Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS “BATU SALURAN KEMIH (UROLITIASIS)”


DI RUANGAN PERAWATAN INTERNA
RSUD LANTO DG PASEWANG JENEPONTO

NUR AZISAH RAMLI RUKKA


D.19.07.051

PRESEPTOR KLINIK PRESEPTOR INSTITUSI

............................................... ................................................

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN

BATU SALURAN KEMIH (UROLITIASIS)

A. Konsep Dasar Medis


1. Defenisi
Batu saluran kemih (urolitiasis) adalah adanya batu pada saluran kemih yang
bersifat idiopatik, dapat menimbulkan statis dan infeksi. Mengacu pada adanya
batu (kalkuli) pada traktus urinarius [ CITATION Har12 \l 1057 ].
Batu saluran kemih atau urolitiasis adalah partikel padat (kalkuli) dalam
sistem kemih. Kalkuli dapat menyebabkan rasa sakit, mual, muntah, hematuria,
menggigil, dan demam karena infeksi sekunder. Urolitiasis terjadi bila batu ada di
dalam saluran perkemihan, sedangkan apabila batu ditemukan di kandung kemih
disebut vesikolitiasis, dan disebut nefrolitiasis bila ditemukan batu di ginjal
(Kardiyudiana dan Susanti, 2019).
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada
saluran kencing yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa
tertentu. Betu tersebut bisa terbentuk dari berbagai senyawa, misalnya kalsium
oksalat (60%), fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%) [CITATION Pra142 \t \l
1057 ].
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa urolitiasis atau batu
saluran kemih merupakan suatu kondisi terdapatnya batu di saluran kemih, bisa
terjadi di ginjal, ureter, maupun di vesika urinaria. Batu tersebut bisa terbentuk
dari senyawa kalsium oksalat, fosfat, sistin.
2. Etiologi
Sekitar 85% dari batu saluran kemih terdiri dari kalsium, terutama kalsium
oksalat, 10% asam urat, 2% cystine, serta sebagian besar sisanya adalah
magnesium amonium fosfat (struvit). Faktor risiko umum terjadinya batu saluran
kemih di antaranya adalah gangguan yang meningkatkan konsentrasi garam
kemih, baik dengan peningkatan ekskresi sitrat kemih.
Faktor-faktor yang memungkinkan terbentuknya batu di saluran kemih, antara
lain matriks protein dan inflamasi bakteri, serta peningkatan konsentrasi urine
(pencetus percepatan pembentukan kristal seperti Ca, asam urat, dan fosfat).
Pembentukan batu di saluran kemih dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor
endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah faktor genetik seperti
hipersistinuria, hiperkalsiuria primer, dan hiperoksaluria primer, sedangkan faktor
eksogen meliputi lingkungan, makanan, infeksi, dan kejenuhan mineral di dalam
air minum (Kardiyudiana dan Susanti, 2019).
3. Manifestasi Klinik
Kalkuli besar yang berada di parenkim ginjal atau sistem pengumpulan ginjal
sering terjadi tanpa gejala, kecuali menyebabkan obstruksi dan/atau infeksi. Nyeri
yang parah, sering disertai dengan mual dan muntah, biasanya terjadi ketika batu
masuk ke ureter dan menyebabkan obstruksi akut.
Nyeri (kolik ginjal) memiliki intensitas bervariasi tetapi biasanya sangat
menyiksa dan intermiten, sering terjadi secara siklik, dan berlangsung 20 hingga
60 menit. Mula dan muntah juga sering terjadi. Nyeri di daerah panggul atau
ginjal yang menyebar di seluruh perut menunjukkan adanya obstruksi panggul,
saluran kemih, atau ginjal. Nyeri yang terjadi disepanjang ureter ke wilayah
genital menunjukkan obstruksi ureter bagian bawah. Nyeri suprapubik bersama
dengan urgensi kemih dan frekuensi menunjukkan kalkuli ureteral, uretrovesikal,
atau kandung kemih bagian distal.
Pada pemeriksaan, pasien bisa berada dalam ketidaknyamanan ekstrem yang
jelas, seringkali pucat, dan mengeluarkan keringat. Perut mungkin agak lunak
pada sisi yang terkena karena palpasi meningkatkan tekanan pada ginjal yang
sudah membesar, tetapi tanda peritoneum kurang.
Untuk beberapa pasien, gejala pertama adalah hematuria atau kalkuli dalam
urine. Gejala lain yang timbul berupa gejala ISK, seperi demam, disuria, serta
urine berwarna gelap atau berbau busuk.
4. Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urine dan
menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urine dan menurunnya volume
urine akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan. Hal ini dapat
meningkatkan risiko terjadinya urolitiasis. Rendahnya aliran urine adalah gejala
abnormal yang umu terjadi. Selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya
urolitiasis seperti komposisi batu yang beragam menjadi faktor utama bekal
identifikasi penyebab urolitiasis.
Batu yang terbentuk dari ginjal dan berjalan menuju ureter paling mungkin
tersangkut pada satu dari tiga lokasi berikut: a) sambungan ureteropelvik, b) titik
ureter menyilang pembuluh darah illiaka, dan c) sambungan ureterovesika.
Perjalan batu ginjal ke saluran kemih sampai dalam kondisi statis menjadikan
modal awal dari pengambilan keputusan untuk tindakan pengangkatan batu. Batu
yang masuk pada pelvis akan membentuk pola koligentes, yang disebut sebagai
batu staghorn.
5. Komplikasi
Batu saluran kemih yang tidak dikeluarkan, bahkan yang tidak menunjukkan
gejala, dapat menyebabkan komplikasi, seperti:
a. Disfungsi saluran kemih krinis. Batu saluran kemih yang tidak diobati dapat
menyebabkan masalah kemih jangka panjang, seperti nyeri atau sering
berkemih. Batu saluran kemih juga dapat masuk kedalam pembukaan di mana
urine keluar dari saluran kemih dan menghalangi saluran air kencing.
b. Infeksi saluran kemih. Batu saluran kemih dapat menyebabkan infeksi bakteri
berulang di saluran kemih.
c. Penyumbatan total aliran kemih dari ginjal menurunkan laju filtrasi
glomelurus (GFR) dan jika terus berlangsung selama lebih dari 48 jam, dapat
menyebabkan kerusakan ginjal ireversibel.
d. Jika batu ureter menyebabkan gejala setelah 4 minggu, ada resiko komplikasi
20%, termasuk kerusakan fungsi ginjal, sepsis, dan struktur ureter.
e. Obstruksi persisten merupakan predisposisi terhadap pielonefritis.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Urinalisis, pemeriksaan urinalisis pada pasien batu kandung kemih
dilakukan secara mikroskopis dan makroskopis. Pemeriksaan secara
mikroskopis dilakukan untuk menilai jenis batu dengan menilai pH,
konsistensi, dan komposisi batu. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk
menilai warna dan kejernihan dari urine. Pada pasien dewasa dengan dengan
jenis batu asam urat, secara mikroskopis lazim didapatkan pH asam,
sedangkan secara makroskopis didapatkan adanya hematuria dan piuria.
b. USG
Ultrasonografi, menampilkan objek hyperechoic klasik dengan
membayangi posterior, efektif dalam mengidentifikasi baik rediolusen dan
batu radio-opak.
c. Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan standar untuk menilai adanya batu radio-opak.
d. Intravena pyelography (IVP)
Jika kecurigaan klinis tetap tinggi dan foto polos abdomen tidak
mengungkapkan adanya batu, langkah berikutnya adalah cystography atau
IVP.
e. CT Scan
CT Scan biasanya diperoleh karena alasan lain (misalnya: sakit perut,
massa panggul, abses dicurigai), tetapi menunjukkan batu kandung kemih
ketika dilakukan tanpa kontras intravena.
f. Sitoskopi
Sitoskopi digunakan untuk menginformasi keberadaan batu kandung
kemih dan rencana pengobatan. Prosedur ini memungkinkan untuk visualisasi
batu, ukuran, dan posisi. Selain itu, pemeriksaan uretra, prostat, dinding
kandung kemih, dan lubang saluran kemih memungkinkan untuk dilkukan
identifikasi striktur, obstruksi prostat, diverticula kandung kemih, dan tumor
kandung kemih.
7. Penatalaksanaan
a. Simptomatik
Pemberian obat-obatan pelarut batu dilakukan jika ukuran batu tidak
terlalu besar dan tidak terlalu keras. Peluruh batu akan memecah batu lebih
kecil, sehingga bisa diiragasi keluar bersama urine. Minum air putih yang
banyak diperlukan saat irigasi batu, sehingga frekuensi kencing akan
meningkat dari kualitas dan kuantitas.
b. Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika ukuran batu besar dan tidak memungkinkan
untuk dikeluarkan dengan tindakan simptomatik maupun litotripsi.
Pembedahan (lumbotomy) dilakukan dengan memperhatikan letak batu,
sehingga teknik insisi akan mengikuti dari pertimbangan tersebut.
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Tindakan ini digunakan untuk memcahkan batu pada ginjal dengan
menggunakan pancara gelombang yang penghantarannya berada dalam
genangan air. Gelombang yang dihantarkan berupa gelombang kejut (shock
wave) dengan harapa mampu meretakkan batu pada ginjal. Pasien ditempatkan
dalam sebuah wadah/kolam yang berisi air. Dengan panduan USG
piezoelektris maka akan lebih mudah untuk menentukan posisi batu. Insisi
tetap dilakukan namun mini insisi pada perkutan untuk mengeluarkan batu.
Dari insisi inilah dimasukkan sebuah dilator sebagai lintasan untuk
pengambilan batu. Selang nefrostomo ini situ ditanamkan selama 24-48 jam
untuk memantau bleeding pada bekas operasi dansebagai drainase.
8. Pathway
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Kaji tentang pekerjaan yang monoton, lingkungan pekerjaan apakah pasien
terpapar suhu tinggi, keterbatasan aktivitas, misalnya karena penyakit yang
kronis atau adanya cedera pada medulla spinalis.
b. Sirkulasi
Kaji terjadinya peningkatan tekanan darah dan nadi, yang disebabkan nyeri,
ansietas atau gagal ginjal. Daerah ferifer apakah teraba hangat (kulit) merah
atau pucat.
c. Eliminasi
Kaji adanya riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus), penurunan
haluaran urin, kandung kemih penuh, rasa terbakar saat BAK. Keinginan atau
dorongan ingin berkemih terus, oliguria, haematuria, piuri atau perubahan pola
berkemih.
d. Makanan/cairan
Kaji adanya mual, mual, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium
oksalat atau fosfat, atau ketidakcukupan pemasukan cairan tidak cukup
minum, terjadi distensi abdominal, penurunan bising usus.
e. Nyeri/kenyamanan
Kaji episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu
misalnya pada panggul di regio sudut kostovertebral dapat menyebar ke
punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha genetalia, nyeri dangkal konstan
menunjukkan kulkulus ada di pelvis atau kulkulus ginjal. Nyeri yang khas
adalah nyeri akut tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain, nyeri tekan
pada area ginjal pada palpasi.
f. Keamanan
Kaji terhadap penggunaan alkohol perlindungan saat demam atau menggigil.
g. Riwayat penyakit
Kaji adanya riwayat batu saluran kemih pada keluarga, penyakit ginjal,
hipertensi, ISK kronis, riwayat penyakit, usus halus, bedah abdomen
sebelumnya, hiperparatiroidisme, penggunaan antibiotika, anti hipertensi,
natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium
atau vitamin D.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d agen pencedra fisiologis (iskemia, edema, inflamasi)
b. Gangguan Eliminasi Urine b/d penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda
gangguan kandung kemih
c. Resiko ketidakseimbangan cairan
d. Defisit pengetahuan b/d kurang terpapar informasi
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d agen pencedra fisiologis (iskemia, edema, inflamasi).
Tujuan : Selama di lakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang.
Kriteria hasil :
1) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
2) Mampu mengenali serangan nyeri
Intervensi :
Manajemen nyeri
1) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri, dan
faktor pencetusnya.
2) Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau
memperberat nyeri.
3) Berikan informasi mengenai nyeri, yaitu penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat
prosedur.
4) Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi yaitu teknik relaksasi,
bimbingan antisipatif, terapi musik, terapi bermain, aplikasi panas/dingin
dan pijatan jika memungkinkan.
5) Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri.
6) Berikan informasi yang akurat untuk meningkatkan pengetahuan dan
respon keluarga terhadap pengalaman nyeri.
Pemberian analgetik
1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
2) Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgetik
yang diresepkan.
3) Cek adanya riwayat alergi obat.
4) Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat membantu
relaksasi untuk memfasilitasi penurunan nyeri.
5) Kolaborasikan dengan dokter apakah obat, dosis, rute pemberian, atau
perubahan interval dibutuhkan, buat rekomendasi khusus berdasarkan
prinsip analgetik.
b. Gangguan Eliminasi Urine b/d penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda
gangguan kandung kemih
Tujuan : Selama dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi
urin membaik.
Kriteria hasil :
1) Klien tidak lagi mengalami hesitancy atau berkemih tidak tuntas
2) Tidak mengalami dribbling.
Intervensi :
Bantuan Berkemih
1) Petimbangkan kemampuan dalam rangka mengenal keinginan untuk BAK
2) Tetapkan interval untuk jadwal membantu berkemih, berdasarkan pada
pola pengeluaran (urine)
3) Berikan pendekatan dalam 15 menit interval yang disarankan untuk
bantun berkemih
4) Berikan privasi untuk adanya [aktivitas] eliminasi
Perawatan Retensi Urine
1) Lakukan pengkajian komprehensif sistem perkemihan fokus terhadap
inkontiensia (misalnya urine output, pola berkemih, fungsi kognitif,
masalah saluran perkemihan sebelumnya)
2) Monitor efek dari obat-obat yang diresepkan, seperti calcium channel
blockers dan anticholinergics
3) Berikan privasi dalam melakukan eliminasi
4) Pasang keteter urine, sesuai kebutuhan
5) Anjurkan pasien/keluarga untuk mencatat urine output, sesuai kebutuhan
6) Monitor intake dan output
7) Rujuk pada spesialis perkemihan, sesuai kebutuhan
c. Risiko ketidakseimbangan cairan
Tujuan : Selama dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
penurunan cairan.
Kriteria hasil :
1) Tidak mengalami trauma atau pendarahan.
Intervensi :
Monitor cairan
1) Tentukan jumlah dan jenis intake/asupan cairan serta kebiasaan eliminasi.
2) Tentukan faktor-faktor risiko yang mungkin menyebabkan
ketidakseimbangan cairan, seperti patologi ginjal, infeksi, pasca operasi,
poliuria, muntah dan diare.
3) Periksa turgor kulit dengan memegang jaringan sekitar tulang seperti
tangan atau tulang kering, mencubit kulit dengan lembut, pegang dengan
kedua tangan dan lepaskan (dimana kulit akan turun kembali dengan cepat
jika pasien terhidrasi dengan baik).
4) Monitor asupan dan pengeluaran
5) Monitor tekanan darah, denyut jantung, dan status pernapasan
6) Catat dengan akurat asupan dan pengeluaran seperti, asupan oral, asupan
IV, antibiotik, cairan yang diberikan dengan obat-obatan, air seni.
7) Monitor membran mukosa, turgor kulit, dan respon haus.
8) Perbaiki alat medis yang bermasalah (seperti, kateter tertekuk tau
terblokir) pada pasien yang mengalami berhenti mendadak mengeluarkan
urin.
9) Berikan agen farmakologis untuk meningkatkan pengeluaran urine.
10) Konsultasikan ke dokter jika pengeluaran urine kurang dari 0,5 ml/kg/jam
atau asupan cairan orang dewasa kurang dari 2000 dalam 24 jam.
d. Defisit pengetahuan b/d kurang terpapar informasi
Tujuan : Selama dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bertambahnya
pengetahuan mengenai proses penyakit.
Kriteria hasil :
1) Klien mampu menanyakan masalah yang dihadapi
2) Mampu mengikuti anjuran atau saran yang diberikan.
Intervensi :
Pengajaran: Prosedur/perawatan
1) Kaji pengalaman pasien sebelumnya dan tingkat pengetahuan pasien
terkait tindakan yang akan dilakukan
2) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan
3) Beritahu pasien pentingnya pengukuran tanda vital selama tindakan
4) Informasikan pasien agar pasien ikut terlibat dalam proses penyembuhan
5) Luruskan jika ada harapan pasien yang tidak realistik terkait tindakan
6) Berikan kesempatan bagi pasien untuk bertanya ataupun mendiskusikan
perasaanya.
Peningkatan kesadaran kesehatan
1) Gunakan komunikasi yang sesuai dan jelas serta bicara perlahan
2) Hindari penggunaan akronim/singkatan dan jargon medis
3) Berkomunikasi dengan mempertimbangkan kesesuaian budaya,
kesesuaian usia, dan kesesuian jenis kelamin.
4) Observasi tanda-tanda kesadaran kesehatan yang terganggu
5) Gunakan strategi untuk meningkatkan pemahaman yaitu, mulai dengan
informasi yang paling penting dahulu, fokus pada pesan-pesan inti dan
ulangi, gunakan contoh untuk mengilustrasikan poin penting, hubungkan
dengan pengalaman individu, gunakan gaya bercerita.
6) Evaluasi pemahaman pasien dengan meminta pasien mwngulangi kembali
menggunakan kata-kata sendiri atau memperagakan keterampilan.
DAFTAR PUSTAKA

Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Rapha


Publishing.

Kardiyudiani, N.K., & Susanti, B.A.D. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta:
Pustaka Baru.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Jember: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai