Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Wajah adalah ikon seseorang. Lewat wajah, karakter seseorang dapat


dikenali, sebab wajah mengandung banyak arti. Karena wajah disusun dari
beragam tulang belulang. Tulang-tulang wajah terdiri dari mandibula, maksila,
zigoma, nasal dan otot-ototnya. Apabila suatu kejadian kecelakaan menyebabkan
suatu jejas di daerah wajah yang menyebabkan patah tulang wajah (fraktur
maxilofacial), maka dapat dipastikan bentuk wajah akan berubah menjadi kurang
proporsional.1

Trauma maksilofasial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penyebab


trauma maksilofasial bervariasi, seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik,
terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah
penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan
kecacatan. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah
karena harus dirawat di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai
ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh
trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. 1,2

Trauma maksilofasial mencakup cedera pada jaringan lunak dan tulang-


tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain
tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila,
tulang mandibula. Tidak mengejutkan bahwa pada pasien dengan trauma
maksilofasial sering menyebabkan terjadinya lesi intrakranial akut karena
dekatnya struktur anatomi maksilofasial dengan tengkorak. Sekitar 20% pasien
dengan trauma maksilofasial memiliki lesi intrakranial akut yang berhubungan.
Sedangkan sebanyak 84,6 % pasien trauma maksilofasial tidak memiliki
hubungan dengan terjadinya cedera kepala dan lesi intrakranial akut.1,2

Koreksi pembedahan pada trauma maksilofasial, kadang-kadang masih


dapat ditunda sampai 4 - 6 hari, kecuali disertai komplikasi perdarahan hebat atau

1
obstruksi jalan napas. Akan tetapi, di beberapa klinik sudah mulai dilakukan
tindakan secepat-cepatnya agar tidak terjadi perubahan kontur muka, dan
mengurangi kemungkinan timbulnya jaringan parut yang berlebihan.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5
tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk
wajah manusia.5

2
Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari


tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan
rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian:4,5

1. Bagian hidung terdiri atas:


Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal
hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang
hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya
di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat
rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak. 4,5
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang
terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit,
terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang

3
rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang
kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula
terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.4,5
B. Definsi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai
jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak
wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. 4,6
Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah
yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula,
tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.4,
C. Epidemiologi
Di Inggris kecelakaan lalu lintas dan alkohol merupakan penyebab
terbanyak terjadinya kasus trauma maksilofasial. Laki-laki dewasa muda
dengan rentang usia 18 sampai 25 tahun, merupakan kelompok paling sering
terkena trauma. Penelitian disana menunjukkan bahwa, komsumsi alcohol
dikaitkan dengan 90% trauma wajah yang terjadi di bar, 45% kecelakaan lalu
lintas, dan 25% trauma wajah di rumah. Hampir 25% dari semua cedera
wajah di semua kelompok umur, mengkomsusmsi alcohol 4 jam sebelum
trauma terjadi.6,7

D. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang
dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa. 6,8
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah
karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat
mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72
% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan
lalu lintas (automobile).6,8

4
E. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.4,
1. Trauma Jaringan Lunak Wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh
karena trauma dari luar.4
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a) Berdasarkan jenis luka dan penyebab
1) Ekskoriasi
2) Luka sayat, luka robek , luka bacok.
3) Luka bakar
4) Luka tembak
b) Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
c) Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis
Langer.
d) Berdasarkan Derajat Kontaminasi
1) Luka Bersih.
a. Luka sayat elektif.
b. Steril potensial terinfeksi.
c. Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,
traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.
2) Luka Bersih Tercemar.
a. Luka sayat elektif.
b. Potensial terinfeksi: Spillage minimal, Flora normal.
c. Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus
elementarius, dan traktur digestifus.
d. Proses penyembuhan lebih lama.
3) Luka Tercemar.

5
a. Potensi terinfeksi Spillage traktus elementarius.
b. Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan luka penetrasi.
4) Luka Kotor.
a. Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
b. Perforasi viscera, abses dan trauma lama.
e) Klasifikasi Lain.
1) Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
2) Luka Tusukan (puncture).
3) Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara
langsung.
2. Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif.
Secara umum dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras
wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a) Tipe Fraktur. 9,10
1) Fraktur simple
a. Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi.
b. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,
terutama pada anak dan jarang terjadi.
2) Fraktur kompoun
a. Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan
jaringan lunak
b. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
3) Fraktur komunis

6
a. Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi
bagian bagian yang kecil atau remuk.
b. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur
kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
4) Fraktur patologis
a. keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit
penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang
besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.

Gambar 2.Types of fractures: A, simplefracture; B, compound fracture;


C, comminutedfracture; D, impacted fracture in right subcondylararea
and pathologic fracture in the left anglearea; E, direct and indirect
fractures.

b) Perluasan tulang yang terlibat

7
1) Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang
2) Tidak komplit, seperti pada greenstick, hear line, dan kropresi
(lekuk)
c) Konfigurasi (garis fraktur)
1) Tranversal, bias horizontal atau vertical
2) Oblique (miring)
3) Spiral (berputar)
4) Komunisi (remuk)
d) Hubungan antar fragmen
1) Displacement
2) Undisplacement
e) Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :9,10
1) Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)
2) Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III
3) Fraktur segmental mandibula
F. Gejala Klinis
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi),
emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau
diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung yang
disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau
dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan,
diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf sensoris
berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima,
gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan
cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.6
1. Fraktur tulang hidung11
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis
fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior,

8
Tanda-tanda fraktur hidung yang lazim adalah depresi atau
pergeseran tulang hidung, edema hidung, dan epistaksis. Arah gaya
cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari depan
akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang
kemudian dapat menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara
keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat menekan hanya salah satu
tulang hidung namun dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat
berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan perpindahan septum
yang parah. Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas dapat
menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan
berbentuk segiempat.9
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu:

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya


deviasi garis tengah

2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis


tengah

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang


bengkok dengan penopang septal yang utuh

9
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat
atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur
septum berat atau dislokasi septum

5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan


lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya
jaringan

2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma


Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang
temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Gejala
fraktur zigoma antara lain adalah pipi menjadi lebih rata, diplopia,
edema periorbita, perdarahan subkonjungtiva, hipestesia atau anestesia,
emfisema subkutis dan epistaksis karena terjadi pada antrum.
Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat
ini timbulrasa nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang
timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak
dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur

10
arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal
dengan palpasi.9,11

Gambar 9 Fraktur tulang zigoma


3. Fraktur tulang maksila
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan
untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan
tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal
pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur
muka yang baik. Harus diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis
kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan
gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan tindakan
trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna
atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus
segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris
interna atau arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika
kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur
maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang
sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila
mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat
hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan
pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus
diperiksa dan dilakukan fiksasi.5, 6
Klasifikasi fraktur maksila
a) Fraktur maksila Le Fort I

11
Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal
bagian bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke
belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau
bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari
anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila, bagian bawah
lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar
hidung, septum, apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat
fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan
palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya
terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian.9,11

b) Fraktur maksila Le Fort II


Pada fraktur maksila Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui
tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita,
pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila
juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina.
Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel etmoid dapat merusak
sistem lakrimalis.9,11

c) Fraktur maksila Le Fort III

12
Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis
fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut
etmoid melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding
lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-
zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang
disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering
menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran
cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis. 6,9,

Gambar 13. Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III

4. Fraktur Tulang Orbita


Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur
orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.
Fraktur ini memberikan gejala-gejala seperti enoftalmus, exoftalmus,
diplopia, asimetri pada muka dan gangguan saraf sensoris.5, 6,9,11

13
Gambar 14 Fraktur tulang orbita

5. Fraktur Tulang Mandibula


Fraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur
wajah. Penderita mengeluh maloklusi dan nyeri pada pergerakkan
rahang. Selain itu terdapat juga gejala pembengkakan atau pun laserasi
pada kulit yang meliputi mandibula, anesthesia dapat terjadi pada satu
sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris
inferior menjadi rusak serta gangguan jalan napas disebabkan kerusakan
hebat pada mandibula seperti terjadinya perubahan posisi, trismus,
hematoma dan edema jaringan lunak. 6,9

14
Gambar 15 Fraktur tulang mandibula

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Jika keadaan memungkinkan, riwayat cedera seharusnya sudah
didapatkan sebelum pasien tiba di unit gawat darurat. Pengetahuan
tentang mekanisme trauma memungkinkan dokter untuk mencurigai
cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau
penemuan korban dan penanganan awal merupakan informasi yang
sangat berharga yang mempengaruhi tindakan selanjutnya. Pada pasien
yang masih sadar, mungkin ada beberapa informasi tambahan dapat
ditanyakan. 9,11

2. Pemeriksaan fisik
Gejala dan tanda yang dihasilakan oleh trauma maksilofasial dapat
meliputi :11, 12
a) Sumbatan jalan nafas,
b) Rasa sakit atau nyari local,
c) Krepitasi gerakan tulang,
d) Hipestesia atau anesthesia dalam distribusi saraf-sensorik,
e) Kelumpuhan dalam distribusi saraf motorik, mioklusi,
f) Gangguan ketajaman penglihatan,
g) Diplopia (pandangan ganda),
h) Asimetri wajah,
i) Deformitas wajah.
Palpasi semua permukaan tulang berikut secara teratur, dahi
(forehead), rima orbita, hidung, alis, arkus zigoma, dan perbatasan
mandibular harus dievaluasi. Pemeriksaan menyeluruh daerah intra-oral
harus dilakukan untuk mendeteksi laserasi, gigi lepas. Rahang atas dan

15
rahang bawah secara hati-hati dilakukan pemeriksaan visualisasi dan
diraba untuk mendeteksi ketidakteraturan tulang, gigi longgar, laserasi
intraoral, memar, hematoma, pembengkakan, gangguan gerakan atau
membuka mulut (trismus).9,12

Gambar 16 Teknik pemeriksaan palpasi bimanual pada trauma maksilofasial

3. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan
untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak
fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari
sudut dan perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada
mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view, open-
mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya
bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga
digunakan foto oklusal dan periapikal. Computed Tomography (CT) scans
dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan
tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak
pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan
untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CTscan dapat juga digunakan
sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk
fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Water’s view, lateral
skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.7.9
a) Plain Radiographs

16
Plain Radiographsatau foto polos merupakan pencintraan dasar yang
sering dipakai sehari-hari. Dalam beberapa kasus foto polos ini
mungkin perlu dilengkapi dengan modalitas lain seperti tomografi
computer. Permintaan foto polos yang sering dilakukan pada kasus
trauma maksilofasial diantaranya proyeksi Caldwell dan lateral,
proyeksi ocipitomental l0 derajat dan 30 derajat, proyeksi
mandibular anterior dan panoramic tomography.9

Gambar 17. Plan radiograph pada trauma maksilofasial

17
Gambar 18. Tampak fraktur tulang nasal(Dikutip dari kepustakaan 3)

b) Tomografi Komputer dan 3 Dimensi


Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan pilihan
pada kasus trauma maksirofasial. Pemeriksaan dilakukan dnegan
melihat potongan koronal dan aksial serta melihat gambaran tiga
dimensi tulang-tulangar wajah dan kepala7

18
Gambar 19. Blow out fracture pada mata kiri

Gambar 20. Tomografi Komputer 3-D pada pasien fraktur mandibular

Gambar 21. 3D Volume rendered image showing fracture of


maxilla, mandible, inferior wall of right orbit and infero-medial wall
of left orbit

H. Penatalaksanaan
Waktu adalah penting dalam pengelolaan trauma maksilofasial yang
optimal. Tulang dan jaringan lunak harus dikelola segera setelah keadaan
umum pasien memungkinkan untuk dilakukan tindakan. Penanganan segera
dan tepat sangat signifikan menurunkan cacat wajah yang permanen dan
gangguan fungsional yang serius.1,7

19
Keputusan untuk melakukan rekonstruksi pada trauma maksilofasial
seperti fraktur tulang-tulang wajah, harus dilakukan pada 7 sampai l4 hari
pasca trauma. walaupun ada sebagian literatur mengatakan sampai hari ke-
21 masih dapat dilakukan tindakan. Rentang waktu ini perlu diperhatikan,
karena jika telah melebihi waklu tersebut, dikhawatirkan rekonstruksi tidak
maksimal dilakukan karena sudah terbentuk kalus yang banyak.1,7
Penatalkasanaan awal pada pasien trauma maksilofasial adalah untuk
mengidentifikasi dan menangani masalah yang mengancam kehidupan
dengan tujuan :
1. Mengidentifikasi dan menangani cedera yang mengancam jiwa.
2. Meresusitasi pasien dan menstabilkan tanda-tanda vital.
3. Mengidentifikasi dan menilai cedera-cedera yang lain.
4. Merencanakan perawatan definitif termasuk mempersiapkan pasien
untuk dirujuk kepusat-pusat pengobatan lain.1
Tatalaksana awal
Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tindakan yang
harus dilakukan adalah mempertahankan jalan nafas, mengatasi
perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh.12
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas
perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme
terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan
oleh American College of Surgeon adalah perawatan trauma ABCDE.12
A. Airway maintenance with cervical spine control/protection
 Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
 Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen
fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
 Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas atas.
B. Breathing and adequate ventilation

20
Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior
dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C. Circulation with control of hemorrhage
 Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk
meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
 Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan
perdarahan di kepala.
 Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi
wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
D. Disability: neurologic examination

 Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil


dan reaksi.

 Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara


langsung maupun tidak langsung yang dapat dilihat dari ukuran
pupil, kontur dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan
neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.

 Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan


sensoris (alkohol atau obat) yang tidak berhubungan denga trauma
intrakranial.

E. Exposure/ enviromental control

 Menghilangkan lensa kontak, gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.

 Menjaga suhu tubuh.


Tatalaksana konservatif
Tatalaksana konservatif juga perlu diberikan seperti:12
1. Pemberian oksigen

2. Pemberian cairan kristaloid isotonic

21
3. Tetanus profilaksis (indikasi)

4. Antibiotik

5. Manajemen nyeri
Pemasangan mini-plate and screw
Penggunaan mini-plate ini makin populer dipakai sejak tahun 1970-an.
Penggunaan mini-plate tidak menimbulkan kalus. Mini-plate ini dipasang
dengan mempergunakan skrup (screw), bersifat lebih stabil, tidak
memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama dan
mudah dikerjakan. Kekurangannya adalah sulit didapat dan harganya
mahal.
Manajemen jalan nafas pasien adalah hal yang sangat penting. Fraktur
pada tulang wajah yang parah menyebabkan pasien tidak bisa
mempertahankan jalan nafas terutama pada pasien yang tidak sadar atau
dalam posisi supine. Darah yang keluar di dalam rongga mulut dan
berpotensi menyumbat jalan nafas harus dibersihkan. Protesa dilepas,
serpihan gigi diambil, dan gigi goyang yang dikhawatirkan lepas
sebaiknya dicabut. Kadang kala lidah jatuh ke belakang dan menyebabkan
sumbatan jalan nafas. Menahan mandibula dan memposisikannya lebih ke
anterior mungkin bisa mengurangi sumbatan ini. Bila obstruksi persisten
mungkin perlu dilakukan intubasi endotrakheal, cricotiroidotomi, bahkan
mungkin trakeostomi. Pada kondisi darurat dimana obstruksi jalan nafas
persisten maka perlu dilakukan cricitiroidotomi dan trakeostomi.
Cricotiroidotomi adalah tindakan membuka ligamen cricotiroid di atas
isthmus tiroid. Trakeostomi adalah tindakan insisi di bawah atau melalui
isthmus tiroid
Penatalaksanaan pada trauma maksilofasial meliputi menjaga jalan
nafas, kontrol perdarahan, penutupan luka pada jaringan lunak, dan
menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai dengan
posisinya.Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-
tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan

22
untuk mencapainya. untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi
intraoral. Daerah zigomatikofrontal dicapai melalui insisi upper
blepharoplasty. Insisi koronal untuk daerah frontal, nasoethmoid, orbita
lateral, arkus zigoma.7

Gambar 22. Insisi kulit untuk akses pada open reduction and internal
fixation

I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan napas;
sikatriks; deformitas fasial permanen sekunder akibat tatalaksana yang
tidak tepat; kerusakan saraf yang berakibat hilangnya sensasi, pergerakan
wajah, penghidu, perasa, dan penglihatan; infeksi; malnutrisi akibat
adanya maloklusi sehingga terjadi penurunan berat badan; sampai fraktur
yang mengalami nonunion atau malunion; dan perdarahan.12
J. Prognosis
Pembedahan dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur
maksillofasial menghasilkan kepuasaan dalam tampilan fisik dan

23
pengembalian fungsi sehingga dapat mengembalikan kualitas hidup pasien
menjadi lebih baik.13

K. Post operative care


Contoh kasus pada dilakukan operasi rekonstruksi. Pada fraktur frontal
dan zygoma dilakukan refrakturisasi, rekonstruksi tulang nasal dilakukan
osteotomi. Setelah operasi penderita dirawat di ruangan THT-KL.
Pengobatan yang diberikan yaitu Ampisilin Sulbaktam 3 x 1.5 gram,
ketorolac 3 x30 mg, statrol tetes mata 3 x 2 tetes, diet bubur halus dan
perawatan luka operasi tiap hari dengan salep gentamisin dan ditutup kasa
steril. Selama perawatan di ruangan penderita mengalami perbaikan, 2 hari
pasca operasi trismus menghilang sehingga diet bubur halus dapat diubah
secara bertahap menjadi diet nasi biasa. Luka operasi mengering tidak
tampak tanda infeksi. Pada hari ke lima tampon anterior dilepas, penderita
tidak didapatkan buntu hidung. Hari ketujuh jahitan dibuka dan hari ke
delapan diperbolehkan pulang. Satu minggu setelah keluar rumah sakit
penderita kontrol, kondisi makin membaik tidak didapatkan maloklusi ,
makan minum lancar, bicara tidak sulit, tidak didapatkan tanda infeksi
pada luka bekas operasi, dan tidak didapatkan buntu hidung.3
Post operasi pada fraktur nasal pasien control 2 minggu pasca
operasi pasien sudah tidak mengeluh hidung buntu, tidak keluar darah dari
hidung, dan tidak ada nyeri pada bekas operasi. Deformitas pada dorsum
nasi minimal.14
Perawatan fraktur mandibula dengan reposisi, fiksasi dan
immobilisasi dilajutkan dengan perawatan; pemeliharaan kesehatan umum
meliputi; a. pemberian antibiotika, analgetika, roborantia dan makanan
yang bergizi, b. menyelenggarakan hygiene mulut, c. pemeliharaan alat
fisasi, d. menyelenggarakan fisioterapi.15
Tindak lanjut setelah dilakukan operasi adalah dengan memberikan
analgetika serta memberikan antibiotik spektrum luas pada pasien fraktur
terbuka dan dievaluasi kebutuhan nurisi, pantau intermaxilla fixation

24
selama 4-6 minggu. Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah wire
dibuka, evaluasi dengan foto panoramik untuk memastikan fraktur telah
union15

BAB III
KESIMPULAN

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah.
Trauma maksilofasial ini merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi
terutama di negera berkembang seperti Indonesia. Trauma maksilofasial paling
banyak diakibatkan karena kecelakaan. Luka atau jejas yang terjadi harus cepat
ditangani agarr tidak terjadi komplikasi atau perburukan keadaan sehingga
menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.
Penanganan pertama pada emergensi trauma maksilofasial adalah
membuka atau mempertahankan jalan nafas sampai pertolongan selanjutnya
dilakukan. Selanjutnya penanganan dilakukan secara konservatif. Terakhir baru
dapat dilakukan tindakan bedah rekonstruksi atau plastik untuk merehabilitasi
fungsi-fungsi yang ada sekalian memperbaiki estetika pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Edwin, S. Makalah Seminar Handayani Dentistry : Fraktur Maksila dan


Tulang Wajah sebagai Akibat Trauma Kepala. Kidul : RSGM UMY. 2016.
Hal 2-25
2. Richard R, Nico L, Jan TN. Hubungan Facial Injury Severity Scale dengan
lama rawat inap pasien Trauma Maksilofasial di RSUP Prof. Dr R.D
Kandou Mandado. Ilmu Bedah Universitas Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal Biomedik (JBM). 2017. Hal
535-539
3. Pramesthi E, Yusuf M. Penatalakasanaan Fraktur maksilofasial dengan
Menggunakan Mini Plat. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hal 1-9
4. Frank EL, Gady H. Ilmu THT Esensial Edisi 5. Jakarta : EGC. 2011. Hal
457-475
5. John V. Basmajian, Charles E.Slonecker. Grant Anatomi Klinik. Tangerang
selatan : BINARUPA AKSARA Pubhlisher. 2015. Hal 528-541, 642-644
6. Lynham A, Tucket J, Warnke. P. Maxillofacial Trauma. Australian : CPD.
2012. Hal 172-180
7. Hafuz A. Update Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Maksilofasial. Bagian
Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Padang. 2014. Hal 110-122
8. Tanuhendrata A, dkk. Hubungan antara Fraktur Maksilofasial dengan
terjadinya Lesi Intrakranial. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado. Journal Biomedik (JBM). 2016. Hal
167-171

26
9. Miloro, M. dkk. Paterson’s Principle Of Oral and Maxilofacial Surgery
Second Edition. London : BC Decker Inc. 2004. Hal 328-508
10. Sjamsuhidajat, R. Buku Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 2011. Hal 417-423
11. Malik, A.N. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery Second Edition.
India : Jaypee Brother Medical Publishers. 2008. Hal 315-402
12. Boies R, Adams, Higler P. Trauma Rahang wajah : BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam, Boies R, Adams, G,Higler P. editor .EGC.
1997. Hal 509-521
13. Ahmad K, dkk. Multidetector Coputed Tomographic Evaluation of
Maxilofacial Trauma. Departement of Radiodiagnosis Nepal. Asian
Journal of Medical Sciences. 2014. Hal 39-43
14. Yusmawan W, Serial Kasus Penatalaksanaan Fraktur Os Nasal. Media
Medika Muda, Vol 1 No 3. 2016
15. Christina Mihailova. Classifications of Mandibular Fractures. In Journal of
IMAB-Annual proceeding (scientific papers)

27

Anda mungkin juga menyukai