Anda di halaman 1dari 10

III.3.

PTERYGIUM
III.3.1. Definisi
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea.
Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau bagian kornea
Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip sayap, khususnya
untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam fisura interpalpebralis, yang
membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan
kornea sehingga tidak dapat digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera,
dan kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva2

III.3.2. Etiologi
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi.
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan
lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterygium antara
lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa
studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.
III.3.3 Faktor Resiko

1. Usia
Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa, tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat Pterygium terbanyak
pada usia 2 dekade dua dan tiga. Di RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan usia terbanyak
31 40 tahun, yaitu 27,20%.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan Pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi
ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 30 memiliki risiko penderita Pterygium 36 kali
lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan 3
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab Pterygium
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Pterygium.
III.3.3.Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
menjalar ke kornea.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan
dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular,

dengan

permukaan

yang

menutupi

epithelium,

Histopatologi

kolagen

abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin
dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan
jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
III.3.4.Klasifikasi Dan derajat
Klasifikasi Pterygium:
1. Pterygium simpleks

: jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal saja.

2. Pterygium dupleks

: jika terjadi pada nasal dan temporal.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan Pterygium dibagi
menjadi :
a. Derajat I

: hanya terbatas pada limbus

b. Derajat II

: sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea.

c. Derajat III

: jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata

dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
d. Derajat IV

: Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.
III.3.5.Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya
menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan stasioner. Bagian

sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga
membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil.
Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu,
terutama pelaut dan petani Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

mata sering berair dan tampak merah

merasa seperti ada benda asing

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya
astigmatisme

with

the

rule

ataupun

astigmatisme

irreguler

sehingga

mengganggu penglihatan

pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.

III.3.6. Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata,
disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahuntahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan
terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan,
dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah
paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik sering didapatkan berbagai macam keluhan, mulai dari
tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi sangat merah, mata gatal, iritasi, berair, dan
pandangan kabur, disertai jejas pada konjungtiva yang membesar. Gambaran klinis bisa
dibagi menjadi 2 kategori umum, sebagai berikut :
1.

Kelompok pasien yang mengalami Pterygium berupa proliferasi minimal dan penyakitnya lebih
bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya
lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.

2.

Pada kelompok kedua, Pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat
komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygium dalam grup ini mempunyai
perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah
dilakukan eksisi

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti
pada pseudopterigium.
III.3.7. Diagnosis Banding
a. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan.

b. Pseudopterigium
Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang merupakan suatu
reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat
masuk di antara konjungtiva dan kornea.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat ulkus.
Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan
menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura
palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di
bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu
didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain
pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.6

c. Pannus
Merupakan pertumbuhan pembuluh darah ke dalam sekeliling kornea. Pada individu normal,
kornea seharusnya avaskuler, hipoksia lokal kronis (seperti pada penggunaan contact lens
berlebihan) atau inflamasi dapat menyebabkan vaskularisasi di sekeliling kornea.
III.3.9. Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut

Gangguan penglihatan-Mata kemerahan

Iritasi

Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

Dry Eye sindrom. 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

Infeksi

Ulkus kornea

Graft konjungtiva yang terbuka

Diplopia

Adanya jaringan parut di kornea.

III.3.10.Penatalaksanaan
1. Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami
inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan
angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik
secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang
rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama
untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari

kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan
parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
a. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
b. Teknik Autograft Konjungtiva
memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen
pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya
dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi
pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan
penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence
W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk
eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik
ini.
c. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran
amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,
diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk
kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva
adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas
sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem
fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi
medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi
telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk
menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6
minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6
minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid
selama 1 minggu.

III.3.11. Pencegahan
Secara teoritis adalah dengan memperkecil terpaparnya radiasi UV untuk mengurangi
risiko berkembangnya Pterygium, pada individu yang mempunyai risiko lebih tinggi. Pasien
disarankan untuk menggunakan kacamata atau topi pelindung dari cahaya matahari.
Pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah tropis dan subtropik
atau pada pasien yang memiliki aktivitas di luar dengan suatu risiko tinggi terhadap cahaya
ultraviolet, misalnya memancing, berkebun, atau pekerja bangunan. Jadi sebaiknya untuk para
pekerja lapangan dianjurkan untuk menggunakan kacamata dan topi pelindung

Anda mungkin juga menyukai