Anda di halaman 1dari 20

http://www.artikelkedokteran.com/1439/pterigium-selaput-segitiga-pada-mata.

html

I.

PENDAHULUAN

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap (wing) Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata. Pterigium bisa sangat bervariasi mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang sangat besar sekali, dan juga jejas fibrovaskular yang tumbuh sangat cepat dan dapat merusak topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea. 1,2 Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di di arah kornea. Pada American Academy of Ophthamology mendefenisikan pterigium sebagai lipatan konjungtiva yang berbentuk sayap dan merupakan jaringan fibrovaskular yang menyerang bagian superficial.3 Di Amerika Serikat, kasus Pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas 400 lintang utara sampai 5-15 % untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevansi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah dibawah garis lintang utara ini. Di dunia, hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relatif terjadi peningkatan untuk daerah dibawah garis balik lintang utara. 2 Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi paling tinggi terdapat di daerah khatulistiwa. Pterigium juga sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita dan umumnya mengenai orang-orang yang memiliki aktivitas diluar ruangan. Prevalensi pterigium juga meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden pterigium paling banyak ditemukan pada usia 20-40 tahun. 2 II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Struktur dan fungsi mata sangat rumit dan mengagumkan. Secara konstan mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera dihantarkan ke otak.4

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan-lapisan tersebut adalah : 4 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sklera/kornea Koroid/badan siliar/iris, dan Retina Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sclera yang membentuk bagian putih. Di anterior (kearah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkas-berkas cahaya ke anterior mata. Lapisan tengah dibawah sclera adalah koroid yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk member makan retina. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah lapisan saraf didalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energy cahaya menjadi impuls syaraf.

Struktur mata manusia berfungsi utama mengfokuskan cahaya ke retina. Semua komponenkomponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impuls-impuls saraf ini dan menjalarkannya ke otak.5 Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.6,7 Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.7 Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian: 7 1. Konjungtiva Palpebra Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir

adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.7

2. Konjungtiva Bulbi Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera. 7

3. Konjungtiva Forniks Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7 Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7 Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7 Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa

tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.7

III.

ETIOLOGI

Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.6,8 Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 3 Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 3 Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 3 Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan

kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif. 4

1. Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 3 1. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 3

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 1. Usia Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 3,10 2. Pekerjaan Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 3,10 3. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 3,10 4. Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. 3,10 5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 3,10 6. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 3,10 7. Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 3,10

IV.

PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. 3 Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 3 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,3,8 V. MANIFESTASI KLINIS Pasien yang mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa iritasi, perubahan tajam penglihatan, sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila pterygium menyeberang axis visual atau menyebabkan meningkatnya astigmatisme9

Pterigium memiliki tiga bagian : 9 1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri dari zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. Gari zat besi (iron line/stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering. 2. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan vesicular yang tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala. 3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian mobile (dapat bergerak ), lembut, merupakan area vesicular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda yang khas untuk dilakukan koreksi VI. JENIS DAN STADIUM Jenis Pterigium : 10 1. Tipe vaskuler : pterigium tebal, merah, progresif biasanya ditemukan pada anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah). 2. Tipe membranaceus : pterigium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah biasanya terdapat pada orang tua. Stadium Pterigium : 10 - Stadium I - Stadium II - Stadium III - Stadium IV : belum mencapai limbus : sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil : sudah menutupi pupil : sudah melewati pupil

Gambar 4 : pterigium stadium 1

Gambar 5 : pterigium stadium 2

Gambar 6 : pterigium stadium 3 stadium 4 1. VII. Anamnesis DIAGNOSIS

Gambar 7 : pterigium

Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.2,8

Pemeriksaaan fisik Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. 2

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.2

VIII. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastik kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. 1,5 Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. 11 Table 1. Perbedaan pterigium dan pseudopterigium 11 Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium Pterigium Proses degenerasi Etiologi Sering terjadi pada orang Umur tua Pada konjungtiva nasal atau Lokasi temporal Progresif, regresif atau Stadium stationer Negative Tes sondase

Pseudopterigium Proses inflamasi Terjadi pada semua umur Dapat terjadi pada semua sisi dari konjungtiva Biasanya stasioner Positif

IX. PENATALAKSANAAN

1. Mediakamentosa Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.1,2,12 Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid.1,2,13

1. Tindakan operatif Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan dengan indikasi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular. Mata terasa mengganjal. Visus menurun, terus berair. Mata merah sekali. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus. Alasan kosmetik.

Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan sinar radiasi atau terapi lainnya untuk mencegah kekambuhan seperti mitomycin C. 11 Jenis Operasi pada Pterigium antara lain3,14:

Bare sklera : bertujaun untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. Simple Closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior.

Bare sclera 1. 2. 3. 4. Simple closure Sliding flap Rotational flap Conjungtival graft

Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal, bila perlu diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotic atau antinflamasi 2 X.
.

KOMPLIKASI

Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:2

Pra-operatif: 1. Astigmat Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat. 1. 2. 3. 4. Kemerahan Iritasi Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif: Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 2 Pasca-operatif: Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut: 1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina. 2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea 3. Pterygium rekuren. XI. PROGNOSIS

Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada hari- hari pertama postoperatif, pasien bisa melanjutkan aktivitas secara penuh dalam 48 jam. 2

PTERIGIUM (PTERYGIUM)
Tentang: Artikel Kedokteran

Pterigium (pterygium) adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua mata.1,2,3,4,5,6 EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini.7 Pterigium relatif jarang di Eropa. Kebanyakan pasien berasal dari daerah dengan garis lintang 30-35 dari kedua sisi equator. Distribusi geografis ini mengindikasikan bahwa sinar UV merupakan faktor risiko yang penting.8 Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.7 ANATOMI Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1,9

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :1 1.Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. 2.Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. 3.Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.1 ETIOPATOFISIOLOGI Etiologi belum diketahui pasti. Teori yang dikemukakan :4,5,6,7,10 1. Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. GEJALA KLINIS Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan astigmat atau obstruksi aksis visual yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan.1,7,5,10,11 Berdasarkan luas perkembangannya diklasifikasikan menjadi:4 Stadium I : pterigium belum mencapai limbus Stadium II : sudah mencapai atau melewati limbus tapi belum mencapai daerah pupil Stadium III : sudah mencapai daerah pupil

Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :4 1.Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi) 2.Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat PENATALAKSANAAN Karena munculnya pterigium akibat paparan lingkungan, penatalaksanaan kasus dengan tanpa gejala atau iritatif yang sedang dengan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops. Pasien disarankan untuk menghindari daerah yang berasap atau berdebu. Pterigium dengan inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi dekongestan/antihistamin (seperti Naphcon-A) dan/atau kortikosteroid topikal potensi sedang (seperti FML, Vexol) 4 kali sehari pada mata yang terkena.7,12 Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan bola mata yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual.6,7,12 Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai dilakukan diseksi ke bawah bare sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif jaringan Tenon, karena kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya dilakukan kauter untuk hemostasis sclera. Beberapa teknik operasi antara lain : -Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% - 50%). -Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva sangat kecil) -Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung menutup luka tersebut. -Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka. -Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit. 6

DIAGNOSIS BANDING 4,5,7 -Pinguekula Merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.1 -Pseudopterigium Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea.1 KOMPLIKASI Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:7 -Gangguan penglihatan -Kemerahan -Iritasi -Gangguan pergerakan bola mata. PROGNOSIS Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygium yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting. 7,12 DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas, S. Pterigium. In : Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. p. 116-7 2. Anonim. Pterygium (Conjunctiva). [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva) 3. Pope, DB. Pterygium and Pinguecula. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://eyenet.org 4. Tim Pengajar Oftamologi FKUH. Pterigium. Makassar: FKUH. 2005 5. The College Of Optometrists. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://www.med-support.org.uk/IntegratedCRD.../Pterygium%20FINAL.pdf 6. Lisegang JL, Scuta GL, Cantor LB, editors. External Disease and Cornea. In: Basic and Clinical Science Course. American Academy of Ophthalmology. The Eye M.D. Association. 2003-2004 7. Fisher, J. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

8. Garbaulet A., Limbergen EV. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://www.estro-education.org/publications/Documents/TB%20%2034%200508 2002%20Pterygium%20Print_proc.pdf 9. Nemeth SC and Shea C. Conjuctiva, Episclera, and Sclera. [online] 2009 [cited 2009 July 7th]. Available from: http://www.slackbooks.com/excerpts/67921/67921.asp 10. Anonim. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://www.revoptom.com/HANDBOOK/sect2i.htm 11. Olver J and Cassidy L, Editors. More on the Red Eye. In : Ophthalmology at a Glance. Massachusetts : Blackwell Science Ltd. 2005. p. 34-5 12. Anonim. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from: http://www.chadrostron.co.uk/Cornea/Assets/Pterygium.pdf

PTERIGIUM
Ditulis pada Agustus 18, 2012

2.1 Gambaran umum Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Pterigium (pterygium) adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua mata. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea. Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan tindakan medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya pembesaran pterygium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek samping dari pengobatan dan perawatan yang diberikan. 2.2 Klasifikasi Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu: 1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 : a. Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke

forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan 2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu: Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm). Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. 3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu: a. Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium). b. Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang. 4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu: a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat b. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas. 2.3 Etiologi Etiologi belum diketahui pasti. Namun ada teori yang dikemukakan 1. Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 1. Usia Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 2. Pekerjaan Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8 3. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar

dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8 4. Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. 5. Herediter Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 8 6. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8 2.4 Patofisiologi Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2.5 Manifestasi klinik 1. Mata irritatatif, merah gatal dan mungkin menimbulkan astigmatisme 2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic) 3. Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang terletak di ujung pteregium. 4. Gangguan penglihatan 2.6 Komplikasi Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut: 1. Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan 2. Kemerahan 3. Iritasi 4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium meliputi 1. Infeksi 2. Reaksi material jahitan 3. Diplopia 4. Conjungtival graft dehiscence 5. Corneal scarring 6. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous, atau retinal detachment. Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada pterygium adalah terjadinya pengenceran sclera dan kornea. Sebagian dari kasus ini dapat memiliki tingkat kesulitan untuk mengatur. 2.7 Penatalaksanaan Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung anti UV. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan/topicallubricating drops dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan. Pterigium dengan inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi dekongestan/antihistamin (seperti Naphcon-A) dan/atau kortikosteroid topikal potensi sedang (seperti FML, Vexol) 4 kali sehari pada mata yang terkena. Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan bola mata yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual. Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai dilakukan diseksi ke bawah bare sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif jaringan Tenon, karena kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya dilakukan kauter untuk hemostasis sclera. Beberapa teknik operasi 1. Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% 50%). 2. Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva sangat kecil) 3. Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung menutup luka tersebut. 4. Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka. 5. Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.

Kategori Terapi Medikamentosa a. Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata. Nama obat Merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC)air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium. Dosis dewasa 1 gtt empat kali sehari dan prn untuk irritasi Dosis anak-anak Berikan seperti pada orang dewasa Kontra indikasi Bisa menyebabkan hipersensitivitas Interaksi Tak ada (tak pernah dilaporkan ada interaksi ) Untuk ibu hamil Derajat keamanan A untuk ibu hamil Perhatian Bila gejala masih ada dan terus berlanjut pemakaiannya b. Salep untuk pelumas topikal suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular Nama obat Salep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan ini cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari. Dosis obatnya Pergunakan pada cul de sac inferior pada mata yang terserang. Hs Dosis anak-anak Sama dengan dewasa Kontra indikasi Bisa menyebabkan terjadinya hipersensitivitas Interaksi Tidak ada Untuk ibu hamil Tingkat keamanan A untuk ibu hamil Perhatian Karena menyebabkan kabur penglihatan sementara dan harus menghindari aktivitas yang memerlukan penglihatan jelas sampai kaburnya hilang. c. Obat tetes mata anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya. Nama obat Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain. Dosis dewasa 1 gtt empat kali sehari pada mata yang terserang, biasanya hanya 1- 2 minggu dengan terapi yang terus menerus. Dosis anak-anak Tidak boleh dipergunakan untuk anak-anak oleh karena kasus pterygia sangat jarang pada anak-anak Kontra indikasi Pasien dengan riwayat kasus herpes simpleks keratitis dentritis atau glaukoma steroid yang responsif. Interaksi Tak ada laporan interaksi Kehamilan Tingkat keamanan B, biasanya aman akan tetapi kegunaannya harus di perhitungkan dengan resiko yang di akibatkan Perhatian Bisa diserap secara sistemik akan tetapi efek samping sistemik biasanya tak diketemukan pada pasien yang mempergunakan obat tetes mataprednisolon asetat topikal , yang bisa diekskresi pada ASI yang sedang menyusui.

Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak. Pencegahan Kekambuhan Pterygium Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung
http://ayutiara.wordpress.com/2012/08/18/pterigium/

Anda mungkin juga menyukai