PENDAHULUAN
1
obstruksi jalan napas. Akan tetapi, di beberapa klinik sudah mulai dilakukan
tindakan secepat-cepatnya agar tidak terjadi perubahan kontur muka, dan
mengurangi kemungkinan timbulnya jaringan parut yang berlebihan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5
tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk
wajah manusia.5
2
Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial
3
rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang
kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula
terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.4,5
B. Definsi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai
jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak
wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. 4,6
Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah
yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula,
tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.4,
C. Epidemiologi
Di Inggris kecelakaan lalu lintas dan alkohol merupakan penyebab
terbanyak terjadinya kasus trauma maksilofasial. Laki-laki dewasa muda
dengan rentang usia 18 sampai 25 tahun, merupakan kelompok paling sering
terkena trauma. Penelitian disana menunjukkan bahwa, komsumsi alcohol
dikaitkan dengan 90% trauma wajah yang terjadi di bar, 45% kecelakaan lalu
lintas, dan 25% trauma wajah di rumah. Hampir 25% dari semua cedera
wajah di semua kelompok umur, mengkomsusmsi alcohol 4 jam sebelum
trauma terjadi.6,7
D. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang
dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa. 6,8
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah
karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat
mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72
% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan
lalu lintas (automobile).6,8
4
E. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.4,
1. Trauma Jaringan Lunak Wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh
karena trauma dari luar.4
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a) Berdasarkan jenis luka dan penyebab
1) Ekskoriasi
2) Luka sayat, luka robek , luka bacok.
3) Luka bakar
4) Luka tembak
b) Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
c) Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis
Langer.
d) Berdasarkan Derajat Kontaminasi
1) Luka Bersih.
a. Luka sayat elektif.
b. Steril potensial terinfeksi.
c. Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,
traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.
2) Luka Bersih Tercemar.
a. Luka sayat elektif.
b. Potensial terinfeksi: Spillage minimal, Flora normal.
c. Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus
elementarius, dan traktur digestifus.
d. Proses penyembuhan lebih lama.
3) Luka Tercemar.
5
a. Potensi terinfeksi Spillage traktus elementarius.
b. Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan luka penetrasi.
4) Luka Kotor.
a. Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
b. Perforasi viscera, abses dan trauma lama.
e) Klasifikasi Lain.
1) Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
2) Luka Tusukan (puncture).
3) Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara
langsung.
2. Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif.
Secara umum dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras
wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a) Tipe Fraktur. 9,10
1) Fraktur simple
a. Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi.
b. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,
terutama pada anak dan jarang terjadi.
2) Fraktur kompoun
a. Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan
jaringan lunak
b. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
3) Fraktur komunis
6
a. Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi
bagian bagian yang kecil atau remuk.
b. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur
kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
4) Fraktur patologis
a. keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit
penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang
besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
7
1) Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang
2) Tidak komplit, seperti pada greenstick, hear line, dan kropresi
(lekuk)
c) Konfigurasi (garis fraktur)
1) Tranversal, bias horizontal atau vertical
2) Oblique (miring)
3) Spiral (berputar)
4) Komunisi (remuk)
d) Hubungan antar fragmen
1) Displacement
2) Undisplacement
e) Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :9,10
1) Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)
2) Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III
3) Fraktur segmental mandibula
F. Gejala Klinis
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi),
emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau
diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung yang
disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau
dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan,
diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf sensoris
berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima,
gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan
cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.6
1. Fraktur tulang hidung11
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis
fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior,
8
Tanda-tanda fraktur hidung yang lazim adalah depresi atau
pergeseran tulang hidung, edema hidung, dan epistaksis. Arah gaya
cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari depan
akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang
kemudian dapat menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara
keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat menekan hanya salah satu
tulang hidung namun dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat
berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan perpindahan septum
yang parah. Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas dapat
menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan
berbentuk segiempat.9
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu:
9
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat
atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur
septum berat atau dislokasi septum
10
arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal
dengan palpasi.9,11
11
Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal
bagian bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke
belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau
bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari
anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila, bagian bawah
lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar
hidung, septum, apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat
fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan
palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya
terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian.9,11
12
Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis
fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut
etmoid melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding
lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-
zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang
disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering
menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran
cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis. 6,9,
13
Gambar 14 Fraktur tulang orbita
14
Gambar 15 Fraktur tulang mandibula
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Jika keadaan memungkinkan, riwayat cedera seharusnya sudah
didapatkan sebelum pasien tiba di unit gawat darurat. Pengetahuan
tentang mekanisme trauma memungkinkan dokter untuk mencurigai
cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau
penemuan korban dan penanganan awal merupakan informasi yang
sangat berharga yang mempengaruhi tindakan selanjutnya. Pada pasien
yang masih sadar, mungkin ada beberapa informasi tambahan dapat
ditanyakan. 9,11
2. Pemeriksaan fisik
Gejala dan tanda yang dihasilakan oleh trauma maksilofasial dapat
meliputi :11, 12
a) Sumbatan jalan nafas,
b) Rasa sakit atau nyari local,
c) Krepitasi gerakan tulang,
d) Hipestesia atau anesthesia dalam distribusi saraf-sensorik,
e) Kelumpuhan dalam distribusi saraf motorik, mioklusi,
f) Gangguan ketajaman penglihatan,
g) Diplopia (pandangan ganda),
h) Asimetri wajah,
i) Deformitas wajah.
Palpasi semua permukaan tulang berikut secara teratur, dahi
(forehead), rima orbita, hidung, alis, arkus zigoma, dan perbatasan
mandibular harus dievaluasi. Pemeriksaan menyeluruh daerah intra-oral
harus dilakukan untuk mendeteksi laserasi, gigi lepas. Rahang atas dan
15
rahang bawah secara hati-hati dilakukan pemeriksaan visualisasi dan
diraba untuk mendeteksi ketidakteraturan tulang, gigi longgar, laserasi
intraoral, memar, hematoma, pembengkakan, gangguan gerakan atau
membuka mulut (trismus).9,12
3. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan
untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak
fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari
sudut dan perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada
mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view, open-
mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya
bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga
digunakan foto oklusal dan periapikal. Computed Tomography (CT) scans
dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan
tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak
pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan
untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CTscan dapat juga digunakan
sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk
fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Water’s view, lateral
skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.7.9
a) Plain Radiographs
16
Plain Radiographsatau foto polos merupakan pencintraan dasar yang
sering dipakai sehari-hari. Dalam beberapa kasus foto polos ini
mungkin perlu dilengkapi dengan modalitas lain seperti tomografi
computer. Permintaan foto polos yang sering dilakukan pada kasus
trauma maksilofasial diantaranya proyeksi Caldwell dan lateral,
proyeksi ocipitomental l0 derajat dan 30 derajat, proyeksi
mandibular anterior dan panoramic tomography.9
17
Gambar 18. Tampak fraktur tulang nasal(Dikutip dari kepustakaan 3)
18
Gambar 19. Blow out fracture pada mata kiri
H. Penatalaksanaan
Waktu adalah penting dalam pengelolaan trauma maksilofasial yang
optimal. Tulang dan jaringan lunak harus dikelola segera setelah keadaan
umum pasien memungkinkan untuk dilakukan tindakan. Penanganan segera
dan tepat sangat signifikan menurunkan cacat wajah yang permanen dan
gangguan fungsional yang serius.1,7
19
Keputusan untuk melakukan rekonstruksi pada trauma maksilofasial
seperti fraktur tulang-tulang wajah, harus dilakukan pada 7 sampai l4 hari
pasca trauma. walaupun ada sebagian literatur mengatakan sampai hari ke-
21 masih dapat dilakukan tindakan. Rentang waktu ini perlu diperhatikan,
karena jika telah melebihi waklu tersebut, dikhawatirkan rekonstruksi tidak
maksimal dilakukan karena sudah terbentuk kalus yang banyak.1,7
Penatalkasanaan awal pada pasien trauma maksilofasial adalah untuk
mengidentifikasi dan menangani masalah yang mengancam kehidupan
dengan tujuan :
1. Mengidentifikasi dan menangani cedera yang mengancam jiwa.
2. Meresusitasi pasien dan menstabilkan tanda-tanda vital.
3. Mengidentifikasi dan menilai cedera-cedera yang lain.
4. Merencanakan perawatan definitif termasuk mempersiapkan pasien
untuk dirujuk kepusat-pusat pengobatan lain.1
Tatalaksana awal
Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tindakan yang
harus dilakukan adalah mempertahankan jalan nafas, mengatasi
perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh.12
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas
perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme
terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan
oleh American College of Surgeon adalah perawatan trauma ABCDE.12
A. Airway maintenance with cervical spine control/protection
Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen
fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas atas.
B. Breathing and adequate ventilation
20
Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior
dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C. Circulation with control of hemorrhage
Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk
meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan
perdarahan di kepala.
Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi
wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
D. Disability: neurologic examination
21
3. Tetanus profilaksis (indikasi)
4. Antibiotik
5. Manajemen nyeri
Pemasangan mini-plate and screw
Penggunaan mini-plate ini makin populer dipakai sejak tahun 1970-an.
Penggunaan mini-plate tidak menimbulkan kalus. Mini-plate ini dipasang
dengan mempergunakan skrup (screw), bersifat lebih stabil, tidak
memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama dan
mudah dikerjakan. Kekurangannya adalah sulit didapat dan harganya
mahal.
Manajemen jalan nafas pasien adalah hal yang sangat penting. Fraktur
pada tulang wajah yang parah menyebabkan pasien tidak bisa
mempertahankan jalan nafas terutama pada pasien yang tidak sadar atau
dalam posisi supine. Darah yang keluar di dalam rongga mulut dan
berpotensi menyumbat jalan nafas harus dibersihkan. Protesa dilepas,
serpihan gigi diambil, dan gigi goyang yang dikhawatirkan lepas
sebaiknya dicabut. Kadang kala lidah jatuh ke belakang dan menyebabkan
sumbatan jalan nafas. Menahan mandibula dan memposisikannya lebih ke
anterior mungkin bisa mengurangi sumbatan ini. Bila obstruksi persisten
mungkin perlu dilakukan intubasi endotrakheal, cricotiroidotomi, bahkan
mungkin trakeostomi. Pada kondisi darurat dimana obstruksi jalan nafas
persisten maka perlu dilakukan cricitiroidotomi dan trakeostomi.
Cricotiroidotomi adalah tindakan membuka ligamen cricotiroid di atas
isthmus tiroid. Trakeostomi adalah tindakan insisi di bawah atau melalui
isthmus tiroid
Penatalaksanaan pada trauma maksilofasial meliputi menjaga jalan
nafas, kontrol perdarahan, penutupan luka pada jaringan lunak, dan
menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai dengan
posisinya.Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-
tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan
22
untuk mencapainya. untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi
intraoral. Daerah zigomatikofrontal dicapai melalui insisi upper
blepharoplasty. Insisi koronal untuk daerah frontal, nasoethmoid, orbita
lateral, arkus zigoma.7
Gambar 22. Insisi kulit untuk akses pada open reduction and internal
fixation
I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan napas;
sikatriks; deformitas fasial permanen sekunder akibat tatalaksana yang
tidak tepat; kerusakan saraf yang berakibat hilangnya sensasi, pergerakan
wajah, penghidu, perasa, dan penglihatan; infeksi; malnutrisi akibat
adanya maloklusi sehingga terjadi penurunan berat badan; sampai fraktur
yang mengalami nonunion atau malunion; dan perdarahan.12
J. Prognosis
Pembedahan dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur
maksillofasial menghasilkan kepuasaan dalam tampilan fisik dan
23
pengembalian fungsi sehingga dapat mengembalikan kualitas hidup pasien
menjadi lebih baik.13
24
selama 4-6 minggu. Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah wire
dibuka, evaluasi dengan foto panoramik untuk memastikan fraktur telah
union15
BAB III
KESIMPULAN
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah.
Trauma maksilofasial ini merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi
terutama di negera berkembang seperti Indonesia. Trauma maksilofasial paling
banyak diakibatkan karena kecelakaan. Luka atau jejas yang terjadi harus cepat
ditangani agarr tidak terjadi komplikasi atau perburukan keadaan sehingga
menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.
Penanganan pertama pada emergensi trauma maksilofasial adalah
membuka atau mempertahankan jalan nafas sampai pertolongan selanjutnya
dilakukan. Selanjutnya penanganan dilakukan secara konservatif. Terakhir baru
dapat dilakukan tindakan bedah rekonstruksi atau plastik untuk merehabilitasi
fungsi-fungsi yang ada sekalian memperbaiki estetika pasien.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
9. Miloro, M. dkk. Paterson’s Principle Of Oral and Maxilofacial Surgery
Second Edition. London : BC Decker Inc. 2004. Hal 328-508
10. Sjamsuhidajat, R. Buku Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 2011. Hal 417-423
11. Malik, A.N. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery Second Edition.
India : Jaypee Brother Medical Publishers. 2008. Hal 315-402
12. Boies R, Adams, Higler P. Trauma Rahang wajah : BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam, Boies R, Adams, G,Higler P. editor .EGC.
1997. Hal 509-521
13. Ahmad K, dkk. Multidetector Coputed Tomographic Evaluation of
Maxilofacial Trauma. Departement of Radiodiagnosis Nepal. Asian
Journal of Medical Sciences. 2014. Hal 39-43
14. Yusmawan W, Serial Kasus Penatalaksanaan Fraktur Os Nasal. Media
Medika Muda, Vol 1 No 3. 2016
15. Christina Mihailova. Classifications of Mandibular Fractures. In Journal of
IMAB-Annual proceeding (scientific papers)
27