Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Wanita yang hamil pada usia kurang dari 20 tahun rentan mengalami
abortus. Hal itu disebabkan karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil
sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan
janin. Sedangkan abortus yang terjadi pada usia lebih dari 35 tahun disebabkan
karena berkurangnya fungsi alat reproduksi, kelainan kromosom, dan penyakit
kronis.1
Pada awal kehamilan sebelum 3 bulan, seorang ibu rentan mengalami
abortus.Keadaan ini disebabkan karena pada masa tersebut rentan terjadi kelainan
pertumbuhan janin atau malformasi. Risiko terjadinya abortus meningkat seiring
bertambahnya paritas ibu. Ibu hamil yang pernah mengalami riwayat abortus
sebelumnya juga perlu mewaspadai kemungkinan kembali terjadiya abortus.1
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.2
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus
banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus
spontan dan tidak jelas umur kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau
tanda sehingga biasanya ibu tidak melapor atau berobat. Sementara itu, dari
kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan abortus spontan atau kehamilan
ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan mengalami 2
keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3 atau lebih
keguguran yang berurutan.2
Secara umum penyebab abortus dapat dibagi menjadi faktor fetus dan
faktor maternal. Faktor fetus seperti kelainan kromosom menjadi penyebab sekitar
50% kejadian abortus spontan, paling sering ialah autosomal trisomi. Faktor
maternal yang turut berperan, sepertiusia ibu, kelainan anatomis, faktor
imunologis, infeksi, penyakit kronis, kelainan endokrin, nutrisi, penggunaan obat-
obatan, dan pengaruh lingkungan.2

1
Abortus sepsis adalah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada
peredaran darah tubuh atau peritoneum (septicemia atau peritonitis). Kejadian ini
merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi
apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. Abortus
sepsis perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi
infeksi yang lebih luas karena dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat jatuh
dalam keadaan syok septik. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Abortus


Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan.Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Abortus septik adalah abortus
yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum
(septicemia atau peritonitis)2.
Abortus septik didapatkan dari sebuah prosedur terminasi kehamilan yang
tidak diinginkan dan dilakukan oleh seseorang yang kurang kompeten atau
dilakukan dalam lingkungan yang tidak memenuhi standar pengobatan atau
keduanya (definisi WHO).3
Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada
abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium,
tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh,
terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh
syok.4
2.2. Epidemiologi
Mayoritas di seluruh dunia, abortus sepsis dikarenakan oleh aborsi yang
tidak aman. Pada negara berkembang terdapat sekitar 5 juta/tahun wanita yang
dibawa ke rumah sakit akibat komplikasi dari aborsi yang tidak aman. Pada
wanita dengan komplikasi berat aborsi, infeksi hebat dari aborsi septik adalah
kedua terbanyak setelah trauma servix atau perdarahan uterus.5
Dalam negara berkembang, sepsis adalah komplikasi umum yang terjadi
baik pada aborsi secara illegal ataupun spontan. Sebuah literatur meneliti 35
wanita yang dibawa ke rumah sakit primer dan sekunder dalam suatu negara
berkembang, presentase keseluruhan infeksi berat berkisar 3-15% dengan rata-
rata 5%. Presentase wanita dengan komplikasi berat dari aborsi yang dibawa ke
fasilitas kesehatan tersier, mempunyai presentase sepsis mencapai 31-54%. 5

3
2.3. Etiologi
Penyebab abortus bervariasi. Penyebab terbanyak di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Faktor genetik
Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkomplit
disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian
abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik.
Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester
pertama berupa trisomi autosom.7
2. Kelainan kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600
perempuan dengan riwayat abortus, dimana ditemukan anomali uterus
pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan
anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus
bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%).6
3. Infeksi
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran
infeksi terhadap risiko abortus, diantaraya sebagai berikut.6
a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin
yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup.
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin.
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia
bawah yang bias mengganggu proses implantasi.
4. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus,
misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau.

4
Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain
nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga
menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga
menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu
neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi
fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus.6
2.4. Pathogenesis
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan
fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi korialis cenderung dikeluarkan
secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam
cavum uteri atau di kanalis servikalis.Perdarahan pervaginam terjadi saat
proses pengeluaran hasil konsepsi.7
Abortus septik adalah infeksi pada plasenta dan fetus. Infeksi terfokus
pada plasenta dan berisiko menyebar ke uterus, menyebabkan infeksi pelvis
atau berkembang menjadi infeksi sistemik yang menyebabkan septisemia dan
kerusakan pada organ-organ vital. Abortus sepsis dapat dengan cepat menjadi
berbahaya dan infeksi letal ketika jaringan terinfeksi masih terdapat dalam
uterus, terutama ketika terdapat bakteri yang memproduksi toksin yang telah
mendiami uterus.5
Sepsis dimulai dengan invasi bakteri vagina ke dalam rahim yang biasanya
didahului dengan instrumentasi uterus atau perdarahan uterus yang lama.
Begitu berada di dalam rahim, bakteri mendapatkan akses ke ruang
intervillous maternal plasenta untuk memulai aborsi septik. Dari ruang
intervillous, bakteremia maternal terjadi pada lebih dari 60% aborsi septik,
sehingga dapat menjelaskan mengapa bunyi jantung janin dapat tetap ada
meskipun terdapat bakteremia yang mengancam jiwa pada ibu. Racun yang

5
diproduksi oleh spesies Clostridium dan streptokokus grup A dan respons
imun yang berlebihan terhadap infeksi dapat menyebabkan penyakit sistemik
dan kegagalan multiorgan.5
Jika jaringan plasenta yang terinfeksi tetap ada untuk waktu yang lama,
bakteri dapat menginvasi ke dalam desidua endometrium dan miometrium.
Waktu invasi bakteri berkisar 6-12 jam ketika terdapat bakteri yang sangat
infeksius atau terdapat trauma yang signifikan. Infeksi yang telah sampai ke
uterus tidak mudah diobati hanya dengan pengeluaran plasenta. Infeksi
semacam itu membutuhkan antibiotik dosis tinggi. Infeksi dari bakteri
penghasil toksin seperti spesies Clostridium atau streptokokus grup A sangat
berbahaya dan berpotensi mematikan ketika terjadi invasi pada uterus.
Nekrosis jaringan yang disebabkan toxin pada plasenta dan uterus dapat
mengurangi efektivitas terapi antibiotik. Ketika infeksi hebat terjadi, daerah
penghasil toksin perlu dihilangkan, dengan dilakukan setidaknya kuretase
untuk mengeluarkan plasenta dan histerektomi jika produksi toksin muncul
dari uterus.5
Aborsi septik dapat menyebabkan kematian janin juga kematian janin
tidak dapat dihindari ketika terjadi aborsi septik, sehingga kuretase harus
segera dilakukan tanpa menunggu tidak adanya aktivitas jantung janin.5

6
Gambar 1. Proses terjadinya abortus

2.5. Klasifikasi
Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut6:
A. Abortus Spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis
dan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
 Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman
terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri
masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.

7
 Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam
ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah
membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteridan
dalam proses pengeluaran.
 Abortus Inkomplit adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar
dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
 Abortus Komplit adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram.
 Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau
fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20
minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam
kandungan.
 Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih berturut-turut.
 Abortus Infeksious (Abortus septic) Abortus infeksiosa adalah
abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan abortus
septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman
atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi
dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi
biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering
ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis.

8
Gambar 2. Klasifikasi abortus spontan
B. Abortus Provokatus
Abortus buatan adalah tindakan abortus yang sengaja dilakukan untuk
menghilangkan kehamilan sebelum umur 28 minggu atau berat janin 500
gram. Abortus ini terbagi lagi menjadi:
 Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Pengakhiran kehamilan sebelum saatnya janin mampu hidup
dengan maksud melindungi kesehatan ibu. Indikasi untuk
melakukan abortus therapeutic adalah apabila kelangsungan
kehamilan dapat membahayakan nyawa wanita tersebut seperti
pada penyakit vascular hipertensif tahap lanjut dan invasive
karsinoma pada serviks. Selain itu, abortus therapeutic juga boleh
dilakukan pada kehamilan akibat perkosaan atau akibat hubungan
saudara (incest) dan sebagai pencegahan untuk kelahiran fetus
dengan deformitas fisik yang berat atau retardasi mental.4
 Abortus provocatus criminalis
Pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau
oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum atau
dilakukan oleh yang tidak berwenang. Kemungkinan adanya
abortus provocatus criminalis harus dipertimbangkan bila
ditemukan abortus febriles.7

9
 Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana
tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur
standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan
jiwa pasien.4
2.6. Manifestasi klinis
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran
kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum.Hal ini
sering ditemukan pada abortus inkomplit atau abortus buatan, terutama yang
kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Antara
bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik, seperti Escherichia coli,
Enterobacter aerogenes, Proteus vulgaris, Hemolytic streptococci, dan
Staphylococci.6
Gambaran klinis aborsi septik bervariasi, sebagian tidak terlalu jelas
dikarenakan infeksi plasenta terlokalisasi dalam uterus sehingga hal tersebut
dapat menutupi keparahan infeksi. Sebagian besar wanita dengan aborsi septik
memiliki riwayat demam dan perdarahan pervaginam. Banyak wanita juga
mengeluhkan menggigil dan nyeri abdomen. Temperatur yang sangat tinggi
mengindikasikan penyakit yang parah, meskipun penyakit yang parah dapat
disertai dengan demam ringan.5
2.7. Penegakkan diagnosis
Diagnosis abortus infeksiosa ditegakkan berdasarkan :2
1. Anamnesis
a. Adanya amenore pada masa reproduksi.
b. Perdarahan pervaginam disertai jaringan hasil konsepsi dan biasanya
berbau busuk.
c. Rasa sakit atau keram perut di daerah atas simpisis.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Abdomen biasanya lembek dan tidak nyeri tekan.
b. Pada pemeriksaan pelvis, sisa hasil konsepsi ditemukan di dalam
uterus, dapat juga menonjol keluar, atau didapatkan di liang vagina.

10
c. Serviks terlihat dilatasi dan tidak menonjol.
d. Pada pemeriksaan bimanual didapatkan uterus membesar dan lunak.
3. Pemeriksaan Penunjang
Kultur darah dan serviks perlu dilakukan untuk mengetahui bakteri
penghasil toksin. Isolasi dari bakteri vagina biasanya terdapat pada
infeksi ringan-sedang. Isolasi dari bakteri penghasil toksin (khusunya
spesies Clostridium dan grup A streptococcus) dapat menjadi tanda bagi
tenaga medis bahwa telah terjadi infeksi hebat dan infeksi tersebut dapat
mematikan.5
White blood cell (WBC) >20.000 menandakan infeksi berat, dan
reaksi leukomoid (WBC >50.000) bisa terjadi pada infeksi yang disertai
produksi toksin. Infeksi yang berat menjadi indikasi untuk pemeriksaan
asam laktat, kreatinin, dan pemeriksaan untuk mendiagnosis diseminasi
koagulasi intravaskular dan hemolisis.5
Ultrasonografi (USG) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya
sisa jaringan janin. Abortus komplit tanpa adanya jaringan sisa ditandai
dengan gambaran endometrial stripe < 8 mm. pemeriksaan tekanan darah
serial, saturasi oksigen, dan volume urin sangat penting untuk monitor
resusitasi cairan. Pemeriksaan Central Venous Pressure (CVP) pada
infeksi berat abortus sepsis didapatkan rendah. CVP yang rendah dapat
menjadi tanda kehilangan darah yang signifikan juga penurunan
resistensi sistemik menurun oleh sepsis 5
2.8. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan
tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil
kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor
yang keluar pervaginam (gambar 3). Untuk tahap pertama dapat diberikan
Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4 x 1 gram ditambah Gentamisin 2 x
80 mg dan Metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotic disesuaikan
dengan hasil kultur.2

11
Pemilihan antibiotik dibutuhkan untuk dapat efektif pada sebagian besar
bakteri aerob dan anaerob. Bakteri yang menyebabkan abortus sepsis sensitif
dengan pemberian antibiotik. Namun begitu, pengobatan untuk bakteri
anaerobik juga diperlukan. Infeksi spesies Clostridium tridium dan
Streptokokus grup A sangat sensitif terhadap penisilin. Sampai saat ini,
regimen antibiotik yang masih untuk infeksi serius pelvis adalah kombinasi:
gentamisin dan klindamisin; ampisilin, gentamisin, dan metronidazole;
levofloxacin dan metronidazole; atau imipenem; piperacillin–tazobactam; atau
ticarcillin–clavulanate. Antibiotik intravena dapat dihentikan setelah 48 jam
setelah tejadi perbaikan klnis dalam kasus tanpa adanya abses. Perlu diingat
bahwa pemberian antibiotik adalah pilihan sekunder setelah pengeluaran dari
plasenta terinfeksi.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik
minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat
tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika.2. Pengeluaran dari jaringan
terinfeksi tidak hanya mengeliminasi infeksi bakteri dalam plasenta, namun
dapat membatasi penyebaran infeksi bakteri ke uterus dan sirkulasi sitemik.
Pemberian antibiotic sebelum melakukan kuretase direkomendasikan untuk
mencegah syok sepsis yang dapat terjadi selama kuretase.5
Indikasi dari histrektomi adalah memburuknya respon klinis setelah
dilakukan kuretase, peritonitis yang meluas, dan abses pelvis.

2.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan abortus adalah sebagai berikut :7

12
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa
hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian
karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan
pada waktunya.
b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus
dalam posisi hiperretrofleksi. Dengan adanya dugaan atau kepastian
terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk
menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan
alat-alat lain.
c. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan dan karena
infeksi berat.
d. Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri
yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna,
yaitu Staphylococci, Streptococci, Gram negatif enteric bacilli,
Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur,
Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada Lactobacili,
Streptococci, Staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium
sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur.
Abortus sepsis merupakan suatu komplikasi dari abortus yang tidak aman.
Dalam sebuah literatur, abortus sepsis dapat berkembang menjadi beragam
komplikasi dan komplikasi yang paling sering terjadi adalah perdarahan
(45,9%) peritonitis (27,87%), perforasi uterus (15.57%).8

13
2.10. Prognosis
Abortus sepsis yang dikomplikasikan dengan demam, endometritis dan
parametritis menjadi satu dari sekian banyak ancaman serius pada
kesehatan wanita di dunia. 3
Angka kematian pada pasien syok sepsis dari abortus sepsis mencapai >
50%, meskipun terdapat beberapa pasien yang bisa menunda operasi
dengan pemberian obat untuk menghindari hiterektomi, penundaan
tersebut berisiko kemungkinan terjadinya syok sepsis, gagal organ, dan
kematian5

14
BAB III

KESIMPULAN

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin


dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

Abortus sepsis adalah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada


peredaran darah tubuh atau peritoneum (septicemia atau peritonitis). Gejala klinis
dari pasien abortus sepsis yang paling sering adalah nyeri abdomen (85%),
komplikasi yang paling banyak adalah peritonitis

Diagnosis dari abortus sepsis perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan


USG, CT-Scan, dan MRI. Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan
keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat
sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan
cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam dalam kasus ini, operasi dengan
histerektomi dapat menyelamatkan jiwa.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrawinata, S., Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Jakarta:


EGC; 2004. P.10-19
2. Prawirohardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2014, Ed 4, hal 460-473
3. Nalini Neelam. Septic Abortion: An Avoidable Tragic Complication.
Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences. 2015; Vol. 4, Issue
25, March 26; Page: 4324-4330
4. Tiwi (2018). Abortus pada kehamilan. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
5. Eschenbach David A. Treating Spontaneous and Induced Septic
Abortions. The American College of Obstetricians and Gynecologists.
2015. Vol. 125, No. 5.
6. Gunnanegara, R., Pangemanan, D., Valasta G.(2014). Hubungan Abortus
Inkomplit dengan Faktor Risiko Ibu Hamil Di Rumah Sakit Pindad
Bandung Periode 2013-2014, Bagian Obstetri Ginekologi, Rumah Sakit
Pendidikan Immanuel Bandung, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Maranatha
7. Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Obstetri Williams. Vol.2. 21th ed. Jakarta. EGC; 2006. P.226-246
8. Vinita Das, Anjoo Agarwal, Amita Mishra, Preetam Deshpande. The
Journal of Obstetrics and Gynecology of India. 2006. a Vol. 56, No. 3. Pg
236-239.

16

Anda mungkin juga menyukai