Dosen Penguji :
dr. Santosa, Sp.KF
Residen Pembimbing :
dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH
dr. Dadan Rusmanjaya
disusun oleh :
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sebagai seorang dokter yang akan berkerja dalam masyarakat akan mendapat pasien
dengan berbagai masalah. Termasuk juga dokter akan berhadapan dengan kasus-kasus
yang berhubungan dengan tindakan pidana seperti kasus kecelakaan lalu lintas, kasus
pembunuhan, kasus tenggelam dan lain sebagainya. Maka peranan dokter umum untuk
membantu penyidik sangat diperlukan.
Sebagai dokter sudah kewajiban kita untuk memberi bantuan kepada penyidik seperti
yang tertulis dalam KUHAP pasal 133 ayat 1 yang berbunyi “ Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mnegajukan
permitaan keterangan ahli pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atas ahli
lainnya .“ Oleh karena itu dokter harus membantuk penyelidikan mengenai tindakan yang
dianggap tindak pidana.
Seorang dokter umum tugas yang diemban untuk mambantu penyidik adalah membuat
Visum et repertum atas mayat ataupun atas orang hidup yang mengalami tindakan pidana.
Visum et Repertum (VER) ini sangat penting untuk mambantu menemukan fakta-fakta
dibalik kasus-kasus pidana. VER juga diakui secara hukum sebagai alat bukti yang sah
dalam peradilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya seorang dokter umum mengetahui
pembuatan VER ini.
Dokter umum juga berkewajiban menjadoi saksi ahli dalam peradilan. Sebagai saksi
ahli seorang doketer harus bisa secara objektif mengungkapkan fakta-fakta yang dia
temukan dan menggunakan keahliannya untuk memeriksa korban. Saksi ahli juga
merupakan bukti yang sah dalam peradilan sehingga sangat perlu dihadirkan dalam
peradilan.
1.2.Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Jaiing P. Modi pula, ilmu kedokteran forensik adalah cabang ilmu
kedokteran yang menggunakan prinsip-prinsip dan pengetahuan kedokteran untuk
membantu proses hukum, baik sipil maupun kriminal.
Terdapat juga pendapat dari sesepuh ahli bidang forensik dari Indonesia,
Tjokronegoro (1952) mendefinisikan bahawa ilmu kedokteran kehakiman ialah ilmu yang
mempergunakan ilmu kedokteran kehakiman dan yang di pakai dalam menyelesaikan
perkara kehakiman.
Menurut , ahli kedokteran forensik, Prof. Dr Amri Amir SpF(K), DFM, SH, ilmu
kedokteran forensik adalah pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan hukum dan
peradilan.Menurut beliau, sering publik salah mengasosiasi ilmu kedokteran forensik
dengan bedah mayat. Walaupun terdapat asosiasi antara bedah mayat, tetapi sering juga
ilmu kedokteran forensik melayani pemeriksaan untuk orang hidup. Makanya apabila
terdapat pendapat masyarakat yang mendefinisikan kedokteran forensik sebagai ilmu
bedah mayat, ini adalah sesuatu yang mengelirukan. Ilmu bedah mayat adalah sedikit atau
cabang dari kedokteran forensik atau kedokteran kehakiman.
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu malakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
Di dalam memberikan pelayanan medis, dokter harus mempunyai standar
minimal yang harus di kuasainya, apabila dalam memberikan pelayanan medis
kepada pasien dirasa tidak dapat atau tidakan mampu melaksanakannya sesuai
dengan kemampuan yang di miliki, maka seorang dokter wajib merujuk ke
dokter lain yang lebih mampu untuk menangani tindakan medis apa yang sesuai
dengan kondisi pasien saat itu demi terselamatkanya kondisi dan kesehatan
pasien.
c. Melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, ke cuali bila dia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Di dalam
mengemban tugas, seorang dokter dituntut untuk dapat mengamalkan kewajiban
menolong pasien, bila dipandang membutuhkan pertolongan, ini tidak hanya di
lakukan dokter didalam rumah sakit atau instansi di mana ia bekerja tetapi juga
dilakukan di luar dari jam kerja yang telah ditentukan tanpa membedakan pasien
yang akan di tanganinya.
d. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.Di dalam menjalankan profesi medis, seorang dokter
diwajibkan menambah ilmu pengetahuan agar lebih pandai dalam melakukan
tindakan medis terhadap pasien serta mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
agar terbuka wawasannya.
2.3 Saksi
2.3.1 Saksi
Yaitu orang yang memberikan kesaksian sesuai dengan fakta yang dilihat atau
dirasakannya.
Saksi terampil (skilled witness) termasuk dalam kelompok saksi ahli, di mana
orang tersebut mempunyai pengetahuan khusus mengenai masalah teknis, tetapi biasanya
mempunyai pengetahuan khusus mengenai masalah teknis, tetapi biasanya mempunyai
pengetahuan dasar tentang kasus yang sedang diperiksa.
Petugas medis bias berperan sebagai saksi biasa maupun saksi ahli. Jika mencakup
kesaksian untuk menjelaskan dan memberikan pernyataan berupa fakta-fakta seperti
jumlah luka, ukuran luka, posisi luka, maka seorang dokter berperan sebagai saksi biasa,
karena apa yang dinyatakannya juga bisa dinyatakan oleh orang biasa. Jika dia lebih jauh
menyimpulkan dan menyatakan pendapat tentang sebab kematian, maka dokter itu
berperan sebagai saksi ahli. Sebagai saksi ahli, yang dibutuhkan hakim dari seorang dokter
adalah kesimpulannya. Karena itu sangat penting untuk mempunyai alasan yang tepat dan
berhati-hati dalam mengambil kesimpulan.
Bagi para saksi yang tergolong tidak netral, pihak penuntut boleh
menanyakan mengenai tuduhan utama setelah mendapatkan persetujuan hakim.
Hakim berhak mengajukan pertanyaan apa saja kepada para saksi, dalam
setiap tahapan pemeriksaan tersebut diatas.
Beberapa petunjuk penting bagi dokter ketika memberikan kesaksian dalam sidang
pengadilan.
1. Mengungkapkan kebenaran
2. Usahakan berbicara lambat, jelas dan tegas agar dapat didengar oleh semua
pihak.
3. Bersikap tidak berpihak, tetapi berusaha membantu pengadilan untuk
memperoleh kebenaran.
4. Jika memungkinkan, usahakanlah untuk tidak menggunakan bahasa medis,
agar terhindar dari pertanyaan tambahan untuk memperjelas istilah medis yang
digunakan.
5. Usahakan jawaban yang singkat, jika mungkin jawab dengan ‘Ya’ atau
‘Tidak’.
6. Berikan jawaban yang tepat dan singkat.
7. Jangan berdebat dengan pengacara pihak pembela.
8. Jika diperlihatkan suatu buku atau paragraf untuk dibaca, lalu ditanya apakah
dokter setuju dengan pernyataan yang ditulis oleh pengarang, sebaiknya
dokter juga membaca bagian atas dan bawah dari paragraf yang ditunjukkan
dan jika perlu memnadingkannya.
9. Jangan membuat pertanyaan yang cakupannya terlalu luas.
10. Hindari penggunaan gaya bahasa yang berlebih-lebihan.
11. Jangan sampai kehilangan kendali emosi walaupun pertanyaan yang diajukan
menyinggung harga diri anda. Bila pertanyaan yang diajukan sangat keras,
mintalah kepada sidang pengadilan agar pengacara menarik pertanyaan
tersebut. Jangan menjawab dengan sinis.
Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan
adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan visum et repertum (VeR) atau lebih sering
disingkat ‘visum’ saja. Melalui jalur inilah umumnya terjalin hubungan antara pihak yang
membuat dan memberi bantuan dengan pihak yang meminta dan menggunakan bantuan.
Visum adalah jamak (plural) dari visa, yang berarti dilihat dan repertum adalah jamak dari
repere yang berarti ditemukan atau didapati, sehinggan terjemahan langsung dari VeR
adalah ‘yang dilihat dan ditemukan’.
Walaupun istilah ini berasasla dari bahasa Latin namun sudah dipakai sejak zaman
Hindia Belanda dan sudah demikian menyatu dalam bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari. Jangankan kalangan hukum dan kesehatan, masyarakat sendiri pun akan
segera menyadari bahwa visum pasti berkaitan dengan surat yang dikeluarkan dokter
untuk kepentingan polisi dan pengadilan. Di Belanda sendiri istilah ini tidak dipakai.
Ada usaha untuk mengganti istilah VeR ini ke bahasa Indonesia seperti yang
terlihat dalam KUHAP, dimana digunakan istilah ‘keterangan’ dan keterangan ahli’ untuk
pengganti visum. Namun usaha demikian tidak banyak berguna karena sampai saat ini
ternyata istilah visum tetap saja dipakai oleh semua kalangan.
Dari rumah sakit pemerintah maupun swasta sampai ke puskesmas, setiap bulan
ada ratusan pemeriksaan yang harus dilakukan dokter untuk membuat visum yang diminta
oleh penyidik. Yang paling banyak adalah visum untuk luka karena perkelahian,
penganiayaan dan kecelakaan lalu lintas, selanjutnya visum untuk pelanggaran kesusilaan
atau perkosaan, kemudian diikuti visum jenazah. Visum yang lain seperti visum psikiatri,
visum untuk korban keracunan, atau penentuan keraguan siapa bapak seorang anak
(disputed paternity), biarpun tidak banyak namun merupakan pelayanan yang dapat
dilakukan dokter juga.
2.4.2 Pengertian
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, visum adalah istilah asing, namun sudah
menyatu dalam bahasa Indonesia sehingga orang awam sekalipun biasanya mengetahui
bahwa visum berkaitan dengan surat yang dikeluarkan dokter untuk polisi dan pengadilan.
Pasal 1:
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan pada
waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat
bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan
keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang
diperiksa.
Pasal 2:
1) Pada dokter yang tidak pernah mengucapakan sumpah jabatan baik di Negeri
Belanda ataupun di Indonesia, sebagai dalam pasal 1 di atas, dapat mengucapkan
sumpah sebagai berikut:
“Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan membuat
pernyataan-pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk
kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang
sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang
melimpahkan kekuatan lahir dan batin”.
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah salah satu alat bukti yang syah.
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Yang dimaksud dengan keterangan ahli dijelaskan dalam KUHAP pasal 186.
KUHAP pasal 186 : Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli menyatakan di sidang
pengadilan.
Sedangkan laporan atas hasil pemeriksaan dokter yang selama ini disebut VeR
digolongkan ke dalam alat bukti “surat” dan ini dijelaskan dalam pasal 187.
KUHAP pasal 187 : Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf (c), dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya dan tegas
tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perudang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Terlihat bahwa keterangan pada (c) mirip dengan pengertian yang terdapat pada
Staatsblad 1937 No. 350 tentang VeR.
a. Visum seketika (definitive). Visum yang langsung diberikan setelah korban selesai
diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.
b. Visum sementara. Visum yang diberikan pada korban yang masih dalam
perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan
kenis kekerasan, sehingga dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam
menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini belum ditulis kesimpulan.
c. Visum lanjutan. Visum ini diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan
merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya.
Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu
dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang
terakhir merawat penderita.
2. Visum Jenazah.
VeR jenazah dapat dibedakan atas:
a. Visum dengan pemeriksaan luar
b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam.
Jenis visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan
masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam (autopsy). Masalah
di sini adalah adanya hambatan daru keluarga korban bila visum harus dibuat
melalui bedah mayat. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan di atas, telah
beberapa kali diselenggarakan seminar dan temu ilmiah yang melibatkan semua
pihak yang berkaitan dengan visum jenazah, tetapi sampai saat ini belum
ditemukan penyelesaiannya yang memuaskan.
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak
yang perlu diberi tahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 undang-undang ini.
Yang menentukan apakah mayat harus di autopsi atau hanya pemeriksaan luar saja
adalah penyidik.
‘ dalam hal mati ruda paksa (mati tergagah), atau mati yang mendatangkan syak,
sedemikian juga dalam hal luka parah, percobaan nmeracuni dan maker lain akan
membinasakan nyawa orang, hendaklah pegawai penuntut umum membawa serta
1 atau 2 orang dokter yang akan member laporan tentang sebab-sebab kematian
atau perlukaan dan tentang mayat itu atau badan orang yang dilukai dan di mana
perlu menjalankan pemeriksaan mayatnya, atau membuat visum menurut keadaan
luka pasien pada saat permintaan visum datang.
Keragu-raguan ini telah diatasi dengan Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75
tentang Tatacara Permohonan/ Pencabutan Visum et Repertum, yang menyatakan bahwa
dengan visum atas mayat harus berdasarkan pemeriksaan luar dan dalam.
Pasal 3.
Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak
dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.
Pasal 6.
Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah
kewajiban petugas Polisi cq pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan
tentang perlunya dan pentingnya autopsy untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu
bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP.
Walaupun Instruksi Kapolri tahun 1975 menyatakan untuk visum jenazah harus dilakukan
melalui pemeriksaan luar dan dalam, namun setelah diundangkannya KUHAP penyidik
mempunyai wewenang untuk menentukan hanya dilakukan pemeriksaan luar saja dan bila
sangat diperlukan baru bedah mayat dilakukan.
Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran
kehakiman yaitu Prof Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokro
negoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman,
edisi Kedua, 1992).
Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari:
1. Pro-Yustitia
2. Pendahuluan
3. Pemeriksaan
4. Kesimpulan
5. Penutup
1. Pro-Yustitia
Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas
materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuatnya harus
memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis
Pro-Yustitia di bagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai.
Penulisan kata Pro-Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar
pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi
keadilan (Pro-Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang
arti sebenarnya kata Pro-Yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan
yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam
menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari
bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu biarpun Pro-Yustitia hanya kata-kata
biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya, maka
kata-kata ataua tulisan ini menjadi sangat penting artinya.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa,
saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas
permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum
dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan
Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang
dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada
bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif.
Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban
seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu
luka berbentuk panjang, dengan pangjang 10cm, lebar luka 2cm dan dalam luka 4 cm,
pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut
penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian
seperti di atas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dan lain-lain.
Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan
yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya
penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya sederhana saja, karena
lampiran foto atau sketsa pemakai visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang
ditulis dengan kata-kata dalam visum. Pada masa kini ini foto bukanlah hal yang langka
dan mahal lagi.
4. Kesimpulan
Untuk pemakai visum, ini adalh bagian yang penting, karena diharapkan dokter
dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada
korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab-akibat dari
kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana
harapan kesembuhan.
Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat
perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5. Penutup
Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut
dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah.
Lampiran Foto
KESIMPULAN