Anda di halaman 1dari 14

A.

DEFINISI

Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip sayap,


khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam fisura
interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak (apeks)
lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan sementara bagian
tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian bagian dasarnya menyatu dengan
konjungtiva.
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah poliferasi
jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjuntiva
bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaannya.
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga,
mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifatdegeneratif dan invasif.

Gambar 2.1 Mata dengan pterygium

Shintya, Djajakusli. (2019).


B. ETIOLOGI
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan
udara panas.Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dandegenerasi.
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan
pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang
terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik
untuk kondisi ini.

C. PATOFISIOLOGI
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet,debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yangmenjalar ke kornea.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan
yang samauntuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtivaakan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis
dialirkan ke meatus nasiinferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagiannasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung
akibat pantulan darihidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering
didapatkan pterigiumdibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasielastotik kolagen dan
proliferasifibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat
dengan hematoksin dan eosin.Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan
elastic akan tetapi bukan jaringan elasticyang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak
bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel
yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat
atau degenerasielastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan
yang degenerasi.Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
Epitel diatasnya biasanyanormal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan seringmenunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
Gambar 2.2 Histopatologi pada pterigium
(Shintya, Djajakusli 2019).

D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhansama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara
lain:
1. mata sering berair dan tampak merah
2. merasa seperti ada benda asing
3. timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,
biasanyaastigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan
4. pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visualsehingga tajam penglihatan menurun.
(Skuta, Gregory L. dkk 2018).
E. PEMERIKSAAN FISIK
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada
limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput
lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

Gambar 2.3 A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang

kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman

pada kornea. B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi

kornea . C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada

konjunctiva bulbi, area paling ujung

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ) :
1. Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mmmelewati kornea
3. Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
4. Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
(Skuta, Gregory L. dkk 2018).
F. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada
pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium
derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak
diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi
mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan
steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi
pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola
mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus
lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah
medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak
disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk
mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya
konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva
normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior
untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya
hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC
juga cukup berat.
1. Indikasi Operasi pterigium
a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
2. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.
3. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
4. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera
yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's
dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah
dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.
5. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion
ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis
dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion
biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
6. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
a. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6minggu.
b. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
c. Sinar Beta.
d. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol,
dan steroidselama 1 minggu.

Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (Saerang, Josefien (2013).
G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut
a. Gangguan penglihatan-Mata kemerahan
b. Iritasi
c. Gangguan pergerakan bola mata.
d. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
e. Dry Eye sindrom.
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
a. Infeksi
b. Ulkus kornea
c. Graft konjungtiva yang terbuka
d. Diplopia
e. Adanya jaringan parut di kornea.
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi
bedah memilikiangka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa
dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplant membran amnion pada saat eksisi.

H. PENCEGAHAN
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
A. PENGKAJIAN
1. Data Demografi
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dst.
2. PolaFungsional
a. Persepsi kesehatan dan penanganan kesehatan
1) Keluhan Utama : Penglihatan kabur
2) Riwayat penyakit :
a) Sejak kapan dirasakan, sudah berapa lama
b) Gambaran gejala apa yang dialami, apa yang memperburuk atau
memperbaiki?
c) apa yang dilakukan untuk menyembuhkan gejala.
3) Penggunaan obat sekarang
4) Riwayat penyakit dahulu : Riwayat trauma pada mata
5) Riwayat penyakit keluarga : Keluarga yang pernah menderita
3. Pola aktivitas: Aktivitas sedikit terganggu
4. Pola kognitif – Konseptual
a. Terjadi kemunduran tajam penglihatan, pandangan kabur
5. Pemeriksaan Fisik mata :
a. Konjungtiva
b. Visus

B. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbuL
1. Preoperasi
a. Gangguan sensori perseptual berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori
akibat pterigium.
Intervensi:
1) Tentukan ketajaman mata klien, catat apakah satu / dua mata yang
gejala terlibat.
2) Orientasikan klien pada lingkungan sekitar
3) Letakkan barang yang dibutuhkan klien di dekatnya
4) Libatkan klien dan orang lain dalam pemenuhan aktivitas kehidupan sehari-
hari
b. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prosedur
invasive (bedah) yang akan dilaksanakan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas
2) Beri penjelasan tentang prosedur operasi yang akan dilaksanakan
3) Beri dukungan moril berupa doa dan motivasi untuk klien
2. Post operasi
a. Perubahan kenyamanan (nyeri) berhubungan dengan trauma jaringan
sekunder terhadap operasi transplantasi kornea
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri yang dialami oleh klien
2) Ajarkan kepada klien metode distraksi / relaksasi
3) Ciptakan tempat tidur yang nyaman
4) Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgetik
b. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur (invasif)
bedah. Intervensi:
1) Pantau balutan setiap 2 - 4 jam
2) Diskusikan dengan klien tentang pentingnya mencuci tangan
sebelum mengobati
3) Gunakan tehnik aseptik dalam perawatan post operatif
4) Beri obat-obatan sesuai indikasi seperti obat tetes mata.
c. Resiko terhadap injury (cidera) yang berhubungan dengan perubahan
ketajaman penglihatan.
Intervensi:
1) Kaji ketajaman penglihatan
2) Rencanakan semua perawatan denagn klien, jelaskan rutinitas setiap hari
3) Pertahankan barang-barang klien ditempat yang sama
4) Bantu dalam beraktivitas sesuai dengan kebutuhan
5) Anjurkan untuk menggunakan alat bantu misal tongkat
6) Pertahankan penutup mata untuk meningkatkan perlindungan
d. Perubahan dalam pesepsi sensori (perseptual) sehubungan dengan luka
post operasi.
Intervensi:
1) Tentukan ketajaman penglihatan
2) Orientasikan klien pada lingkungan, staf, orang lain di sekitar
3) Letakkan barang yang sering diperlukan dalam jangkauan sisi yang
tidak dioperasi
4) Anjurkan klien untuk mengkonsumsi nutrisi yang bergizi, misalnya buah-
buahan yang berwarna kuning, seperti pepaya, wortel dan lain-lain
5) Berikan obat-obatan sesuai terapi
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai perawatan diri dan penatalaksanaan di rumah.
Intervensi:
1) Berikan penguatan kewaspadaan secara berhati-hati berhubungan dengan
penempatan perabot rumah tangga dan lain-lain
2) Berikan penjelasan mengenai kondisi penyakit, proses sebelumnya
dan sesudah dilakukan pembedahan
3) Jelaskan dan ajarkan perawatan secara teratur di pelayanan kesehatan terdekat
4) Libatkan orang terdekat klien dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-
hari.
DAFTAR PUSTAKA

Saerang, Josefien (2013). Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai Faktor Risiko
Tumbuh Ulang Pterygium. Journal Indonesian medical Association. Vol: 63 (3): 100-
105
Shintya, Djajakusli. (2019). The Profile of Tear Mucin Layer and Impression Cytology in
Pterygium Patients. Vol:7 (4) 139-143
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. (2018). Clinical Approach to Depositions
and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and
Cornea

Anda mungkin juga menyukai