Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS “PTERIGIUM”


DI RUANGAN POLI MATA
RS BHAYANGKARA MAKASSAR

NUR AZISAH RAMLI RUKKA


D.19.07.049

PRESEPTOR KLINIK PRESEPTOR INSTITUSI

............................................... ................................................

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN

PTERIGIUM

A. Defenisi
Pterigium (pterygium) adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini
biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak
kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan
mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal
dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan
terganggu (Haryono & Utami, 2019).
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk membran segitiga dengan
puncak di daerah kornea dan basisnya terletak pada celah kelopak (fisura palpebra)
bagian nasal ataupun temporal dari konjungtiva (Ilyas, 2018).
Pterygium adalah kondisi mata yang ditandai dengan tumbuhnya selaput yang
menutupi bagian putih pada bola mata. Kondisi ini dapat terjadi pada salah satu atau
kedua mata sekaligus (Tanto dkk, 2014).
Berdasarkan defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pterigium adalah
kondisi mata yang mengalami pertumbuhan fibrovaskular berbentuk segitiga atau
tumbuhnya selaput dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah intrapalpebra.
B. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan
suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada
mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas
terik matahari. Faktor risiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang
banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar.
Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari
yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara
panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu
dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zal allegen, kimia dan zat
pengiritasi lainnya.
C. Patofisiologi
Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal in
akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan
pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah.
Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga
menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya tampak
dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa mengenai bagian
tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel. Epitel pada
mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap
respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata
tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran
dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan
merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor
pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang
tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar kearah kornea. Kadar enzim
tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon
tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.
Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila di cat
dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan
elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini
tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel
gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini
membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi
sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menekan ke
dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas.
D. Manifestasi Klinis
1. Mata irritatatif, merah gatal dan mungkin menimbulkan astigmatisme
2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone
Optic)
3. Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis
besi yang terletak di ujung pteregium.
E. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
1. Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan
memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus
umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum
dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi
pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi postoperasi pterygium meliputi:
1. Infeksi
2. Reaksi material jahitan
3. Diplopia
4. Conjungtival graft dehiscence
5. Corneal scarring
6. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous,
atau retinal detachment.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Slit Lamp
Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan
bahwa lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding
lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari
lensa pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola
mata dengan magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar
untuk terlihat dengan jelas.
G. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan
bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau
pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan
bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor (prednisone asetat) maka perlu
kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
Tindakan Operatif :
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila
pterygium telah mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh
permukaan kornea atau bola mata.
Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk
mengangkat pterygium yang membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan
atau secara tetap meradang dan teriritasi. Paska operasi biasanya akan diberikan terapi
lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi lainnya.
H. Pathway
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PTERIGIUM

A. Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan pterygium adalah :
1. Identitas
Nama, Umur, Jenis kelamin, Agama, Pekerjaan, Status perkawinan, Alamat,
Pendidikan.
2. Keluhan utama
Biasanya penderita mengeluhkan adanya benda asing pada matanya, penglihatan
kabur
3. Riwayat Penyakit sekarang
Merupakan penjelasan dari keluhan utama. Misalnya yang sering terjadi pada
pasien dengan pterygium adalah penurunan ketajaman penglihatan. Sejak kapan
dirasakan, sudah berapa lama, gambaran gejala apa yang dialami, apa yang
memperburuk atau memperingan, apa yang dilakukan untuk menyembuhkan
gejala.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti DM,
hipertensi, pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolik lainnya
memicu resiko pterygium.
5. Riwayat penyakit keluarga
Ada atau tidak keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien.
6. Data BioPsikoSosialSpiritual
a. Aktivitas Istirahat
Gejala yang terjadi pada aktifitas istirahat yakni perubahan aktifitas biasanya
atau hobi yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.
b. Neurosensori
Gejala yang terjadi pada neurosensori adalah gangguan penglihatan kabur/
tidak jelas.
c. Nyeri / kenyamanan
Gejalanya yaitu ketidaknyamanan ringan mata menjadi merah sekali,
pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur.
d. Rasa Aman
Yang harus dikaji adalah kecemasan pasien akan penyakitnya maumun
tindakan operatif yang akan dijalaninya.
e. Pembelajaran / pengajaran
Pada pengkajian klien dengan gangguan mata ( pterigium ) kaji riwayat
keluarga apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji
riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena,
ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan pada radiasi,
steroid/toksisitas fenotiazin.
7. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data fokus pada mata : adanya jaringan yang tumbuh
abnormal pada mata biasanya tumbuh menuju ke kornea.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman b/d gejala penyakit
2. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penglihatan
3. Risiko cedera
4. Ansietas b/d kekhawatiran mengalami kegagalan
5. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik (prosedur operasi)
6. Risiko infeksi
C. Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman b/d gejala penyakit
Intervensi : Perawatan Kenyamanan
Observasi
a. Identifikasi gejala yang tidak menyenangkan (adanya rasa gatal pada mata)
b. Identifikasi pemahaman tentang kondisi, situasi dan perasaannya
Terapeutik
c. Ciptakan lingkungan yang nyaman
Edukasi
d. Ajarkan terapi relaksasi
Kolaborasi
e. Kolaborasi pemberian analgetik, antipruritus, antihistamin, Jika Perlu
2. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penglihatan
Intervensi : Minimalisasi Rangsangan
Observasi
a. Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan (nyeri dan
kelelahan)
Terapeutik
b. Batasi stimulus lingkungan (pencahayaan dan aktivitas)
c. Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
Edukasi
d. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mengatur pencahayaan ruangan)
Kolaborasi
e. Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan
3. Risiko cedera
Intervensi : Pencegahan Cedera
Observasi
a. Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
Terapeutik
b. Sediakan pencahayaan yang memadai
c. Gunakan alas lantai jika berisiko mengalami cedera serius
d. Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan
Edukasi
e. Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk selama beberapa menit
sebelum berdiri
4. Ansietas b/d kekhawatiran mengalami kegagalan
Intervensi : Reduksi Ansietas
Observasi
a. Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik
b. Pahami situasi yang membuat ansietas
c. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
Edukasi
e. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
f. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
g. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
5. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik (prosedur operasi)
Intervensi : Manajemen Nyeri
Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
b. Fasilitas istirahat dan tidur
Edukasi
c. Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
d. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
6. Risiko infeksi
Intervensi : Pencegahan Infeksi
Observasi
a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
Edukasi
c. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
d. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
e. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Kolaborasi
f. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Haryono, Rudi & Utami Sari. 2019. Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.

Ilyas S. 2018. Mata Dengan Penglihatan Normal, Dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1. PPNI
2017
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi dan Tindakan Keparawatan Edisi 1.
PPNI 2017
Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1
Cetakan II. PPNI 2017
Tanto Crhis dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai