Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Organ mata
merupakan salah satu alat komunikasi manusia terhadap dunia luar. Fungsi mata
sebagai salah satu panca indera menerima rangsang sensoris cahaya yang kemudian
akan divisualisasikan oleh otak kita sehingga kita dapat memahami keadaan di sekitar
kita. Mata merupakan panca indera yang halus yang memerlukan perlindungan
terhadap faktor faktor luar yang berbahaya.1
Begitu banyak kelainan pada mata, hal yang paling sering dilihat adalah mata
merah. Mulai dari iritasi ringan sampai perdarahan karena trauma akan memberikan
tampilan klinis mata merah. Perdarahan subkonjungtiva secara klinis memberikan
penampakan mata merah terang hingga gelap pada mata. Secara umum bekuan darah
akibat perdarahan subkonjungtiva dapat hilang dengan sendirinya dikarenakan
diabsorpsi oleh tubuh.
Namun begitu mata merah juga tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa
karena teriritasi oleh debu atau benda tertentu. Pasien dengan hipertensi diyakini
sebagia faktor resiko tersendiri terjadinya perdarahan pada subkonjungtiva. Pada
keadaan tertentu seperti perdarahan subkonjungtiva yang disertai adanya gangguan
visus, sering kambuh atau bahkan menetap maka harus segera dikonsultasikan ke
dokter spesialis mata. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang cukup untuk
mengetahui bagaimana perdarahan subkonjungtiva beserta faktor resiko dan
penanganannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata dan Konjungtiva


Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu
sistem anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa
sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu :
1. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing
yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi
melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang
membentuk film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian
bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar
Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator
palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis.
2. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau

lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.


Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus

lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.


3. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermacam macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva
ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet.
Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar

digerakkan dari tarsus.


Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.

Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat


peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan


jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
4. Anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga
terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus
oleh 3 lapis jaringan, yaitu :
Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan

sinar masuk ke dalam bola mata.


Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea
dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi
perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid.
Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Badan siliar

menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).


Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis
membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan

pada saraf optik dan diteruskan ke otak.


5. Anatomi rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar
orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama sama tulang
palatinum dan zigomatikus.
Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar ke dalam) :

Kornea

Kamera okuli anterior

Iris

Lensa

Kamera okuli posterior (vitreus body)

Retina

Nervus optikus

Gambar 1. Anatomi mata 2


2.2 Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang di
permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus. Ini
memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus
dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen
penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi.
Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang
berkoresponden dengan aliran di kelopak mata.
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :

Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi


kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior.3 Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di
tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada
forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan

menjadi konjungtiva bulbaris.4


Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra

dan bulbi
Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan
epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk
palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus
dimana dua lapisan menyatu.3 Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
septum orbitale di forniks dan melipat berkali kali. Pelipatan ini
memungkinkan

bola

mata

bergerak

dan

memperbesar

permukaan

konjungtiva sekretorik. Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak


dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk
kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil
semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit
dan membran mukosa. 4

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva 5

Pasokan darah, limfe dan persarafan


Arteri arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk
pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
(oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri. 4
Histologi konjungtiva :

Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya


sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar
sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di
dalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal
dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 10% jumlah
sel basal.3 Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan
sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel sel
epitel skuamosa. Sel sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel
sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.4

Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak kehilangan
pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.

2.3. Perdarahan Subkonjungtiva


2.3.1. Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva. Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat
merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien.

Gambar 2. Peradarahan Subkonjungtiva


2.3.2. Epidemiologi
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun
hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur. Penelitian epidemiologi di
Kongo rata-rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30,7 tahun.
Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral. Pada perdarahan subkonjungtiva tipe
spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu. Kondisi
hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan

subkonjungtiva. Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell
dan melahirkan.

2.3.3. Etiologi
1) Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Italia mengenai
kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya perdarahan
subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII
Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel
Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko perdarahan subkonjungtiva terutama
pada kasus yang sering mengalami kekambuhan. Mutasi pada faktor XIII Val34Leu
mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan
2)
3)
4)
5)

subkonjungtiva.
Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah, muntah, bersin).
Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola mata)
Hipertensi
Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya riwayat
trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik,diabetes, SLE, parasit dan

defisisensi vitamin C.
6) Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang telah
mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan warfarin.
7) Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva.
8) Beberapa infeksi sistemik dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, termasuk
septikemia, demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles
dll).
9) Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan tulang
panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.
10) Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang diinduksi
oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtiva khalasis dan pinguecula.
11) Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan penting
pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.

2.3.4. Manifestasi klinis


Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera. Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi
perdarahan subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa
tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata. Tampak adanya perdarahan di sklera
dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal). Tidak ada tanda peradangan, kalaupun ada
biasanya peradangan yang ringan. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena di absorpsi (Scholate, 2006).

2.3.5. Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola mata
(sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari bola
mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus.
Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata
mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya
mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan
subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sclera. Karena struktur konjungtiva
yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan
menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan
pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian atas.
Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun
sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual
tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit (K
lang, 2000).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar, berwarna
merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik

kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan subkonjungtiva dapat
terjadi secara spontan, akibat trauma,ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah
konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva. Berdasarkan mekanismenya,
perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua,yaitu :
a. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba-tiba (spontan).
Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan
mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur,
hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian anti koagulan dan batuk.
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan
tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali, untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia
darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu.
b. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung
atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang-kadang
menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi (Sjukur, 2012)
2.3.6. Diagnosis dan pemeriksaan
Diagnosis dibuat secara klinis dari anamnesis tentang riwayat dapat membantu penegakan
diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita
harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya,
langkah-langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan,
hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine atau pantocain
(topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit dan curiga etiologi lain jika
nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia. Pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib
pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma

organ mata lainnya. Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila
perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan
subkonjungtiva terjadi penuh. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang,
pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan
hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit (Sidharta, 2010).

2.3.7. Diagnosis banding


1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata merah.
2. Konjungtivitis hemoragik akut.

2.3.8. Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini pada
perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang
atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati. Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan
kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan.
Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan
penyebabnya. Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter
memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan
mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang (Sidharta, 2010).
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut ini :
a.
b.
c.
d.
e.

Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.


Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat)
Terdapat riwayat gangguan perdarahan.
Riwayat hipertensi.
Riwayat trauma pada mata.

2.3.9. Komplikasi
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus
dipikirkan keadaan lain, mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami
kekambuhan didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap merupakan
gejala awal dari limfoma adneksa okuler.

2.3.10. Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya yang
dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering mengalami
kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih
lanjut lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Asbury T,Riordan-Eva P.Alih Bahasa:Tambajong J, Pendit BU. 2007. Jakarta:


Widyamedika,
Asbury T,Sanitato JJ.Trauma dalam Oftalmologi Umum edisi 14.2009.Jakarta: Widia
medika.
Graham, R. K.Subconjuntival Hemorrhage1st Edition. 2009. Medscapes Continually
Updated

Clinical

Reference.Diakses

tanggal

29

Oktober

2013,

dilihat

http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview.
K Lang, Gerhard. Ophthalmology A Short Textbook. 2000. Thieme Stuttgart : New York.
Penyakit Mata. Surabaya, RSUD Dokter Soetomo: 1994; 37 4

Prihatno AS. Cedera Mata. 2012 (Diakses dari website www.medicastore.com,


2000.pada tanggal 29 Oktober 2013).
Schlote, Pocket Atlas of Ophthalmology. 2006. Jakarta: Airlangga.
Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. 2010. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Sjukur BA, Yogiantoro M. Konjungtiva. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi
penyakit mata. 2012. Jakarta: Balai Pustaka.
Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. 2000. Widia Meka : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai