OLEH :
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN PTERYGIUM
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Pterygium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau
konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea.
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena
biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea,
sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika
sampai menutup pupil maka penglihatan akan terganggu. Suatu pterygium merupakan
massa ocular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk
di atas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini
bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas
sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat
yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini
kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi
merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses
cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun
pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan
hilangnya penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan
tindakan medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya
pembesaran pterygium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek samping
dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.
B. Etiologi
Penyebab pterygium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan
suatu neoplasma radang dan degenerasi. Faktor resiko terjadinya pterygium adalah
tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir
atau anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan
dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan
angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini.
Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat allergen, kimia dan
zat pengiritasi lainnya. Pterygium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-
orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.
C. Patofisiologi
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan
terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi
tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi
berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor)
menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel
yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat
pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran
Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan
pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala
dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi,
inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi
localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi
elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada
pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi
elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin
dan eosin. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau
bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
PATHWAYS
Sinar Ultra Violet Angin Asap Debu
Terjadi iritasi
Menjalar ke kornea
Gangguanrasa
Gangguan rasa nyaman
nyaman Menutupi kornea
(Rasa kemeng
(sensasi benda di mata,
asing di
Sensasi benda
mata) asing)
Pandangan kabur Perubahan
persepsi sensori
D. Manifestasi Klinis
1. Mata iritatatif, merah, gatal, dan mungkin menimbulkan astigmatisme.
2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pterygium yang meluas ke kornea (Zone
Optic).
3. Dapat diserati keratitis pungtata, delen (penipisan kornea akibat kering) dan garis
besi yang terletak di ujung pterygium.
2. Pemeriksaan Fisik
Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus
pasien. Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut. Anamnesa positif
terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik yang menunjang
anamnesis cukup untuk membuat suatu diagnosa pterygium.
3. Pemeriksaan Slit Lamp
Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan
bahwa lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding
lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari
lensa pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola
mata dengan magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar
untuk terlihat dengan jelas.
G. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan
bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau
pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan
bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor (prednisone asetat) maka perlu
kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila
pterygium telah mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh
permukaan kornea atau bola mata. Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan
dilakukan untuk mengangkat pterygium yang membesar ini apabila mengganggu
fungsi penglihatan atau secara tetap meradang dan teriritasi. Paska operasi biasanya
akan diberikan terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi lainnya.
H. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
1. Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan
memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada di tengah otot rektus
umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum
dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi
pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi post operasi pterygium meliputi:
1. Infeksi
2. Reaksi material jahitan
3. Diplopia
4. Conjungtival graft dehiscence
5. Corneal scarring
6. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan
vitreous, atau retinal detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada
pterygium adalah terjadinya pengenceran sclera dan kornea. Sebagian dari kasus ini
dapat memiliki tingkat kesulitan untuk mengatur.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data fokus pada mata : adanya jaringan yang tumbuh
abnormal pada mata biasanya tumbuh menuju ke kornea.
B. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Gangguan rasa nyaman (sensasi benda asing) berhubungan dengan adanya
penebalan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma okuler.
3. Risiko cedera berhubungan dengan keterbatasan pengelihatan.
4. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi.
5. Ansietas berhubungan dengan tindakan operatif yang akan dijalani.
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan akibat pembedahan.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan port de entry sebagai akibat diskontinuitas
jaringan.
3. Perubahan presepsi sensori (perseptual) sehubungan dengan luka post operasi.
4. Risiko cedera berhubungan dengan keterbatasan pengelihatan.
5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
perawatan diri dan penatalaksanaan di rumah.
C. Perencanaan
Diagnosa
No. Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
Medication Administration :
Eye
1. Perhatikan riwayat
kesehatan pasien dan
riwayat alergi
2. Kaji pengetahuan pasien
mengenai obat dan
pemahaman metode
administrasi
3. Posisikan pasien terlentang
atau duduk di kursi dengan
leher sedikit hyperextended
; meminta pasien untuk
melihat langit-langit
4. Tanamkan obat ke kantung
konjungtiva menggunakan
teknik aseptik
5. Anjurkan pasien untuk
menutup mata dengan
lembut untuk membantu
mendistribusikan obat
6. Pantau efek lokal, sistemik,
dan merugikan dari obat
D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat
sebelumnya berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan dalam kasus,
dengan menuliskan waktu pelaksanaan dan respon klien.
E. EVALUASI
1. Pasien merasa nyaman, dan dapat memahami penjelasan perawat.
2. Tidak terjadi infeksi pada mata pasien.
3. Pasien tidak mengalami cedera.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda Juall (2000), Diagnosa Keperawatan: Aplikasi Pada Praktek Klinik,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Guyton and Hall (1997), Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta