Anda di halaman 1dari 27

G5P4A0+GRAVID 31 MINGGU+IUFD

A. Anamnesa

Kelahiran mati merupakan suatu masalah sejak lama. Namun akhir-


akhir ini tingkat kelahiran mati telah turun drastis selama 50-60 tahun terakhir.
Identifikasi penyebab dan faktor risiko diperlukan untuk pencegahan kelahiran
mati. Mengklasifikasikan kelahiran mati menurut penyebab diperlukan untuk
tujuan pencegahan, konseling dan penatalaksanaan. Selain itu, faktor risiko
mungkin berbeda diantara berbagai kelompok penyebab. Namun, menetapkan
satu penyebab kematian merupakan tantangan dalam penggunaan sistem
klasifikasi yang dapat berkontribusi pada proporsi yang lebih tinggi dari
kematian yang tidak dapat dijelaskan.1,2

A. Definisi
Secara umum, Intra Uterine Fetal Death (IUFD) atau kematian janin
dalam rahim (KJDR) mencakup semua kematian janin yang beratnya 500 gram
atau lebih terjadi selama kehamilan (kematian antepartum) atau selama
persalinan (intrapartum). Tapi kematian janin yang beratnya kurang dari 500
gram (sebelum 22 minggu) telah mendapat etiologi yang berbeda dan biasanya
disebut aborsi.3
Menurut WHO dan American College of Obstetricians and
Gynecologist (1995) menyatakan IUFD ialah janin yang mati dalam rahim
dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada
kehamilan 20 minggu atau lebih. IUFD menurut ICD 10 – International
Statistical Classification of Disease and Related Health Problems adalah
kematian fetal atau janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu.4,5

B. Epidemiologi
Pada tahun 2006, data dari National Vital Statistics Report menunjukkan
tingkat kelahiran rata-rata nasional AS 6,05 per 1000 kelahiran, 3% lebih
rendah dari tahun 2005. Di seluruh dunia, tingkat ini sangat bervariasi
tergantung pada kualitas perawatan medis yang tersedia di negara ini. Pada
tahun 2009, perkiraan jumlah kelahiran mati di dunia adalah 2,64 juta. Angka
kelahiran mati di seluruh dunia menurun sebesar 14,5% dari 22,1 per 1000
kelahiran pada tahun 1995 menjadi 18,9 per 1000 kelahiran pada tahun 2009. 6
Tingkat kematian janin antara usia kehamilan 20-27 minggu tetap stabil
3,2 per 1.000 kelahiran, sementara tingkat kematian janin di luar usia
kehamilan 28 minggu sedikit menurun dari 4,3 menjadi 3,0 per 1.000 kelahiran
sejak 1990-an. Pada tahun 2001 tingkat kelahiran mati 5.5 per 1000 kelahiran
hidup pada ibu kulit putih dan 12.1 per 1000 pada ibu kulit hitam. Menurut
analisis statistik vital A.S. antara tahun 1995 dan 1998, peningkatan risiko
kelahiran mati pada kulit hitam dibandingkan dengan kelahiran mati pada kulit
putih.1,7

C. Faktor Risiko
Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini melaporkan sejumlah
faktor risiko kematian janin, khususnya IUFD. Peningkatan usia maternal juga
akan meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35 tahun memiliki risiko
40-50% lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada
usia 20-29 tahun. Resiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien
primipara dibanding multipara. Alasan yang mungkin dapat menjelaskan
sebagian risiko terkait usia ini adalah insiden yang lebih tinggi akan terjadinya
kehamilan multiple, diabetes gestasional, hipertensi, preeklampsia dan
malformasi fetal pada wanita yang lebih tua. 8
Merokok selama kehamilan berhubungan dengan sejumlah resiko
kematian janin. Merokok meningkatkan risiko retardasi pertumbuhan
intrauterine dan solusio plasenta. Merokok menjadi faktor kausatif utama
khususnya pada kehamilan prematur.8
Berat badan ibu pada kunjungan antenatal care juga mempengaruhi resiko
IUFD. Hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan IUFD telah dilaporkan
oleh Little dan Cnattingius. Stephansson dkk dalam studi kasus kontrol
terhadap 700 primipara dengan IUFD dan 700 kontrol melaporkan bahwa
primipara yang mengalami kelebihan berat badan (IMT 25-29,9) ternyata
memiliki risiko dua kali lipat akan terjadinya IUFD dibandingkan wanita
dengan IMT ≤ 19,9. Resiko ini akan jauh berlipat pada primipara obesitas
(IMT ≥ 30). Kenaikan berat badan yang terjadi selama kehamilan tampaknya
tidak mempengaruhi risiko IUFD. 8
Faktor sosial seperti status sosioekonomi dan edukasi juga mempengaruhi
resiko terjadinya IUFD. Mereka yang berada dalam status sosioekonomi
rendah ternyata memiliki risiko dua kali lipat menderita IUFD. 8

D. Etiologi
Kematin janin dapat disebabkan oleh faktor maternal (5-10%), fetal (25-
40% ) dan kelainan plasenta (20-30%). Pada 25-35% penyebab kematian janin
tidak diketahui.3
1. Faktor maternal
Meskipun terlihat hanya memberikan sedikit kontribusi pada kematian
janin, faktor maternal sering kurang diperhatikan. Gangguan hipertensi
dan diabetes merupakan dua penyakit maternal yang sering dan
menyebabkan 5-8% kelahiran mati. Wanita dengan berlebihan berat badan
dan obesitas memiliki resiko kelahiran mati yang lebih tinggi. Usia
reproduksi yang ekstrim bahkan bila disesuaikan dengan anomali lain dan
penyakit medis maternal yang berkaitan oleh angka kematian janin yang
lebih tinggi. Antibodi antifosfolipid yang memilki antikoagulan lupus dan
antibodi antikardiolipin menyebabkan vaskulpati desidua, infark plasenta,
perkembangan janin terhambat, abortus berulang dan kematian janin.
Meskipun wanita dengan autoantibodi tersebut dan trombofilia lain jelas
beresiko tinggi mengalami hasil akhir kehamilan yang tidak baik.9
2. Faktor fetal
Beberapa tipe abnormalitas janin menyumbang sekitar 25-40% dari
seluruh kelahiran mati. Sebagian besar kelahiran mati yang ditimbulkan
oleh penyebab fetal kelainan kromosom yang teridentifikasi pada saat
autopsi, sedangkan yang lainnya disebabkan oleh anomali struktural defek
tabung saraf dan hidrops non imun merupakan penyebab tersering. 9
Kelahiran mati yang disebabkan oleh infeksi janin juga sering
ditemukan, terutama ketika diketahui sumber infeksi bakterial asendens
pada cairan amnion dan plasenta. Infeksi bakteri, virus dan protozoa lainya
yang berpotensi letal meliputi gangguan yang disebabkan oleh
cytomegalovirus, parvovirus B19, rubella, varicella, listerosis, borrelosis,
toksoplasmosis. 9
3. Faktor plasenta
Banyak kematian janin akibat abnormalitas plasenta yang juga
dikategorikan sebagai penyebab maternal dan fetal sebagai contoh solusio
plasenta. 9
Solusio plasenta merupakan penyebab kematian janin tunggal yang
paling sering teridentifikasi, sekitar 14% kelahiran mati disebabkan oleh
solusio plasenta. Infeksi membrane dan plasenta yang bermakna biasanya
berkaitan dengan infeksi janin. Kelahiran mati kurang bulan kemungkinan
besar disebabkan infeksi tersebut yang meliputi spesies bakteri aerobik dan
anaerobik serta mikoplasma dan ureaplasma. 9
Perdarahan fetal maternal yang cukup untuk menimbulkan kematian
janin dilaporkan pada 4,7% dari 319 kematian janin di Los Angeles.
Meskipun biasanya spontan, perdarahan tersebut sering terjadi pasca-
trauma maternal yang berat. Sindrom twin-twin transfusion merupakan
penyebab umum kematian janin pada kehamilan multifetal multikorionik 9
Tabel 1. Kategori dan Penyebab Kematian Janin9
Kategori Penyebab kematian
Maternal Penyakit hipertensi, diabetes, obesitas, usia > 35
tahun,penyakit tiroid, penyakit ginjal, antibodi
antifosfolipid, trombofilia, merokok, obat terlarang dan
alkohol, infeksi dan sepsis, persalinan kurang bulan,
persalinan abnormal, ruptur uterin, kelahiran post term

Fetal Anomali kromoson, defek lahir non kromosonal, hidrops


non imun, dan infeksi bakteri, virus dan protoza.

Plasenta Ketuban pecah dini, solusio, perdarahan fetomaternal,


gangguan tali pusat, insufisiensi plasenta, asfiksia
intrapartum, plasenta previa, twin-twin transfusion,
korioamnitis.

Tidak terjelaskan (15-35%)

E. Patomekanisme
1. Maternal
Penyakit hipertensi (hipertensi gestasional, preeklampsia, hipertensi
kronis dan superimposed pre-eklampsia) merupakan komplikasi medis yang
sering dijumpai pada kehamilan dan memicu morbiditas dan mortalitas yang
bermakna. Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling
arteri spiralis” dengan akibat plasenta mengalami iskemik. Plasenta yang
mengalami iskemik dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa elektron atau
atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu
oksidan yang dihasilkan plasenta iskemik adalah radikal hidroksil yang
sangat toksis, khususnya pada membran endotel pembuluh darah, serta
merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak akan merusak membrane sel,
juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Hal ini memberi
pengaruh buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya
perfusi uteroplasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan endotel
pembuluh darah plasenta. Dampak pada janin bisa menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, solusio plsenta,
prematuritas, sindrom distress pernapasan, dan kematian janin intrauterin.4,8
Diabetes melitus tipe 1 dan 2 dapat meningkatkan risiko IUFD. Risiko
IUFD pada wanita diabetes tipe 1 dilaporkan 4-5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi non diabetik sedangkan diabetes tipe 2 dilaporkan
2,5 kali lipat lebih tinggi daripada wanita non diabetik. Diabetes mellitus
selama kehamilan ditandai dengan adanya resistemsi insulin dan
hiperinsulinemia. Resistensi ini berasal dari hormon diabetogenik hasil
sekresi plasenta yang terdiri atas hormon pertumbuhan, corticotrophin
releasing hormone, placental lactogen, dan hormon progesteron. Hormon
ini akan menyebabkan perubahan dan menjamin pasokan bahan bakar dan
nutrisi janin sepanjang waktu. Akan terjadi diabetes mellitus selama
kehamilan akibat fungsi pankreas yang tidak cukup untuk mengatasi
keadaan resistensi insulin yang diakibatkan oleh perubahan hormon
diabetogenik selama kehamilan. Kadar glukosa yang meningkat pada ibu
hamil sering menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap bayi yang
dikandungnya. Bayi yang lahir dari ibu yang diabetes biasanya lebih besar,
dan bisa terjadi pembesaran organ-organ lainya. Ibu hamil dengan diabetes
mellitus yang tidak terkontrol dengan baik akan meningkatkan resiko
terjadinya keguguran atau bayi lahir mati.1,4,8
Infeksi maternal dipertimbangkan berperan penting terhadap kematian
janin. Plasenta dan janin dapat terinfeksi melalui transmisi transplasental
(hematogen). Proporsi kematian janin terkait infeksi dilaporkan berkisar 6-
15 % dari seluruh kasus kematian janin. Infeksi virus kongenital
cytomegalovirus (CMV) juga sering dilaporkan sebagai pemicu kematian
janin. Infeksi maternal primer oleh Toxoplasma gondii juga dapat
ditransmisikan menuju janin dan memicu toksoplasmosis kongenital bahkan
kematian janin. Rubela maternal pada awal kehamilan juga dapat memicu
kematian janin. 8
2. Fetal
Kelainan kromosom meningkatkan risiko terjadinya IUFD. Kuleshov
dkk melaporkan bahwa sekitar 14% IUFD terjadi akibat kelainan kariotipe.
Sejumlah kelainan yang paling sering dijumpai memicu IUFD ialah trisomi
autosom 21, 18 dan 13. Sebagian besar janin dengan malformasi mengalami
IUFD akibat defek jantung kongenital, hipoplasia paru, dan penyakit genetik
lethal seperti sindrom Potter, anensefali dan hernia diafragmatika.8
Hubungan berat badan kelahiran rendah dan kematian perinatal juga
telah ditegaskan. Janin IUFD juga rata-rata memiliki berat badan yang
kurang dibanding janin normal pada tingkat usia gestasional yang sama. Hal
ini disebabkan karena proses restriksi pertumbuhan yang mungkin berbagi
kausa yang sama dengan insufisiensi plasenta. Pertumbuhan janin terhambat
adalah penyebab penting IUFD. PJT diketahui berhubungan dengan
kehamilan multipel, malformasi kongenital, kelainan kromosom fetal dan
preeklampsia. Dalam studi Gardosi dkk, dilaporkan bahwa 41% kasus IUFD
adalah janin yang kecil untuk usia gestasional dan kelompok ini juga sangat
berisiko memicu terjadinya persalinan prematur. Pada kehamilan postterm,
atau usia gestasi lebih dari 41 minggu, resiko IUFD juga semakin
meningkat. 8
3. Plasenta
Sejumlah kelainan plasenta berhubungan dengan IUFD misalnya
inflamasi membran, kompresi tali pusat, lesi akibat insufisiensi vaskular
uteroplasental yang tampak sebagai infark dan arteriopati desidua dan tanda
adanya solusio plasenta. 8
Soluisio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan
desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir. Solusio
plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu
keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat
impantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Dari banyak
kejadian perdarahan berasal dari kematian sel yang disebabkan oleh iskemik
dan hipoksia. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses
yang terdiri atas pembentukan hematoma yang bisa menyebabkan pelepasan
yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya
yang berdekatan. Kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan
oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua yang mempengaruhi
penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal dan plasenta ke
sirkulasi janin. Fungsi plasenta akan terganggu apabila peredaran darah ke
plasenta mengalami penurunan berarti. Sirkulasi darah ke plasenta menurun
manakala ibu mengalami perdarahan banyak dan akut seperti syok. Pada
keadaan sepert ini darah dari arteriola spiralis tidak lagi bisa mengalir ke
dalam ruang intervillus. Hal ini menyebabkan penerimaan oksigen oleh
darah janin yang berada dalam kapiler vili berkurang yang pada akhirnya
menyebabkan hipoksia janin yang bisa berdampak pada kematian janin.4
Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke
janin akibat tertekannya arteri umbilikalis sehingga dapat menyebabkan
iskemik, hipoksia dan kematian janin. Lilitan tali pusat juga pernah
dilaporkan sebagai salah satu penyebab kematian pada janin. 1.8

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk memantau kesejahteraan janin, ditanyakan
aktifitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan dapat dilakukan
pemeriksaan kardiotokografi. Selain itu pentingnya menanyakan riwayat
obstetri, keguguran berulang, anak sebelumnya dengan anomali, kondisi
turun temurun, atau pembatasan pertumbuhan, hipertensi gestasional
sebelumnya atau preeklampsia, diabetes melitus gestasional sebelumnya
(GDM), abrupsi plasenta sebelumnya, kematian janin sebelumnya. Riwayat
kehamilan ibu saat ini seperti usia kehamilan pada kematian janin,
komplikasi kehamilan multifetal, trauma abdomen, infeksi. Riwayat
keluarga aborsi spontan berulang, anomali kongenital atau kariotipe
abnormal, kondisi herediter atau sindrom, keterlambatan perkembangan.
Riwayat medis ibu seperti diabetes mellitus, hipertensi kronis, trombofilia,
penyakit autoimun, epilepsi, anemia berat, penyakit jantung atau merokok,
alkohol, obat-obatan atau penggunaan obat-obatan. 4,10
2. Pemeriksaan Klinis
Pada inspeksi abdomen didapatkan tinggi fundus uteri berkurang atau
lebih rendah dari usia kehamilan. Pada palpasi tonus uterus menurun dan
terasa lunak serta kontraksi Braxton-Hicks tidak mudah dirasakan dan tidak
teraba gerakan janin. Pada auskultasi tidak terdengar denyut jantung janin.2
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonografi
Saat dugaan kematian janin, pemeriksaan ultrasonografi harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk menentukan usia
kehamilan dan memperkirakan ukuran janin. Pada saat konfirmasi
ultrasonografi harus mencakup kemungkinan kelainan janin, biometri
janin dan penilaian volume cairan ketuban. Hal ini memungkinkan
visualisasi langsung jantung janin, dan pandangan dapat dilengkapi
dengan warna Doppler pada jantung dan tali pusar. 10
Gambaran yang diperoleh dari pemeriksaan berupa kurangnya
gerakan janin (termasuk jantung) selama periode pengamatan 10 menit
dengan sonar real-time merupakan bukti kuat kematian janin, secara
bertahap terdapat oligohidramnion dan hancurnya tulang kranial.
Penggunaan ultrasound juga memfasilitasi visualisasi fitur sekunder
lainnya seperti hidrops janin, polihidramnion, anhidramnion, tulang
tengkorak yang tumpang tindih dan edema kulit. 3,1
Gambar 2. Hasil USG menunjukkan tulang tenggkorak janin yang
tumpang tindih [Dikutip dari Kepustakaan 3]

b. Foto Polos Abdomen


Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan. Pada foto polos
didapatkan gambaran berupa Spalding sign gambaran tulang tengkorak
yang saling tumpang tindih dan tidak teratur karena pencairan otak dan
perlunakan struktur ligament. Gambaranan janin ini biasanya muncul
setelah 7 hari setelah kematian janin. Gambaran lain seperti hiperefleksi
tulang belakang (Naujokes’s Sign), hiperekstensi tulang leher (Gerhard’s
Sign), gelembung gas (Robert’s sign) pada bilik jantung dan pembuluh
darah besar yang muncul setelah 12 jam dan femur length yang tidak
sesuai dengan usia kehamilan. 3

Gambar 3. Foto Polos Abdomen menunjukan janin tunggal dengan


gambaran tulang tengkorak yang saling tumpang tindih dan tidak
teratur (Spalding sign) dan hiperefleksi tulang belakang (Naujokes’s
Sign) [Dikutip dari Kepustakaan 3]
c. Laboratorium
Tes laboratorium harus direkomendasikan untuk mengetahui
tentang penyakit ibu atau faktor resiko yang mungkin menyebabkan
IUFD atau kelahiran mati.
1) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu dalam mendeteksi
infeksi sebagai penyebab kematian janin, anemia pada ibu yang
mungkin mengindikasikan kondisi seperti thalassemia, kadar
trombosit rendah, Penanda preeklampsia, penyakit autoimun seperti
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Idiopathic Thrombocytopenia
Purpura (ITP). Jumlah trombosit untuk mengetahui DIC (diulang dua
kali seminggu) 10,11
2) Uji koagulasi maternal
Pemeriksaan darah untuk memeriksa kadar fibrinogen dan waktu
tromboplastin parsial secara berkala. Bila kematian janin lebih dari 3-
4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecenderungan terjadinya
koagulopati. 4
3) Serologi
Serologi untuk Cytomegalovirus, Toxoplasma dan Parvovirus B19
harus dilakukan setelah IUFD. Rubella dan Sifilis juga harus
disertakan jika belum dilakukan selama masa antenatal. Transmisi
toksoplasmosis ibu-janin tergantung pada waktu infeksi ibu, semakin
dini janin memperoleh infeksi, semakin parah konsekuensinya, namun
transmisi ibu-janin lebih mungkin terjadi pada kehamilan lanjut.. 10
4) Pemeriksaan golongan darah dan antibodi
Pemeriksan golongan darah dan antibodi harus dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit hemolitik karena sensitisasi ibu terhadap
antigen sel darah merah, misalnya Rh D dan Kell. 10
5) Fungsi Hati
Kelainan pada fungsi hati juga merupakan penanda hepatitis virus,
sitomegalovirus, dan toxoplasmosis. Fungsi hati yang abnormal juga
telah dikaitkan dengan hati berlemak akut kehamilan dan sindrom
HELLP (Haemolysis, Elevated Liver function, Low Platelet) 10
6) HbA1c
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai intoleransi
karbohidrat dengan tingkat keparahan bervariasi dengan onset atau
pengenalan pertama selama kehamilan. HbA1c memantau glikemia
selama 3 bulan sebelumnya dengan merefleksikan konsentrasi glukosa
rata-rata selama umur sel darah merah dan oleh karena itu dapat
memberikan informasi untuk membantu pertimbangan kontribusi
diabetes terhadap kematian janin. 10
G. Evaluasi Kelahiran Bayi
Penentuan penyebab kematian janin membantu adaptasi fisiologis terhadap
rasa kehilangan yang besar, membantu mengatasi rasa bersalah yang
merupakan bagian dari rasa berkabung, membuat konseling dengan
memperhatikan rekurensi sehingga lebih akurat,dan dapat memastikan terapi
atau intervensi untuk mencegah hasil akhir yang sama pada kehamilan
berikutnya. Identifikasi sindrom yang diturunkan juga member informasi yang
berguna untuk anggota keluarga yang lain.9

1. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan janin, plasenta, dan membran secara cermat harus
dilakukan saat kelahiran dan dicatat pada status. Rincian kejadin prenatal
yang relevan juga disertakan. Fotograf harus diambil untuk
didokumentasikan bila memungkinkan dan gambaran radiografi janin
secara lengkap “fetogram” dapat dilakukan. 9
Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut terjadi perubahan-
perubahan berikut :
a. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam) : kulit kemerahan (setengah
matang)
b. Maserasi grade I (durasi > 8 jam) : timbul lepuh-lepuh pada kulit,
mula-mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah dan mulai
mengelupas.
c. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan
serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan
mewarnai air ketuban menjadi merah coklat.
d. Maserasi grade III (durasi >8 hari) : hepar kuning kecoklatan, efusi
cairan keruh, mungkin terjadi mumifikasi. Badan janin sangat lemas,
hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat edema
dibawah kulit.12,13

Gambar 4. A) Kematian janin < 6 jam tampak kulit hiperemia dan


terdapat peteki pada dada. B) Kematian janin sekitar 8 jam tampak kulit
mengelupas diameter 1 cm. C) Kematian janin 36 jam tampak kulit
mengelupas dan terdapat kompresi tulang tengkorak. D) Kematian janin 3-
4 hari tampak pengelupasan kulit yang luas. E) Kematian janin 1 minggu
tampak pengelupasan kulit, overllaping sutura dan mulut terbuka. F)
Overllaping sutura janin [Dikutip dari kepustakaan 14]
Tabel 2. Protokol Pemeriksaan Kelahiran Mati 9
Deskripsi bayi Malformasi
Pewarnaan pada kulit
Derajat maserasi
Warna (pucat, plektorik)
Korda umbilkius Prolapsus
Lilitan (leher,lengan kaki)
Hematoma atau striktur
Jumlah pembuluh darah
Panjang
Wharton jelly (normal/tidak ada)
Cairan amnionik Warna (mekonium, darah)
Konsistensi
Volume
Plasenta Berat
Pewarnaan (mekonium)
Bekuan yang melekat
Abnormalitas structural (lobus circumvallata
atau lobus accecorius, insersi velamentosa)
Membrane Berwarna (mekonium, berkabut)
Menebal

2. Evaluasi Laboratorium
Jika autopsi dan pemeriksaan kromoson dilakukan, hingga 35 %
kelahiran mati diketahui mengalami anomali struktural mayor. Sekitar 20%
menunjukan gambaran dismorfik atau abnormal skeletal dan 8%
mengalami abnormalitas kromosonal. The American College of
Obstetricians dan Gynecologists (2009) merekomendasikan karyotiping
secara ideal pada semua kelahiran mati. Tanpa anomali morfologis, hingga
5% kelahiran mati memilki abnormalitas kromosonal. 9
Persetujuan yang sesuai harus dilakukan untuk mengambil sampel
jaringan fetus, termasuk cairan yang didapatkan pasca-mortem oleh aspirasi
jarum. Darah janin sebanyak 3 ml yang diambil dari arteri umbilikalis
(pilihan utama) atau punksi kardiak, diletakan dalam tabung steril yng telah
diheparinisasi untuk pemeriksaan sitogenik. Jika darah tidak bisa
didapatkan, The American College of Obstetricians dan Gynecologists
(2009) merekomendasikan setidaknya satu dari beberapa sampel dibawah
ini : 9
a. Blok plasenta sekitar 1x1 cm yang diambil dibawah insersi tali pusat
pada spesimen yang terpisah.
b. Segmen korda umbilikalis sepanjang sekitar 1,5 cm
c. Spesimen jaringan internal janin seperti taut kostokondral atau patella.
Jaringan dicuci dengan salin steril sebelum diberikan larutan Ringer
Laktat atau medium sitogenik yang steril. Peletakan sampel di dalam
formalin atau alkohol dapat membunuh sisa sel yang masih hidup dan
mempersulit analisis sitogenik. 9
3. Autopsi
Autopsi lengkap berkemungkinan lebih besar menyediakan informasi
yang bermakna. 9

H. Penatalaksanaan
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakan, dilakukan pemeriksaan
tanda vital ibu, dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan darah
dan gula darah. Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang
kemungkinan penyebab kematian janin, rencana tindakan, dukungan mental
emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir
pervaginam. Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2
minggu, umunya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif
dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Induksi
persalinan dapat dikombinasi oksitosin dan misoprostol. Hati hati pada induksi
dengan uterus pasca seksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya
rupture uteri. 4,9
Metode terminasi :
1. Infus oksitosin
Cara ini sering dilakukan dan efektif pada kasus-kasus dimana telah
terjadi pematangan serviks. Pemberian dimulai dengan 5-10 unit oksitosin
dalam 500 ml larutan ringer laktat melalui tetesan infus intravena. Pada
kasus yang induksinya gagal, pemberian dilakukan dengan dosis oksitosin
dinaikkan pada hari berikutnya. Infus dimulai dengan 20 unit oksitosin
dalam 500 ml larutan ringer laktat dengan kecepatan 30 tetes per menit.
Bila tidak terjadi kontraksi setelah botol infus pertama, dosis dinaikkan
menjadi 40 unit. Resiko efek antidiuretik pada dosis oksitosin yang tinggi
harus dipikirkan, oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih dari dua botol
pada waktu yang sama. Pemberian larutan ringer laktat dalam volume
yang kecil dapat menurunkan resiko tersebut. Apabila uterus masih
refrakter, langkah yang dapat diulang setelah pemberian prostaglandin per
vaginam. Kemungkinan terdapat kehamilan sekunder harus disingkirkan
bila upaya berulang tetap gagal menginduksi persalinan.3
2. Prostaglandin
Pemberian gel prostaglandin (PGE2) per vaginam di daerah forniks
posterior sangat efektif untuk induksi pada keadaan dimana serviks belum
matang. Pemberian dapat diulang setelah 6-8 jam. Pada kematian janin 24-
28 minggu dapat digunakan misoprostol secara vaginal 50-100
mikrogram setiap 4-6 jam dan induksi oksitosin. Pada kehamilan diatas 28
minggu dosis misoprostol 25 mikrogram pervaginam/6jam. 3,4
Pemberian misoprostol untuk induksi pada persalinan trimester dua
dan tiga IUFD, mulai dari 50 hingga 400 µg setiap 3 sampai 12 jam. Dosis
pemberian misoprostol vagina berdasarkan usia kehamilan yaitu: usia
kehamilan antara 13-17 minggu, 200 µg tiap 6 jam; usia kehamilan antara
18-26 minggu 100 µg tiap 6 jam; dan usia kehamilan lebih dari 27 minggu
25-50 µg tiap 4 jam.7
3. Sectio caesarea
Pada kasus IUFD jarang dilakukan. Operasi ini hanya dilakukan pada
kasus yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC (dua atau lebih) dan
letak lintang. 3
4. Embriotomi
Embriotomi adalah suatu tindakan bantuan persalinan dengan cara
merusak atau memotong bagian-bagian tubuh janin agar dapat lahir
pervaginam, tanpa melukai ibu. Terdapat sejumlah tindakan pembedahan
obstetri yang bertujuan untuk memperkecil ukuran kepala, memperkecil
ukuran bahu atau volume rongga dada pada janin mati dengan tujuan
agar dapat dilahirkan per vaginam. Pada era modern tindakan ini sudah
tidak dilakukan lagi dan digantikan dengan tindakan sectio caesar yang
dianggap lebih aman untuk keselamatan ibu. 15,16
Indikasi:
1. Janin mati dan ibu dalam keadaan bahaya (maternal distress) atau
2. Janin mati dan tak mungkin lahir secara spontan
Syarat:
1. Janin sudah mati, kecuali pada kasus hidrosepalus, hidrops fetalis atau
pada kleidotomi
2. Conjugata vera lebih dari 6 vm
3. Pembukaan servik > 7 cm
4. Ketuban sudah pcah
5. Jalan lahir normal
Jenis Tindakan dalam embriotomi adalah: 16
a. Kraniotomi
Tindakan untuk memperkecil ukuran kepala janin dengan cara
memberi lubang dan mengeluarkan isi tengkorak, sehingga janin dapat
dilahirkan pervaginam. Tindakan kraniotomi biasanya disusul dengan
ekstraksi kepala dengan menggunakan kranioklast sehingga tindakan
ini lazim disebut sebagai tindakan perforasi & kranioklasi . Alat yang
digunakan yaitu :
a) Pisau bedah (scalpel)
b) Perforator SIMPSON

- Peforator memiliki dua daun dengan tepi tajam dan ujung yang
runcing, masing-masing dibatasi dengan “ bahu penahan “
- Tangkai perforator bila daun sedang dalam keadaan tertutup,
akan dalam keadaan terbuka dengan sebuah “penahan”
- “Penahan” tersebut menjaga agar daun perforator selalu dalam
keadaan tertutup
- Dengan menekan gagang secara serempak, daun perforator
akan terpisah satu sama lain ( terbuka )

c) Kranioklast
- Terdiri dari dua daun ( sendok jantan dan betina ) yang
pemasangannya dilakukan secara terpisah.
- Sendok jantan dimasukkan kedalam lubang ditengkorak kepala
janin.
- Sendok betina diletakkan pada daerah muka janin.
- Penguncian dilakukan setelah kedua daun terpasang dengan
benar.
Teknik penggunaan :
i. Ibu dalam posisi lithotomi.
ii. Tangan kiri operator dimasukkan secara obstetrik kedalam
jalan lahir dan diletakkan diantara kepala janin dan bagian
simfisis menghadap ke bawah. Seorang asisten melakukan
fiksasi kepala janin dari sebelah luar disebelah atas simfisis.
(gambar 3)
iii. Dengan pisau bedah, dibuat lubang pada ubun-ubun besar atau
sutura sagitalis.
iv. Perforator Naegele dalam keadaan tertutup dimasukkan jalan
lahir secara horisontal dengan bagian lengkung berada diatas
dan ujung yang runcing mengarah kebawah dibawah
perlindungan telapak tangan kiri ( agar tidak mencederai
dinding vesica urinaria) dan selanjutnya ujung perforator
dalam keadaan tertutup dimaskkan kedalam lubang pada
kepala janin yang sudah dibuat sebelumnya.
v. Memasukkan perforator dapat dilakukan tanpa terlebih dulu
membuat lubang pada ubun-ubun besar atau sutura sagitalis
yaitu dengan cara menembuskan langsung perforator ke kepala
janin ; dalam hal ini, agar ujung perforator tidak meleset maka
arah perforator harus tegak lurus dengan kepala janin
vi. Setelah perforator berada didalam tengkorak kepala janin,
lubang perforasi diperlebar dengan cara membuka dan
menutup perforator dalam arah tegak lurus dan horisontal
sedemikian rupa sehingga lubang perforasi berbentuk irisan
silang ( gambar 4 )
vii. Dengan perlindungan telapak tangan kiri, perforator
dikeluarkan dalam keadaan tertutup dari jalan lahir.
viii. Jaringan otak tak perlu dikeluarkan secara khusus oleh karena
akan keluar dengan sendirinya saat ekstraksi kepala.

Asisten operator menahan posisi kepala agar tidak tertdorong


keatas saat perforator dimasukkan rongga kepala.

Membuka dan menutup perforator untuk melebarkan lubang perforasi

d) Cunam BOER
e) Cunam Mouzeau
Untuk ekstraksi kepala setelah tindakan perforasi hanya boleh
dilakukan dimana kulit kepala masih kuat dan hubungan antara
tulang kepala masih kuat dan kepala janin sudah didasar panggul.16
Teknik penggunaanya yaitu
 Dengan perlindungan spekulum, 2 buah cunam Museux dipasang
satu diatas dan satu dibawah lubang perforasi.
 Setelah cunam menjepit kulit kepala dengan baik, dilakukan traksi
searah sumbu jalan lahir sambil mengikuti gerakan putar paksi
dalam.
 Setelah suboksiput dibawah simfisis, dilakukan elevasi kepala
sehingga secara berurutan lahirlah ubun-ubun besar, dahi, muka
dan dagu.
 Setelah kepala janin lahir, tubuh janin dilahirkan dengan cara
seperti biasa.
Catatan :
 Pada letak sungsang, kraniotomi dikerjakan pada foramen magnum
melalui arah belakang atau dari arah muka dibawah mulut.
 Setelah dikerjakan perforasi, ‘after coming head’ dilahirkan dengan
cara seperti persalinan kepala.
 Bila saat ekstraksi kepala terdapat tulang tengkorak yang terlepas
maka serpihan tulang tersebut diambil dengan cunam BOER agar
tidak melukai jalan lahir saat dilakukan ekstraksi kepala.
Melakukan perforasi pada after coming head dari bagian belakang

Melakukan perforasi pada after coming head dari arah depan


b. Dekapitasi
Adalah suatu tindakan untuk memisahkan kepala dari tubuh janin
dengan cara memotong leher janin. Indikasi pada janin letak lintang.16
Teknik yang dapat dilakukan.16
a) Dengan pengait Braun
 Bila letak janin adalah letak lintang dengan tangan
menumbung, maka lengan yang menumbung diikat dulu
dengan tali (dengan ikatan SIEGEMUNDIN agar tidak masuk
kembali kejalan lahir) dan ditarik kearah bokong oleh asisten.
 Tangan operator yangdekat dengan leher janin dimasukkan
kedalam jalan lahir dan langsung mencekap leher janin dengan
ibu jari didepan leher dan jari-jari lain dibelakang leher.
 Tangan lain memasukkan pengait BRAUN kedalam jalan lahir
dengan ujung menghadap kebawah. Pengait dimasukkan jalan
lahir dengan cara menyelusuri tangan dan ibu jari operator
yang berada didalam jalan lahir sampai menemui leher dan
kemudian dikaitkan pada leher janin

Dengan pengait ini, leher janin ditarik kebawah sekuat mungkin


dan kemudian diputar kearah kepala janin (pada saat yang sama,
asisten memfiksasi kepala anak dari dinding abdomen) untuk
mematahkan tulang leher janin.

Gambar( kiri ) Memasukkan pengait kedalam jalan lahir


Gambar( kanan ) Memasang pengait pada leher janin

Jaringan lunak leher kemudian dipotong dengan gunting SIEBOLD


secara avue sedikit demi sedikit sampai putus. Setelah kepala anak
terpisah, tubuh dilahirkan dengan menarik lengan janin dan
kemudian kepala dilahirkan secara Mouriceau.
b) Dengan gunting siebold

 Tangan penolong yang dekat dengan kepala janin dimasukkan


kedalam jalan lahir.
 Dipasang spekulum vagina.
 Dengan dilindungi oleh telapak tangan yang didalam jalan lahir,
leher janin dipotong sedikit demi sedikit dengan gunting
SIEBOLD secara avue mulai dari kulit, otot dan tulang leher.
 Setelah kepala anak terpisah, tubuh dilahirkan dengan menarik
lengan janin dan kemudian kepala dilahirkan secara Mouriceau.
c) Dengan gergaji gigli
 Gergaji kawat GIGLI dilingkarkan di leher janin.
 Dengan perlindungan dua buah spekulum vagina atas dan
bawah, gergaji dinaik turunkan sampai leher janin putus.
 Badan dan kepala anak dlahirkan dengan yang sudah dijelaskan
diatas

1) Gergaji kawat GIGLI. 2) Pemasangan dan pemotongan


leher dengan kawat
c. Kleidotomi
Adalah Tindakan memotong atau mematahkan 1 atau dua buah
klavikula untuk memperkecil diameter lingkar bahu. Indikasinya pada
distosia bahu.
Instrumen yang digunakan : Gunting Dubois atau Gunting
SIEBOLD.16
Teknik yang digunakan :
 Pasien berada pada posisi lithotomi
 Satu tangan operator masuk jalan lahir dan langsung memegang
klavikula bawah
 Dengan spekulum yang terpasang di vagina, tangan lain melakukan
pemotongan klavikula bersamaan dengan tindakan ini, assisten
melakukan fiksasi kepala dari arah luar
 Bila dengan satu klavikula yang terpotong, bahu masih masih
belum dapat dilahirkan maka dapat dilakukan pemotongan
klavikula kontraleteral

d. Eviserasi dan Eksenterasi


Adalah Tindakan merusak dinding abdomen atau thorax untuk
mengeluarkan organ viseral. Indikasi yaitu pada letak lintang. 16
e. Spondilotomi
Adalah Tindakan memotong ruas tulang belakang. Indikasi Letak
lintang dorso inferior. 16
f. Pungsi
Adalah Tindakan untuk mengeluarkan cairan dari kepala janin.
Indikasi pada janin dengan Hidrocephalus 16
I. Komplikasi
Kecemasan psikologis sering menjadi masalah, kematian janin secara
psikologis sangat traumatik untuk wanita dan keluarganya. Stress yang lebih
lanjut terjadi pada interval lebih dari 24 jam antara diagnosis kematian janin
dan induksi persalinan, tidak bisa melihat bayinya seperti yang diinginkan dan
tidak memiliki sesuatu untuk dikenang. Wanita yang mengalami kelahiran mati
atau bahkan keguguran dini beresiko lebih tinggi mengalami depresi pasca
partum dan sebaiknya dilakukan pemantauan secara cermat.3,9
Infeksi terjadi terutama pada saat selaput ketuban pecah, infeksi ini
memmbentuk gas biasa disebabkan oleh organisme seperti Cl. Welchii.3
Kelainan koagulasi darah jarang terjadi. Namun jika janin dipertahankan lebih
dari 4 minggu (10-20%), ada kemungkinan defibrinasi dari 'silent'
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Hal ini karena terjadi secara
bertahap penyerapan tromboplastin, terbebas dari plasenta mati dan desidua, ke
dalam sirkulasi ibu. 3
Selama persalinan bisa terjadi inersia uteri sehingga plasenta tertahan dan
menimbulkan perdarahan pascapersalinan.3

J. Pencegahan
Upaya pencegahan kematian janin, khususnya yang sudah atau
mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak
bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi. Kehamilan setelah kelahiran mati sebelumnya yang disebabkan
oleh solusio plasenta dan persalinan kurang bulan memilki kemungkinan
besar untuk berulang sedangkan yang disebabkan oleh infeksi dan kehamilan
multifetal lebih jarang terjadi. 3,9
Beberapa faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti kontrol hipertensi,
dan diabetes telah dilakukan. Hampir seluruh kematian janin berhubungan
dengan perkembangan janin terhambat, penilaian anatomis dengan
ultrasonografi fetal dilakukan pada pertengahan kehamilan dan diikuti oleh
pemeriksaan perkembangan serial yang dimulai pada 28 minggu. 9
Risiko kekambuhan kelahiran mati masih bervariasi antara 0-8%. Risiko
kekambuhannya meliputi kelainan keturunan, diabetes, hipertensi, trombofilia,
solusio plasenta dan malformasi kongenital janin. Sementara IUFD tidak
dapat dicegah secara total, panduan berikut mungkin bisa membantu untuk
mengurangi kekambuhannya: 3
1. Konseling dan perawatan pra-konseptional sangat penting untuk mencegah
terjadinya kelompok risiko tinggi.
2. Diagnosis pralahir atau amniosentesis pada kasus tertentu.
3. Untuk menyaring "ibu yang berisiko" selama perawatan antenatal.

Anda mungkin juga menyukai