Anda di halaman 1dari 17

Referat

PTERIGIUM

Oleh :

Giovanni R. Semet

17014101041

Residen Pembimbing
dr. David C. Chandra

Supervisor Pembimbing

Dr. Novanita Satolom


Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN


MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari Bahasa Yunani yaitu pterygos yang artinya sayap.
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berupa
granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang
menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea yang bersifat
degeneratif dan invasif.1 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.2 Pterigium dapat
mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhan yang berbeda. Pterigium dapat
menyebabkan terganggunya penglihatan jika pterigium sudah mencapai area
pupil.Pterigium juga berhubungan dengan masalah kosmetik.3

Secara keseluruhan prevalensi pterigium berkisar antara 0,3-0,7% di dunia.


Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas 40o
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Prevalensi
pterigium meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian yang dilakukan di
Victoria, Australia menunjukkan pterigium paling banyak terdapat pada populasi
usia lebih dari 40 tahun. Pterigium jarang terjadi pada populasi usia kurang dari
20 tahun.4

Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta

2
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga suatu


neoplasma, radang ataupun degenerasi, diduga disebabkan oleh iritasi yang terus
menerus dari angin, sinar matahari, udara yang panas dan debu. Pada tahap awal,
penderita sering sering mengeluhkan matanya terasa panas, perasaan mengganjal
seperti ada benda asing, mata merah, dan adanya gangguan penglihatan.1

Tatalaksana untuk pterigium meliputi terapi konservatif dan pembedahan.


Terapi konservatif misalnya untuk mencegah mata kering diberikan air mata
buatan. Tindakan pembedahan diindikasikan bila pterigium sudah mengganggu
penglihatan akibat terjadinya astigmatisme iregular atau pterigium telah menutupi
media penglihatan.1

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Konjungtiva dan Kornea

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata


bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu6 :

 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar


digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
dibawahnya.
 Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Anatomi konjungtiva

4
Histologi Konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata
secara merata di seluruh prekornea.6

Gambar 2. Anatomi konjungtiva

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri


palpebralis, kedua arteri ini beranastomosis dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskular konjungtiva yang banyak sekali. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.6

5
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva

Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea sangat
sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini berasal dari
nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang merupakan
cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa latin
cornum artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan
kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel7.

1. Lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva


bulbaris).
2. Membrane Bowman.
3. Stroma.
4. Membrane Descemet.
5. Lapisan Endotel

6
Gambar 4. Anatomi Kornea

B. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium adalah


proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah)
nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya
menutupi permukaannya.Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan mudah
mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti sayap (bentuk lipatan
segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh darah dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi iritasi maka pterigium akan
berwarna merah.1

Gambar 5. Arah pertumbuhan pterigium9

7
Gambar 6. Pterigium

Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak memerlukan


penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil yang dapat
menurunkan fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan pembedahan untuk
memperbaiki penglihatan. 1,2,3,4

C. Epidemiologi

Secara keseluruhan prevalensi pterigium berkisar antara 0,3-0,7% di dunia.


Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas 40o
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Prevalensi
pterigium meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian yang dilakukan di
Victoria, Australia menunjukkan pterigium paling banyak terdapat pada populasi
usia lebih dari 40 tahun. Pterigium jarang terjadi pada populasi usia kurang dari
20 tahun.4,6

Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dinamdingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta

8
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5

D. Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar


matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.7Pterigium diduga
merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan
dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterigium
antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke
dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk
kondisi ini.8

Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium


yaitu:

1. Lokasi geografis, berdasarkan hasil studi epidemiologi dijumpai adanya


asosiasi antara paparan yang lama terhadap sinar matahari pada daerah-
daerah geografis dengan kejadian pterigium.9

2. Usia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi


pterigium, dimana terjadi peningkatan angka kejadian pterigium sesuai
dengan meningkatnya usia dimana dijumpai adanya hubungan yang erat,
risiko meningkat dan mencapai puncak pada usia 70-81 tahun.9

3. Kekeringan pada mata, beberapa penelitian menemukan adanya


hubungan yang positif antara mata kering dengan pterigium akan tetapi
masih belum diketahui apakah mata kering menyebabkan pterigium
ataupun sebaliknya.9

9
4. Pekerjaan, salah satu pekerjaan yang memiliki risiko terjadinya pterigium
adalah orang-orang yang berkerja di luar ruangan seperti petani, nelayan
ataupun pelaut.10

E. Patofisiologi

Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan


kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan akibat
dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik. Konjungtiva
bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar UV, debu, serta
udara yang kering akibat cuaca panas yang mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang berkembang ke kornea. Penebalan
abnormal ini dapat mengenai kedua mata (bilateral) karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan faktor-faktor tersebut.
Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal kemudian melalui
punctum lacrimalis dialirkan ke meatus nasi infeirior. Selain itu, daerah nasal
juga mendapat paparan sinar UV yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian
konjungtiva yang lain akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari hidung.8
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal
basal stem cell yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala
muncul sebagai pertumbuhan konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terigium merupakan manifestasi
dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral terlokalisasi yang diduga akibat
paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah interpalpebral.8
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan
menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis
dan proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran

10
Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.8
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi
epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada
puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami
degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi
sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini
masuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea
bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang mengalami degenerasi
elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 8

Gambar 7. Histopatologi Pterigium 8

F. Klasifikasi

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body,bagian segitiga yang
meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex,bagian atas
pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.9
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:9

a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat


di kornea di bagian cap.

11
b. Pterigium Regresif :tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai
pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal, maka
disebut sebagai pterigium dupleks.9
Pterigium dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan stadium, lesi,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:9

Grade 0 : tidak ada pterigium

Grade I : puncak pada konjungtiva bulbi

Grade II : puncak lewat limbus tapi belum melewati


setengah jarak antara limbus dan pupil.

Grade III :puncak melewati setengah jarak antara


limbusdan pupil tetapi belum melewati
pupil.

Grade IV : puncak sudah melewati pupil.

Gambar 8. Stadium Pterigium

G. Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluhkan adanya iritasi ringan dengan keluhan mata


merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini dapat diperparah

12
dengan adanya peradangan akut pada pterigium. Selain gejala ini, pasien juga
mengeluhkan masalah kosmetik.9

Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular


berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai
kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari
jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang
merupakan tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker. Pada umumnya
jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik dan biasanya terletak di nasal.10

H. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop. Penggunaan jangka
pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi bila gejala lebih intens.
Untuk pterigium stadium 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama
5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan
pada kornea.1,11,12

2. Non medikamentosa

a. Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan
pada pterigium11:

1) Bare sclera: tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali


konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. Teknik ini sudah tidak dapat
diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang
dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan.

13
a. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada
konjungtiva relatif kecil.
b. Sliding flap: dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka
bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan
flap
c. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
2) Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.

b. Menjaga kebersihan mata


c. Menghindari terpapar debu dan sinar UV yang berlebihan yaitu dengan
cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.

Gambar 8. Teknik Autograft Konjungtiva 9

3. Terapi Tambahan12
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:

14
a. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
b. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
c. Sinar Beta.
d. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

I. Komplikasi dan Pencegahan

1. Komplikasi

Komplikasi dari pterigium antara lain:12

a. Penurunan penglihatan

b. Kemerahan

c. Iritasi

d. Parut pada konjungtiva dan kornea

e. Diplopia akibat keterlibatan otot ekstraokular yang akan


menghambat pergerakan bola mata.

f. Pada pasien yang belum menjalani operasi, parut pada rektus


media merupakan penyebab tersering.

Komplikasi pasca operatif12:


a. Infeksi

b. Reaksi alergi terhadap bahan jahit

c. Diplopia

d. Tidak bersatunya graft konjungtiva

15
e. Parut konrea

f. Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata,


perdarahan vitreus, atau retinal detachment

2. Pencegahan

Berdasarkan patogenesis yang menyatakan bahwa penyebab utama


pterigium adalah paparan sinar UV, maka pencegahan pterigium yang
utama adalah dengan meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi
pasien merupakan pencegahan utama untuk pterigium. Pasien di edukasi
mengenai pemakaian topi dan kacamata dengan lensa yang dilapisi untuk
mencegah masuknya sinar UV ke mata. Edukasi ini sangat penting
terutama pada individu yang tinggal atau beraktivitas di daerah tropis dan
subtropis dan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti nelayan, petani,
pekerja bangunan, dan lain-lain.1,12

J. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.2 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien
dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.12

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of


Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.
2. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47.
2009
3. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From
:http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf . Sept 2019.
4. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In
Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
5. Erry. Mulyani UA, Susilowatu D. Distribusi dan Karakteristik Pterigiumndi
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta: 2010.
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 – 117
7. Djajakusli Shintya, Rukiagh Syawal, Junaedi Sirajuddin, Noor Syamsu. The
Profile of Tear Mucin Layer and Impresssion Cytology in Pterygium Patients.
Jurnal oftamologi Indonesia (JOI), Vol 7. No. 4 Desember 2010: 139-43.
8. Fisher JP. Pterygium.http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview#showall. 2013
9. Sehu KW, Lee WR. Ophtalmic pathology: An illustrated guide for clinicians.
Oxford: Blackwell Publishing company. 2005. pp:48.
10. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular surface disease, medical surgical
management, 2002.
11. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In Pterigium
Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
12. Ptergygium In Handbook of Ocular Diseases Management. Dikutip dari :
http://www.revoptom.com/handbook/sectzi.thm. Diakses Juli 2020

17

Anda mungkin juga menyukai