Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Asal kata pterigium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap, hal
ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal konjungtiva bulbi
menuju kornea pada daerah interpalpebra. Temuan patologik pada pterigium yaitu lapisan
bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Kasus pterigium yang tersebar di
seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun. Rekuren
lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbi). Konjungtiva menghubungkan antara bulbus okuli dan palpebra dimana
dari papebra bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bulbus okuli baik dibagian atas maupun
bawah. Lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 810 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut
membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui
fissura palpebra antara palpebra superior dan inferior.
1. Konjungtiva Palpebra
Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.
Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata. Punktum lakrimal bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungtiva palpebra. Zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari
konjungtiva palpebra yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskular dan

translusen. Zona terakhir adalah zona orbital yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga
forniks. Secara fungsional konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi
patologi seperti adanya proses peradangan bisa ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi
dimulai dari forniks ke limbus dan bersifat sangat translusen sehingga sklera
dibawahnya dapat terlihat jelas. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.
Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula
tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
2

Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya
dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva
forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di atasnya yaitu fasia muskulus
levator palpebra superior serta di bawahnya yaitu muskulus rektus. Karena
perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas
bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
Konjungtiva diinervasi oleh n. infratrochlearis, n. lacrimalis, dan n. ciliaris.
Konjungtiva bulbi divaskularisasi oleh a. konjungtiva posterior dan cabang dari
a.ciliaris anterior yaitu a. konjungtiva anterior. Konjungtiva palpebra divaskularisasi
oleh a. konjungtiva posterior. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus
kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris
anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superfisial dan
profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi
medial bermuara ke limfonodus submandibular.

Gambar. Anatomi konjungtiva

2.2 Pterigium
3

2.1.1 Definisi
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga
/sayap pada tunika konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif, dimana
pertumbuhannya biasanya terletak pada fissura palpebra bagian nasal maupun temporal yang
meluas ke daerah kornea.
2.1.2 Epidemiologi
Kasus pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga
tinggi pada daerah berdebu dan kering. Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan lakilaki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. Jarang sekali orang menderita pterigium
umurnya di bawah umur 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai
prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20 - 40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi. Insidensi pterigium lebih tinggi pada
orang yang bekerja di luar ruangan yang mempunyai waktu yang lebih banyak untuk terpapar
dengan sinar matahari dan paparan debu.
2.1.3 Patofisiologi
Konjungtiva dan kornea merupakan lapisan terluar dari bola mata sehingga sangat
rentan terhadap infeksi dan trauma. Mata memproduksi air mata selain sebagai lubrikasi juga
berfungsi sebagai perlindungan permukaan kornea dan konjungtiva bila ada paparan langsung
pada permukaannya terhadap benda asing misalnya partikel partikel dari debu atau adanya
patogen dimana air mata mengandung lisozim, beta-lisin, laktoferin, dan gamma globulin
(IgA) yang mempunyai sifat antimikroba. Pada paparan partikel debu yang sering dan dalam
waktu yang lama dapat merusak lapisan luar air mata (outer oily layer) sehingga mudah
terjadi proses inflamasi pada kornea atau konjungtiva.
Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor
p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium.
Sinar UV menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor TP53 di sel basal limbal kornea.
Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir
pterigium bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis
yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam
4

kornea. Mutasi pada gen TP53 pada sel basal limbal kornea juga menyebabkan terjadinya
produksi berlebih dari TGF- melalui jalur p53-Rb-TGF-. TGF- yang diproduksi oleh sel
pterigium menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan
epitel dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah epitel
limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF
untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran lapisan
bowman.
Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth
factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Kerusakan kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.

Gambar. Patogenesis pterigium

Gambar. Histopatologi pterigium

Gambar. Mekanisme terjadinya pterigium nasal


2.1.4 Klasifikasi
6

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 3 stadium yaitu:


Derajat 1 : jaringan fibrovaskular menutupi sklera tetapi tidak melewati limbus kornea
Derajat 2 : jaringan fibrovaskular menutupi kornea ( < 4 mm) tetapi tidak sampai menutupi
aksis penglihatan
Derajat 3 : jaringan fibrovaskular menutupi kornea ( > 4 mm) dan menutupi pupil serta
mengganggu aksis penglihatan

Gambar. Stadium pterigium


Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu :
-

Pterigium progresif : tebal, banyak vaskular, dan terdapat infiltrat opak


(Stocker`s line)

Pterigium regresif

: tipis, atrofi, sedikit vaskular.

2.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
Mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, timbul astigmatisme
akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan
(peterigium derajat 3) dan riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan
pajanan sinar matahari yang tinggi serta paparan debu yang banyak.
b. Pemeriksaan
7

Pada inspeksi tanpa / dengan menggunakan slit lamp tampak jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang dapat tumbuh dari konjungtiva bulbi dari arah nasal atau temporal
menuju ke kornea. Tampak morfologi pterigium yaitu :
-

Kepala (head)

Badan (body)

Gambar. Morfologi pterigium


Pemeriksaan visus untuk melihat adanya gangguan refraksi seperti astigmatisma
akibat permukaan kornea tertarik oleh pterigium. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan
probe test atau pemeriksaan menggunakan sonde yang diletakkan di bawah limbus untuk
membedakan pterigium (probe test [-]) dengan pseudopterigium (probe test [+]).

Gambar. Probe test pada pterigium dan pseudopterigium

Gambar. Pterigium

Gambar. Double Pterigium


2.1.6 Diagnosis Banding
a. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan peertumbuhan jaringan fibrovaskular pada konjungtiva
bulbi akibat trauma kimia atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium tidak
melekat pada limbus kornea, maka probe test dengan muscle hook dapat dengan
mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus kornea, sedangkan pada
pterigium tak dapat dilakukan. Pada pseudopterigium tidak didapat bagian head dan
body.

Gambar. Pseudopterigium
b. Pinguekula
Massa kekuningan pada konjungtiva bulbi yang merupakan penebalan epitel
konjungtiva akibat dari degenerasi hialin pada jaringan kolagen subepitel teletak dari
fissura intrapalpebra.

Gambar. Pinguekula
2.1.7 Terapi
a. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu diobati dan biasanya cukup diatasi dengan
menghindari faktor predisposisinya serta memakai pelindung mata untuk meminimalisasi
kontak mata dengan lingkungan seperti paparan sinar matahari dan debu berlebihan. Untuk
pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
10

penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea.
b. Bedah
Terapi dengan cara pembedahan pada pterigium dibagi menjadi 4 metode, yaitu :

Bare sclera excision


Caranya dengan melakukan eksisi bagian kepala dan badan pterigium ke arah
nasal / kantus medial. Pada teknik operasi ini akan kekambuhan pterigium sangat
tinggi (24 89 %), sehingga tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan pada
kasus pterigium berulang (recurrent pterygia).

Gambar. Bare sclera excision


Excision with conjunctival closure / transposition
Caranya dengan setelah melakukan eksisi pterigium kemudian dilakukan transposisi
konjungtiva dengan rotational pedicle flap dari atas atau bawah untuk menutup
tempat eksisi pterigium. Angka kekambuhan pterigium setelah dilakukan teknik
operasi ini 29 37 %.

(a)

(b)

Gambar. Excision with conjunctival closure / transposition (a) L shape (b) U shape
Excision with adjunctive medical therapy
Sejumlah terapi adjuvan telah dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan
-

timbulnya pterigium setelah dilakukan eksisi, yaitu :


Beta irradiation

11

Radiasi ionisasi yang bertujuan untuk menghambat mitosis dari sel fibroblas.
Radiasi ionisasi ini menggunakan Strontium-90 dengan dosis 1000 7000 cGy.
Angka kekambuhan pterigium setelah dilakukan radiasi ionisasi ini sekitar 10 %.
Terdapat komplikasi dari terapi ini yaitu komplikasi ringan berupa konjungtivitis,
keratitis, dan ptosis. Komplikasi yang terberat terkait dengan jumlah dosis yang
-

diberikan yaitu katarak, atrofi iris, dan nekrosis sklera).


Mitomycin C (MMC)
Merupakan kombinasi antibiotik antikanker yang berfungsi menghambat
proliferasi sel yang digunakan pada kasus pterigium dan glaukoma. Pada
glaukoma fungsi Mitomycin C untuk mengurangi trabeculectomy bleb scarring
setelah operasi, sedangkan pada kasus pterigium fungsi dari Mitomycin C untuk
menghambat proliferasi sel fibroblas. Penggunaan topikal Mitomycin C 0,02 %
setelah dilakukan operasi pada pterigium dengan frekuensi pemberian dua kali

sehari selama lima hari.


Ocular surface transplantation techniques
- Conjunctival autograft transplantation
Merupakan pilihan utama pada kasus pterigium primer dan kasus pterigium yang
mengalami kekambuhan disertai pemberian Mitomycin C 0,02 mg/mL dengan
menggunakan Weck cell sponge selama 2 menit. Teknik operasi ini yaitu dengan
mengambil free conjunctival autograft (conjunctival rotational autograft atau
annular conjunctival autograft) yang berasal dari superior-temporal bulbar
conjunctiva kemudian dilakukan penjahitan pada tempat eksisi pterigium (Bare
sclera excision).

Gambar. Conjunctival autograft transplantation


Conjunctival limbal autograft
Sejak diketahui adanya defisiensi focal limbal stem cell sebagai etiologi dari
pterigium, maka telah dikembangkan teknik operasi conjunctival limbal
autograft transplantation. Teknik

operasi ini sama dengan

conjunctival autograft transplantation, dimana tepi limbus dari donor graft


diperluas sampai epitel limbus dengan cara superficial keratectomy. Donor graft

12

tadi ditempatkan di tepi limbus dimana graft ini merupakan stem cell-containing
-

epithelium.
Amniotic membrane transplantation
Teknik transplantasi ini mempunyai fungsi menekan TGF- signaling pada
proliferasi sel fibroblas.
Indikasi operasi pada pterigium :
a. Mengganggu ketajaman penglihatan

yaitu

adanya

gangguan

refraksi

(astigmatisma)
b. Diplopia monokular
c. Iritasi kronik (mata merah dan berair)
d. Kosmetik
2.1.8 Prognosis
Pterigium umumnya mempunyai prognosis baik. Rekurensi menjadi masalah setelah
dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi

operasi dan sitotastik tetes mata (Mitomycin C) atau beta radiasi. Penglihatan dan kosmetik
pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat
ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Detorakis E T & Spandidos D, 2009, `Pathogenetic mechanisms and


treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives
(Review)`, International Journal of Molecular Medicine, vol. 23,
February, pp. 439-447

13

2. Chui J et al 2011, `Opthalmic Pterygium A Stem Cell Disorder with


Premalignant Features`, American Journal of Pathology, vol. 178 (2),
February, pp. 817-827
3. Lee B S B & A S, 2004, `Pterygium An Update on Current Concepts
and Treatment Modalities`, Opthalmology Rounds Faculty of Medicine
University of Toronto, vol. 2 (7), August/September, pp. 1-6
4. Rocha G, 2003, `Surgical Management of Pterygum`, Techniques in
Opthalmology, vol. 1 (1), pp. 22-28
5. Lang G K & Lang G E, 2006, `Conjunctiva (Pterygium)`, Opthalmology
A Pocket Textbook Atlas 2nd Edition Clinical Sciences, in G Lang (eds),
Georg Thieme Verlag, Germany
6. Eva P R & W J P, 2007, `Conjuctiva`, Vaughan & Asbury`s General
Opthalmology 17th Edition, in Eva P R (eds), McGraw Hill Companies
Lange, US
7. Sugar A & Farjo Q A, 2009, `Pterygium and Conjuctival Degenerations
(Part 4 Conjuctival Diseases)`, Yanoff & Duker Opthalmology 3rd Edition
(Expert Consult), in Yanoff M & Duker J S (eds), Mosby Elsevier, British
8. Kramer T R & Sharara N A, `Pathology of Conjuctiva`, Duane`s
Opthalmology Solution` in Tasman W & Jaeger E A (eds), Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelpia

14

Anda mungkin juga menyukai