Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Organ mata merupakan
salah satu alat komunikasi manusia terhadap dunia luar. Fungsi mata sebagai salah
satu panca indera menerima rangsang sensoris cahaya yang kemudian akan
divisualisasikan oleh otak kita sehingga kita dapat memahami keadaan di sekitar
kita. Mata merupakan panca indera yang halus yang memerlukan perlindungan
terhadap faktor – faktor luar yang berbahaya. (Sidarta Ilyas, masalah kesehatan
mata anda)
Begitu banyak kelainan pada mata, hal yang paling sering dilihat adalah mata
merah. Mulai dari iritasi ringan sampai perdarahan karena trauma akan memberikan
tampilan klinis mata merah. Terkadang mata merah yang terjadi secara tiba – tiba
akan memberikan kekhawatiran bagi pasien. Seperti pada perdarahan
subkonjungtiva misalnya. Perdarahan subkonjungtiva secara klinis memberikan
penampakan mata merah terang hingga gelap pada mata. Secara umum bekuan
darah akibat perdarahan subkonjungtiva dapat hilang dengan sendirinya
dikarenakan diabsorpsi oleh tubuh.
Namun begitu mata merah juga tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa karena
teriritasi oleh debu atau benda tertentu. Pasien dengan hipertensi diyakini sebagia
faktor resiko tersendiri terjadinya perdarahan pada subkonjungtiva. Pada keadaan
tertentu seperti perdarahan subkonjungtiva yang disertai adanya gangguan visus,
sering kambuh atau bahkan menetap maka harus segera dikonsultasikan ke dokter
spesialis mata. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang cukup untuk mengetahui
bagaimana perdarahan subkonjungtiva beserta faktor resiko dan penanganannya.

0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata dan Konjungtiva


Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem
anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem
anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu :
1. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing
yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi
bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air
mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian – bagian seperti kelanjar
sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara
pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi
oleh N. Fasialis.
2. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
 Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau lakrimal
terletak di daerah temporal bola mata.
 Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus
lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.
3. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet.
Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
 Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
 Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

1
4. Anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga
terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus
oleh 3 lapis jaringan, yaitu :
 Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan
sinar masuk ke dalam bola mata.
 Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea
dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi
perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan
uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Badan siliar menghasilkan
cairan bilik mata (akuos humor).
 Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik
dan diteruskan ke otak.
5. Anatomi rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar
orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama – sama tulang
palatinum dan zigomatikus.
Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam) :
 Kornea
 Kamera okuli anterior
 Iris
 Lensa
 Kamera okuli posterior (vitreus body)
 Retina
 Nervus optikus

2
Gambar 1. Anatomi mata

2.2 Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang di
permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus. Ini
memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus
dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen
penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi.
Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang berkoresponden
dengan aliran di kelopak mata.
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :
 Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi kelopak
dan bergabung ke lapis tarsal posterior (Ilyas, 2008). Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi
superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi
konjungtiva bulbaris (Vaughan, 2000).
 Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra
dan bulbi
 Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan
epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk
palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus
dimana dua lapisan menyatu (Ilyas, 2008). Konjungtiva bulbaris melekat
longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat berkali – kali. Pelipatan ini
memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva

3
sekretorik. Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak
(plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata
ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging
(karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan
merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa
(Vaughan, 2000).

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva 5


Gambar 2. Anatomi konjungtiva mata

2.3 Pasokan darah, limfe dan persarafan


Arteri – arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring – jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk
pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
(oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri
(Vaughan, 2000).
Histologi konjungtiva :
 Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya
sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar
sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di dalam
sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal dan di
konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 – 10% jumlah sel basal

4
(Ilyas, 2008). Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima
lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel – sel epitel skuamosa.
Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel – sel superfisial dan
di dekat limbus dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2000).
 Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak
kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu
lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3
bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.

2.4 Perdarahan Subkonjungtiva


2.4.1 Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva (ilyas, 20008). Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Sehingga
mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien
(Vaughan, 2000).

Gambar 3. Perdarahan subkonjungtiva


2.4.2 Epidemiologi
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok
umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur
(Graham, 2009). Penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata usia yang mengalami

5
perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30 tahun (Kaimbo, 2008). Perdarahan
subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang
jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi memiliki
hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva
(14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah penyakit malaria, dan melahirkan.
Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk pada
354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa kehamilan dan
proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (Stolp, 2013).

2.4.3 Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva


Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan
perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.
 Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva
pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak
nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata.
 Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau
merah tua (tebal).
 Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang
ringan.
 Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian
akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi (American Academy,
2009).

2.4.4 Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola
mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan
pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan
sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya
tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-
pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga
mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva
tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera.

6
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara
difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya
memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva
yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang
secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak
berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak
berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa
sakit (graham, 2009).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga
menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak
mata.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun
infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episclera yang
bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan


Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba –
tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi
endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang
dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi,
arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan
dan batuk rejan (Ilyas, 2008).
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral.
Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali;
untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik)
harus disingkirkan terlebih dahulu (Vaughan, 2000).
2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di
mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita.
Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola
mata yang terjadi.

2.4.5 Etiologi

7
1. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Itali
mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya
perrdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun
heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan
subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor
resiko perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami
kekambuhan (Parmeggiani, 2013). Mutasi pada faktor XIII Val34Leu mungkin
sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan
subkonjungtiva (Incovaia, 2013).
2. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur
bola mata)
3. Hipertensi (Pitts, 2013).
4. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya
riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes,
SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.
5. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang
telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva,
penggunaan warfarin (Leiker, 2013).
6. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva,
termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demam tifoid, kolera, riketsia,
malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever).
7. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang
diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan
pinguecula (Mimura, 2013).

2.4.6 Diagnosis dan pemeriksaan


Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma
dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva
idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut
biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan
koagulasi harus disingkirkan.

8
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine
(topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga
etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia (Chern, 2002).
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan
subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva
traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di
rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien
dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya (selain pada
konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain
konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib
pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa
ada trauma organ mata lainnya (Graham, 2009).
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila
perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan
subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan
subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu
prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit
(Chern, 2002).

2.4.7 Diagnosis banding (Graham, 2009)


1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu
mata merah.
2. Konjungtivitis hemoragik akut

2.4.8 Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan
dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan
subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas,
2008).
Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat
dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata
buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan
penyebabnya. Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter

9
memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi
ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang
(Rifki, 2010).
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika
ditemukan kondisi berikut ini :
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan
untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata.

2.4.9 Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 –
2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal
seperti yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2008)
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang
(kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan
Mick A mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami
kekambuhan didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap
merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler (Graham, 2009).

2.4.10 Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena
sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti
sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka
dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut (Ilyas, 2008).

10
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva (ilyas, 20008). Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Sehingga
mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien
(Vaughan, 2000).
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma
dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva
idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut
biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan
koagulasi harus disingkirkan.
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan
dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan
subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas,
2008).

11
DAFTAR PUSTAKA

American Academy. 2009. Subconjunctival Haemorrhages. Amerika

Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. 2002.


McGraw-Hill, Massachusetts.

Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s Continually


Updated Clinical Reference. dari
http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview

Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta

Incorvaia C et all. Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in


patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali., dari
http//pubmed.com/ac12/ Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival
hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation/9372

Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival


haemorrhages in Congo. Congo. 2008., dari http//pubmed.com/ Epidemiology of
traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo/943iure

Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and complications of
subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA., dari
http//pubmed.com/ Risk factors and complications of subconjunctival
hemorrhages in patients taking warfarin/3i2r43

12
Mimura T, Yamagami S et all. Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage. 2010.
Tokyo, japan. dari http//pubmed.com

Parmeggiani F et all. Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients


affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara, Itali., dari
http//pubmed.com/Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients
affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage/42u3-upr2

Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. Spontaneous subconjunctival
haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow.
Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?.id

Rifki, M. 2010. Perdarahan Subkonjungtiva. Jakarta /www.medicastore/ Perdarahan


Subkonjungtiva.3ii04308azs

Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. [Eye diseases and control of labor.


Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival
hemorrhage (hyposphagmas)] . Johanniter-Krankenhauses Bonn. Jerman.

Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum,2000. Widia Meka. Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai