Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN 15 September 2021


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU

“KOMPETENSI DOKTER UMUM PADA BIDANG

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL”

Disusun Oleh :
A. Muh. Agus Salim T (13 18 777 14 324)
Agistiya Magfira (13 17 777 14 251)
Fadliahnur (14 19 777 14 363)
Sri Nurnaningsih (15 19 777 14 364)

Supervisor :
Dr. dr. Hj. Annisa Anwar M., S.H., M.Kes.,Sp.F

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN
FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2021

HALAMAN PENGESAHAN

Nama / No Stambuk : A. Muh. Agus Salim T (13 18 777 14 324)


Agistiya Magfira (13 17 777 14 251)
Fadliahnur (14 19 777 14 363)
Sri Nurnaningsih (15 19 777 14 364)
Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul Referat : Kompetensi Dokter Umum Pada Bidang Forensik dan

Medikolegal

Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal

Bagian IlmuIlmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal


RSU Anutapura Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, September 2021

Supervisor

Dr. dr. Hj. Annisa Anwar M., S.H., M.Kes.,Sp.F


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam pelayanan kesehatan, dokter mendapati kenyataan bahwa bantuan


mereka diperlukan oleh kalangan penegak hukum dalam memeriksa korban
maupun memberi keterangan untuk kepentingan hukum dan peradilan. Dengan
kata lain, profesi dokter mempunyai tugas lain yang tidak kalah penting dari
sekedar memberikan pelayanan medis klinis kepada masyarakat, yaitu
memberikan bantuan terhadap penegakan hukum dan keadilan (medical for law).
Seperti juga hak kehidupan, kesehatan, kesembuhan maka keadilan dan
perlindungan hukum merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi dan
dilindungi oleh negara.1

Bantuan dokter diperlukan untuk memastikan sebab, cara dan waktu


kematian pada peristiwa kematian tidak wajar karena pembunuhan, bunuh diri,
kecelakaan atau kematian yang mencurigakan. Pada korban yang tidak dikenal
diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui identitasnya. Begitu pula pada korban
luka penganiayaan, pemerkosaan, pengguguran kandungan dan peracunan
diperlukan pemeriksaan oleh dokter untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi
secara medis.1

Setiap dokter puskesmas di Indonesia mempunyai kewajiban untuk


melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan program kesehatan yang
dicanangkan pemerintah. Salah satu tugas itu di antaranya adalah pemeriksaan
terhadap jenazah yang meninggal dalam daerah cakupan puskesmas yang
bersangkutan. Jika ada kematian warga yang tinggal atau meninggal dalam
cakupan wilayah suatu puskesmas tertentu, maka keluarga orang yang meninggal
tersebut mungkin melaporkan kematian tersebut ke puskesmas. Dokter puskesmas
yang mendapat laporan tentang kematian tersebut wajib melakukan pemeriksaan
atas jenazah tersebut dan memberikan bantuan kepada keluarga orang yang
meninggal tersebut untuk pengurusan jenazah lebih lanjut.

Peranan dari kedokteran forensik dalam penyelesaian perkara pidana di


pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan membuktikan unsur-
unsur yang di dakwakan dalam pasal yang diajukan oleh penuntut. Serta
memberikan gambaran bagi hakim mengenai hubungan kausalitas antara korban
dan pelaku kejahatan dengan mengetahui laporan dalam visum et repertum.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Ilmu Forensik dan Medikolegal


Ada berbagai pengertian yang dikemukakan oleh ahli Kedokteran Forensik, di
antaranya Sidney Smith mendefinisikan “forensic medicine may be defined as the
body of medical and paramedical scientific knowledge which may services in the
administration of the law”, yang maksudnya ilmu Kedokteran Forensik merupakan
kumpulan ilmu pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan
hukum.
Simpson K. mendefinisikan “ which deals with the broad field where medical
matters come into relation with the law certification of live and dead, the study of
sudden or violent or unexplained death, scientific criminal investigation, matters
involving the coroners, court procedure, medical ethics and the like”. Terjemahan
bebasnya ialah ilmu kedokteran yang berhubungan dengan pengeluaran surat-surat
keterangan untuk orang hidup maupun mati demi kepentingan hukum, mempelajari
kematian tiba-tiba, karena kekerasan atau kematian yang mencurigakan sebabnya,
penyidikan tindakan kriminal secara ilmiah, hal-hal yang berhubungan dengan
penyidikan, kesaksian, etika kedokteran dan sebagainya.
Jaising P. Modi dalam bukunya Medical Jurisprudence and Toxicology yang
sudah dicetak ulang puluhan kali sesudah penerbitan pertama tahun 1920
menyatakan “Medical Jurisprudence, Forensic Medicine dan Legal Medicine are
concidered synonymous term used to denote that branch of medicine which treats
the application of principles and knowledge of medicine to purposes of law, both
civil and criminal” atau berarti cabang ilmu kedokteran yang menggunakan
prinsip-prinsip dan pengetahuan kedokteran untuk membantu proses hukum, baik
sipil maupun kriminal.
Tjokronegoro (1952) sesepuh ahli bidang ini di Indonesia mendefinisikan Ilmu
Kedokteran Kehakiman adalah ilmu yang mempergunakan ilmu Kedokteran dan
yang dipakai dalam menyelesaikan perkara kehakiman.
Prof.Dr.Amri Amir Sp.F(K), DFM, SH mendefinisikan ilmu Kedokteran
Forensik sebagai penggunaan pengetahuan dan keterampilan di bidang kedokteran
untuk kepentingan hukum dan peradilan.1

B. Standar Kompetensi Dokter dalam Bidang Kedokteran Forensik


1). Pengertian Standar Kompetensi Dokter
Menurut SK Mendiknas No. 045/U/2002 kompetensi adalah “seperangkat
tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai
syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas
di bidang pekerjaan tertentu”.

Elemen-elemen kompetensi terdiri dari :


a. Landasan kepribadian
b. Penguasaan ilmu dan keterampilan
c. Kemampuan berkarya
d. Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian
berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai
e. Pemahaman kaidah berkehidupan masyarakat sesuai dengan keahlian
dalam berkarya.
Epstein and Hundert (2002) memberikan definisi sebagai berikut:
“Professional competence” is the habitual and judicious use of communication,
knowledge, technical skill sclinical reasoning, emotions, values and relection in
daily practice to improve the helath of the individual patient and community”
Carraccio, etal (2002) menyimpulkan bahwa: “competency is a complex set
of behaviorsbehaviours built on the components of knowledge, skills, attitude and
competence as personal ability”
Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa pengertian kompetensi
dokter lebih luas dari tujuan instruksional yang dibagi menjadi tiga ranah
pendidikan, yaitu pengetahuan, psikomotor, dan afektif.Dengan dikuasainya
standar kompetensi oleh seorang profesi dokter, maka yang bersangkutan akan
mampu:
a. Mengerjakan tugas atau pekerjaan profesinya
b. Mengorganisasikan tugasnya agar pekerjaan tersebut dapat
dilaksanakan
c. Segera tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan bilamana terjadi
sesuatu yang berbeda dengan rencana semula.
d. Menggunakan kemampuan yang dimilki untuk memecahkan
masalah
dibidang profesinya
e. Melaksanakan tugas dnegan kondisi berbeda..
Dengan telah ditetapkannya keluaran dari program dokter di indonesia
berupa standar kompetensi, maka kurikulum program studi pendidikan dokter
perlu di sesuaikan. Model kurikulum yang sesuai adalah kurikulum berbasis
kompetensi. Artinya pengembangan kurikulum berangkat dari kompetensi yang
harus di capai mahasiswa.
2). Penjabaran kompetensi dokter di bidang kedokteran forensik
a. Area komunikasi efektif
Kompetensi inti :Seorang dokter di tuntut mampu menggali dan bertukar
informasi secara verbal dan non verbal dengan pasien (korban hidup) pada semua
usia, anggota keluarga (pada korban meninggal), masyarakat, kolega dan profesi
lain.
Komunikasi antara dokter dan korban/ pasien atau dengan keluarganya harus
dilakukan seefektif mungkin oleh dokter agar pasien atau keluarga pasien bersedia
dilakukan pemeriksaan walaupun secara hukum untuk pemeriksaan forensik dokter
tidak perlu izin keluarga melainkan kewajiban penyidik untuk memberitahu korban
atau keluarga korban (meninggal). Hal ini sesuai pasal 134 KUHAP.
Pasal 134 KUHAP:
1. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahu terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menjelaskan dengan
jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukan pembedahan tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tangapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberi tahu tidak ditemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3)
undang-undang.
Ditinjau dari area komunikasi efektif dibidang kedokteran forensik, seorang
lulusan dokter harus mampu:

a. Berkomunikasi efektif dengan korban atau dengan keluarga korban.

- Berkomunikasi dengan korban serta anggota keluarganya, dengan


cara memberi penjelasan apa tujuan dilakukan pemeriksaan, cara
dan prosedur pemeriksaan, kemungkinan timbulnya rasa tidak
nyaman saat dokter melakukan pemeriksaan dan informasi lainnya
sesuai etika klinis.

- Bersambung rasa dengan korban dan keluarganya, seorang dokter


saat melakukan pemeriksaan forensik harus menunjukan rasa
simpati dengan kejadian yang menimpa korban, menunjukkan rasa
empati dan dapat dipercaya. Memberikan situasi yang nyaman bagi
korban dnegan menjaga privasi pasien.
- Aktif dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberi
waktu yang cukup pada pasien untuk menyampaikan keluhannya
dan menggali permasalahan pasien serta kronologis kejadian.
b. Berkomunikasi dengan sejawat
- Memberi informasi yang tepat kepada sejawat tentang kondisi
pasien baik secara lisan, tertulis atau elektronik pada saat yang
diperlukan demi kepentingan pasien maupun ilmu kedokteran.
- Menulis surat rujukan dan laporan penanganan pasien dengan benar,
demi kepntingan pasien maupun ilmu kedokteran. Seorang dokter
umum harus merujuk korban apabila apa yang dimintakan penyidik
bukan kompetensi dokter umum. Misalnya, identifikasi tulang,
identifikasi gigi (odontologi), pemeriksaan DNA dan lain- lain.
- Melakukan presentasi laporan kasus secara efektif dan jelas, demi
kepentingan pasien maupun ilmu kedokteran.
c. Berkomunikasi dengan masyarakat
- Menggunakan bahasa yang dipahami oleh masyarakat, menggali
masalah kronologis kejadian menurut persepsi masyarakat.
- Menggunakan teknik komunikasi langsung yang efektif agar
masyarakat memahami bahwa pemeriksaan forensik demi penegakan
keadilan sebagai hak asasi manusia.
- Melibatkan tokoh masyarakat dalam mempromosikan kesehatan
secara profesional
d. Berkomunikasi dengan profesi lain
- Mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberi waktu cukup
kepada profesi lain untuk menyampaikan pendapatnya. Memberi
informasi yang tepat waktu dan sesuai kondisi yang sebenarnya ke
perusahaan jasa asuransi kesehatan untuk pemprosesan klaim demi
kepentingan hukum
- Memberikan informasi yang relevan kepada penegak hukum atau
sebagai saksi ahli di pengadilan (jika diperlukan), termaksud
pembuatan visut et repertum atas permintaan penyidik, pemeriksaan
korban mati mendadak, tanda-tanda kematian dan lain sebagainya.
- Melakukan negosiasi dengan pihak terkait dalam rangka pemecahan
masalah yang harus dipecahkan secara hukum.

3). Area keterampilan klinis


a. Kompetensi inti
Seorang dokter umum harus mampu melakukan prosedur
pemeriksaan forensik klinis sesuai masalah, kebutuhan korban dan sesuai
kewenangannya. Kaitannya dengan kedokteran forensik adalah seorang
dokter umum harus mampu:

a. Memeriksa dan membuat visum et repertum korban luka karena


kecelakaan lalu lintas

b. Memeriksa dan membuat visum et repertum luka karena


penganiayaan

c. Memeriksa dan membuat visum et repertum kekerasan dalam


rumah tangga (KDRT)
d. Melakukan pemeriksaan luar korban meninggal. Pemeriksaan luar
meliputi pemeriksaan label, benda di samping mayat, pakaian, ciri
identitas fisik, ciri tanatologis, perlukaan dan patah tulang

e. Dokter berperan dalam memberikan keterangan ahli, sebagai saksi


ahli pemeriksa, menjelskan visum et repertum, menjelaskan
kaitan temuan ver dengan temuan ilmiah alat bukti sah lainnya.
Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu yang belum
jelas dari sisi ilmiah. (pasal 224 KUHP) .

Hukum dengan tegas memberikan wewenang “utama” pemeriksaan forensik


kepada dokter forensik. Namun, karena ketidaktersediaan dokter forensik hukum
memberi peluang kepada dokter (umum dan spesialis apa saja) sebagai pemeriksa,
hal ini merujuk pada pasal 133 KUHAP.
Kurikulum pendidikan dan forensik klinik, maka dokter umum berwenang
melakukan pemeriksaan forensik.
a. Keterampilan dokter dibidang forensik
Menurut standar kompetensi dokter keterampilan adalah kegiatan mental
dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang
saling bergantung dari awal hingga akhir. Dalam melaksanakan praktik dokter di
bidang forensik, lulusan dokter perlu menguasai keterampilan klinis yang akan
digunakan dalam mendiagnosis, menjawab permintaan visum et repertum maupun
menjelaskan suatu perkara hukum menurut keahliannya dibidang kedokteran.
Keterampilan ini perlu dilatihkan sejak awal pendidikan dokter secara
berkesinambungan hingga akhir pendidikan dokter.
Berikut ini pembagian tingkat kemampuan menurut piramid miler:
a. Tingkat kemampuan 1 (Mengetahui dan menjelaskan)
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini,
sehingga dapat menjelaskan kepada teman sejawat, pasien maupun klien
tentang konsep, teori, prinsip maupun indikasi, serta cara melakukan,
komplikasi yang timbul, dan sebagainya. Contoh keterampilan ini adalah
pemeriksaan DNA untuk identifikasi.
b. Tingkat kemampuan 2 (Pernah melihat atau pernah di demonstrasikan)
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini
(baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi
dan sebagainya). Selain itu, selama pendidikan pernah melihat atau pernah
didemonstrasikan keterampilan ini. Contohnya autopsi, exhumasi,
identifikasi tulang dan gigi.
c. Tingkat kemampuan 3 (Pernah melakukan atau pernah mnerapkan di
bawah supervisi)
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai
keterampilan ini (baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara
melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan pernah melihat
atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini, dan pernah menerapkan
keterampilan ini beberapa kali di bawah supervisi. Contohnya: pemeriksaan
luar jenazah, termasuk label mayat, sebab-
sebab kematian, tanatologi, menetuka lama kematian dan lain sebagainya.
d. Tingkat kemampuan 4 (Mampu melakukan secara mandiri)
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai
keterampilan ini (baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara
melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan pernah melihat
atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini, dan pernah menerapkan
keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki
pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam
konteks praktik dokter secara mandiri. Contohnya, dokter harus mampu
memeriksa korban hidup dan membuat visum et repertum korban
kecelakaan lalu lintas penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan
lain sebagainya.

Tabel 1. Perbedaan Kompetensi Dokter Umum di Bidang Forensik


Kompetensi 1 Kompetensi 2 Kompetensi 3 Kompetensi 4
Mengetahui Pernah melihat Pernah Mampu melakukan
dan atau pernah di melakukan secara mandiri
menjelaskan demonstrasikan atau pernah
mnerapkan di
bawah
supervisi
Keterampilan Keterampilan Keterampilan Keterampilan ini
ini dicapai ini dicapai ini dicapai dilakukannya di bawah
melalui dalam dengan supervisi sesuai dengan
perkuliahan mengamati berlatih pada keterampilan klinik yang
bentuk alat peraga dipercayakan
demonstrasi (entrustable professional
atau activity)
mengamati
langsung
pasien
Pengujian Pengujian Pengujian Dinyatakan lulus pada
dan keterampilan keterampilan pengujian keterampilan
penilaiannya tingkat tingkat tingkat kemampuan 4
dapat kemampuan 2 kemampuan dengan menggunakan
menggunakan dengan 3 dengan Workbased Assessment
ujian tulis. menggunakan menggunaka misalnya mini-CEX,
ujian tulis n Objective portofolio, buku log, dan
pilihan Structured sebagainya
berganda atau Clinical
penyelesaian Examination
kasus secara (OSCE) atau
tertulis dan/ Objective
atau lisan (oral Structured
test). Assessment
of Technical
Skills
(OSATS).
Contoh Contohnya Contohnya Contohnya, dokter
keterampilan autopsi, pemeriksaan harus mampu
ini adalah exhumasi, luar jenazah, memeriksa korban
pemeriksaan identifikasi termasuk hidup dan
DNA untuk tulang dan gigi label mayat membuat visum et
identifikasi. repertum korban
kecelakaan lalu
lintas
penganiayaan,
kekerasan dalam
rumah tangga, dan
lain sebagainya.

Area landasan ilmiah ilmu kedokteran

a. Kompetensi inti

Dokter umum harus mampu mengidentifikasi, menjelaskan dan


merancang penyelesaian masalah kesehatan dan hukum secara ilmiah
menurut ilmu kedokteran kesehatan mutakhir untuk mendapat hasil yang
optimum dan dalam upaya maksimal menghadirkan keadilan subyektif
mungkin.
b. Kemampuan lulusan dokter

1. Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomed, klinik,


perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengaan pelyanan
kesehatan tingkat primer. Prinsip-prinsip ilmu kedokteran dasar yang
berhubungan dengan terjadinya maslaah hukum sesuai pandangan ilmu
kesehatan, beserta patogenesis dan patofisiologinya.
2. Menjelaskan kaitan masalah hukum dan temuan pemeriksaan forensik
baik secara molecular maupun selular melalui pemahaman
mekanisme normal dalam tubuh
3. Menjelaskan faktor-faktor non biologis yang berpengaruh terhadap
masalah hukum dan kesehatan
4. Menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam jenis
pemeriksaan forensik .
5. Menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan kaitan
temuan pemeriksaan forensik dengan kasus yang diusut penyidik baik
peran dokter sebagai ahli atau melakukan pemeriksaan dan memberi
keterangan tertulis.

Area pengelolaan masalah kedokteran dan hukum


a. Kompetensi inti :
Dokter harus mampu mengelola maslah-masalah yang sering
ditemukan dalam ilmu kedokteran forensik secara komprehensif, holistik,
berkesinambungan, koordinatif dan kolaboratif dalam konteks memberikan
pelayanan bantuan hukum terbaik kepada masyarakat.
Dilihat dari segi pengelolaan masalah kedokteran dan hukum maka
lulusan dokter diharapkan mampu:
1. Menginterpretasi data klinis dan temuan hasil pemeriksaan forensik untuk
merumuskan menjadi bukti sah penegakan hukum
2. Menjalaskan penyebab, patogenesis, patofisiologi dan perubahan-
perubahan klinis yang didapatkan dari korban suatu pelanggaran hukum
3. Mengidentifikasi berbagai pilihan pengelolaan korban sesuai kondisi
korban atau penanganan lanjutan terhadap korban
4. Melakukan konsultasi mengenai korban bila diperlukan, contohnya pada
pemeriksaan korban pemerkosaan bisa meminta konsultasi dokter ahli
kandungan
5. Merujuk ke sejawat lain sesuai dengan standar pelayanan medis yang
berlaku, tanpa atau sesudah pemeriksaan

6. Mengidentifikasi keluarga, lingkungan sosial sebagai faktor yang


berpengaruh terhadap terjadinya penyakit serta sebagai faktor yang
mungkin berpengaruh terhadap perubahan kondisi korban
7. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran hukum dan memotivasi masyarakat agar tidak keberatan
dilakukan pemeriksaan forensik pada diri maupun keluarganya demi
penegakan hukum dan keadilan
8. Mengenali keterkaitan yang kompleks antara faktor psikologis, kultur,
sosial, ekonomi, kebijakan dan faktor lingkungan yang berpengaruh pada
suatu masalah kesehatan yang melibatkan korban dalam masalah hukum
9. Mengelola sumber daya manusia dan sarana prasarana secara efektif dan
efisien dalam pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan kedokteran
forensik
10 Menjalankan fungsi managerial (berperan sebagai pemimpin, pemberi
informasi dan pengambil keputusan)dalam upaya memberikan pelayanan
terbaik dalam masalah hukum.
Area pengelolaan informasi

Kompetensi inti : Dokter harus mampu mengakses, mengelola, menilai secara


kritis kesahihan dan kemamputerapan informasi untuk menjelaskan dan
menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan dalam kaitan dengan
pelayanan kesehatan di bidang kedokteran forensik ditingkat primer.
Berdasarkan tinjauan pengelolaan informasi maka lulusan dokter harus

mampu:
1. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu
penegakan diagnosis, sebab perubahan kondisi tubuh korban, sebab-
sebab kematian, tindakan pencegahan dan promosi hukum kesehatan
serta penjagaan dan pemantauan status korban
2. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (internet)
3. Menggunakan data dan bukti pengkajian ilmiah untuk menilai relevansi
dan validitas data-data forensik dengan masalah hukum
4. Menerapkan metode riset dan statistik untuk menilai kesahlihan informasi
ilmiah
5. Menerapkan keterampilan dasar pengelolaan informasi untuk
menghimpun data relevan menjadi arsip pribadi
6. Menerapkan keterampilan dasar dalam menilai data untuk melakukan
validasi informasi ilmiah secara sistematik
7. Meningkatkan kemampuan secara terus menerus dalam merangkum dan
menyimpan arsip
8. Memahami manfaat dan keterbatasan teknologi informasi Menerapkan
prinsip teori tekonologi informasi dan komunikasi untuk membantu
penggunaannya, dengan memperhatikan secara khusus potensi untuk
berkembang dan keterbatasannya
9. Memanfaatkan informasi kesehatan dan menemukan database dalam
praktik kedokteran secara efisien
10. Menjawab pertanyaan yang terkait dengan praktik kedokteran
dan perannanya dalam penegakan hukum dengan menganalisis arsipnya
dan rekam medis untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di
bidang kedokteran forensik.

Area mawas diri dan pengembangan diri

Kompetensi inti : Dokter harus melakukan praktik kedokteran dengan


penuh kesadaran atas kemampuan dan keterbatasannya, mengatasi masalah
emosional, personal, kesehatan, dan kesejahteraan yang dapat
mempengaruhi kemampuan profesinya. Dokter harus belajar sepanjang
hayat dan mampu merencanakan, menerapkan dan memantau
perkembangan profesi secara berkesinambungan.
Berdasarkan kompetensi area mawas diri dan pengembangan diri,
maka lulusan dokter harus mampu :
1. Menerapkan prinsip mawas diri, menilai kemampuan dan keterbatasan diri
berkaitan dengan praktik kedokterannya dan berkonsultasi bila diperlukan.
2. Mengenali dan mengatasi masalah emosional, personal dan masalah
yang berkaitan dengan kesehatannya yang dapat mempengaruhi
kemampuan profesinya
3. Menyesuaikan diri dengan tekanan yang di alami selama pendidikan dan
praktik kedokteran
4. Menyadari peran hubungan interpersonal dalam lingkungan profesi dan
pribadi

5. Mendengarkan secara akurat dan bereaksi sewajarnya atas kritik yang


membangun dari pasien/ korban, keluarga korban, sejawat, instruktur
dan masyarakat
6. Mengenali nilai dan keyakinan diri yang sesuai dengan praktik kedokteran
7. Mempraktikan belajar sepanjang hayat
8. Mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan yang baru
9. Berperan aktif dalam program pendidikan dan pelatihan kedokteran
berkelanjutan (PPPKB) dan pengalaman belajar lainnya
10. Menunjukkan sikap kritis terhadap praktik kedoktern berbasis
bukti (evidence-based medicine)
11. Mengambil keputusan apakah akan memanfaatkan informasi atau
evidence untuk penanganan korban dan justifikasi alasan keputusan yang
di ambil secara literatur kedokteran
12. Menyadari kinerja professionalitas diri dan mengidentifikasi
kebutuhan belajarnya
13. Mengidentifikasi kesenjangan daari ilmu pengetahuan yang sudah
ada dan mengembangri ilmu pengetahuan yang sudah ada dan
mengembangkannya menjadi pertanyaan penelitian yang tepat
14. Merancang, mengimplementasikan penelitian untuk menemukan
jawaban dari pertanyaan penelitian
15. Menuliskan hasil penelitian sesuai dengan kaidah artikel ilmiah
16. Membuat presentasi ilmiah dari hasil penelitiannya

Area etika, moral, medikolegal, dan profesionalisme serta keselamatan


pasien
Kompetensi inti : Di dalam praktik kedokteran seorang dokter mempunyai
kewajiban anatar lain:
- Berperilaku profesional dan mendukung kebijakan kesehatan
- Bermoral dan beretika serta memahami isu-isu etik maupun aspek
medikolegal dalam praktik kedokteran
- Menerapkan program keselamatan pasien/korban ditinjau dan segi etika,
moral, medikolegal dan professionalisme serta keselamatan pasien/korban
seorang lulusan dokter diharapkan mampu:

1. Memiliki sikap profesional


- Menunjukan sikap yang sesuai dengan kode etik dokter indonesia
- Menjaga kerahasiaan dan kepercayaan pasien
- Menunjukkan kepercayaan dan saling menghormati dalam
hubungan dokter pasien
- Menunjukkan rasa empati dengan pendekatan yang menyeluruh
- Mempertimbangan masalah pembiayaan dan hambatan lain dalam
memberikan pelayanan kesehatan serta dampaknya
Mempertimbangan aspek etis dalam penanganan pasien sesuai
standar profesi
- Mengenal alternatif dalam menghadapi pilihan etik yang sulit
Menganalisis secara sistematis dan mempertahankan pilihan etik
- dalam pemeriksaan/ pengobatan setiap individu pasien/ korban.
2. Berperilaku profesional dalam bekerja sama
- Menghormati setiap orang tanpa membedakan status sosial
- Menunjukkan pengakauan bahwa tiap individu mempunyai
kontribusi dan peran yang berharga, tanpa memandang status sosial
- Berperan serta dalam kegiatan yang memerlukan kerja sama
dengan para petugas kesehatan lainnya
- Mengenali dan berusaha menjadi penegah ketika menjadi konflik
- Memberikan tanggapan secara konstruktif terhadap masukan dari
orang lain
- Mempertimbangkan aspek etis dan moral dalam hubungan dengan
petugas kesehatan lain, serta bertindak secara profesional
- Mengenali dan bertindak sewajarnya saat kolega melakukan suatu
tindakan yang tidak profesional

3. Berperan sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang profesional


dalam masalah pasien dan menerapkan nilai-nilai profesionalisme
4. Bekerja dalam berbagai tim pelayanan kesehatan secara efektif
- Menghargai peran dan pendapat berbagai profesi kesehatan
- Berperan sebagai manager baik dalam praktik pribadi maupun
dalam sistem pelayanan kesehatan
- Menyadari profesi medis yang mempunyai peran di masyarakat dan
dapat melakukan suatu perubahan
- Mampu mengatasi perilaku yang tidak profesional dari anggota tim
pelayanan kesehatan lain
- Melakukan praktik kedokteran dalam masyarakat multikultural di
indonesia
- Menghargai perbedaan karakter individu, gaya hidup dan budaya
dari pasien dan sejawat
- Memahami heterogenitas persepsi yang berkaitan dengan usia,
gender, orientasi seksual , etnis, kecacatan dan status sosial
ekonomi.
5. Aspek medikolegal dalam praktik kedokteran forensik. Dokter
diwajibkan memahami dan menerima tanggung jawab hukum
berkaitan dengan :
- Hak asasi manusia
- Penyalahgunaan tindakan fisik dan seksual
- Kode etik kedokteran indonesia
- Pembuatan surat keterangan sehat, sakit, visum et repertum/
surat kematian.
- Proses di pengadilan, dokter berperan memberikan keterangan
sebagai saksi ahli pemeriksa, menjelaskan visum et repertum,
menjelaskan kaitan temuan VeR dengan temuan ilmiah alat bukti sah
lainnya. Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu yang
belum jelas dari sisi ilmiah
- Memhami UU RI No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran
- Memahami peran konsil kedokteran indonesia sebagai yang
mengatur praktik kedokteran
- Menentukan, menyatakan dan menganalisis segi etika dalam
kebijakan kesehatan .
Kompetensi dokter spesialis forensik

Sebagai tambahan, seorang dokter umum juga perlu mengetahui kompetensi


dokter spesialis forensik. Hal ini dimaksudkan agar sistem rujukan dalam bidang
forensik berjalan sesuai standar profesi.

Menurut buku panduan pelaksanaan program P2KB untuk dokter spesialis


forensik, seorang dokter spesialis forensik setelah menyelesaikan pendidikan
diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut :
Kompetensi I : menerapkan etika profesi dokter spesialis forensik dan
mematuhi prosedur medikolegal dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab sebagai dokter spesilais forensik.

Kompetensi II : menegakkan diagnosis kedokteran forensik dan


medikolegal pada korban hidup maupun mati, menatalaksana kasus sesuai
dengan aspek sosio- yuridis dan medikolegal, serta mengkomunikasikan
ekspertise yang dihasilkan kepada pihak yang berwenang, termasuk
membuat sertifikasi forensik seusai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Kompetensi III : merancang, mengelola, dan mengawasi kegiatan unit


kedokteran forensik dan perawatan jenazah di sebuah institusi pelayanan
kesehatan

Kompetensi IV : berperan aktif dalam tim kerja penanganan kasus forensik


dan dalam tim etikomedikolegal RS

Kompetensi V : berperan sebagai pengajar dan pembimbing dalam bidang


forensik, etik dan medikolegal sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.

Kompetensi VI : berperan aktif dalam mengembangkan ilmu kedokteran


khususnya dalam bidang forensik, etika dan medikolegal melalui penulisan
karya ilmiah yang dipresentasikan atau dipublikasikan dari hasil penelitian

Ditinjau dari standar profesi, seorang dokter spesialis forensik mempunyai


kompetensi yaitu sebagai berikut:
1) Mampu melakukan pemeriksaan jenazah atau bagian dari jenazah dan
menginterpretasikannya untuk kepentingan identifikasi.
2) Mampu melakukan penggalian kuburan tunggal dan melakukan
pemeriksaan jenazah di dalamnya untuk kepentingan peradilan
3) Mampu melakukan pemeriksaan kasus medikolegal
4) Mampu melakukan pemeriksaan korban jenazah ditempat kejadian perkara
dan membuat laporannya
5) Mampu melakukan penilaian tentang perkiraan saat kematian berdasarkan
tanda tanatologis pada jenazah
6) Mampu melakukan penggalian kuburan korban pelanggaran HAM
7) Mampu melakukan pengawetan jenazah
8) Mampu melakukan pemeriksaan laboratorium forensik rutin dan trace
evidances
9) Mampu melakukan pemeriksaan jenazah korban kekerasan secara lengkap
serta menyimpulkan penyebab kematiannya
10) Mampu melakukan pemeriksaan jenazah mati mendadak secara lengkap
serta menyimpulkan penyebab kematiannya
11) Mampu melakukan pemeriksaan korban hidup yang mengalami kekerasan
fisik dan kekerasan seksual
12) Mampu melakukan pemeriksaan laboratorium forensik untuk membuktikan
adanya persetubuhan dan atau kekerasan.
13) Mampu membuat laporan hasil pemeriksaan jenazah dan korban hidup
dalam bentuk visum et repertum jenazah.
14) Mampu melakukan pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan dalam
rangka penentuan kelayakannya untuk diperiksa atau ditahan.
Pelayanan Kedokteran Forensik di Puskesmas
Upaya pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal di Puskesmas
ditujukan memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal yang
bersifat dasar, seperti pelayanan pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban
kekerasan fisik dan seksual, tata laksana barang bukti dan pelayanan laboratorium
forensik sederhana. Puskesmas juga diharapkan dapat memberikan pembinaan
kepada masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan sesuai kebutuhan dan
ketentuan yang berlaku. Karena distribusi spesialis kedokteran forensik dan dokter
umum terlatih belum merata di seluruh Indonesia, dimungkinkan pelayanan
kedokteran forensik extra-mural (keliling) ke tempat kejadian perkara yang
memerlukannya.
Fasilitas kesehatan tingkat primer dapat menjalani berbagai fungsi pelayanan
kedokteran forensik, baik forensik patologi maupun forensik klinik. Contohnya
adalah sebagai berikut:
a). Forensik Patologi
1. Pemeriksaan Kematian.
Kompetensi untuk melakukan pemeriksaan kematian perlu dimiliki oleh
seluruh dokter dan sampai batas tertentu dapat dijalankan di fasilitas kesehatan
tingkat primer. Kematian seseorang di luar fasilitas kesehatan harus diseleksi
apakah ada indikasi tindak kriminal atau tidak, misalnya pada mati mendadak atau
medically unexplained death. Jika dokter di tingkat primer yakin tidak ada indikasi
tindak kriminal maka dapat dikeluarkan surat kematian, jika tidak yakin maka
dapat digunakan sistem rujukan fasilitas kesehatan yang sesuai untuk diperiksa
spesialis forensik atau spesialis patologi. Selain fungsi forensik untuk mencegah
terlewatkannya kematian akibat tindak kriminal, praktik ini akan memberi
kontribusi penting untuk mengintegrasikan pemeriksaan kematian dengan
pengelolaan data dan penyusunan kebijakan kesehatan maupun untuk kepentingan
data kependudukan. Pemeriksaan awal adanya indikasi lain otopsi juga dapat
melibatkan dokter di tingkat primer, meskipun tindakan otopsi kemudian
dilaksanakan di tingkat sekunder atau tersier.
2. Otopsi
Jika kita menginginkan otopsi yang dilaksanakan dengan baik dan
menghasilkan visum et repertum yang meyakinkan tentu tindakan ahli menjadi
pilihan. Namun demikian perlu dipetakan daerah-daerah yang secara demografis
sulit untuk dicapai, dan sulit untuk melakukan rujukan, tentu memberikan
kompetensi khusus ini kepada dokter di tingkat primer yang akan bertugas di
tempat tersebut juga dapat dipertimbangkan. Selain itu, dokter yang bertugas di
tempat khusus ini juga dapat menjadi narasumber penting untuk memberikan saran
awal kepada penyidik.
b). Forensik Klinik
1). Pemeriksaan Trauma
Penatalaksanaan kasus trauma juga merupakan tugas fasilitas kesehatan
primer. Sebagian kasus akan selesai ditangani, sebagian lagi akan dirujuk. Perlu
kita ingat bahwa kasus forensic klinik seringkali tidak ditentukan oleh berat
ringannya. Rekam medik terkait luka di tingkat primer bisa jadi sangat penting
untuk visum et repertum, meskipun kasus penanganan pasiennya. kemudian di
rujuk ke tingkat sekunder.
2). Kasus Kekekerasan terhadap Wanita dan Anak
Walaupun kasus kejahatan seksual kadang tidak menimbulkan luka fisik
yang mengancam jiwa, namun memerlukan pendekatan yang komprehensif dan
fasilitasi yang cukup kompleks. Meskipun penatalaksanaannya mungkin tidak ideal
jika dilaksanakan di tingkat primer, namun harus disadari bahwa fasilitas kesehatan
primer harus memiliki kemampuan untuk melakukan deteksi awal, menjaga
integritas barang bukti, merujuk dengan tepat, mendapat rujuk balik untuk
penanganan lanjut korban dan keluarga (rehabilitatif), dan mengupayakan
pencegahan terjadinya kasus yang sama di lingkungan masyarakat yang
diampunya.
3) . Pemeriksaan Kesehatan
Fungsi ini sebetulnya sudah lama dijalankan hingga ke tingkat primer
melalui pembuatan Surat Keterangan Sehat, namun seringkali tidak dikaitkan
sebagai fungsi forensik. Padahal apa yang dilakukan dalam membuat suratsurat
tersebut sebenarnya adalah menjalankan fungsi forensik sebagai assessing
physician, bukan sebagai treating physician. Hasil asesmen akan memiliki manfaat
bagi kepentingan hukum dan administrasi. Meskipun tidak serumit pemeriksaan
kesehatan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan pengadilan yang
biasa dilakukan spesialis forensik, namun
setiap dokter harus memiliki kemampuan tersebut dan tahu kapan dia sedang
menjadi assessingphysician, kapan sebagai treating physician.

Pelayanan Pemeriksaan Jenazah


Pemeriksaan jenazah harus dilakukan pada suatu tempat yang
penerangannya baik. Sebelum dokter melakukan pemeriksaan, ia sebaiknya
melakukan allo-anamnesis terhadap keluarga korban, khususnya untuk mencari
data mengenai riwayat kematian, adanya gejala yang dikeluhkan atau diketahui
diderita almarhum menjelang kematiannya, adanya penyakit yang diderita baik
yang baru maupun yang lama serta adanya riwayat pengobatan atau minum obat
sebelumnya. Dengan pengetahuan dan pengalaman klinisnya, berdasarkan
keterangan tersebut diatas, dokter dapat meyakini kemungkinan adanya penyakit
tertentu sebagai penyebab kematian orang tersebut. Kesimpulan dokter ini
merupakan titik awal untuk pencarian penyebab kematian yang lebih pasti
berdasarkan hasil-hasil temuan pada pemeriksaan jenazah..

Pada setiap kasus kematian, dokter harus melakukan pemeriksaan luar


jenazah secara seksama, lengkap dan teliti. Jika pada pemeriksaan tersebut dokter
tidak menemukan adanya luka atau tanda kekerasan lainnya, tidak menemukan
tanda-tanda keracunan dan anamnesisnya mengarah pada kematian akibat
penyakit, maka dokter dapat langsung memberikan surat kematian (Formulir A)
dan jenazahnya kepada keluarga korban. Dalam Formulir A, dokter Puskesmas
harus mencantumkan nomor penyakit yang diduganya merupakan penyebab
kematian, sesuai dengan klasifikasi penyakit dalam International Classification of
Diseases (ICD) sebagaimana tercantum pada bagian belakang Formulir A
tersebut. Formulir A diperlukan oleh keluarga korban untuk berbagai keperluan
administrasi kependudukan, seperti untuk administrasi dalam rangka
penyimpanan jenazah, pengangkutan jenazah keluar kota/negeri serta pembuatan
Akte Kematian (yang diperlukan untuk pengurusan pembagian warisan, asuransi,
izin kawin lagi dan sebagainya).

Jika oleh suatu alasan tertentu, keluarga ingin menyimpan jenazah lebih dari
24 jam sebelum dikubur atau dikremasi, maka demi keamanan lingkungan
terhadap jenazah selayaknya dilakukan pengawetan. Pada kasus kematian wajar
akibat penyakit, pengawetan jenazah dapat langsung dilakukan setelah
pemeriksaan luar jenazah selesai dilakukan. Pengawetan jenazah pada kasus ini
terutama dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses pembusukan,
membunuh kuman serta mempertahankan bentuk mayat seperti pada keadaan
awalnya.

Pemeriksaan luar jenazah dilakukan secara teliti dan seksama dengan


mengikuti format laporan obduksi. Adapun data-data yang perlu dicari dan dicatat
dalam laporan obduksi adalah data-data berikut ini:
1. Dokter pemeriksa, nama serta alamat instansinya
2. Tanggal dan jam pemeriksaan
3. Penulis laporan obduksi
4. Identitas jenazah: data ditulis sesuai dengan data pada kartu identitas atau
SPV
5. Label: disini dicatat ada tidaknya label, bahan label, ada tidaknya
informasi pada label.
6. Tutup/bungkus mayat: disini dicatat kain atau selimut yang digunakan
untuk membungkus atau menutupi mayat, yaitu data mengenai jenis
bahan, warna, motif bahan serta keterangan lainnya (lusuh, berlumur
lumpur/darah dsb)
7. Perhiasan: disini dicatat mengenai jenis perhiasan, bahan, warna serta
keterangan lain mengenai perhiasan yang dikenakan
8. Pakaian: disini dicatat pakaian yang dikenakan, dideskripsikan mulai dari
atas ke bawah, dari luar ke dalam, yaitu data mengenai jenis pakaian (baju
kemeja lengan panjang, kaos oblong, dan sebagainya), bahan (kaos, katun,
dan sebagainya), warna, merek serta nomor dan keterangan lainnya
9. Benda disamping mayat: disini dicatat benda-benda yang ditemukan di
samping mayat.
10. Tanatologi: disini dicatat mengenai perubahan-perubahan setelah
kematian yang meliputi data (1) lebam mayat (lokasinya, warnanya dan
apakah hilang atau tidak dengan penekanan), (2) kaku mayat (lokasinya,
mudah atau tidak dilawan) serta (3) perubahan kematian lanjut (jika ada),
yaitu tanda tanda pembusukan, adiposera atau mumifikasi (lokasi dan
deskripsinya).
11. Identitas: disini dicatat mengenai jenis kelamin, ras (apakah orang
Indonesia, negro, kulit putih dsb), warna kulit, status gizi, tinggi badan,
berat badan serta kondisi zakar (untuk pria) apakah disunat atau tidak.
12. Identitas khusus: disini dicatat identifikasi khusus, yaitu adanya
jaringan parut (bekas luka atau operasi), tattoo, tahi lalat, tompel, tanda
lahir, pincang, serta ciri khusus lain. Deskripsi dilakukan sedetil
mungkin, meliputi lokasi, gambaran tanda identifikasi tersebut serta
ukurannya.
13. Bulu-bulu: disini dicatat mengenai rambut, alis mata, bulu mata,
kumis, serta jenggot, yang meliputi deskripsi warna, tumbuhnya
(lebat/jarang, lurus/ikal/ keriting) serta panjangnya.
14. Mata: disini dicatat kondisi kedua mata meliputi data tentang
selaput bening (kornea) apakah masih jernih atau sudah keruh, teleng mata
(pupil) bagaimana bentuknya serta berapa diameternya, warna tirai mata
(iris), selaput bola mata (sklera atau konjungtiva bulbi) apakah warnanya
pucat, kuning atau kemerahan serta ada tidaknya bintik atau bercak
perdarahan, selaput kelopak mata (conjungtiva palpebra) apakah warnanya
pucat, kuning atau kemerahan dan apakah menunjukkan adanya bintik atau
bercak perdarahan.
15. Hidung (dicatat bentuknya, apakah biasa, pesek atau mancung),
telinga (dicatat bentuknya apakah biasa, atau ada ciri khusus tertentu)
dan lidah (dicatat apakah lidah terjulur atau tergigit).
16. Gigi geligi: disini dicatat gigi geligi pada rahang atas kiri, atas
kanan, bawah kiri dan bawah kanan, yaitu data mengenai jumlah gigi,
keutuhannya, ada tidaknya bolong/caries, adanya kelainan bentuk, kawat,
tambalan dan sebagainya.
17. Lubang-lubang: disini dicatat mengenai apa yang keluar dari
lubang- lubang tubuh (mulut, hidung, telinga, kemaluan dan anus), yaitu
bentuknya (cairan, muntahan , darah dan sebagainya), warna serta baunya.
Khusus untuk mulut dan hidung penilaian dilakukan setelah pemeriksa
menekan dinding dada dan melihat adanya benda yang keluar dari lubang
mulut dan hidung serta membaui hawa yang keluar dengan cara
mengibaskan udara mulut/hidung kearah pemeriksa.
18. Luka luka: disini dicatat luka-luka pada tubuh korban sedetil dan
selengkap mungkin sebagai berikut:
- Luka lecet geser: dicatat lokasi, koordinat, arah serta ukurannya
Misal: Pada dada kiri, 3 cm dari garis pertengahan depan (GPD),
10 cm dibawah bahu terdapat luka lecet geser, arah dari kiri ke
kanan, ukuran 3 cm x 2 cm.
- Luka lecet gores: dicatat lokasi, koordinat, arah serta panjangnya.
Misal: Pada lengan atas kanan bagian depan, 10 cm dibawah
bahu, terdapatluka lecet gores, arah dari atas ke bawah, sepanjang
10 cm.
- Luka lecet tekan: dicatat lokasi, koordinat, bentuk, serta ukurannya.
Misal: Pada perut kanan atas, 2 cm dari GPD, 4 cm diatas pusat
terdapat luka lecet tekan, bentuk bulat, diameter 3 cm.
- Memar: dicatat lokasi, koordinat, warna serta ukurannya. Misal:
Pada punggung kanan, 3 cm dari GPB, 10 cm dibawah puncak bahu
terdapat memar, kebiruan dengan ukuran 4 cm x 10 cm.
- Luka terbuka: dicatat lokasi, koordinat (sumbu X dan Y serta jarak
dari tumit), tepi luka (rata/tak rata), sudut luka (tajam/tumpul),
dinding luka (kotor/bersih), dasar (jaringan bawah kulit, otot,
tulang), adanya jembatan jaringan, sekitar luka (adanya luka
lecet/memar serta ukurannya), ukuran luka dalam keadaan aslinya
dan ukuran setelah luka dirapatkan. Misal: Pada dada kiri, 3 cm
GPD, 10 cm dibawah puncak bahu, 140 cm diatas tumit, terdapat
luka terbuka, tepi rata, sudut kanan atas tajam sudut kiri bawah
tumpul, dinding luka bersih, dasar otot yang robek, tak ada jembatan
jaringan, sekitar luka bersih, ukuran 4 cm x 1 cm, bila dirapatkan
berupa garis yang berjalan dari kanan atas ke kiri bawah
membentuk sudut 45 derajat dengan gais horizontal sepanjang 4,5
cm.
- Luka tembak: dicatat lokasi, koordinat (sumbu X, Y serta jarak dari
tumit), bentuk luka (lubang, bintang atau luka terbuka), ukurannya,
adanya lecet di sekitar lubang luka (kelim lecet) serta ukuran lebar
lecetnya, adanya jelaga di sekitar luka (kelim jelaga) serta
ukurannya, adanya bintik-bintik hitam di sekitar luka (kelim tattoo)
serta ukurannya, adanya cekungan di sekitar lubang luka (jejas
laras) dan ukurannya. Misal: Pada dada kiri, 5 cm dari GPD, 15 cm
dibawah bahu, 135 cm diatas tumit terdapat luka berbentuk lubang
bulat berdiameter 6 mm, disekitar lubang terdapat lecet melingkar,
pada sisi kiri, kanan dan atas masing-masing selebar 1 mm dan
pada sisi bawah lebar 2 mm, di sekitar luka terdapat kotoran jelaga
pada daerah seluas 4 cm x 5 cm dan adanya bintik-bintik hitam
pada daerah seluas 2 cm x 3 cm.
- Jejas jerat atau gantung pada leher: dicatat bentuk luka, lokasi
ketinggian luka pada GPD, sisi kanan dan kiri, lokasi hilangnya
jejas serta lokasi (perkiraan lokasi) simpul serta lebar luka pada
lokasi - lokasi tersebut. Misal: Pada leher terdapat luka lecet tekan
melingkari leher, berupa daerah yang mencekung, berwarna
kecoklatan, pada perabaan keras seperti kertas perkamen, dengan
beberapa gelembung berisi air pada tepi luka di sekitar GPD, pada
GPD setinggi jakun dengan lebar 4 mm, pada sisi kanan 7 cm
dibawah lubang telinga selebar 4 mm, pada sisi kiri 8 cm dibawah
lubang telinga selebar 4 mm, pada bagian belakang luka
menghilang pada 4 cm di kanan dan kiri GPB, 4 cm dibawah batas
rambut belakang, jejas simpul tidak ditemukan tetapi diperkirakan
letaknya tepat GPB 2 cm diatas batas rambut belakang.
- Luka bakar: dicatat lokasi, koordinat, deskripsi luka serta luasnya
(mengikuti rule of nine) Misal: Pada punggung kanan mulai dari
puncak bahu dan GPB terdapat luka berupa daerah kulit ari yang
mengelupas dengan dasar berwarna kemerahan, pada bagian tepi
terdapat gelembung-gelembung berisi cairan jernih, meliputi daerah
seluas 9 %. Patah tulang: disini dicatat mengenai tulang yang patah,
yaitu nama tulangnya, lokasi patahan, jenis patah (terbuka, tertutup).
19. Lain-lain: disini dicatat keterangan tambahan yang ditemukan dan
tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok data-data diatas, seperti
adanya luka-luka lama, badan yang basah, kulit yang keriput, luka
bekas suntikan, golongan darah, hasil pemeriksaan urin.
Jika pada pemeriksaan luar dokter menemukan adanya luka, adanya bau
yang mencurigakan dari mulut atau hidung, adanya tanda bekas suntikan tanpa
riwayat berobat ke dokter, serta adanya tanda keracunan lainnya, maka kasusnya
kemungkinan merupakan kematian yang tidak wajar. Kematian yang tidak wajar
dapat terjadi pada kematian akibat kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan. Pada
kasus-kasus ini dokter sebaiknya hanya berpegang pada hasil pemeriksaan fisik
dan analisisnya sendiri dan bisa mengabaikan anamnesis yang bertentangan
dengan kesimpulannya. Biasanya pada kasus kematian tidak wajar, ada
kecenderungan keluarga korban untuk membohongi dokter dengan mengatakan
korban meninggal akibat sakit, karena malu (misalnya pada kasus bunuh diri,
narkoba) atau karena mereka sendiri pelakunya (pada kasus penganiayaan anak,
pembunuhan dalam keluarga) atau takut berurusan dengan polisi (pada kasus
kecelakaan karena ceroboh).
Dokter Puskesmas yang menemukan kasus dengan dugaan kematian yang
tidak wajar, berdasarkan Pasal 108 KUHAP, sebagai pegawai negeri (dokter PTT
dianggap sebagai pegawai negeri) wajib melaporkan kasus tersebut ke polisi resort
(polres) setempat. Pada kasus ini dokter Puskesmas tidak boleh memberikan surat
Formulir A kepada keluarga korban dan mayat tersebut harus ditahan sampai
proses polisi selesai dilaksanakan. Dokter Puskesmas sebaiknya tidak memberikan
pernyataan mengenai penyebab kematian korban ini sebelum dilakukan
pemeriksaan otopsi terhadap jenazah.
Berdasarkan adanya laporan tersebut, penyidik berdasarkan pasal 133(1)
KUHAP dapat meminta bantuan dokter untuk melakukan pemeriksaan luar
jenazah (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan luar dan dalam jenazah
(pemeriksaan bedah jenazah atau otopsi), dengan mengirimkan suatu Surat
Permintaan Visum et Repertum (SPV) jenazah kepada dokter tertentu.
Setiap dokter yang diminta untuk melakukan pemeriksaan jenazah oleh
penyidik wajib melakukan pemeriksaan sesuai dengan permintaan penyidik dalam
SPV. Dokter yang secara sengaja tidak melakukan pemeriksaan jenazah yang
diminta oleh penyidik, dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9
bulan (pada kasus pidana) dan 6 bulan (pada kasus lainnya) berdasarkan Pasal 224
KUHP. Dengan demikian, seorang dokter Puskesmas yang mendapatkan SPV dari
penyidik untuk melakukan pemeriksaan jenazah wajib melaksanakan
kewajibannya tersebut.
Segera setelah menerima SPV dari penyidik, dokter harus segera melakukan
pemeriksaan luar terhadap jenazah tersebut. Jika pada SPV yang diminta adalah
pemeriksaan bedah jenazah, maka dokter pada kesempatan pertama cuma perlu
melakukan pemeriksaan luar jenazah saja. Selanjutnya dokter baru boleh
melakukan pemeriksaan dalam (otopsi) setelah keluarga korban datang dan
menyatakan kesediaannya untuk dilakukannya otopsi terhadap korban. Penyidik
dalam hal ini berkewajiban untuk menghadirkan keluarga korban dalam 2 x 24
jam sejak mayat dibawa ke dokter Selewat tenggang waktu tersebut, jika keluarga
tidak ditemukan, maka dokter dapat langsung melaksanakan otopsi tanpa “izin”
dari keluarga korban.
Pemeriksaan luar jenazah dalam rangka SPV dari penyidik harus dilakukan secara
seksama, selengkap dan seteliti mungkin, dan bila dianggap perlu dilengkapi
dengan sketsa atau foto luka-luka yang ditemukan pada tubuh korban. Untuk
mencegah kemungkinan adanya data yang terlewatkan, maka dokter yang
melakukan pemeriksaan luar hendaknya berpedoman pada formulir laporan
obduksi. Jika pemeriksaan yang diminta oleh penyidik hanya pemeriksaan luar
jenazah (pemeriksaan jenazah) saja, maka setelah pemeriksaan luar selesai
dilakukan, mayat dan Formulir A dapat langsung diserahkan kepada keluarga
korban. Pada Formulir A tersebut, dokter harus menyatakan bahwa penyebab
kematian korban “ tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan bedah jenazah
sesuai dengan permintaan penyidik”. Kesimpulannya harus demikian karena pada
kematian yang tidak wajar berlaku ketentuan bahwa “penyebab kematian hanya
dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan dalam (otopsi atau bedah jenazah)”.
Jika penyidik meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan luar dan
dalam (pemeriksaan bedah jenazah atau otopsi), dan keluarga korban tidak
menyetujuinya, maka dokter Puskesmas wajib menjelaskan tujuan otopsi kepada
keluarga korban. Dokter pada kesempatan tersebut hendaknya memberikan
beberapa keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa kewenangan meminta pemeriksaan dalam atau otopsi ada di
tangan penyidik POLRI, berdasarkan Pasal 133(1) KUHAP. Dokter
yang diminta melakukan pemeriksaan jenazah hanya melaksanakan
kewajiban hukum, sehingga setiap keberatan dari pihak keluarga
hendaknya disampaikan sendiri ke penyidik yang mengirim SPV.
Keputusan boleh tidaknya dilakukan pemeriksaan luar saja pada
kasus ini, ada di tangan penyidik. Jika penyidik mengabulkan
permohonan keluarga korban, kepada keluarga korban akan
dititipkan surat pencabutan visum et repertum, untuk diserahkan
kepada dokter yang akan melakukan pemeriksaan jenazah. Dalam
hal ini, dokter hanya perlu melakukan pemeriksaan luar jenazah saja.
b. Jika penyidik tidak menyetujui keberatan keluarga korban, maka
keluarga korban masih mempunyai dua pilihan, yaitu menyetujui
otopsi atau membawa pulang jenazah secara paksa (disebut Pulang
Paksa) dengan segala konsekuensinya. Jika keluarga menyetujui
otopsi, maka mayat dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi.
c. Jika keluarga memilih pulang paksa, maka mereka baru boleh
membawa pulang jenazah setelah menandatangani Surat Pulang
Paksa.
Surat Pulang Paksa merupakan surat yang menyatakan bahwa mayat
dibawa pulang secara paksa oleh keluarga, sehingga tidak terlaksananya
pemeriksaan jenazah merupakan tanggung jawab keluarga korban dan bukan
tanggung jawab dokter. Berdasarkan surat ini, maka keluarga korban yang
menandatangani surat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-
lamanya 9 bulan karena menghalang-halangi pemeriksaan jenazah, berdasarkan
Pasal 222 KUHP. Bagi dokter surat ini penting, karena merupakan surat yang
mengalihkan beban tanggung jawab atas tidak terlaksananya pemeriksaan jenazah
dari dokter ke keluarga korban. Atas dasar itulah, maka surat ini harus disimpan
baik-baik oleh dokter sebagai bukti pulang paksa, jika di kemudian hari penyidik
menanyakan Visum et Repertum kasus ini ke dokter. Untuk amannya, pada kasus
semacam ini dokter sebaiknya memberitahukan adanya pulang paksa ini ke
penyidik yang mengirim SPV sesegera mungkin.

Dalam hal keluarga korban cenderung untuk memilih pulang paksa, maka
dokter hendaknya menerangkan terlebih dahulu konsekuensi pulang paksa kepada
keluarga korban, sebagai berikut :
a. Dokter tidak akan memberikan surat kematian (formulir A). Tanpa adanya
surat formulir A, maka keluarga korban akan mengalami kesulitan saat
akan mengangkut jenazah keluar kota/negeri, menyimpan jenazah di
rumah duka atau saat akan mengubur atau melakukan kremasi di tempat
kremasi/kuburan umum.
b. Karena tidak diberikan Formulir A, maka keluarga korban tak dapat
mengurus Akte Kematian korban di kantor Catatan Sipil. Akte Kematian
merupakan surat yang diperlukan untuk pengurusan berbagai masalah
administrasi sipil, seperti pencoretan nama dari Kartu Keluarga, dasar
pembagian warisan, pengurusan izin kawin lagi bagi pasangan yang
ditinggalkan, pengajuan klaim asuransi dan sebagainya.
c. Dokter tak akan melayani permintaan keterangan medis dalam rangka
pengajuan klaim asuransi sehubungan dengan kematian korban.
d. Dokter tidak akan membuat Visum et Repertum, sehingga kasus tersebut
tidak mungkin bisa dituntut di pengadilan. Di kemudian hari mayat dapat
digali kembali jika penyidik menganggap perlu dan jika hal itu dilakukan,
maka biaya penggalian menjadi tanggungan pihak keluarga korban.
e. Keluarga yang membawa pulang mayat secara paksa dapat dikenakan
sanksi pidana menghalang-halangi pemeriksaan jenazah berdasarkan Pasal
222 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.2

Pelayanan Pemeriksaan pada Korban Hidup


a. Pada kasus penembakan

Apakah benar luka korban adalah luka tembak; luka tembak masuk atau
luka tembak keluar; diameter anak peluru dan caliber serta jenis senjata api
yang dipergunaka; jarak penembakan; posisi korban dan posisi penembak;
berapa kali korban ditembak dan apakah luka tembak tersebut yang
menyebabkan kematian serta luka tembak mana yang menyebabkan
kematian bila terdapat lebih dari satu luka tembak masuk.

b. Pada kasus penusukan. Jenis senjata dan pekirakan lebar maksimal senjata
tajam yang masuk pada tubuh korban.

c. Pada kasus pembunuhan anak. Apakah dilahirkan hidup atau mati, ada
tidaknya tanda-tanda perawatan, maturitas serta viabilitas.

d. Pada kasus pengeroyokan Jenis kekerasan dan jenis luka, luka mana dan
akibat senjata yang bagaimana yang menyebabkan kematian pada korban.
e. Pada kasus kecelakaan lalu lintas
Penyebab terjadinya kecelakaan dilihat dari faktor korban (korban yang
mabuk atau dalam pengaruh obat); serta perkiraan jangka waktu antara
terjadinya kecelakaan, yang dikaitkan dengan penentuan faktor apa saja
yang menyebabkan kecelakaan itu sendiri atau keterlambatan pertolongan
yang diberikan karena adanya hambatan dalam transportasi korban , dan
sebagainya.

f. Di dalam kasus kejahatan seksual, maka kejelasan lain yang diperlukan


adalah :
a. Ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan
b. Ada tidaknya tanda-tanda kekerasan
c. Perkiraan umur
d. Menentukan pantas tidaknya korban untuk dikawin.
e. Bila persetubuhan dapat dibuktikan, perlu kejelasan perihal kapan
terjadinya persetubuhan tersebut.Hal ini diperlukan untuk mengetahui
alibi dari tersangka pelaku kejahatan.4
Sistem Rujukan dalam Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Pengertian Rujukan
Konsep rujukan adalah suatu upaya pelimpahan tanggung jawab dan
wewenang secara timbal balik dalam pelayanan kesehatan untuk mencapai suatu
pelayanan forensik dan medikolegal yang bermutu dan tepat sasaran.
Rujukan ini dapat bersifat vertikal maupun horizontal sesuai dengan fungsi
koordinasi dan jenis kemampuan yang dimiliki. Rujukan dapat terjadi dari
Puskesmas ke Puskesmas lain, Puskesmas ke Rumah Sakit, Rumah Sakit ke
Rumah Sakit dengan kelas rujukan yang lebih tinggi.
Kegiatan rujukan ini mencakup :
a. Rujukan korban/klien (internal dan eksternal)
b. Rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk peningkatan
kemampuan tenaga Kedokteran Forensik dan Medikolegal serta
sumber daya berupa dana, alat dan sarana.
c. Pembinaan manajemen
Sistem Pelayanan Rujukan Pelayanan Kedokteran Forensik dan Medikolegal
1. Koordinasi dan mekanisme kerja internal dalam tim kedokteran forensik
dan medikolegal, dan antar instalasi dalam rumah sakit.
a. Koordinasi dan mekanisme kerja internal dalam tim kedokteran forensik
dan medikolegal dalam rumah sakit mengikuti peraturan yang berlaku,
serta berpedoman pada tata aturan baku pelayanan kedokteran forensik
dan medikolegal pada rumah sakit (hospital by- laws).
b. Rujukan intern rumah sakit berpedoman pada prosedur rujukan di dalam
rumah sakit dan mekanisme kerja di bagian/departemen/instalasi
kedokteran forensik dan medikolegal.
2. Koordinasi dan kerja sama pelayanan kedokteran forensik dan
medikolegal antar institusi dan lintas sektoral.
a. Koordinasi dan kerja sama antar institusi dilakukan mengikuti undang-
undang dan peraturan lain yang berlaku dan memperhatikan petunjuk
pelaksanaan pada masing-masing pihak, dengan diketahui oleh wakil
direktur bidang pelayanan.
Pada kasus bencana massal, RS berkoordinasi dan kerja sama dengan
Pemerintah Daerah, Kepolisian Daerah, Disaster Victim Indentification
(DVI) Team, dan Departemen Kesehatan.
b. Koordinasi dan kerja sama antar bagian/departemen/instalasi kedokteran
forensikSakit
Rumah danRujukan
medikolegal
Tertinggipada rumah dan
(Spesialistik sakitSub-spesialistik)
di bawah departemen
kesehatan mengikuti peraturan yang berlaku, serta berpedoman pada tata
aturan baku pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal pada rumah
sakit (hospital by-laws).
Pada kasus korban mati sedangkan tidak ada dokter spesialis forensik di
RS wilayah tersebut, dapat dilakukan :
a) Konsultasi oleh dokter umum kepada instalasi forensik di RS
terdekat untuk kemudian pelayanan otopsi dilakukan dengan
bimbingan atau supervisi langsung dari dokter spesialis forensik dari
RS tersebut.Hasil visum et repertum ditandatangani oleh dokter
pemeriksa dan diketahui oleh dokter spesialis forensik
b) Bila memungkinkan dalam pembiayaan, jenazah dapat dipindahkan
ke instalasi forensik terdekat yang memiliki dokter spesialis
forensik.5
Rumah sakit kelas A/B pendidikan (spesialistik dan non
spesialistik)

Rumah sakit kelas A/B non pendidikan


(Spesialistik dan non spesialistik)

Rumah sakit kelas C


(Ked for dasar atau spesialistik)

PUSKESMAS (forensik dasar)

Kedokteran Forensik bersumber daya masyarakat


Perorangan Kelompok Masyarakat

Gambar Skema sistem rujukan dalam kedokteran forensik dan medikolegal


BAB III
KESIMPULAN

Sebagai penanggung jawab kesehatan dalam wilayah puskesmas, dokter


puskesmas mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kedokteran
forensik dan medikolegal dasar seperti melakukan pemeriksaan terhadap jenazah
terutama pemeriksaan luar dan mampu membedakan antara jenazah dengan
kematian wajar dan tidak wajar serta visum terhadap korban hidup seperti pada
kasus penembakan, penusukan, kecelakaan lalu lintas, kejahatan seksual, dan lain-
lain serta melakukan pelayanan rujukan dalam kedokteran forensik dan
medikolegal. Dalam menjalankan tugas, selayaknya seorang dokter harus
memiliki kompetensi di bidang kedokteran forensik dan medikolegal seperti
keterampilan komunikasi efektif antara dokter dengan pasien atau korban hidup
atau keluarga korban, keterampilan klinis dalam mengelola informasi,
mengembangkan diri dan memiliki etika, moral dan profesionalisme untuk
mendiagnosis serta menjawab permintaan visum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir, Amri. 2014. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Medan :
Percetakan Ramadhan. Halaman 17, 19-20, 204-215
2. Atmadja, Djaya Surya. 2004. Prosedur Pemeriksaan Luar Jenazah dan Aspek
Medikolegal. Jakarta : FKUI.
3. Singh, Surjit. Standar Profesi Dokter di Bidang Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Medan : Forensik Antrophology. Halaman 13-29
4. Singh, Surjit. Ilmu Kedokteran Forensik. Halaman 25-34

5. Pedoman Pelayanan Kedokteran Forensik di Rumah Sakit

https://ml.scribd.com//pedoman-pelayanan-kedokteran-forensik- dirumahsakit-
final.

6. D.A. Lagnado, N. Fenton, M. Neil. Legal idioms: a framework for evidential


reasoning. Argument and Computation. 2013, 4(1):46–63

7. Syukriani Y, Pelayanan Kedokteran Forensik di Tingkat Primer. Perhimpunan


Dokter Forensik Indonesia. 2017. Halaman 319-320

8. Konsil Kedokteran Indonesia. 2019. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter


Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai