Anda di halaman 1dari 14

TinjauanPustaka

Pterigium pada Mata Kiri


Grace Stephanie Manuain
102011266
stephanie.manuain@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Ukrida
Jalan Arjuna Utara, No.6, Jakarta Barat 11510

Pendahuluan

Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva
pada mata dan dapat menganggu penglihatan.1 Kondisi ini menciptakan beberapa masalah,
termasuk mata kering (dry eye), astigmatisme irregular, dan masalah kosmetik yang sulit
diterima. Pada tingkat lanjut, pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan
operasi kompleks untuk rehabilitasi visual secara penuh.2

Makalah ini akan membahas mengenai Pterigium mulai dari anamnesis sampai dengan
prognosis termasuk diagnosis banding Pterigium untuk membedakannya dengan kelainan
mata lain yang memiliki tanda dan gejala serupa dengan penyakit ini, dengan demikian
penatalaksanaannya pun dapat diberikan dengant epat dan efektif. Melalui makalah pterigium
ini, mahasiswa diharapkan dapat mengenali gejala dan tanda, dapat membuat diagnosis
berdasakan pemeriksaan fisik dan memberi terapi pendahuluan sesuai kompetensinya sebagai
dokter umum sebelum merujuk ke spesialis mata.

Skenario 2
Seorang pria 68 tahun, nelayan, datang ke poliklinik dengan keluhan utama mata kiri merah
sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai mata sedikit berair, perih, terasa seperti mata
berpasir. Keluhan ini sudah sering dirasakan dan sering hilang timbul.

1
TinjauanPustaka

Anamnesis

 Identitas : nama, umur, pekerjaan, alamat, agama.


 Keluhan utama : gangguan kerusakan atau penurunan penglihatan, mata merah, mata
perih, atau penglihatan ganda.
 Keluhan lain : misalnya apakah terasa nyeri & fotofobia, apakah ada sekret, apakah
terasa gatal, apakah penglihatan menjadi kabur, apakah mata terasa kering, apakah
ada rasa mengganjal di mata.
 Riwayat penyakit sekarang (menggali keluhan utama), tanyakan :
 sejak kapan terasa keluhan dirasakan
 keluhan dirasakan setiap hari atau tidak
 apakah mengganggu aktivitas bekerja yang sekarang
 bagaimana awal mula munculnya keluhan tersebut
 apakah ada hal hal yang memperberat atau memperingan
 apakah selama bekerja memakai pelindung mata, baik pelindung dari sinar
matahari atau pun debu jalanan
 Riwayat penyakit dahulu, tanyakan :
 apakah pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
 apakah pernah menderita penyakit mata yang lainnya
 apakah sedang mengidap penyakit lain (yaitu DM, hipertensi, dan penyakit
sistemik lainnya)  
 apakah ada riwayat alergi
 Riwayat penyakit keluarga : tanyakan apakah mungkin di keluarga ada yang
mengalami hipertensi, diabetes, dll. Dan atanyakan juga apakah di keluarag ada yang
pernah mengalami keluhan serupa.
 Riwayat pengobatan : terutama penggunaan obat steroid jangka panjang, apakah
sebelumnya memakai kacamata, apakah dulu pernah menjalani operasi (terutama
yang berhubungan dengan mata).3

2
TinjauanPustaka

Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan fisik umum : keadaan umum.


 Pemeriksaan segmen anterior mata dengan menggunakan penlight dan slitlamp (di
tingkat rujukan), meliputi pemeriksaan terhadap : Palpebra, konjungtiva, sclera,
kornea, COA (Camera Oculi Anterior), iris, pupil, lensa.
 Pemeriksaan reflex pupil. Dilakukan dengan menyinari mata dengan senter, dicari
kelainan pupil seperti anisokor atau afferent papillary defect. 
 Posisi (alignment) dan gerakan bola mata: dinilai secara binokuler ke 8 arah (cardinal
gaze). Pada pemeriksaan bola mata dicari tanda-tanda strabismus (esotropia,
eksotropia, dan hipertropia). Pada pemeriksaan gerakan bola mata dicari hambatan
gerakan-gerakan bola mata. 
 Pemeriksaan segmen posterior mata, yaitu pemeriksaan refleks fundus, untuk
memeriksa bagaimana jalan refraksi cahaya, apakah terganggu atau tidak.
Pemeriksaan ini menggunakan lat yang bernama oftalmoskop.
 Pemeriksaan TIO (Tekanan Intra Okular), baik dengan menggunakan teknik palpasi
maupun dengan menggunakan alat tonometri (mis. Tonometri Schiotz, Tonometri
Goldmann).
 Pemeriksaan visus atau ketajaman penglihatan dengan menggunakan Snellen Chart.
 Pemeriksaan lapang pandang. Cara paling sederhana yang dapat di layanan primer
adalah tes Konfrontasi (bertujuan untuk melihat batas perifer penglihatan), namun
pemeriksaan di tingkat rujukan adalah menggunakan Kampimetri Goldmann.
 Tes Schiemer untuk mengukur volume (kuantitas) air mata dengan penggunakan strip
khusus yang diletakkan di bagian dalam dari palpebra inferior mata.3

3
TinjauanPustaka

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan topografi kornea/fotokeratoskop : pemeriksaan dengan menggunakan


komputer canggih untuk melihat permukaan kelengkungan kornea.
 Tes fluoresin : digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan jelas.
Hal ini disebabkan karena hanya sel epitel kornea yang rusak yang dapat menyerap
zat fluoresin.
 Pemeriksaan Radiologi, CT-SCAN, dan USG B-SCAN : digunakan untuk mengetahui
posisi benda asing/imaging.
 Electroretinography (ERG) : untuk mengetahui ada tidaknya degenerasi pada retina. -
 Kertas Lakmus : pada pemeriksaan ini sangat membantu dalam menentukan mata
terpajan dengan bahan kimia atau tidak.
 Pemeriksaan Laboratorium, seperti : leukosit, kultur, kemungkinan adanya infeksi.
 Pemeriksaan Histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium yang telah
dikeluarkan/diangkat. Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang
ireguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.4

4
TinjauanPustaka

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

 Pterigium
Merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degenerative
dan invasive. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi, maka pterigium akan berwarna merah. Pterigium
dapat mengenai kedua mata.
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan
udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan
suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.
Pterigium tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif,
merah, dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan gangguan
penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan
kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari Stocker) yang terletak di ujung
pterigium.5
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup
oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4:
 Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan ulkus kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva
yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.
Beda dengan pterigium adalah letaknya, pseudopterigium tidak harus pada celah
kelopak atau fisura palpebral, pada pseudopterigium ini dapat diselipka sonde di
bawahnya. Pada pseudopterigium selamanya terdapat anamnesis adanya kelainan
kornea sebelumnya, seperti tukak kornea.5
 Pinguekula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orang
tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu, dan
angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian nasal.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh

5
TinjauanPustaka

darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi,
maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar.5

Etiologi

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva menuju cornea pada daerah interpalbera. Pterigium pertumbuhan berbentuk
sayap pada conjungtiva bulbi. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap. Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di
daerah equator, yaitu 13,1%.1

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu 
neoplasama, radang, dan degenerasi.5

Pterigium tersebar didunia tetapi sering pada daerah panas, beriklim kering. Prevalensi pada
daerah equator kira kira 22 % dan kurang dari 2 % didaerah lintang diatas 40°C. Terdapat
beberapa penelitian yang menunjukkan frekwensi pterigium yang berhubungan dengan faktor
resiko.6

Penelitian case control di Australia , mengidentifikasi jumlah pterigium berdasarkan faktor


resiko, 44 x lebih banyak pada pasien bermukim di daerah tropis ( < dari lintang 30 o), 11 x
lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 x pada pasien dengan riwayat
tanpa memakai kacamata atau sunglasses dan 2 x pada pasien tidak memakai topi. Penelitian
lain menunjukkan frekwensi lebih tinggi pada laki laki.6

Selain itu , pterigium hanya ditemukan pada nelayan dan pekerja di pedesaan. Penelitian ini
menunjukan bahwa pterigium berhubungan erat dengan exposure ultraviolet.6

Menurut penelitian lain ultraviolet bukan penyebab utama pterigium , para pekerja yang
berhubungan dengan debu menunjukkan pekerja di lingkungan dalam rumah lebih tinggi
prevalensi pterigium daripada pekerja di luar rumah yang terpapapar radiasi ultraviolet.6

6
TinjauanPustaka

Penelitian yang lain menunjukkan pterigium pada pekerja las yang terpapapar sinar ultra
violet berhubungan dengan lamanya bekerja dan insiden pterigium. Dan penelitian yang lain
menunjukkan pterigium jarang pada pekerja las ( < 0,5 % ).6

Epidemiologi dan Faktor Resiko

Pterigium tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi
adalah daerah dekat equator, yakni daerah < 37° lintang utara dan selatan dari equator.
Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat equator dan kurang dari 2 % pada daerah diatas
40° lintang.4 Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada
umur antara 20 dan 49 tahun. Rekuren lebih sering pada umur muda dari pada umur tua. Laki
laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah
dan riwayat exposure lingkungan diluar rumah.4,6

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.6
 Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah ekspoure sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi cornea dan conjungtiva menghasilkan kerusakan
sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan
topi juga merupakan faktor penting.
 Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
 Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer cornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limba defisiensi , dan saat
ini merupakan teori baru phatogenesis dari pterigium. Debu, kelembapan yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga
penyebab dari pterigium.

Patogenesis

7
TinjauanPustaka

Etiology pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun karena lebih sering pada orang yang
tinggal di daerah ikim panas. Maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut
adalah respon terhadap factor-factor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultra
violet), daerah kering, inflamasi , daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan kojungtiva pada fissura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastic baru merupakan salah
satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering medukung teori ini. 1

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor – beta overproduksi dan menimbulkan proses
collagenase meningkat, sel sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi colagen dan terlihat jaringan subepithelial fibrovascular. Jaringan subconjungtiva
terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vascular dibawah epithelium
yang akhirnya menembus cornea. Kerusakan pada cornea terdapat pada lapisan membran
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskullar, sering dengan inflamasi ringan. Epithel
dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi dysplasia.7

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epithel cornea. Pada keadaan defiensi limbal stem
sel, terjadi conjungtivalization pada permukaan cornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan conjungtiva ke cornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari
defisiensi atau disfungsi localized interpal pebral limbal stem sel. Kemungkinan akibat sinar
ultraviolet terjadi kerusakan stem sel di daerah interpalpebra.4

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype,


pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblas conjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian pterigium
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix
metalloproteinase, di mana matrix metalloproteinase adalah extraselular matrix yang
berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblast
pterigium bereaksi terhadap TGF – β (transforming growth factor – β ) berbeda dengan
jaringan conjungtiva normal, bFGF (basic fibrobloast growth factor) yang berlebihan, TNF –
α (tumor necrosis factor – α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung
terus tumbuh, invasi ke stroma cornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.4

8
TinjauanPustaka

Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein angiografi ditemukan peningkatan area


nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal pterigium.
Sirkulasi CD34 + MNCs dan c–kit + MNCs meningkat pada pterigium dibanding dgn
konjungtiva normal. Cytokin lokal dan sistemik, SP (Substance P), VEGF (Vascular
endothelial Growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigiummeningkat,
berhubungan dengan CD34+ dan Ckit + MNC. Hal ini menunjukan pada pterigium terlibat
pertumbuhan Endothelial Progenitor Cells (EPCs) dan hypoksia ocular yang merupakan
faktor pencetus neovascularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang
melalui produksi cytokin lokal dan sistemik.7

Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukan proliferasi


fibrotik yang menyimpang dibawah epitel pterigium , dengan epithel yang meluas ke stroma.
Pemisahan sel sel epitel pterigium menunjukan epithel dikelilingi sel sel fibroblast yang aktif.
Karakteristik dari E–cadherin, penumpukan β–catenin di intranuklear dan lymphoid factor-1
meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada α– SMA / vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epithel mesenchymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. β Catenin meningkat pada pterigium dan PFC (Pterygial fibroblast)
dibandingkan pada conjungtiva normal. β Catenin berperan penting dalam pathogenesis
pterigium.7

Gejala Klinis

Pterigum lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissure

9
TinjauanPustaka

interpalpebralis. Deposit besi dapa dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterigium (stoker’s line).7,8

Kira kira 90 % pterigium terletak didaerah nasal. Nasal dan temporal pterigium dapat terjadi
sama pada mata, temporal pterigium jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi
jarang asimetris. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur.2,4

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body , apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang
meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut “body”, sedangkan bagian
atasnya disebut “apex“, dan ke belakang disebut “cap “. A subepithelial cap atau halo timbul
pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.6

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi 2 type yaitu progresif dan regresif
pterigium :4
 Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate di cornea di depan
kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
 Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vascular. Akhirnya menjadi membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang. Pada fase awal pterigium tanpa gejala , tetapi
keluhan kosmetik. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai daerah
pupil atau menyebabkan cornea astigmatisma menyebabkan pertumbuhan fibrosis
pada tahap regresif. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya
pergerakan mata.

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa tipe:8


 Type I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker line atau deposit besi dapat dijumpai
pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering

10
TinjauanPustaka

mengalami infamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
 Type II ; mentupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.

Pada awal proses penyakit, pterigium biasanya asimtomatis. Namun pterigium juga dapat
memberikan keluhan mata kering (seperti terbakar atau gatal dan berair), iritatif, merah, dan
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Sejalan dengan progresivitas penyakit, lesi
bertambah besar dan kasat mata sehingga secara kosmetik mengganggu pasien. Pertumbuhan
lebih lanjut, lesi menyebabkan gejala visual karena terjadinya astigmatisma ireguler.9
Keluhan lain yang mungkin didapat dari pasien adalah rasa mengganjal di mata seperti ada
benda asing.2

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar
mata (sklera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan puncak pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan
peradangan.1

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut  Youngson ):
 Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
 Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.1

Penatalaksanaan

Pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium yang mengalami inflamasi,
pasien dapat diberikan obat tetes anti inflamasi golingan steroid dan nonsteroid seperti
11
TinjauanPustaka

indomethacin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.10

Selain penatalaksanaan secara konservatif, pterigium dapat pula dilakukan tindakan bedah
atas indikasi. Indikasi operasinya adalah:10
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Terapi supportif yang bisa diberikan adalah artificial tear tetes karena salah satu keluhan dari
pterigium adalah kekeringan pada mata (dry eye). Penggunaan kacamata pelindung dan topi
terbukti dapat mengurangi keluhan dan mencegah terjadinya pterigium.1

Komplikasi

Komplikasi pterigium termasuk:10


 Distorsi dan penglihatan sentral berkurang.

12
TinjauanPustaka

 Merah.
 Iritasi.
 Scar (parut ) kronis pada konjungtiva dan kornea.
 Pada pasien yang belum excisi, scar pada otot rectus medial yang dapat menyebabkan
diplopia.
 Pada pasien dengam pterigium yang telah dieksisi, scar atau disinsersi otot rektus
medial dapat juga menyebabkan diplopia.

Komplikasi post eksisi pterigium adalah :10


 Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft
longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment.
 Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea.
 Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
postoperasi. Simple excisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira kira 50 – 80
%. Dapat dikurangi dengan tekhnik conjungtiva autograft atau amnion graft.
 Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epithel diatas
pterigium yang ada.

Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma jinak. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat
dicegah dengan kombinasi operasi sitostatik tetes mata atau Beta radiasi. Eksisi pada
pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada umumnya setelah 48 jam pasca
operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygium yang kambuh lagi dapat
mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva atau
limbal autografts atau transplantasi membran amnion.10

Kesimpulan

Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva
pada mata dan dapat menganggu penglihatan. Pterigium perlu dibedakan dengan jenis

13
TinjauanPustaka

penyakit mata merah visus normal lainnya pseudopterigium, pinguekula, episkleritis, dan
skleritis yang memberikan gejala yang hampir sama dengan pterigium. Penyebab pterigium
tidak diketahui secara pasti dan diduga merupakan proses degenerasi. Pengobatan umumnya
tidak terlalu diperlukan, eksisi pada pterigium hanya dilakukan jika pertumpuhan
pterigiumsudah mengganggu penglihatan dan estetika.

Daftar Pustaka

1. Mulyani E, Susilowati D. Distribusi dan Karakterisitik Pterigium di Indonesia.


Jakarta: Buletin Penelitian Sistem Kesehatan; 2011. H.14, 84–49.
2. Gazzard G, Saw SM, FarookM, Koh D, Wijaya D, et all. Pterigiumin Indonesia;
revalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology; 2002. P.8-12.
3. Gleade J. At a glance: Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.
H.44-5.
4. Donald T, et all. Pterigium, Clinical Ophthalmology - An Asian Perspective. Chapter
3. Singapore: Saunders Elsevier; 2005. P.207-14.
5. Ilyas HS. Ilmu penyakit mata. Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. H.116-
20.
6. Waller GS, Adams PA. Pterigium. Duane ‘ s Clinical Ophthalmology. Chapter 35,
Vol: 6, Revised Edition. Lippincot Williams & Wilkins; 2004. P.1-10.
7. Leo JK, Song YS. Endothelial Progenitor Cells in Pterigium Pathogenesis in Eye.
Volume 21, Issue 9. 2007. P.1186-93.
8. Kanski JJ. Pterigium, Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. Chapter 4.
Butterworth Heinemann Elsevier; 2007. P.242-5.
9. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. 2010. P.37-8.
10. Soewono W, Oetomo MM, Eddyanto. Pterigium in: Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Edisi III. Jakarta: Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata; 2006. P.102-4.

14

Anda mungkin juga menyukai