pengambilan sampelvillus khorionik atau
amniosintesis dapat mempermudah deteksi dini danmemungkinkan dipertimbangkannya
terminasi kehamilan (Kashoghi, 2007).
Pada diabetes, cukup banyak kematian perinatal yang berkaitan dengan kelainan
kongenital. Pengendalian glikemik intensif pada periode perikonsepsidilaporkan
menurunkan insiden malformasi dan secara umum memperbaiki hasil (Silver, 2007)

H. Pencegahan

Beberapa pencegahan yang dianjurkan dari beberapa pustaka yang ada antara lain sebagai
berikut (Silver, 2007) :

1. Memberikan nasehat pada waktu ANC mengenai nutrisi dan keseimbangan diet
makanan

2. Hindari merokok, tidak meminum minuman beralkohol, jamu, obat-obatan dan hati-
hati terhadap infeksi yang berbahaya

3. Mendeteksi secara dini faktor-faktor predisposisi IUFD dan pemberian pengobatan

4. Mendeteksi gejala awal IUFD atau tanda fetal distress

5. Diberlakukannya tindakan Cut off untuk terminasi kehamilan

Anda mungkin juga menyukai