Anda di halaman 1dari 25

BABI

PENDAHULUAN

Gonococcal konjungtivitis, juga dikenal sebagai oftalmia neonatorum bila terjadi


pada neonatus, merupakan infeksi pada konjungtiva yang ditularkan dari sekret
genital seseorang yang terinfeksi gonore genital. Misalnya bayi yang ditularkan oleh
ibunya dimana infeksi terjadi pada saat bayi melewati jalan lahir. Infeksi juga dapat
terjadi secara tidak langsung, yaitu dapat melalui tangan, sapu tangan, handuk atau
sebagai auto infeksi pada orang-orang yang menderita uretritis atau servisitis
gonoroika. Pada pemeriksaan fisis pasien ditemukan kemosis konjungtiva, debit,
nyeri tekan bola mata, edema kelopak mata, dan preauricular. 1,2
Insiden oftalmia neonatorum tinggi di daerah yang tinggi angka kejadian penyakit
menular seksual. Insiden bervariasi antara 0,1% pada negara berkembang sampai
10% pada daerah di Afrika Timur. 2
Penyebab dari oftalmia neonatorum yang paling berbahaya adalah bakteri
Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri diplokokus intraselular gram negatif.
Onsetnya bersifat hiperakut dan dapat menimbulkan gejala klinis berupa kemosis
berat, sekret mata yang purulen, keterlibatan kornea berupa ulkus dan perforasi bola
mata. 2
Meskipun biasanya dianggap sebagai penyakit pada neonatus, konjungtivitis
gonokokal (GC) adalah proses infeksi yang juga menjadi masalah pada kelompok
usia lainnya. Ketika terjadi pada neonatus, GC juga dikenal sebagai oftalmia
neonatorum gonokokal dan kemungkinan besar karena transmisi ibu selama
kelahiran. Pada kelompok usia yang lebih tua, GC lebih terkait dengan infeksi
menular seksual (IMS) tetapi juga dapat terjadi tanpa bukti adanya infeksi genital
yang terjadi bersamaan. Kondisi ini penting untuk dikenali karena kasus yang tidak
tertangani dapat menyebabkan komplikasi seperti meningitis dan kebutaan. 1,2
Saat ini pemberian antibiotik profilaksis sudah menjadi standar perawatan
perinatal, namun pada daerah yang belum terjangkau dengan fasilitas kesehatan,

1
oftalmia neonatorum masih menjadi penyebab utama infeksi okular yang dapat
berujung pada kebutaan. 3

2
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran halus yang melapisi kelopak mata dan melapisi
permukaan sklera yang terpajan dengan lingkungan luar. Konjungtiva adalah
membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior
kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian :
4

1) Konjungtiva Palpebralis
Konjungtiva palpebralis merupakan konjungtiva yang melapisi permukaan
posterior kelopak mata dan melekat ke tarsus. Konjungtiva ini pada tepi superior dan
inferior tarsus akan melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan
membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. 4
2) Konjungtiva Bulbaris
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat
berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan
sclera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva me -
nyatu sejauh 3 mm). Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan
lunak (plika semilunaris) terlelak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata
ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging
(karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan
zona transisi yang mengandung baik elemen kulit dan membran mukosa. 4
3) Konjungtiva Forniks

3
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan
dengan jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Juga
mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembeng kakan pada tempat
ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. 4

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva (Medika Jurnal Kedokteran Indonesia.


2019)

Pembuluh darah okular berasal dari arteri oftalmika, yang merupakan cabang dari
arteri karotis interna. Arteri oftalmika bercabang menjadi arteri retina sentralis, arteri
siliaris posterior, dan beberapa arteri silaris anterior. Vaskularisasi konjungtiva
berasal dari 2 sumber, yaitu: 4,5
1) Arteri Palpebralis
Pleksus post tarsal dari palpebra, yang di perdarahi oleh arkade marginal dan
perifer dari palpebra superior akan memperdarahi konjungtiva palpebralis. 4-5
Arteri yang berasal dari arkade marginal palpebr a akan melewati tarsus, mencapai
ruang subkonjungtiva pada daerah sulkus subtarsal membentuk pembuluh darah
marginal dan tarsal. Pembuluh darah dari arkade perifer palpebra akan menembus
otot Muller dan memperdarahi sebagian besar konjungtiva forniks. Arkade ini akan
memberikan cabang desenden untuk menyuplai konjungtiva tarsal dan juga akan
mengad akan anastomose dengan pembuluh darah dari arkade marginal serta cabang

4
asenden yang melalui forniks superior dan inferior untuk kemudian melanjutkan diri
ke konjungtiva bulbi sebagai arteri konjungtiva posterior. 4,5
2) Arteri Siliaris Anterior
Arteri siliaris anterior berjalan sepanjang tendon otot rektus dan
mempercabangkan diri sebagai arteri konjungtiva anterior tepat sebelum menembus
bola mata. Arteri ini mengirim cabangnya ke pleksus perikorneal dan ke daerah
konjungtiva bulbi sekitar limbus. Pada daerah ini, terjadi anastomose antara
pembuluh darah konjungtiva anterior dengan cabang terminal dari pembuluh darah
konjungtiva posterior, menghasilkan daerah yang disebut Palisades of Busacca. 4,5

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva (Rasyid, M.U. 2016)

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan profundus lalu
bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama nervus trigeminus.
Inervasi sensoris konjungtiva bulbi berasal dari nervus siliaris longus, yang
merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, cabang dari divisi oftalmikus nervus
trigeminus. Inervasi dari konjungtiva palpebral superior dan ko njungtiva forniks
superior berasal dari cabang frontal dan lakrimal divisi oftalmikus nervus trigeminus.
Inervasi dari konjungtiva palpebra inferior dan konjungtiva forniks inferior berasal

5
dari cabang lakrimal divisi oftamikus nervus trigeminus pada daerah lateral, dan dari
nervus infraorbital dari divisi maksilla nervus trigeminus.5,6

Gambar 3. Innervasi Konjungtiva (Rasyid, M.U. 2016)

B. Fisiologi Konjungtiva
1) Sel epitel konjungtiva sebagai sumber sekresi elektrolit dan air
Sebagaimana halnya kornea, konjungtiva juga mensekresi Na + , Cl- , dan air.
Oleh karena konjungtiva lebih banyak menempati permukaan okular dibandingkan
kornea, ia merupakan sumber potensial elektrolit dan air dalam lapisan akuous tear 16
film. Saat ini, sekresi elektrolit dan air konjungtiva sudah mulai diteliti. Terbaru
bahwa saraf simpatis dapat memicu sekresi tersebut. 6
Mekanisme sekresi elektrolit dan air pada konjungtiva serupa dengan yang terjadi
pada glandula lakrimal dan epitel kornea. Sekresi Cl - ke dalam air mata melalui
mekanisme transport aktif konjungtiva mencapai 60%-70%. Sisanya berasal dari
absorbsi Na- -glukosa dari air mata. Hal ini menunjukkan bahwa konjungtiva juga
mengabsorbsi elektrolit dan air. 6

6
2) Sel goblet konjungtiva sebagai sumber sekresi musin
Salah satu sumber utama lapisan musin pada tear film adalah sel goblet
konjungtiva. Sel goblet yang terdistribusi ke seluruh konjungtiva akan mensekresi
musin. Musin merupakan glikoprotein dengan berat molekul besar. Musin dibentuk
oleh protein yang didukung oleh rantai yang terikat dengan sejumlah karbohidrat.
Oleh karena rantai karbohidrat tersebut bersifat heterogen, maka gen-gen yang
mensintesis protein dapat digunakan untuk menentukan jenis-jenis musin yang
dihasilkan. Ada 9 jenis gen musin, mulai dari MUC1 hingga MUC8. Sel goblet
konjungtiva mensekresi MUC5AC, sedangkan sel lain di permukaan okular tidak
mensekresi jenis musin ini. 6
Musin diproduksi oleh permukaan kasar dari retikulum endoplasma dan tertahan
pada ikatan membran-granula dalam bentuk filamen. Granula-granula tersebut akan
bersatu menjadi satu bentuk droplet yang besar untuk kemudian dikeluarkan ke
permukaan melalui membran sel yang ruptur. Membran sel tersebut akan menyusun
kembali dirinya, menutup muara yang terbentuk. Sel yang telah terpakai tadi akan
beristirahat dalam jangka waktu yang bervariasi untuk kemudian kembali memulai
siklus sekretorisnya atau berdeskuamasi dan digantikan oleh sel yang lain. 6
3) Sistem pertahanan konjungtiva terhadap infeksi 6
a) Selain bertanggung jawab terhadap produksi musin, konjungtiva juga memiliki
kemampuan yang besar dalam melawan infeksi . Hal ini dapat dipahami oleh
karena epitel konjungtiva yang intak mencegah invasi dari mikroba
b) Konjungtiva mengandung banyak imunoglobulin
c) Adanya flora bakteri normal di konjungtiva
d) Sekresi musin oleh sel goblet konjungtiva dapat mengikat mikroba untuk
kemudian dikeluarkan melalui sistem ekskresi lakrimal
e) Aktivitas enzimatik konjungtiva memungkinkan jaringan ini dalam melokalisir
dan menetralisir partikel-partikel asing
f) Conjunctiva-Associated Lymphoid Tissue (CALT).

7
C. Histologi Konjungtiva
Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan :
1) Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di
atas karankula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. 4
2) Sel-sel epitel superfisial, mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen. 4
3) Stroma konjungtiva, dibagi menjadi lapisan adenoid (superficial) dan lapisan
fibrosa (profun dus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reksi papiler pada radang konjungitiva. Lapisan fibrosa
tersusun longgar pada bola mata. 4
4) Kelenjar air mata aksesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur dan
fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar
wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. 4

8
Gambar 4. Histologi Normal Konjungtiva (Medika Jurnal Kedokteran
Indonesia. 2019)

D. Definisi
Gonococcal konjungtivitis, juga dikenal sebagai oftalmia neonatorum bila terjadi
pada neonatus, merupakan infeksi pada konjungtiva yang ditularkan dari sekret
genital seseorang yang terinfeksi gonore genital. Misalnya bayi yang ditularkan oleh
ibunya dimana infeksi terjadi pada saat bayi melewati jalan lahir. 1,2,10

E. Epidemiologi
Di seluruh dunia, kejadian gonococcal konjungtivitis pada bayi baru lahir kurang
dari 1%. Negara maju cenderung memiliki insiden yang lebih rendah karena
ketersediaan pilihan skrining dan pengobatan yang lengkap. Angka di negara
berkembang cenderung lebih tinggi secara signifikan mengingat prevalensi infeksi
gonokokal pada kehamilan mendekati 5% di beberapa bagian Afrika. Di Amerika
Serikat, insiden konjungtivitis berkisar antara 1% hingga 2% pada neonatus dengan
insiden GC neonatus diperkirakan kurang dari 1%. Pada populasi non-neonatal, GC
jarang terjadi. Di Amerika Serikat, surveilans IMS memperkirakan hampir 146 kasus
gonore per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru di Irlandia memperkirakan bahwa

9
prevalensi GC adalah 0,19 kasus per 1000 pasien dengan mayoritas pada pria dewasa
muda. 2
F. Etiologi
Disebabkan oleh neisseria gonorrhereae, merupakan diplokokus gram negatif.
Pada neonatus, penularan N. gonorrhoeae dan sering terjadi selama persalinan dan
paparan sekret vagina yang menular. Hal ini terjadi karena mukosa serviks dan uretra
ibu yang terinfeksi dapat bertindak sebagai reservoir bakteri. Bahkan dengan
persalinan melalui operasi caesar, penularan vertikal N. gonorrhoeae masih mungkin
terjadi. Sekitar 10% neonatus yang terpapar eksudat gonore selama persalinan dapat
berkembang menjadi GC, bahkan dengan profilaksis yang tepat. 1
Pada populasi selain neonatus, penularan dapat terjadi melalui kontak seksual
langsung dengan sekret infektif atau tidak langsung, misalnya melalui transmisi
manual atau fomites, meskipun hal ini diperkirakan lebih kecil kemungkinannya
karena N. gonorrhea biasanya tidak bertahan lebih dari beberapa menit di luar tubuh
manusia. Ada juga bukti yang menunjukkan bahwa GC berpotensi disebabkan oleh
strain gonokokus yang berbeda yang tidak terkait dengan IMS. 1,11

G. Patofisiologi
Patofisiologi konjungtivitis neonatus dipengaruhi oleh anatomi jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Inflamasi pada konjungtiva dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah, kemosis, dan sekresi berlebihan. Infeksi yang terjadi
cenderung lebih berat pada neonatus karena kurangnya imunitas, tidak adanya
jaringan limfoid pada konjungtiva dan tidak adanya air mata saat lahir. 2
Bakteri gonokokus merusak membran yang melapisi selaput lendir terutama
kanalis endoserviks dan uretra. Infeksi ekstragenital di faring, anus, dan rektum dapat
dijumpai pada kedua jenis kelamin. Penularan terjadi melalui kontak langsung antara
mukosa ke mukosa. Risiko penularan laki-laki kepada perempuan lebih tinggi
daripada penularan perempuan kepada laki-laki terutama karena lebih luasnya selaput
lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina. 2

10
Infeksi gonokokus dapat menyebar melalui aliran darah, menimbulkan bakteremia
Bakteremia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Perempuan berisiko
paling tinggi mengalami penyebaran infeksi pada saat haid karena terjadinya
peningkatan pH diatas 4,5 saat menstruasi. Penularan perinatal kepada bayi saat lahir,
melalui ostium serviks yang terinfeksi, dapat menyebabkan konjungtivitis dan
akhirnya kebutaan pada bayi apabila tidak didiagnosis dan diobati. 2,12
Neisseria gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif dan merupakan infeksi
virulen yang menyebabkan konjungtivitis neonatus. Gonokokus dapat penetrasi pada
sel epitel yang intak dan membelah diri secara cepat di dalamnya. Diagnosis dengan
pewarnaan Gram atau Giemsa yang diambil dari pengerokan pada mukosa
genitourinary atau ocular didapatkan karakteristik diplokokus gram negatif
intraselular. 2,12
Gonokokus memiliki protein pili yang membantu perlekatan bakteri ini ke sel
epitel yang melapisi selaput lendir, terutama epitel yang melapisi kanalis endoserviks
dan uretra. Pertama-tama mikroorganisme melekat ke membran plasma (dinding sel),
lalu menginvasi ke dalam sel dan merusak mukosa sehingga memunculkan respon
inflamasi dan eksudasi. 2,12
Gonokokus akan menghasilkan berbagai macam produk ekstraseluler yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel, termasuk diantaranya enzim seperti fosfolipase,
peptidase dan lainnya. Kerusakan jaringan ini tampaknya disebabkan oleh dua
komponen permukaan sel yaitu LOS (lipooligosakarida) yang berperan menginvasi
sel epitel dengan cara menginduksi produksi endotoksin yang mengakibatkan
kematian sel mukosa dan peptidoglikan. Mobilisasi leukosit PMN menyebabkan
terbentuknya mikroabses subephitelial yang pada akhirnya akan pecah dan
melepaskan PMN dan gonokokus. 2,12

11
Gambar 5. Patofisiologi Neisseria Gonorrhea (Surasmiati, 2017)

H. Manifestasi Klinis
Gonore konjungtivitis biasanya menyerang kedua mata secara serentak, sedang
pada bentuk yang lainnya, biasanya menyerang satu mata kemudian menjalar ke mata
yang lainnya. Pada umumnya akan terlihat akumulasi pus, kelopak mata bayi
bengkak dan lengket akibat akumulasi pus di bawahnya, dan konjungtiva hiperemi
dan kemosis. 2
Durasi konjungtivitis dapat mengarahkan dugaan bakteri penyebab. Neisseria
gonorrhoeae menyebabkan konjungtivitis hiperakut yang terjadi kurang dari 12 jam.
Bakteri lain yang menyebabkan konjungtivitis hiperakut antara lain Neisseria kochii
dan Neisseria meningitidis. 2
Onset konjungtivitis neonatorum muncul saat bayi berumur 3-4 hari kehidupan
namun dapat juga saat berumur 3 minggu. 2
Dibedakan menjadi 3 stadium :
1) Stadium Infiltratif

12
Berlangsung 1-3 hari. Ditandai dengan palpebra bengkak, hiperemi, tegang,
blefarospasme. Konjungtiva palpebra hiperemi, bengkak, infiltrative, mungkin
terdapat pseudomembran di atasnya. Pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi
konjungtival yang hebat, kemotik. Terdapat sekret, serous, terkadang berdarah. 2
2) Stadium Supuratif atau Purulen
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tak begitu hebat. Palpebra masih bengkak,
hiperemis, tetapi tidak begitu tegang. Blefarospasme masih ada. Sekret bercampur
darah, keluar terus menerus. Kalau palpebra dibuka, yang khas adalah sekret akan
keluar dengan mendadak, oleh karenanya harus hati-hati bila membuka palpebra,
jangan sampai mengenai mata pemeriksa. 2
3) Stadium Konvalesen (penyembuhan), hipertrofi papil
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra sedikit bengkak,
konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltrative. Konjungtiva bulbi: injeksi
konjungtiva masih nyata, tidak kemotik. Sekret jauh berkurang. 2
Gejala khas konjungtivitis gonore adalah reaksi inflamasi berat disertai nyeri
hebat, sekret sangat banyak dan berwarna kehijauan, edema palpebra, hiperemi,
kemosis konjungtiva serta pembesaran kelenjar limfe preaurikular. Pada kasus berat,
kornea menjadi keruh dan edema. Jika proses berlanjut dapat terjadi nekrosis sentral,
ulkus bahkan perforasi kornea yang mengakibatkan kebutaan. Neiserria gonorrhoeae
mengeluarkan enzim protease yang dapat melisiskan kornea utuh tanpa didahului
defek epitel. 2

Gambar 6. Gambaran Gejala Gonore Konjungtivitis (Surasmiati, 2017)


I. Diagnosis

13
GC neonatus sering didapat selama persalinan; dengan demikian, biasanya ada
riwayat infeksi gonore ibu yang dicurigai atau dikonfirmasi. Konjungtivitis bakteri
dapat terjadi kapan saja, tetapi GC dapat ditegakkan pada neonatus yang memiliki
gejala setelah hari pertama kehidupan, khususnya, hari ke-2 hingga ke-5, karena
konjungtivitis kimiawi (sekunder akibat perak nitrat, tetes antibiotik) sering menjadi
penyebab dalam 24 jam pertama. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hal-hal berikut :
1,13

1) Injeksi konjungtiva, kemosis


2) Edema kelopak mata
3) Cairan mukopurulen
4) Limfadenopati, preauricular
Pasien dengan curiga gonore konjungtivitis, dapat lanjut disarankan untuk
melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan kerokan konjungtiva atau cairan
eksudatif : 1,13
1) Pewarnaan Gram, untuk melihat diplokokus intraseluler gram negatif
2) Kultur pada media Thayer-Martin dan/atau agar coklat untuk N. gonorrhoeae dan
agar darah untuk spesies non-gonokokal
3) Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk menguji N.
gonorrhoeae serta Chlamydia trachomatis
4) Skrining untuk IMS lain seperti human immunodeficiency virus (HIV) juga
dianjurkan pada ibu dan kasus non-neonatal karena koinfeksi yang dapat terjadi
dengan IMS

J. Penatalaksanaan
Pengobatan segera dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram negative diplokok
batang intraselular dan sangat dicurigai konjungtivitis gonore. Bayi baru lahir yang
menderita konjungtivitis gonore harus dirawat dan diisolasi di rumah sakit. Terapinya
adalah seftriakson 25-50 mg/kg/BB secara intramuskular atau intravena dengan
maksimum 125 mg dosis tunggal. Seftriakson tidak dsarankan untuk diberikan pada

14
neonatus dengan hiperbilirubinemia. Terapi lainnya adalah sefotaksim 100 mg/kgBB
intramuskular atau intravena. Antibiotika topikal berspektrum luas berupa salep mata
seperti gentamisin, kuinolon, kanamisin, tetrasiklin dan kloramphenikol dapat
diberikan sebagai terapi tambahan. Terapi antibiotika topikal diindikasikan bila ada
keterlibatan kornea. 2
Pengobatan suportif adalah membersihkan sekret mata secara rutin setiap 5 menit
menggunakan lidi kapas basah dan irigasi mata dengan NaCl steril dua kali sehari.
Pembersihan sekret mutlak dilakukan karena sekret mengandung enzim protease yang
dapat melisiskan kornea. Untuk mengurangi iritis diberikan sulfas atropin 1% topikal
1-2 kali sehari. 2
Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap
hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif. 2
Pengobatan oftalmia neonatorum et causa neisseria gonnorhea pada neonatus
menurut WHO : 7,14
 Ceftriaxone 50 mg/kg IM x 1 or x 2 or x 3
 Cefotaxime 100 mg/kg IM x 1
 Spectinomycin 25 mg/kg IM x 1 Kanamycin 25 mg/kg IM x 1,
 Kanamycin + gentamicin ointment Kanamycin + tetracycline drop

K. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara membersihkan mata bayi segera setelah
lahir dengan larutan garam fisiologik dan memberikan salep eritromisin atau
tetracyclin. 1
Penurunan prevalensi gonokokal conjungtivitis pada bayi baru lahir di negara
maju disebabkan karena skrining rutin ibu terhadap gonore yang juga dikombinasikan
dengan pengobatan pencegahan rutin (profilaksis) dengan antibiotik untuk bayi baru
lahir. Antibiotik profilaksis yang paling umum digunakan saat ini adalah salep mata
eritromisin. 8

15
Ibu yang menderita gonore dan pasangan seksnya harus dievaluasi, diuji, dan diobati
untuk gonore 9

L. Prognosis
Prognosis pada konjungtivitis neonatus pada umumnya baik bila diberikan
penanganan yang tepat. Antibiotik telah mempengaruhi prognosis secara signifikan
pada konjungtivitis neonatus, terutama pada infeksi Neisseria gonorrhoeae. Penyulit
yang dapat terjadi adalah ulkus kornea marginal terutama bagian atas. Ulkus ini
mudah perforasi akibat adanya daya lisis kuman gonokok. Pada anakanak sering
terjadi keratitis ataupun ulkus kornea sehingga sering terjadi perforasi kornea.
Perforasi kornea dapat mengakibatkan endoftalmitis dan panoftalmitis sehingga
terjadi kebutaan total. 2,15

BAB III
LAPORAN KASUS

16
IDENTITAS PASIEN

Nama Moh Gibran S No. Registrasi 582995


Umur/Tanggal
12 Januari 2022 Agama Islam
Lahir
Jenis Kelamin Laki-laki Suku / Bangsa Jawa/Indonesia
Tanggal
Alamat Donggala 28 Januari 2022
Pemeriksaan
A. Muh Agus
Pekerjaan - Pemeriksa
Salim T
DIAGNOSIS ODS Konjungtivitis Gonore

I. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama : Keluar darah dari kedua mata


B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien bayi usia 16 hari masuk rumah
sakit dengan keluhan keluar darah dari kedua mata sejak 1 hari SMRS.
Menurut orang tua keluhan muncul tiba-tiba, sebelum muncul keluhan
sebelumnya pasien lebih rewel dari biasanya. Awalnya cairan berwarna
merah seperti darah namun lama kelamaan cairan berubah menjadi
warna putih kekuning kuningan. Demam (-). Riwayat penyakit dalam
keluarga disangkal

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya : Riwayat trauma pada mata (-)

D. Riwayat Pengobatan : Tidak ada

17
II. PEMERIKSAAN

A. INSPEKSI OD OS

1. Palpebra Superior et
Edema (+), Hiperemis (-), Edema (+), Hiperemis (-)
Inferior

2. Apparatus Lakrimalis Hiperlakrimasi (+) Hiperlakrimasi (+)

Sekret Serous (-), Sekret Serous (-),


3. Silia
Trichiasis (-) Trichiasis (-)

4. Konjungtiva Hiperemis (+), Injeksi (+) Hiperemis (+), Injeksi (+)

5. Bola Mata Intak (+) Intak (+)

Baik Ke Segala Arah Baik Ke Segala Arah

6. Mekanisme Muscular

7. Kornea Jernih (+), Sikatriks (-) Jernih (+), Sikatriks (-)

- Tes Sensitivitas Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

- Tes Placido Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Dalam, Hifema (-), Dalam, Hifema (-),


8. Bilik Mata Depan
Hipopion (-) Hipopion (-)

Cokelat, Kripte (+), Cokelat, Kripte (+),


9. Iris
Sinekia (-) Sinekia (-)

18
10. Pupil Bulat, ± 2.5 mm, RCL (+) Bulat, ± 2.5 mm, RCL (+)

11. Lensa Jernih (+) Jernih (+)

12. Sklera Ikterus (-), Injeksi (-) Ikterus (-), Injeksi (-),

B. PALPASI OD OS

1. Tensi Okular Tn Tn

2. Nyeri Tekanan Tidak Ada Tidak Ada

3. Massa Tumor Tidak Ada Tidak Ada

4. Glandula Preaurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

C. TONOMETRIS

Tidak dilakukan pemeriksaan

D. VISUS

VOD Tidak dapat dinilai VOS Tidak dapat dinilai

Koreksi Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan

Menjadi Tidak Dilakukan Menjadi Tidak Dilakukan

Lihat Dekat Tidak dilakukan Lihat Dekat Tidak dilakukan

Koreksi (-) Gagang (-)

DP (-) Warna Lensa (-)

19
E. CAMPUS VISUAL OD OS

Tidak Dilakukan

Pemeriksaan

F. COLOUR SENSE

Tidak dilakukan Pemeriksaan

G. LIGHT SENSE

Tidak dilakukan Pemeriksaan

H. PENYINARAN OPTIK DEKSTER SINISTER

Hiperemis (+), Hiperemis (+),


Konjungtiva
Injeksi (+) Injeksi (+)

Jernih (+), Jernih (+),


Kornea
Sikatriks (-) Sikatriks (-)

Dalam, Hifema (-), Dalam, Hifema (-),


Bilik Mata Depan
Hipopion (-) Hipopion (-)

Iris Cokelat, Kripte (+), Cokelat, Kripte (+),

20
Sinekia (-) Sinekia (-)

Bulat, ± 2.5 mm, RCL Bulat, ± 2.5 mm, RCL


Pupil
(+) (+)

I. DIAPANOSKOPI

Tidak Dilakukan Pemeriksaan

J. OFTALMOSKOPI

Tidak dilakukan pemeriksaan

L. SLIT LAMP

- Tidak dilakukan pemeriksaan

M. LABORATORIUM

 DL

RBC : 5,81 106/mm3

HGB : 18,4 g/dl

PLT : 368 103/mm3

21
WBC : 11,7 103/mm3

PT : 18,5

APTT : 43,9

III. RESUME

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien bayi usia 16 hari masuk rumah sakit
dengan keluhan keluar darah dari kedua mata sejak 1 hari SMRS. Menurut
orang tua keluhan muncul tiba-tiba, sebelum muncul keluhan sebelumnya
pasien lebih rewel dari biasanya. Awalnya cairan berwarna merah seperti
darah namun lama kelamaan cairan berubah menjadi warna putih kekuning
kuningan. Demam (-). Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal
Pada pemeriksaan fisis di dapatkan edema (+) pada palpebra superior dan
inferior ODS, injeksi konjungtiva (+) hiperemis konjungtiva (+). Sekret
mukopurulen ODS (+)

IV. DIAGNOSIS / DIAGNOSIS BANDING

ODS KONJUNGTIVITIS GONORE

22
V. TERAPI

 Cendo Floxa 4 gtt 1 ODS

 Cefotaxime 150mg/12 jam/iv

 Membersihkan sekret mata

M. Kesimpulan
Penyebab dari oftalmia neonatorum yang paling berbahaya adalah bakteri
Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri diplokokus intraselular gram negatif.
Onsetnya bersifat hiperakut dan dapat menimbulkan gejala klinis berupa kemosis
berat, sekret mata yang purulen, keterlibatan kornea berupa ulkus dan perforasi bola
mata. Konjungtivitis gonore mengenai bayi yang ditularkan oleh ibunya dimana
infeksi terjadi pada saat bayi melewati jalan lahir. 2
Infeksi juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu dapat melalui tangan, sapu
tangan, handuk atau sebagai auto infeksi pada orang-orang yang menderita uretritis
atau servisitis gonoroika. 2
Penegakan diagnosis konjungtivitis gonore harus dilakukan segera dengan
pemberian manajemen yang tepat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa,
gambaran klinis, dan pemeriksaan mikrobiologis. Hal tersebut untuk mencegah
komplikasi yang dapat terjadi pada konjungtivitis gonore seperti kebutaan hingga
kematian. 3

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Costumbrado, J. 2021. Gonococcal Conjunctivitis. University of California
Riverside School of Medicine.
2. Surasmiati, 2017. Konjungtivitis Gonore pada Bayi. Bagian/SMF IK Mata
FK Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar
3. Piscaloka, V.R. 2018. Penatalaksanaan Oftalmia Neonatorum et causa In-
feksi Gonokokal dengan Ikterus Neonatorum. Departemen Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Pusat Mata Nasional
Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
4. Medika Jurnal Kedokteran Indonesia. 2019. Konjungtivitis Vernal. Jurnal Ke-
dokteran Indonesia Vol. 5, No. 1
5. Rasyid, M.U. 2016. Anatomi Konjungtiva. (Online) http://reposito-
ry.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/29397/6.%20BAB%20II.pdf?se-
quence=5&isAllowed=y
6. Nurtania, A. 2015. Anatomi Fisiologi Konjungtiva. 2015.
7. WHO, 2016. Treatment of Neisseria Gonorrhoeae. WHO Guidelines.
8. Jin, J. 2019. Prevention of Gonococcal Eye Infection in Newborns. (Online)
https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2722774
9. CDC. 2021. Gonococcal Infections Among Neonates. (Online) https://
www.cdc.gov/std/treatment-guidelines/gonorrhea-neonates.htm
10. Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
11. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2013. Practicing Oph-
thalmologists Curriculum, Cornea / External Diseases, The Eye MD Associa-
tion
12. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2011. Preferred
Practice Pattern, Conjunctivitis Limited Revision, The Eye MD Association
13. Feder RS, 2013. Conjunctivitis. In: American Academy of Ophtalmology.
(Online) http://www.aao.org/ppp

24
14. Khurana, AK. 2007. Diseases of the Conjunctiva. In: Comprehen-
sive Opthalmology Fourth Edition. New Delhi : New Age Interna-
tional Publishers
15. Hammscherlang, M. 2017. Clamidial and Gonoccocal Infection In In-
fant Children. (Online) http://cid.oxfordjournals.org

25

Anda mungkin juga menyukai