Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium adalah sebuah penyakit okular yang ditandai dengan adanya


pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva pada kornea. Penyakit ini terjadi lebih sering
pada populasi pria, pada kelompok usia yang lebih tua, dan individu yang relatif sering
terpapar sinar ultraviolet. Pterigium juga diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat
debu, cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Namun secara umum, etiologinya
tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan
degenerasi.1,2
Laju prevalensi pterigium yang didapatkan dari beragam populasi menunjukkan
hasil yang beragam. Studi populasi yang dilakukan menunjukkan perbedaan menurut ras,
geografis, dan paparan sinar ultravioulet, namun secara umum laju prevalensi pada daerah
tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. 3
Jika pterigium dibiarkan tidak tertangani dan faktor risiko yang mendasari tidak
dihindari atau dikurangi, dapat berdampak pada gangguan visual atau kebutaan akibat
penutupan jaringan fibrovaskular konjungtiva terhadap axis visual kornea. Hal ini
dikarenakan induksi astigmatisma dan terjadinya opasitas kornea. Penyakit ini secara
umum merupakan gangguan okular eksterna dengan prevalensi yang bervariasi antara
0,3% dan 36,6% secara global. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
prevalensi pterigium dapat dipengaruhi oleh status geografis, umut, jenis kelamin,
pekerjaan, serta status sosioekonomi. Namun, prevalensi sebanya 3% didapatkan di antara
pasien yang mengunjungi klinik optalmologi di Ankara, Turki. Data di Indonesia
menujukkan rata-rata usia menderita pterigium adalah 36,6 tahun dengan dominasi pada
jenis kelamin laki-laki ( 612 kasus). Pertambahan usia dan riwayat aktivitas dan pekerjaan
di luar rumah (Outdoor) merupakan faktor resiko yang konsisten ditemukan pada
pterigium. Populasi usia di atas 51 tahun 6 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok usia
21-30 tahun.3,4
Adanya pterigium tidak hanya memunculkan permasalahan kosmetik, namun
juga menjadi indikasi klinis tindakan operatif karena dapat mengganggu penglihatan
akibat halangan terhadap axis visual serta menginduksi astigmatisma kornea. Sejalan
dengan perkembangan teori patogenesis terjadinya pterigium, teknik-teknik
penanganannya juga telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pterigium
masih merupakan sebuah kelainan yang dapat mendestruksi gambaran anatomi normal

1
okular dan berpotensi menyebabkan kebutaan pada tahap lanjut perkembangan penyakit
yang sering membutuhkan penanganan operatif untuk rehabilitasi fungsi visual secara
menyeluruh. Oleh karenanya pemahaman yang mendalam mengenai faktor risiko
potensial, penyebab, dan distribusi penyakit dapat berguna dalam menentukan strategi
3
dan pendekatan preventif.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi
Isitilah pterigium merupakan versi latin dari bahasa Yunani yaitu
“pterygion” yang berarti sayap kecil yang mendeskripsikan pertumbuhan
jaringan fibrovaskular konjungtiva yang menyerupai bentuk sayap terhadap
kornea yang paling sering tumbuh dan muncul dari bagian nasal.
Pertumbuhan pterigium umumnya bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan biasanya terletak pada fissura palpebra bagian nasal maupun
temporal konjungitva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan
puncak pada bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah dapat mengenai
kelopak mata. Di sisi lain, pterigium juga dapat didefenisikan sebagai
gangguan proliferasi yang menyerupai respon penyembuhan luka yang
mengalami aberasi.1,2,5
Hipokrates bersama dengan Celcus, Pallus, Sushruta dan Aetius adalah
yang pertama kali menjelaskan pterigium dan penanganan operatifnya.
Mereka juga menjelaskan bahwa penenganan pterigium merupakan hal yang
kompleks di mana rekurensi dan terjadinya komplikasi gangguan visual
hampir pasti terjadi. Hingga pada abad ke 20, terdapat perkembangan dalam
metode penanganan dan pencegahan rekurensi pterigium. 1

B. Etiologi
Secara umum, etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Studi populasi yang
dilakukan menunjukkan bahwa terjadinya pterigium dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti ras, geografis, dan paparan sinar ultravioulet, namun
secara umum laju prevalensi pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan
daerah lainnya. Secara umum disebutkan bahwa pterigium juga diduga
disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
yang panas. 1,2

3
C. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah lapisan membran mukus tipis yang melapisi
palpebra dan direfleksikan pada fornix superior dan inferior yang berlanjut
melapisi ke permukaan anterior bulbus oculi. Lapisan epitel konjungtiva akan
berlanjut dan berhubungan dengan kornea. Bagian superolateral dari fornix
superior ditembus oleh ductus glandula lakrimalis. Konjungtiva lebih lanjut
akan membentuk ruangan potensial yang disebut sebagai saccus konjuntiva
yang terbuka melalui fissura palpebra. Di bawah palpebra terdapat lekukan
yang disebut sebagai sulcus subtarsal yang berjalan menuju dan paralel
terhadap tepi palpebra. Sulcus subtarsal berfungsi memerangkap partikel
asing yang masuk ke dalam saccus konjungtiva sehingga secara klinis
penting. Konjungitva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. 6,7
Konjuntiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada fornix superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera menjadi konjungitva bulbaris.7
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornix dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus-duktus
kelenjar lakrimal bermuara ke fornix temporal superior). Konjungtiva
bulbaris melekat longgar pada kapsula tenon dan sklera di bawahnya, kecuali
di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm). 7
Konjungtiva Fornix merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. Berbeda dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungitva forniks ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fascia muskulus levator palpebra
superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya longgar, maka
konjungitva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot
tersebut berkontraksi.7
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak
(plica semulinaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput
pembentuk kelopak mata dalam pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (caruncula) menempel secara superfisial

4
ke bagian dalam plica semiluranis dan merupakan zona transisi yang
mengandung elemen kulit dan mukosa. Penemuan sel imun non spesifik dan
spesifik, banyak vaskularisasi dan struktur sekretori (sel goblet dan perluasan
permukaan) pada plica semilunar mengindikasikan fungsi proteksi struktur
ini. 7,8
Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan palpebralis
yang beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler
konjungtiva yang sangat banyak. Konjungtiva menerima inervasi dari
percabangan nervus trigeminus yaitu oftalmikus yang memiliki serabut nyeri
yang relatif sedikit. 7

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

D. Epidemiologi
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva
berbentuk segitiga yang paling sering muncul dari bagian nasal dibandingkan
temporal, walaupun pada beberapa kasus dapat terjadi secara bersamaan
(double pterygium). Pterigium sering didahului kemunculannya oleh suatu
kondisi berhubungan yang bersifat nonkanserous yang disebut pingekuela.
Penyakit ini merupakan penyakit okular eksternal yang umum ditemukan
dengan prevalensi yang bervariasi antara 0,3-36,6% secara global. Adanya
rentang variasi yang lebar dikarenakan terjadinya kasus pterigium

5
dipengaruhi oleh berbagai hal seperti letak geografis, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, dan status sosioekonomi penderita. 4
Pterigium terjadi di seluruh dunia namun ditemukan pada prevalensi
tinggi pada daerah yang disebut sebagai “pterigyum belt” di antara 30 derajat
utara dan 30 derajat bagian selatan dari garis ekuator. Prevalensi pterigium
diklaporkan sebanya 3% pada orang Australia, 23% pada populasi kulit hitam
di Amerika, 15% orang Tibet di Cina, 18% pada orang Mongolia di Cina, dan
30% di Jepang, dan 7% pada populasi orang Singapura dan India. 9
Data epidemiologi dari sebuah studi di Ankara, Turki menunjukkan
pasien dengan pterigium mempunyai prevalensi sebanayk 3% dari seluruh
kunjungan poliklinik ophtalmologi. Pterigium juga ditemukan pada 12,5%
pasien yang berprofesi sebagai pengendara sepeda motor di Begnin, Nigeria.
Sedangkan prevalensi sebanyak 8,8% dilaporkan di distrik Meskan, Etiopia
Selatan. 4
Walaupun etiologi pasti pterigium belum jelas diketahui namun terdapat
beberapa faktor yang diketahui berhubungan erat dengan pembentukan
pterigium seperti pekerjaan di luar ruangan, usia tua, jenis kelamin laki-laki,
tinggal di daerah dengan paparan UV yang tinggi serta daerah dengan iklim
yang kering dan berangin. Sebuah studi di Blue Mountain Australia
menemukan hubungan signifikan antara pterigium dan peningkatan
pigmentasi kulit dan rambut, penurunan sensitivitas kulit terhadap matahari,
dan kerusakan kulit yang berhubungan dengan paparan sinar matahari. 4
Data epidemiologi dari studi yang dilakukan di Indonesia menujukkan
bahwa rata-rata usia penderita pterigium adalah 36,6 tahun dengan
predominan kasus ditemukan pada laki-laki. Kasus pterigium pada laki-laki
ditemukan sebanyak 612 pasien sedangkan perempuan sebanyak 598.
Prevalensi pada pasien di atas 51 tahun ditemukan 4 kali lebih banyak
dibandingkan usia 21-30 tahun. Namun tidak ada perbedaan yang signifikan
antara sisi mata kiri atau kanan atau riwayat merokok dengan kejadian
pterigium. Riwayat aktivitasi luar rumah lebih dari 5 jam selama setidaknya
10 tahun sebelumnya berhubungan dengan peningkatan insiden sedangkan
durasi kurang dari 5 tahun tidak berhubungan secara signifikan. Di samping
itu secara individual, pterigium dihubungkan secara signifikan dengan

6
astigmatisma. Nilai median silinder pada pasien dengan pterigium lebih besar
dibandingkan dengan pasien tanpa pterigium. 3

E. Patogenesis
Secara historis, pterigium diketahui sebagai lesi degeneratif yang ditandai
dengan adanya degradasi lapisan Bowman dan elastosis. Bagaimanapun,
pterigium digambarkan sebagai gangguan proliferatif yang menyerupai
respon penyembuhan luka yang mengalami aberasi atau penyimpangan.
Secara histopatologi, pterigium ditandai oleh pertumbuhan hiperplastik
dengan arah sentripetal dari sel epitel limbal yang mengalami perubahan
bersamaan dengan disolusi lapisan Bowman, transisi epitelial-mesenkim, dan
stroma fibroblastik dengan inflamasi, neovaskularisasi, dan remodelling
matriks yang dimediasi oleh aktivitas sitokin, growth factor, dan matrix
metalloproteinase. Faktor genetik, tumor supressor gen p 53 dan gen lain juga
diduga perpengaruh pada patogenesis pterigium.5,9
A. Teori Limbal Stem Cell
Dengan kemajuan dalam pemahaman patogenesis pterigium,
penyakit ini masih sering menjadi hal yang membingungkan dalam
bidang optalmologi. Pterigium memiliki predileksi pada limbus bagian
nasal dan hanya mengenai manusia. Kemungkinan hal ini mencerminkan
keunikan morfologi manusia dibandingkan dengan primata atau hewan
lainnya. Walaupun tidak ada konsensus mengenai patogenesis pterigium,
bukti epidemiologi, hubungannya dengan penyakit yang berhubungan
dengan paparan sinar matahari seperti pinguecula dan katarak, studi
mengenai keratopati droplet klimatik dan karsinoma sel skuamosa serta
karsinoma sel basal mendukung konsep bahwa radiasi sinar UV
memainkan peran mayor dalam perkembangan pterigium. Lebih jauh
lagi, predileksi limbal dapat dijelaskan dengan fenomena pemfokusan
cahaya perifer di mana cahaya secara insidental lewat melalui camera
oculi anterior dan kemudian difokuskan pada bagian limbus distal di
bagian nasal dimana limbal stem sel berada. 5
Permukaan kornea yang sehat dipertahankan oleh mekanisme self-
renewing, stem sel spesifik di daerah limbus, dan adanya zona transisi
anular yang sempit melingkati kornea. Kapasitas regeneratif tersebut

7
diatur oleh sebuah mekanisme yang mempertahankan dan mengatur
fungsi stem sel, proliferasi dan migrasi, serta diferensiasi. Kegagalan
dalam mempertahankan lingkungan mikro yang normal sebagai hasil dari
faktor eksternal (mis. Radiasi sinar UV) atau sinyal internal (mis.
Sitokin) dapat berakibat pada perkembangan gangguan okular. Yhn
Pentingnya keutuhan limbus dan stem selnya dikenali sejak 4 dekade
sebelumnya oleh Davanger dan Evensen yang mengungkapkan bahwa
pterigium mewakili adanya zona spesifik yang mengalami defeisiensi
Limbal Stem Cell. Adanya pemfokusan cahaya pada daerah limbus nasal
yang kemudian mengaktivasi atau menyebabkan mutasi LSC akan
menyebabkan ekspansi klonal, proliferasi lokal sel, dan invasi menuju
kornea. Secara alternatif, radiasi fokal UV dapat menghancurkan tempat
penyimpanan LCS yang berfungsi sebagai barier yang memisahkan
kornea dari konjuctiva sehingga membuka gerbang terbentuknya
pterigium. Lebih jauh lagi, kelemahan intrinsik LSC dipengaruhi oleh
kurang prominenanya palisade limbus di daerah nasal dan temporal
sehingga lebih rentan mengalami kerusakan dan sulit mengalami
perbaikan secara efektif. Mekanisme analog dapat terajdi pada pasien
dengan defisiensi total LSC sehingga memungkinkan terjadinya
ekspansi konjungitva terhadap kornea secara 360 derajat. 5

B. Teori Molekuler (Growth Factor, Matrix Metalloproteinase, dan


Sitokin)
Beberapa studi menunjukkan bukti bahwa beberapa molekul
seperti growth factor (GF), matrix metalloproteinase(MMP) , dan
interleukin (IL) memiliki hubungan erat dengan angigenesis, fibrosis,
proliferasi, dan inflamasi, yang berhubungan dengan patologi pterigium
Growth factor, sebuah tipe molekul yang menstimulasi pertumbuhan
memiliki kemampuan untuk memicu mitosis dan proliferasi siklus sel.
Beberapa faktor pertumbuhan, seperti Vascular Endotelial Growth
Factor (VEGF), transforming growth factor-beta (TGF-β), basic
fibroblast growth factor (bFGF), insulin-like growth factor (IGF), nerve
growth factor (NGF) and connective tissue growth factor (CTGF) telah
ditemukan pada pterigium. VEGF merupakan faktor pertumbuhan

8
terpenting pada penyakit okular yang mengontrol angiogenensis patologis
dan meningkatkan permebilitas pada gangguan mata. Jika dibandingkan
dengan konjungtiva normal, VEGF dan EFGFR ditemukan dalam
konsenterasi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan mata normal.
MMP-1, MMP-2, MMP-3, TIMP-1 and TIMP-3 dideteksi dalam jumlah
yang meningkat pada jaringan pterigium dan hasil kultur pterigium.
Ekspresi IL-1α, IL-1β, IL-1β RA and IL-1β adalah prekursor protein pada
pterigium primer maupun konjungtiva normal yang dideteksi dengan
immunoflorescence. Didapatkan bahwa terjadi peningkatan level famili
IL-1 yang hanya ditemukan pada pterigium. Penelitian lain juga
menujukkan bahwa IL-1α diekspresikan lebih tinggi tidak hanya pada
prerigium primer tapi juga pterigium rekuren. 10

Gambar 2. Patogenesis Pterigium5

9
F. Klasifikasi
A. Pterigium berdasarkan stadium penyakit. 11
- Stadium I: hanya terbatas pada limbus kornea
- Stadium II : melewati limbus namun belum mencapai pupil. Tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
- Stadium III : Melebihi stadium 2 tapi tidak melewati pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupul sekitar 3-4mm)
- Staidum IV : Melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan

Gambar 3. Stadium Pterigium10

10
B. Pterigium berdasarkan progresifitasnya, dapat dibedakan menjadi:
a. Pterigium progresif, dengan gambaran tebal, bergumpal, dan vaskular
dengan beberapa infiltrat pada kornea di depan kepala pterigium (cap of
pterygium)
b. Pterigium regresif, berupa pterigium yang tipis, menipis dengan
vaskulariasi yang sedikit. Tidak memiliki cap. Berkmebang menjadi
membranosa namun tidak pernah hilang sama sekali.12

C. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera dari pemeriksaan Slit


Lamp. 11
a. T1 ( Atrofi): Pembuluh darah episklera jelas terlihat
b. T2 (Intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas

G. Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan
keluhan keluhan mata iritatif, merah, dan mungkin menimbulkan
gangguan visual jika axis visual pada kornea tertutup dan astigmat yang
akan memberikan keluhan gangguan penglihatan akibat fibrosis. Selain
itu perlu juga ditanyakan mengenai faktor resiko yang berhubungan
dengan terjadinya pterigium seperti pekerjaan, riwayat paparan cahaya
matahari, angin, atau debu yang berlangsung kronis. Pterigium umum
ditemukan pada laki-laki dengan aktivitas pekerjaan di luar rumah.
Pterigium dapat tanpa gejala pada stadium awal kecuali permasalahan
kosmetik yang mengganggu. 2,12

B. Pemeriksaan Fisik 2,11,12


Gambarannya dapat unilateral maupun bilateral. Pterigium
nampak sebagai lipatan triangular dari konjungtiva yang meluas menuju
kornea pada area fissura palpebra, dengan predominasi pada bagian nasal
namun dapat juga pada bagian temporal atau keduanya.Pterigium dapat
disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat

11
kering) dan garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung
pterigium.

Gambar 3 Stocker Line13

Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pterigium berdasarkan


kronologi kemunculannya adalah :
- Jaringan kecil , abu-abu, dengan opasitas kornea yang
berkembang dari bagian nasal limbus kornea.
- Konjungtiva bertumbuh melebihi opasitas dan secara
progresif melebihi batas kornea dalam bentuk triangular
- Deposit besi (Stocker line) dapat terlihat pada bagian
epitelium kornea bagian anterior menuju bagian kepala dari
pterigium yang sedang bertumbuh

Pterigium yang telah berkembang sempurna akan memiliki 3 komponen


a. Kepala (bagian apeks yang muncul pada kornea)
b. Leher (bagian limbus)
c. Badan (bagian sklera) berkembang di antara limbus dan kantus yang
merupakan bagian pterigium yang mobile.12

12
Gambar 4. Petrigium13

C. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium. 11

H. Diagnosis Banding
A. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupaan perlekatan konjungitva dengan
kornea yang cacat. Pseudopterigium sering ditemukan pada proses
penyembuhan ulkus kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.
Pseudopterigium ini terletak pada daerah konjungtiva yang terdekat
dengan proses kornea sebelumnya. Dengan kata lain, pseudopterigium
disebabkan oleh adanya adhesi dari plica konjungtiva terhadap bagian
perifer kornea yang mengalami ulserasi atau area yang mengalami
penipisan dan terfiksasi hanya pada bagian apeksnya terhadap kornea.
2,13

Perbedaan dengan pterigium adalah selain letaknya,


pseudopterigium tidak harus pada celah kelopak mata atau fissura
palpebra, ini dapat diselipkan sonde di bawahnya. Pada anamnesis

13
pseudopterigium selamanya adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti
ulkus kornea. 2

Gambar 5. Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium

B. Pinguekula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjugntiva bulbi yang
ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat
rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada
celah kelopak mata terutama di bagian nasal. Pinguekula merupakan
degenerasi hialin jaringan submukosa konjungitva. Pembuluh darah tidak
masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi,
maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang
melebar. 2
Pada pingekuela tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi
bila terlihat adanya tanda peradangan (pengukulitis), dapat diberikan
obat-obatann antiradang.2

14
Gambar 6. Pinguecula dan Pterigium

I. Tatalaksana
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme
iregular atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan. 2
A. Konservatif
Penanganan konservatif dapat dilakukan dengan melindungi
mata dari sinar matahari, debu, dan udara kering dengan bantuan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda peradangan berikan air mata
buatan dan bila perlu dapat diberikan steroid topikal. Jika terdapat delen
(lekukan Kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Pemberian
vaskonstriktor perlu kontrol dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan,
jika sudah ada perbaikan. 2

B. Operatif
Tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan
eksisi adalah suatu tindakan bedah plastik yang dilakukan bila pterigium
telah mengganggu penglihatan dan mengurangi resiko kekambuhan.
Indikasi utama dilakukannya prosedur bedah terhadap pterigium adalah
gangguan visual akibat jaringan pterigium yang menutup axis visual atau
adanya astigmatisma sekunder akibat pterigium. Indikasi lain yang dapat
dipertimbangkan adalah adanya restriksi dalam pergerakan bola mata,
hiperemis atau radang kronik rekuren pada konjungtiva, sensasi benda

15
asing yang dirasakan mengganggu, serta pertimbangan kosmetik.
Umunya eksisi dilakukan pada pterigium stadium II walaupun tidak
mutlak. Literatur lain menyebutkan indikasi operatif petrigium adalah :
(1)Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus,
(2)Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil, (3)Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair
dan silau karena astigmatismus, dan (4) Kosmetika terutama untuk
penderita wanita. 2,9,11
Tujuan utama dari eksisi pterigium adalah menghilangkan semua
bagian pterigium dari kepala, leher, dan badan pterigium. Terdapat dua
prosedur yang biasa dilakukan dalam eksisi pterigium. Pada metode
pertama, setelah dianestesi kepala pterigium dijepit dengan forsep lalau
dipisahkan dari permukaan kornea dengan pisau bedah. Sisa pterigium
kemudian dibuang dengan gunting ke arah psoterior sampai sekitar 5-7
mm dari limbus kemudian dipotong. Metode kedua berdasarkan prinsip
avulsi. Dilakukan diseksi dibawah di bawah korpus pterigium lalu
isntrumen tumpul seperti spatula dimasukkan di bawah corpus pterigium.
Kemudian ditarik menggunakan forsep lalu ditarik menjauhi kornea.
Tujuan dari prosedur ini adalah didapatkannya permukaan kornea yang
bersih. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pisau bedah untuk
mengikis bagian pterigium yang masih tersisa.1,9
Saat ini, prosedur eksisi pterigium yang digunakan secara luas
adalah eksisi pterigium dengan autograft konjungtiva atau amniotic
membrane graft. Konjungtiva bulbi superior telah digunakan secara luas
sejak 1980 dan dihubungkan dengan angka rekurensi bekisar 2-12 %
dengan komplikasi yang sedikit. Pada tahun 1980an juga diperkenalkan
konsep pengangkatan kapsula tenon yang dapat efektif untuk mencegah
rekurensi karena kapsula tenon adalah sumber fibroblas. 9
Angka rekurensi mendekati nol dapat dicapai dengan hasil
kosmetik yang baik dapat dicapai melalui metode Pterygium Extended
Removal Followed by Extended Conjunctival Transplantation (P .E.R.F
.E.C.T .). Tidak ada teknik ideal untuk autograf konjungtiva yang
sepenuhnya aman, cepat, mudah, dan murah. 9

16
Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah temasuk laser
argon dan excimer laser blade. Metode tersebut dilakukan setelah
pengangkatan pterigium untuk mendapatkan permukaan kornea yang
bersih. Bada beberapa kasus, laser dapat digunakan untuk mengeksisi
pterigium secara keseluruhan namun beresiko terjadi komplikasi yang
lebih besar. 1

C. Terapi Adjuvan
Tingkat rekurensi yang tinggi dihubungkan dengan bare sclera
technique yang berakibat pada pengembangan beberapa prosedur untuk
menangani pterigium setelah prosedur eksisi. Pendekatan tersebut berupa
radioterapi, kemoterapi, dan prosedur grafting. 1
Penagplikasian beta iradiasi pada sklera dalam dosis tunggal
merupakan terapi posoperatif yang efektif, terutama jika dilakukan dalam
24 jam setelah eksisi. Sebagai tambahan, metode ini dapat dikombinasi
denganj terapi ajuvan lain. Sayangnya radioterapi kurang populer di
kalangan ahli bedah karena dihubungkan dengan komplikasi berupa
inflamasi konjungtiva, scleral melting, katarak, dan uveitis. 1

J. Komplikasi
Pada perkembangan lanjut dari pterigium dapat terjadi penurunan
penglihatan dikarenakan penutupan axis visual pada kornea. Selain itu, dapat
terjadi astigmatisma karna penarikan kornea akibat proses fibrosis.
Komplikasi lain dapat berupa terjadinya peradangan kronik sampai
terganggunya gerakan bola mata. Komplikasi yang mungkin jarang
didapatkan adalah degenerasi kistik dan infeksi. Perubahan ke arah neoplastik
dapat terjadi seperti epitelioma, fibrosarcoma, dan malignan melonoma
walaupun sangat jarang. 12

K. Pencegahan
Penghindaran terhadap faktor risiko lingkungan seperti sinar matahari,
angin, dan debu dengan menggunakan kacamata pelindung sinar UV dan topi
dapat mencegah pembentukan pterigium. Pendekatan protektif tersbut dapat
pula mencegah rekurensi pterigium seteleha prosedur pembedahan. Sejalan

17
dengan itu, penggunaan peralatan yang aman untu mata direkomendasikan
pada lingkungan yang sering terpapar polutan kimia sebagai pendekatan
pencegahan untuk terjadinya pterigium. 9

L. Prognosis
Prognosis dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungitva
autograft atau trasnplantasi membran amnion.14

18
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Z
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani
Alamat : Ds. Lebo
Tanggal Pemeriksaan : 16 Juli 2018
No. Rekam Medis :011593
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penglihatan terganggu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Anuntaloko dengan keluhan penglihatan
berkurang. Keluhan dirasakan di kedua mata, namun terutama dirasakan paling
menganggu pada mata sebelah kanan. Keluhan pada mata kanan dirasakan pertama kali
sekitar satu tahun yang lalu kemudian diikuti mata kiri sekitar 5 bulan setelahnya. Pasien
juga mengeluhkan rasa mengganjal yang mengganggu pada kedua mata dengan keluhan
lebih dominan pada sisi kanan. Pasien tidak mengeluhkan rasa nyeri atau gatal pada
kedua mata, namun kadang-kadang pasien mengeluhkan mata merah dan berair.

Riwayat Penyakit Mata Sebelumnya :


- Riwayat penggunaan kaca mata (-)
- Riwayat menderita penyakit yang sama sebelumnya (-)

Riwayat Penyakit Lain :


- Hipertensi (-)
- Diabetes Melitus (-)
- Alergi obat/makanan (-)

19
Riwayat Trauma Mata : Tidak ada
Riwayat Penyakit Mata dalam Keluarga :
Pasien tidak memiliki keluarga yang menderita penyakit yang sama atau penyakit mata
lainnya
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaraan : Composmentis / E4M6V5
Tanda Vital :
a. Tekanan Darah : 130/ 80 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit
c. Respirasi : 20 x/ menit
d. Suhu : 36,8 C
Status Ophtalmologi OD OS
Visus
- Tajam Penglihatan 1/300 3/60
- Koreksi - -
- Addisi - -
- Distansia Pupil - -
- Kacamata Lama - -

Inspeksi
Kedudukan bola mata
- Eksoftalmus - -
- Endoftalmus - -
- Deviasi - -
- Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Suprasilia
- Warna Hitam Hitam
- Letak Simetris Simetris

20
Palpebra superior dan inferior
- Edema - -
- Nyeri tekan - -
- Ektropiion - -
- Entropion - -
- Trikiasis - -
- Sikatrik - -
- Ptosis - -

Konjungtiva tarsal superior dan


inferior
- Hiperemis - -
- Sikatrik - -

Konjungtiva bulbi
- Sekret - -
- Injeksi konjungtiva - -
- Injeksi siliar - -
- Injeksi episklera - -
- Hiperemis - -
- Pendarahan subkonjungtiva - -
- Pterigium Status Lokalis: Status Lokalis:
Tedapat selaput Terdapat selaput
fibrovaskular fibrovaskular berbentuk
berbentuk segitiga dari segitiga dari arah nasal
arah nasal dengan apex dengan apex >2mm dari
menutupi pupil limbus belum mencapai
tepi pupil
- Nodul - -

Sistem Lakrimal
- Punctum lacrimal Terbuka Terbuka

21
Sklera
- Warna Putih Putih

Kornea
- Kejernihan Tertutup jaringan Tertutup jaringan
fibrovaskular yg fibrovaskular >2mm dari
menutupi pupil limbus belum mencapai
pupil
- Permukaan Cembung Cembung
- Infilitrat - -
- Ulkus - -
- Arcus senilis + +
- Edema - -

Bilik Mata Depan


- Kedalaman Cukup Cukup
- Kejernihan Jernih Jernih
- Hifema - -
- Hipopion - -

Iris
- Warna Coklat kehitaman Coklat kehitaman
- Kripte + +
- Sinekia - -

Pupil
- Letak Sentral Sentral
- Bentuk Bulat Bulat
- Ukuran 3 mm 3 mm
- Refleks cahaya langsung + +
- Refleks cahaya tak langsung + +

22
Lensa
- Kejernihan Jernih Jernih

Palpasi
- Nyeri tekan - -
- Massa tumor - -
- Tensi okuli Normal Normal

Lapang pandang
- Tes konfrontasi Normal Normal

Tes buta warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Oftalmoskop Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Slit lamp
- Palpebra Normal Normal
- Silia Normal Normal
- Konjungtiva Terdapat selaput Terdapat selaput segitiga
segitiga berwarna berwarna putih di bagian
putih di bagian nasal nasal >2mm dari limbus
dengan apes menutupi tetapi belum mencapai
pupil tepi pupil
- Kornea Tertutup jaringan Tetutup jaringan
fibrovaskular dari arah fibrovaskular >2mm dari
nasal menutupi pupil nasal belum mencapi
pupil
- Camera oculi anterior Normal Normal
- Iris Normal Normal
- Pupil Isokor 3mm Isokor 3 mm
- Lensa Normal Normal

23
IV. RESUME
Pasien perempuan berusia 65 datang ke Poliklinik Mata RSUD Anuntaloko dengan
keluhan penglihatan berkurang. Keluhan dirasakan di kedua mata, namun terutama
dirasakan paling menganggu pada mata sebelah kanan. Keluhan pada mata kanan
dirasakan pertama kali sekitar satu tahun yang lalu kemudian diikuti mata kiri sekitar 5
bulan setelahnya. Pasien juga mengeluhkan rasa mengganjal yang mengganggu pada
kedua mata dengan keluhan lebih dominan pada sisi kanan. Pasien tidak mengeluhkan
rasa nyeri atau gatal pada kedua mata, namun kadang-kadang pasien mengeluhkan mata
merah dan berair. Pasien berprofes sebelumnya sebegai petani.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus OD 1/300 dan OS 3/60. Pada oculi dextra
dan sinistra erdapat selaput segitiga pada bagian nasal dengan sudut segitiga (Head) pada
oculi dextra sudah mencapai pupil sedangkan pada oculi sinistra head lebih dari 2 mm
dari limbus kornea tapi belum mencapai tepi pupil. Arcus senilis OD dan OS (+)

V. DIAGNOSIS/DIAGNOSIS BANDING
- OD Pterygium Stadium IV
- OS Pterygium Stadium III
VI. PENATALAKSANAAN
OD Eksisi Konjungtiva + Graft Konjungtiva
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia et bonam
Ad Fungtionam : Dubia et bonam
Ad Sanationam : Dubia et bonam

24
Dokumentasi
A. Pre Operasi
Oculus Dextra

Gambar 7. Pterygium Oculus Dextra Gambar 8. Pterygium Oculus Dextra


Dilihat dengan Slit Lamp

Oculus Sinistra

Gambar 9. Pterygium Oculus Sinistra

25
B. Intra Operatif

Gambar 10 dan 11. Intra Operatif Eksisi Pterygium Oculus Dextra Stadium IV

C. Post Operatif

Gambar 12. Post Operatif Eksisi Pterigium Oculus Dextra St. IV

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan OD Pterigium Stadium IV dan OS


Pterigium Stadium III. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan, fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari pemeriksaan klinis didapatkan pasien perempuan
berusia 65 tahun datang dengan keluhan penglihatan berkurang pada kedua mata terutama
mata kanan disertai rasa mengganjal yang mengganggu pada kedua mata dengan keluhan
lebih dominan pada sisi kanan serta kadang-kadang mata merah dan berair. Pasien
berprofesi sebelumnya sebegai petani. Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus OD 1/300
dan OS 3/60. Pada oculi dextra dan sinistra terdapat selaput segitiga pada bagian nasal
dengan sudut segitiga (Head) pada oculi dextra sudah mencapai pupil sedangkan pada
oculi sinistra head lebih dari 2 mm dari limbus kornea tapi belum mencapai tepi pupil.
Pterigium adalah sebuah penyakit okular yang ditandai dengan adanya
pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva pada kornea. Pada pasien ini, penegakan
diagnosis sesuai dengan literatur yang ada. Studi epidemiologi menyatakan bahwa
pterigium etiologi pastinya pterigium belum jelas diketahui namun terdapat beberapa
faktor yang diketahui berhubungan erat dengan pembentukan pterigium seperti pekerjaan
di luar ruangan, usia tua, jenis kelamin laki-laki, tinggal di daerah dengan paparan UV
yang tinggi serta daerah dengan iklim yang kering dan berangin. Prevalensi pada pasien
di atas 51 tahun ditemukan 4 kali lebih banyak dibandingkan usia 21-30 tahun. Faktor
resiko yang sesuai dengan pasien adalah adalah pekerjaan sebagai petani dan usia di atas
51 tahun (risiko 4 kali lebih besar). 1,3,4
Temuan pemeriksaan fisik konsisten dengan data literatur di mana didapatkan
adanya selaput fibrovaskular yang nampak sebagai lipatan triangular dari konjungtiva
yang meluas menuju kornea pada area fissura palpebra, dengan predominasi pada bagian
nasal namun dapat juga pada bagian temporal atau keduanya. Lebih lanjut, berdasarkan
pertumbuhannya pterigium diklasifikasikan menjadi IV stadium. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan visus OD 1/300 dan OS 3/60. Pada oculi dextra dan sinistra terdapat selaput
segitiga pada bagian nasal dengan sudut segitiga (Head) pada oculi dextra sudah
mencapai pupil sedangkan pada oculi sinistra head lebih dari 2 mm dari limbus kornea
tapi belum mencapai tepi pupil. Oleh karena itu, pada oculus dextra diklasifikasikan
sebagai pterigium stadium IV dan pada oculus sinistra diklasifikasin sebagai stadium III.
11,12

27
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan. Tidak ada medikamentosa yang spesifitk untuk pterigium. Penanganan
konservatif dapat dilakukan dengan melindungi mata dari sinar matahari, debu, dan udara
kering dengan bantuan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda peradangan berikan air
mata buatan dan bila perlu dapat diberikan steroid topikal. Namun pada pasien ini
ditatalaksana secara operatif dengan eksisi pterigium dengan graft konjungtiva. Terapi
operatif dilakukan jika terdapat indikasi seperti gangguan visual akibat jaringan pterigium
yang menutup axis visual atau adanya astigmatisma sekunder akibat pterigium. Indikasi
lain yang dapat dipertimbangkan adalah adanya restriksi dalam pergerakan bola mata,
hiperemis atau radang kronik rekuren pada konjungtiva, sensasi benda asing yang
dirasakan mengganggu, serta pertimbangan kosmetik. Indikasi utama pada pasien ini
adalah pterigium stadium IV yang sudah menutupi axis visual pasien dengan visus 1/300.
Pengobatan defenitif pada pterigium stadium IV adalah dengan melakukan tindakan
operasi. 2,9,11
Tujuan utama dari eksisi pterigium adalah menghilangkan semua bagian pterigium
dari kepala, leher, dan badan pterigium. Terdapat beberapa teknik penanganan pterigium.
Saat ini, prosedur eksisi pterigium yang digunakan secara luas adalah eksisi pterigium
dengan autograft konjungtiva atau amniotic membrane graft. Konjungtiva bulbi superior
telah digunakan secara luas sejak 1980 dan dihubungkan dengan angka rekurensi bekisar
2-12 % dengan komplikasi yang sedikit. Namun secara umum, dari semua modalitas yang
ada, tidak ada teknik ideal untuk autograf konjungtiva yang sepenuhnya aman, cepat,
mudah, dan murah. 1,9
Pasien dipulangkan sehari setelah operasi dengan keadaan umum baik.
Berdasarkan literatur, prognosis dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungitva autograft
atau trasnplantasi membran amnion. Penghindaran terhadap faktor risiko lingkungan
seperti sinar matahari, angin, dan debu dengan menggunakan kacamata pelindung sinar
UV dan topi dapat mencegah pembentukan pterigium. Pendekatan protektif tersbut dapat
pula mencegah rekurensi pterigium seteleh prosedur pembedahan. 9,14

28
BAB V
KESIMPULAN

1. Pterygium adalah pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Etiologi pastinya belum diketahui namun dihubungkan
dengan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.
2. Pertumbuhan terdapat pada fissura palpebra pada bagian nasal, temporal, ataupun
keduanya.
3. Diagnosis ditegakkan berdasarakan anamnesis yang teliti terutama mengenai
faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung
diagnosis pterigium.
4. Pendekatan terapi dapat berupa terapi konservatif maupun operatif. Secara
umum, tidak ada terapi medikamentosa spesifik untuk pterigium. Tindakan
operatif dilakukan berdasarkan indikasi baik medik maupun kosmetik. Pada
pterigium stadium IV, terapi operatif adalah tindakan defenitif.
5. Penghindaran terhadap faktor resiko dapat mencegah pembentukan pterigium dan
bersifat protektif untuk mecegah rekurensi setelah tindakan operatif.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Todorovic D, Vulovic TS, Sreckovic S, Jovanovic S, Janicijevic K, Todorovic Z.


Update on The Treatment of Pterygium. Serbian Journal of Experimental and
Clinical Research. 2017; 17 (3): pp. 257-262.
2. Ilyas HS, Yulianti SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit FK UI :
Jakarta.
3. Gazzard G, Saw SM, Farook M, Koh D, Widjaja D, Chia SE, Hong CY, Tan
DTH. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British
Journal of Ophtalmology. 2014; 86: pp. 1341-1346.
4. Anbesse DH, Kassa T, Kefyalev B, Tasew A, Atnie A, Desta B. Prevalence and
associated factors of pterygium among adults living in Gondar city, Northwest
Ethiopia. PloS ONE. 2017; 12(3): pp. 1-9.
5. Chui J, Coroneo MT, Tat LT, Crouch R, Wakefield D, Girolamo ND. Ophtalmic
Pterygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features. The American
Journal of Pathology. 2011 ; 178(2): pp. 817-827.
6. Snell, RS. 2015. Anatomi Klinik Berdasarkan Sistem. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
7. Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2014. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Penerbit Buku Kedoteran EGC: Jakarta.
8. Arends G, Schramm U. The structure of the human semilunar plica at
different stages of its development a morphological and morphometric
study. Annals of Anatomy. 2004; 186(3), pp. 195-207.
9. Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community
Eye Health Journal. 2017; 29(99): pp. 1-2.
10. Feng QY, Hu ZX, Song XL, Pan HW. Aberrant expression of genes and
proteins in pterygium and their implications in the pathogenesis.
International Journal of Ophtamology. 2017; 10(6): pp. 973-981.
11. Lestari DJT, Sari DR, Mahdi PD, Himayani R. Pterigium Derajat IV pada
Pasien Geriatri. Majority. 2017: 7(1): pp. 21-25.
12. Khurana AK. 2014. Comprehensive Ophtalmolgy. New Age International
Publisher: New Delhi.

30
13. Sutphin JE, Dana MR, Florakis GJ, Hammersmith K, Reidy JJ, Lopatinsky
M. 2008. External Disease and Cornea. American Academy of
Ophtalmology: Singapore.pp 375-376.
14. Fisher JP. Pterygium. [online]. 2011. [Accessed on 19 July 2018]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.

31

Anda mungkin juga menyukai