Anda di halaman 1dari 13

METODE OPERASI WANITA

A. Definisi
Tubektomi / MOW adalah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba Fallopii
seorang wanita, yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil atau tidak
menyebabkan kehamilan lagi. MOW (Metode Operatif Wanita) / Tubektomi atau juga
dapat disebut dengan sterilisasi. MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua
saluran telur kanan dan kiri yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur,
dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga tidak
terjadi kehamilan. (BKKBN, 2006)
Tubekomi atau Sterilisasi merupakan metode kontrasepsi permanen yang hanya
diperuntukkan bagi mereka yang memang tidak ingin atau tidak boleh memiliki anak
(karena alasan kesehatan). Disebut permanen karena metode kontrasepsi ini hampir tidak
dapat dibatalkan (reversal) bila kemudian ingin memiliki anak.

B. Keuntungan dan Kerugian


Keuntungan dari tubektomi adalah sebagai berikut:
1. Motivasi hanya dilakukan 1 kali saja, sehingga tidak diperlukan motivasi yang
berulang-ulang
2. Efektivitas hampir 100%
3. Tidak mempengaruhi libido seksual.
4. Kegagalan dari pihak pasien tidak ada.
5. Tidak mempengaruhi proses menyusui (breast feeding).
6. Baik bagi pasien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
7. Merupakan suatu pembedahan sederhana, dapat dilakukan anestesi lokal.
8. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon
ovarium).
Ada pula ditemukan kerugian dari tubektomi adalah sebagia berikut:
1. Tidak reversible, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka kembali pada
mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi. Oleh
karena itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-
syarat tertentu.
2. Risiko dan efek samping pembedahan.
a. Risiko sterilisasi, seperti halnya operasi lainnya, terutama berkaitan dengan anestesi.
Ahli bedah juga dapat tanpa sengaja merusak ligamen peritoneal selama operasi.
Jika ligamen peritoneal rusak, produksi hormon pada ovarium menurun dan
menopause bisa dimulai dini.
3. Kadang-kadang sedikit merasakan nyeri pada saat operasi.
4. Infeksi mungkin saja terjadi bila prosedur operasi tidak benar.
5. Kesuburan sulit kembali
Karena metode tubektomi merupakan kontrasepsi permanen, sebelum mengambil
keputusan untuk dilakukan tubektomi, istri dan suami terlebih dahulu
mempertimbangkannya secara matang. Meskipun saluran telur yang tadinya di potong
atau diikat dapat disambung kembali, namun tingkat keberhasilan untuk hamil lagi sangat
kecil.

C. Indikasi

Pada konferensi Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di dianjurkan


wanita umur 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut:
1. Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih
2. Umur antara 0-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
3. Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih
4. Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak
telah melebihi jumlah yang diinginkan pasangan suami istri

Menurut Mochtar (2008) indikasi dilakukan MOW yaitu sebagai berikut:


1. Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat bila wanita ini hamil
lagi.
a. Gangguan fisik yang dialami seperti tuberculosis pulmonum, penyakit jantung
dan sebagainya.
b. Gangguan psikis yang dialami yaitu seperti skizofrenia (psikosis), sering
menderita psikosa nifas, dan lain lain.
2. Indikasi medik obstetri yaitu toksemia gravidarum yang berulang, seksio sesarea yang
berulang, histerektomi obstetri, dan sebagainya.
3. Indikasi medis ginekologik. Pada waktu melakukan operasi ginekologik dapat pula
dipertimbangkan untuk sekaligus melakukan sterilisasi.
4. Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi yang
sekarang ini terasa bertambah lama bertambah berat.
D. Kontraindikasi
Menurut Mochtar (2008) kontraindikasi dalam melakukan MOW yaitu dibagi
menjadi 2 yang meliputi kontraindikasi mutlak dan kontraindikasi relatif.
1. Kontraindikasi mutlak
a. Peradangan dalam rongga panggul
b. Peradangan liang senggama akut (vaginitis, servisitis akut)
c. Kavum Douglas tidak bebas, ada perlekatan
2. Kontraindikasi relatif
a. Obesitas berlebihan
b. Bekas laparotomi

Sedangkan menurut Noviawati dan Sujiyati (2009) yang sebaiknya tidak menjalani
Tubektomi yaitu:
1. Wanita yang hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai)
2. Wanita dengan perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya
3. Wanita dengan infeksi sistemik atau pelvis yang akut
4. Wanita yang tidak boleh menjalani proses pembedahan
5. Wanita yang kurang pasti mengenai keinginan fertilitas dimasa depan
6. Wanita yang belum memberikan persetujuan tertulis

E. Waktu Pelaksanaan Tubektomi


Adapun waktu pelaksanaan tubektomi adalah:
1. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional wanita yang
akan menjalani tubektomi tidak hamil.
2. Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi).
3. Pasca persalinan dianjurkan 24 jam atau selambat-lambatnya dalam 48 jam setelah
bersalin.
4. Pasca keguguran.

F. Cara Tubektomi
1. Cara Mencapai Tuba
Tindakan untuk mencapai tuba dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Schmidt
et al. 2014):
a. Laparotomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus untuk tubektomi.
Cara mencapai tuba melalui laparotomi biasa, terutama pada masa pasca persalinan,
merupakan cara yang banyak dilakukan di Indonesia sebelum tahun 70an. Disini
penutupan tuba dijalankan sebagai tindakan tambahan apabila wanita yyang
bersangkutan perlu dibedah untuk keperluan lain. Tubektomi juga dilakukan
bersamaan dengan seksio sesarea, dimana kehamilan selanjutnya tidak diinginkan
lagi, sebaiknya setiap laparotomi harus dijadikan kesempatan untuk menawarkan
tubektomi (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.1. Laparotomi

b. Laparotomi postpartum
Laparoromi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa
waktu perawatan nifas sekaligus dapat digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan
oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil dekat fundus uteri
untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi lunar
(bulan sabit) di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang-lebih 3 cm dan
penutupan tuba biasanya diselenggarakan dengan cara Pomeroy (Schmidt et al.
2014).

c. Minilaparotomi
Laparatomi mini dilakukan dalam masa interval. Laparotomi khusus tubektomi
ini paling mudah dilakukan 48 jam pasca persalinan. Uterus yang masih besar, tuba
yang masih panjang, dan dinding perut yang masih longgar memudahkan mencapai
tuba dengan sayatan kecil sepanjang 2 cm setinggi fundus hingga menembus
peritoneum. Apabila fundus uteri setinggi pusat, sayatan dilakukan di lipatan kulit
bawah pusat. Tetapi bila lebih tinggi (pada persalinan ganda atau anak kembar),
sayatan dilakukan di lipatan kulit di atas pusat (Schmidt et al. 2014).
Bila tubektomi dilakukan pada 3-5 hari postpartum, jika fundus uteri terletak
di bawah pusat karena uterus dan tuba telah berinvolusi maka dapat dilakukan insisi
mediana setinggi 2 jari dibawah fundus uteri sepanjang 2 cm. Infeksi lebih sering
terjadi pada minilaparotomi yang dilakukan lebih dari 48 jam pasca persalinan
karena lokia merupakan media untuk tumbuhnya infeksi (Schmidt et al. 2014).

Untuk menampilkan tuba dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut (Schmidt et
al. 2014):

1) Retraktor abdomen ditarik ke arah tuba yang akan dicapai. Dengan cara ini saja
kadangkala bagian proksimal tuba sudah terlihat dan dapat dijepit dengan pinset
atau klem dan ditarik perlahan-lahan keluar lubang sayatan.
2) Dengan jari lewat lubang sayatan, uterus dan tuba didorong kearah lubang
sayatan. Pada saat tuba tampak segera dijepit dengan pinset atau klem.
d. Laparoskopi
Mula- mula dipasang cunam serviks pada bibir depan portio uteri, dengan
maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan pada waktu
laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit di bawah
pusat sepanjang lebih 1 cm. Kemudian di tempat luka tersebut dilakukan pungsi
sampai rongga perineum dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu
dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2 sebanyak 1 sampai 3 liter
dengan kecepatan sekitar 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum di rasa cukup,
jarum Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya di masukkan trokar (dengan
tabungnya). Sesudah itu, trokar di angkat dan dimasukkan laparaskop melalui
tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita di letakkan
dalam posisi trendelenburg dan uterus di gerakkan melalui cunam serviks pada
portio uteri (Schmidt et al. 2014).
Kemudian, dengan cunam yang masuk dalam rongga peritoneum bersama
dengan laparaskop, tuba di jepit dan dilakukan penutupan tuba dengan kauterisasi,
atau memasang pada tuba cincin yoon atau cincin falope atau clip hulka.
Berhubungan dengan kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi,
sekarang lebih banyak di lakukan cara-cara yang lain. Teknik ini dapat dilakukan
pada 6-8 minggu pascapersalinan atau setelah abortus (tanpa komplikasi) (Schmidt
et al. 2014).
Gambar 2.2. Laparoskopi

e. Kuldoskopi
Rongga pelvis dapat dilihat melalui alat kuldoskop yang dimasukkan kedalam
kavum Douglas. Adanya laparoskopi trans-abdominal, maka kuldoskopi kurang
mendapat perhatian/minat dan sekarang sudang jarang dikerjakan. Wanita
ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah spekulum
dimasukkan dan bibir belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik keluar dan
agak ke atas, tampak kavum Douglas mekar di antara ligamentum sakro-uterinum
kanan dan kiri sebagai tanda tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
menggunakan jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara
masuk dan usususus terdorong ke rongga perut. Dan setelah jarum di angkat,
lubang di perbesar, sehingga dapat di masukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan cunam khusus tuba di jepit dan di tarik keluar
untuk dilakukan penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau
pemasangan cincin Falope (Schmidt et al. 2014).

2. Cara Penutupan Tuba


Cara tubektomi yang dapat dilakukan adalah cara Pomeroy, Madlener, Irving,
Aldrige, Uchida, Kroener, pemasangan cincin folope, klip filshie, dan elektro-koagulasi
disertai pemutusan tuba (Schmidt et al. 2014).
a. Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat
bagian tengah tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian dasarnya
diikat dengan benang yang dapat diserap (Catgut biasanya no. 0 atau no. 1), lipatan
tuba kemudian dipotong di atas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian catgut biasa ini
ialah lekas diabsorpsi, sehingga kedua ujung tuba yang di potong terpisah satu sama
lain, dengan demikian rekanalisasi tidak dimungkinkan. Angka kegagalan berkisar
antara 0-0,4% (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.3. Cara Pomeroy

b. Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba di angkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk
suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar dari lipatan tersebut di jepit dengan cunam
kuat- kuat, dan selanjutnya dasar itu di ikat dengan benang yang tidak dapat di serap.
Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara Madlener tidak
dilakukan lagi karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1 % sampai 3%
(Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.4. Cara Madlener

c. Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong di antara dua ikatan benang yang dapat di serap
(biasa dengan benang chromic catgut no. 0 atau no. 00), ujung proksimal dari tuba di
tanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung distal di tanamkan ke dalam
ligamentum latum. Dengan cara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin terjadi. Cara
tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomi besar seperti seksio sesarea
(Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.5. Cara Irving

d. Cara Aldrige
Peritoneum dari ligamentum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-
sama dengan fimbria ditanam ke dalam ligamentum latum (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.6. Cara Aldrige

e. Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik keluar abdomen melalui suatu insisi kecil
(minilaparatomi) di atas simpisis pubis. Kemudian di daerah ampula tuba di lakukan
suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam dibawah serosa tuba. Akibat
suntikan ini, mesosapling di daerah tersebut mengembung. Lalu, dibuat sayatan kecil
di daerah yang kembung tersebut, Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira- kira
4- 5 cm, tuba dicari dan setelah ditemukan, dijepit, diikat, lalu digunting. Ujung tuba
yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di bawah serosa, sedangkan ujung
tuba yang distal di biarkan berada di luar serosa. Luka sayatan di jahit secara
kantong tembakau. Angka kegagalan cara ini adalah 0 (Schmidt et al. 2014).

Gambar 2.7. Cara Uchida

f. Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba di keluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan
benang sutera dibuat melalui bagian mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini diikat
2 kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba sebelah proksimal dari
jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria di potong. Setelah pasti tidak ada pendarahan,
maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut. Teknik ini banyak yang digunakan.
Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecil kemungkinan kesalahan mengikat
ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19% (Schmidt et al. 2014).
Gambar 2.8. Cara Kroener

g. Pemasangan cincin falope


Cincin falope (yoon ring) terbuat dari silikon, dewasa ini banyak
digunakan. Dengan aplikator bagian isthmus tuba ditarik dan cincin dipasang pada
bagian tuba tersebut. Sesudah terpasang lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh
karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi fibrotik. Cincin falope
dapat dipasang pada laparotomi mini, laparoskopi atau dengan laprokator (Schmidt
et al. 2014).

h. Pemasangan Klip
Berbagai jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal
agar dapat dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip filshie mempunyai
keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-clemens digunakan
dengan cara menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek panjang tuba,
maka rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan (Schmidt et al. 2014).

2.9. Pemasangan Klip

i. Elektro koagulasi dan pemutusan tuba


Cara ini dahulu banyak dikerjakan pada tubektomi laparaskopi. Dengan
memasukkan grasping forceps melalui laparoskop, tuba fallopii dijepit kurang lebih
2 cm dari kornu kemudian diangkat menjauhi uterus dan alat-alat panggul lainnya,
kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba dibakar kurang lebih 1 cm ke proksimal dan
distal serta mesosalping dibakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi tuba tamapak
menjadi putih, menggembung, lalu putus. Cara ini sekarang banyak ditinggalkan
(Schmidt et al. 2014).

G. Komplikasi dan Penanganan


Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tubektomi
tersebut, antara lain (Schmidt et al. 2014):
1. Infeksi luka. Apabila terlihat luka, obati dengan antibiotika. Lakukan drainase dan
pengobatan bila terdapat abses.
2. Demam pasca operasi. Cari penyebab demam dan obati berdasarkan penyebab yang
ditemukan.
3. Perlukaan kandung kemih saat operasi (jarang terjadi). Langsung diperbaiki dengan
jahitan kontinu dengan catgut halus dan dilakukan jahitan lapis kedua dengan simpul.
Pasien dirawat kurang lebih selama 5 hari dan diberikan antibitok profilaksis.
4. Emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi (sangat jarang terjadi). Rujuk ke tingkat
asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk cairan intravena, resusitasi
kardiopulmonar dan tindakan penunjang kehidupan lainnya.
5. Rasa sakit pada lokasi pembedahan. Pastikan apakah ada infeksi atau abses dan obati
berdasarkan penyebab yang ditemukan.
6. Perdarahan superficial (tepi-tepi kulit atau subkutan). Mengontrol perdarahan dan obati
berdasarkan penyebab yang ditemukan.

H. Kesimpulan
MOW (Metode Operasi Wanita) atau tubektomi merupakan tindakan medis berupa
penutupan tuba uterine yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati sel telur, dengan
demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki-laki sehingga tidak terjadi
kahamilan dalam jangka panjang sampai seumur hidup. Ada dua langkah tindakan penting
dalam tubektomi yaitu tindakan pendahuluan mencapai tuba fallopi dan penutupan tuba
fallopi.
Dahulu Tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal.
Sekarang, dengan alat-alat dan teknik baru, tindakan ini diselenggarakan secara lebih
ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Adapun keuntungan tubektomi
adalah lebih aman, efektifitas hampir 100%, tidak mempengaruhi libido seksualis dan
kegagalan dari pihak pasien tidak ada.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting
dalam program keluarga berencana di banyak negara di dunia. Di indonesia sejak tahun
1974 telah berdiri Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina
perkembangan metode dengan operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela,
tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam program nasional keluarga
berencana indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar, Rustam. 2008.Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC,


2. Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Departemen Kesehatan dan Macro
International Inc. (MI), 2008. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007.
Columbia, Maryland, USA : BPS dan MI.
3. Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, 2010. Pemantauan PUS Melalui Mini
Survei di Indonesia Tahun 2009.
Asih L, Juliaan F, 2010. Pola Pemakaian Kontrasepsi. Puslitbang KB dan Kesehatan
Reproduksi 2010.
4. Sri H, Buku Ajar Pelayanan KB. Yogyakarta: Pustaka Rihama: 2010.
5. Bari A, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Prawirohadjo S. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka.
6. Noviawati, Sujiyawati. 2009. Panduan Lengkap KB Terkini,:p.165-166.
7. Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka,
8. Hartanto, Hanafi. 2004.KB dan Kontrasepsi. Jakarta: Sinar Harapan,
9. Meilani, Niken. 2010.Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta:
10. Rabe, Thomas. 2003.Ilmu Kandungan. Jakarta: Hipokrates,
11. Schmidt, E, Diedrich J, et al. 2014. Surgical Procedures of Tubal Sterilization. In: The
Global Library of Womens Medicine.

Anda mungkin juga menyukai