PTERIGIUM
Oleh :
Giovanni R. Semet
17014101041
Residen Pembimbing
dr. David C. Chandra
Supervisor Pembimbing
PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari Bahasa Yunani yaitu pterygos yang artinya sayap.
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berupa
granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang
menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea yang bersifat
degeneratif dan invasif.1 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.2 Pterigium dapat
mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhan yang berbeda. Pterigium dapat
menyebabkan terganggunya penglihatan jika pterigium sudah mencapai area
pupil.Pterigium juga berhubungan dengan masalah kosmetik.3
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
2
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Histologi Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata
secara merata di seluruh prekornea.6
5
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea sangat
sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini berasal dari
nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang merupakan
cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa latin
cornum artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan
kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel7.
6
Gambar 4. Anatomi Kornea
B. Definisi
7
Gambar 6. Pterigium
C. Epidemiologi
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dinamdingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
8
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5
Faktor Resiko
9
4. Pekerjaan, salah satu pekerjaan yang memiliki risiko terjadinya pterigium
adalah orang-orang yang berkerja di luar ruangan seperti petani, nelayan
ataupun pelaut.10
E. Patofisiologi
10
Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.8
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi
epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada
puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami
degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi
sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini
masuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea
bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang mengalami degenerasi
elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 8
F. Klasifikasi
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body,bagian segitiga yang
meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex,bagian atas
pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.9
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:9
11
b. Pterigium Regresif :tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai
pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal, maka
disebut sebagai pterigium dupleks.9
Pterigium dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan stadium, lesi,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:
G. Gejala Klinis
12
dengan adanya peradangan akut pada pterigium. Selain gejala ini, pasien juga
mengeluhkan masalah kosmetik.9
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop. Penggunaan jangka
pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi bila gejala lebih intens.
Untuk pterigium stadium 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama
5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan
pada kornea.1,11,12
2. Non medikamentosa
a. Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan
pada pterigium11:
13
a. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada
konjungtiva relatif kecil.
b. Sliding flap: dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka
bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan
flap
c. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
2) Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
3. Terapi Tambahan12
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
14
a. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
b. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
c. Sinar Beta.
d. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
1. Komplikasi
a. Penurunan penglihatan
b. Kemerahan
c. Iritasi
c. Diplopia
15
e. Parut konrea
2. Pencegahan
J. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.2 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien
dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.12
16
DAFTAR PUSTAKA
17