Anda di halaman 1dari 29

PTERYGIUM

Oleh : Laras Zoesfa Rahmalia, S.Ked


Pembimbing : Dr.H. Djarizal, Sp.M., MPH

Universitas Jambi
Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbi).
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1.Konjungtiva palpebra: menutupi
posterior palpebra.
2.Konjungtiva bulbi: menutupi
permukaan anterior sklera.
3.Konjungtiva fornises: tempat
peralihan konjungtiva palpebra
dengan konjungtiva bulbi
Pterygium
DEFINISI

Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.


Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak
segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
wing atau sayap
PTERYGIUM
EPIDEMIOLOGI

 Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%,


 Pterygium biasanya berkembang pada pasien yang tinggal di negara-
negara yang cerah dan terpapar ultraviolet. Pterygium cenderung
berjalan dalam keluarga
 Insidens pterygium di Indonesia sebesar 13,1%
Pterygium
FAKRTOR RESIKO

Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain:


 Usia dewasa

 Genetik

 Pajanan sinar ultraviolet

 Pajanan debu atau iritan

 Peradangan

 Kekeringan pada mata


PTERYGIUM
PATOGENESIS

Teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV)


 Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan terutama terhadap

sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi


jaringan akibat pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi
peningkatan signifikan produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8,
dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV
menyebabkan mutase supresor gen tumor P53, sehingga terjadi
proliferasi abnormal epitel limbus
PTERYGIUM
PATOGENESIS

Teori growth factor-sitokin pro-inflamasi


 Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi
mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang
merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin, seperti FGF
(Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth Factor),
TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis
Factor-α) serta VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang
akan mengakibatkan proliferasi sel, remodelling matriks ektra-sel dan
angiogenesis
PTERYGIUM
PATOGENESIS

Teori stem cell


 Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar

ultraviolet, angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang


keluarnya sitokin pro-inflamasi, sehingga merangsang sumsum tulang untuk
mengeluarkan stem cell yang juga akan memproduksi sitokin dan berbagai
growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan mempengaruhi sel
di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang
akhirnya akan menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak bisa karena
iritasi ataupun karena air mata yang kurang baik
Ultraviolet/mutagen
untuk p53 tumor
suppressor gene Patogenesis Pterigium
pada limbal basal
stem cell

transforming growth terjadi degenerasi


factor-beta overproduksi elastoic dan proliferasi
dan menimbulkan jaringan granulasi
kolagenase meningkat vaskular

sel-sel bermigrasi dan


angiogenesis. degenerasi
kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial
fibrovaskular
PTERYGIUM
MORFOLOGI

Morfologi pterigium terdiri atas:


 Cap atau puncak yang merupakan zona mendatar pada

kornea terdiri dari fibroblas yang menginvasi membran


Bowman
 Head merupakan area pembuluh darah di bawah puncak

 Body atau ekor merupakan bagian pterigium yang mudah

bergerak di konjungtiva bulbar


pterygium
BAGIAN-BAGIAN

A. Cap
B. Head
C. Body
Pterygium
KLASIFIKASI BERDASARKAN LUAS

1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea


2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2
mm melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam
keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan
Pterygium
KLASIFIKASI BERDASARKAN PEMERIKSAAN PEMBULUH DARAH
DENGAN SLITLAMP

Pterigium dibagi berdasarkan dapat dilihatnya pembuluh darah episclera


di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp:
1. T1 (atropi): pembuluh darah episclera jelas terlihat
2. T2 (intermediate): pembuluh darah episclera sebagian terlihat
3. T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
PTERYGIUM
TANDA DAN GEJALA

1. Kebanyakan lesi kecil tidak menimbulkan gejala


2. Iritasi
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
4. Sensasi benda asing
5. Lakrimasi
6. Diplopia
7. Terbatasnya gerakan mata
8. Pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan penglihatan
pterygium
PENEGAKAN DIAGNOSIS

 Diagnosis pterigium ditegakkan secara klinis, sering bersifat asimptomatik. Jika


ditemukan gejala, yang dijumpai antara lain mata kering, berair, gatal, mata merah
hingga penglihatan terganggu.

 Pada slitlamp, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler di permukaan


konjungtiva; paling sering di konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
dapat pula ditemukan di daerah temporal

 Dapat dilakukan tes sonde untuk membedakan pterygium dengan pseudopterygium.


Biasanya pada pseudopterygium dapat dilalui dengan sonde karena terdapat celah.
pterygium
DIAGNOSIS BANDING

 Pseudopterigium merupakan jaringan


konjungtiva yang tumbuh menutupi jaringan
kornea yang mengalami luka atau peradangan.
Lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada
kornea yang terbentuk karena adhesi konjungtiva
bulbar dengan ulkus kornea marginal, biasanya
akibat trauma kimia pada mata.
 Pinguekula merupakan lesi kuning keputihan

pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau


temporal limbus.
pterygium
TERAPI

Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup


dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih
derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterygium yang melebihi derajat 2
Pterygium
TERAPI NON-BEDAH

 Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat


memblok sinar ultraviolet (UV-A dan UV-B) karena faktor
risiko utama pterygium adalah pajanan sinar ultraviolet.
 Manajemen medikamentosa jika terdapat keluhan. Obat

tetes mata artifisial atau steroid jika disertai inflamasi


mata. Medikamentosa tidak akan mengurangi ataupun
memperparah pterygium, hanya mengurangi keluhan
Pterygium
TEKNIK PEMBEDAHAN

1. Bare sclera
2. Conjungtival autograft
3. Amniotic Membrane Grafting
Pterygium
TEKNIK PEMBEDAHAN

Bare sclera
 Merupakan teknik eksisi sederhana pada bagian kepala

dan badan pterygium serta membiarkan dasar sklera


(scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-epitelisasi.
 Kerugian teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi

yang dapat mencapai 24-89%.


Pterygium
TEKNIK PEMBEDAHAN

Conjungtival autograft
 Prosedur menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian

superotemporal, dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan. aktor yang penting untuk keberhasilan
operasi pterygium adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis dan tepat ukuran untuk
menutupi defek konjungtiva dengan inklusi minimal dari jaringan Tenon. Hasil graft
yang tipis dan bebas tegangan telah terbukti tidak terjadi retraksi setelah operasi,
menghasilkan hasil kosmetik yang baik dengan tingkat rekurensi yang rendah. Hirst,
dkk. merekomendasikan insisi luas untuk eksisi pterigium dan graft yang besar karena
dengan teknik ini rekurensinya sangat rendah. Angka rekurensi 2% hingga paling
tinggi 40%.
Pterygium
TEKNIK PEMBEDAHAN

Amniotic Membrane Grafting


 Digunakan untuk mencegah rekurensi, bisa digunakan untuk menutupi sklera

yang terbuka setelah eksisi pterigium. Graft ini dianggap memicu kesembuhan
dan mengurangi angka rekurensi karena efek anti-inflamasinya, memicu
pertumbuhan epitelial dan sifatnya yang menekan sinyal transformasi TGF-
beta, dan proliferasi fibroblas. Tingkat rekurensinya 2,6-10,7% untuk pterigium
primer dan 37,5% untuk pterigium rekuren. Membran amniotic ditempatkan di
atas permukaan sklera dengan bagian basis menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Lem fibrin berperan membantu membran amniotik agar
menempel pada jaringan episklera
Pterygium
TERAPI TAMBAHAN

Mitomycin-C (MMC).
 MMC digunakan karena mampu menghambat fibroblas.

Dua cara penggunaan yaitu aplikasi intraoperatif


langsung ke permukaan sklera setelah eksisi pterigium
dan aplikasi post-operatif sebagai terapi tetes mata
topikal. Beberapa studi menganjurkan MMC intra-
operatif untuk mengurangi toksisitas
Pterygium
TERAPI TAMBAHAN

Terapi iradiasi beta


 Terapi ini digunakan untuk mencegah rekurensi

karena dapat menghambat mitosis cepat di dalam sel


pterigium. Efek samping radiasi antara lain nekrosis
sklera, endoftalmitis, pembentukan katarak. Akibat
efek samping ini, terapi ini tidak banyak digunakan.
pterygium
KOMPLIKASI POST EKSISI

 Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar


kornea, conjunctiva graft longgar, perforasi bola mata,
vitreous hemorrhage, retinal detachment
 Penggunaan mytomicin C post operasi dapat
menyebabkan ectasia atau melting pada sklera dan kornea
 Komplikasi terbanyak pada eksisi pterygium adalah

pterygium rekuren post operasi


pterygium
PROGNOSIS

 Prognosis penglihatan dan kosmetik pasien setelah


dieksisi baik

 Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan


eksisi ulang dan graft dengan conjunctiva autograft
atau transplantasi membran amnion
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai