Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PERAN DOKTER UMUM DALAM ASPEK


MEDIKOLEGAL

Dosen Penguji :
dr. Santosa, Sp.KF

Residen Pembimbing :
dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH
dr. Dadan Rusmanjaya

disusun oleh :

1.Febe Rangga Tambing 4. Frans Pirman


2.Nolanda Susan 5. Aryananda Andika
3.Vatiana Satyani 6. Nico Stefan

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER KARIADI SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 05 JUNI 2017 – 01 JULI 2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sebagai seorang dokter yang akan berkerja dalam masyarakat akan mendapat pasien
dengan berbagai masalah. Termasuk juga dokter akan berhadapan dengan kasus-kasus
yang berhubungan dengan tindakan pidana seperti kasus kecelakaan lalu lintas, kasus
pembunuhan, kasus tenggelam dan lain sebagainya. Maka peranan dokter umum untuk
membantu penyidik sangat diperlukan.

Sebagai dokter sudah kewajiban kita untuk memberi bantuan kepada penyidik seperti
yang tertulis dalam KUHAP pasal 133 ayat 1 yang berbunyi “ Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mnegajukan
permitaan keterangan ahli pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atas ahli
lainnya .“ Oleh karena itu dokter harus membantuk penyelidikan mengenai tindakan yang
dianggap tindak pidana.

Seorang dokter umum tugas yang diemban untuk mambantu penyidik adalah membuat
Visum et repertum atas mayat ataupun atas orang hidup yang mengalami tindakan pidana.
Visum et Repertum (VER) ini sangat penting untuk mambantu menemukan fakta-fakta
dibalik kasus-kasus pidana. VER juga diakui secara hukum sebagai alat bukti yang sah
dalam peradilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya seorang dokter umum mengetahui
pembuatan VER ini.

Dokter umum juga berkewajiban menjadoi saksi ahli dalam peradilan. Sebagai saksi
ahli seorang doketer harus bisa secara objektif mengungkapkan fakta-fakta yang dia
temukan dan menggunakan keahliannya untuk memeriksa korban. Saksi ahli juga
merupakan bukti yang sah dalam peradilan sehingga sangat perlu dihadirkan dalam
peradilan.
1.2.Tujuan

Referat ini dibuat sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di


departemen Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi Semarang . Referat ini juga
bertujuan agar yang membaca khususnya yang sedang belajar ilmu kedokteran akan
mengetahui dan mengerti tugas-tugas seorang dokter dalam lingkup ilmu kedokteran
forensik.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dalam perkembangan istilah, forensik datangnya dari perkataan romawi ‘forum’


yaitu tempat orang romawi mengadakan sidang peradilan.Terdapat beberapa pengertian
yang di berikan oleh ahli forensik tentang istilah forensik.

Menurut Sidney Smith, ilmu kedokteran forensik adalah kumpulan ilmu


pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan hukum.

Menurut Simpson K, ilmu Kedokteran Forensik ialah ilmu kedokteran yang


berhubungan dengan pengeluaran surat-surat keterangan untuk orang hidup maupun mati
demi kepentingan hukum, mempelajari kematian tiba-tiba, karena kekerasan atau
kematian mencurigakan sebabnya, penyidikan tindakan kriminal secara ilmiah

Menurut Jaiing P. Modi pula, ilmu kedokteran forensik adalah cabang ilmu
kedokteran yang menggunakan prinsip-prinsip dan pengetahuan kedokteran untuk
membantu proses hukum, baik sipil maupun kriminal.

Terdapat juga pendapat dari sesepuh ahli bidang forensik dari Indonesia,
Tjokronegoro (1952) mendefinisikan bahawa ilmu kedokteran kehakiman ialah ilmu yang
mempergunakan ilmu kedokteran kehakiman dan yang di pakai dalam menyelesaikan
perkara kehakiman.

Menurut , ahli kedokteran forensik, Prof. Dr Amri Amir SpF(K), DFM, SH, ilmu
kedokteran forensik adalah pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan hukum dan
peradilan.Menurut beliau, sering publik salah mengasosiasi ilmu kedokteran forensik
dengan bedah mayat. Walaupun terdapat asosiasi antara bedah mayat, tetapi sering juga
ilmu kedokteran forensik melayani pemeriksaan untuk orang hidup. Makanya apabila
terdapat pendapat masyarakat yang mendefinisikan kedokteran forensik sebagai ilmu
bedah mayat, ini adalah sesuatu yang mengelirukan. Ilmu bedah mayat adalah sedikit atau
cabang dari kedokteran forensik atau kedokteran kehakiman.

2.2 Hak Dan Kewajiban Dokter

Di dalam profesi yang di embannya seorang dokt er mempunyai hak dan


kewajiban.Adapun hak dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran adalah
(Undang – Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal (50) :

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas


sesuaI dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Di
dalam melaksanakan tugasnya seorang dokter harus mendapatkan
perlindungan hukum selama dalam menjalankan profesinya sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedural, dimana diwujudkan
dalam bentuk perlindungan hukum terhadap upaya medis yang
dilakukan terhadap pasien sepanjang memenuhi standar profesi dan
prosedur operasional. Yang dimaksud standar profesi adalah batasan
kemampuan minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri. Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu
perangkat instruksi atau langkah – langkah yang di bakukan untuk
melakukan suatu proses kerja rutin tertentu, standar prosedural
memberikan langkah yang benar dan terbentuk berdasarkan atas
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan
standar profesi.

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar


prosedur operasional. Di dalam memberikan pelayanannya seorang
dokter harus memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional yang tela h di
bakukan, adapun standar prosedur operasional seorang dokter
sebelum melakukan tindakan medis terhadap pasien adalah :

− Memberikan keterangan yang sebenar- benarnya tentang hasil


diagnosa dan hasil setelah di lakukanya suatu tindakan medis. kepada
pasien.
- Melakukan tindakan medis terhadap pasien sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau


keluarganya.Sebelum di lakukannya suatu tindakan medis, seorang
dokter harus mendiagnosa terlebih dahulu kondisi pasien, kemudian
baru mencari tindakan medis apa yang sesuai dengan penyakit yang
di derita pasien. Dalam mendiagnosa inilah pasien harus memberikan
keterangan yang jujur perihal seputar kondisi penyakitnya, dengan
demikian di harapkan dokter dapat dengan mudah memberikan terapi
apa yang sesuai dan cocok dengan penyakit yang di derita pasien.

d. Menerima imbalan jasa.


Seorang yang telah memberikan keahlian dan tenaganya untuk
keperluan orang lain, berhak untuk menerima upah. Demikian pula
seorang dokter, pertolongan dokter terutama di dasarkan pada peri
kemanusiaan.Karena sifat perbuatannya mulia, maka uang yang di
terima tidak di beri nama upah atau gaji, melainkan honorarium atau
imbalan jasa. Besarnya tergantung kepada beberapa faktor yaitu
keadaan setempat, kemampuan penderita, lama dan sifatnya
pertolongan yang di berikan. Maka bila pelayanan medis telah di
lakukan, dokter berhak menerima honor sesuai dengan mutu
pelayanan yang telah diberikan kepada pasien, ini adalah wujud
imbalan jasa dari pasien kepada dokter.
Dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban (Undang
-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal ( 51 ) :

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar


prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Dokter dalam memberikan
pelayanan medis haruslah sesuai dengan standar profesi medis yang dimilikinya,
artinya dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan harus senantiasa
bertindak teliti dan seksama dalam melakukantindakan medis kepada pasien.

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu malakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
Di dalam memberikan pelayanan medis, dokter harus mempunyai standar
minimal yang harus di kuasainya, apabila dalam memberikan pelayanan medis
kepada pasien dirasa tidak dapat atau tidakan mampu melaksanakannya sesuai
dengan kemampuan yang di miliki, maka seorang dokter wajib merujuk ke
dokter lain yang lebih mampu untuk menangani tindakan medis apa yang sesuai
dengan kondisi pasien saat itu demi terselamatkanya kondisi dan kesehatan
pasien.

c. Melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, ke cuali bila dia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Di dalam
mengemban tugas, seorang dokter dituntut untuk dapat mengamalkan kewajiban
menolong pasien, bila dipandang membutuhkan pertolongan, ini tidak hanya di
lakukan dokter didalam rumah sakit atau instansi di mana ia bekerja tetapi juga
dilakukan di luar dari jam kerja yang telah ditentukan tanpa membedakan pasien
yang akan di tanganinya.
d. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.Di dalam menjalankan profesi medis, seorang dokter
diwajibkan menambah ilmu pengetahuan agar lebih pandai dalam melakukan
tindakan medis terhadap pasien serta mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
agar terbuka wawasannya.

2.2.1 Peranan dokter dalam Kedokteran forensik dan aspek mediko-legal.

Perlu dijelaskan kompetensi dalam pelayanan Kedokteran Forensik. Ini


berkaitan dengan kebijakan di Indonesia bahwa setiap dokter harus da pat
meemberikan pelayanan Kedokteran Forensik dimanapun bertugas, artinya dari
rumah sakit sampai ke puskesmas hanya untuk pelayanan autopsi dan
pemeriksaan korban perkosaan terdapat kendala. Autopsi hanya dilakukan di
rumah sakit yang dipergunakan untuk pendidikan Kedokteran forensik dan di
beebrapa rumah sakit pemerintah lainnya. Untuk korban perkosaan dilakukan
oleh spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, tetapi bila diperlukan, maka
setiap dokter harus siap untuk melakukan pemeriksaan karena telah d ibekali
pengetahuan dan ketrampilan dalam pendidikan. Dalam ketentuan hukum
KUHAP dijelaskan bahwa pemeriksaan Kedoketran Forensik dilakukan oleh
spesialis forensik atau oleh “dokter”(umum atau spesialis lainnya).
Untuk dokter spesialis forensik, maka kompetensi ini melibatkan seluruh
pemeriksaan yang berkaitan dengan medikolegal, pemeriksaan tempat kejadian
perkara (TKP), autopsi, identifikasi, pemeriksaan jenazah dari penggalian
kubur, pengawetan jenazah, pemeriksaan laboratorium forensik rutin,
histopatologi forensik, serologi forensik, trace evidences, pemeriksaan k orban
hidup karena kekerasan fisik dan kejahatan seksual serta pemeriksaan tersangka
pelaku kejahatan pada manusia.
Untuk dokter umum, kompetensi ini terbatas pada atau diputuskan
bersama dengan penyidik kepolisian. Artinya bila diperlukan dan tidak ada
dokter spesialis forensik, maka pengetahuan dan ketrampilan yang didapat
selama pendidikan harus dipergunakan. Ini yang harus dipahami juga oleh
penyidik, apakah dengan sarana, fasilitas dan keterbatasan alat serta kemampuan
dokter pemeriksaan dapat dilaksanakan. Dalam hal ini diperlukan keberanian,
ketelitian dan kesungguhan dokter melakukan pem eriksaan dan memberikan
laporan dalam bentuk visum et repertum, sehingga bantuan pemeriksaan tersebut
dapat dipakai sebagai pedoman atau alat bukti bagi penyidikan, penuntunan dan
pemutusan perkara. Hasil pemeriksaan dan laporan tertulis akan digunakan
sebagai petunjuk atau pedoman dan alat bukti dalam menyidik, menuntut dan
mengadili perkara pidana maupun perdata. Pada tahap penyidikan dipergunakan
sebagai alat bukti dan petunjuk oleh para penyidik dan di sidang pengadilan
dipergunakan oleh jaksa, hakim dan pembela sebagai alat bukti yang sah.
Dalam hal demikian tampak bahwa laporan pemeriksaan dan kesaksi an
dokter di sidang pengadilan turut berperan dalam proses penegakan hukum. Oleh
karena itu dokter sebagai pemberi jasa di bidang Kedokteran Forensik, dari
semula harus menyadari bahwa laporan hasil pemeriksaan dan kesimpulan serta
keterangan di sidang pengadilan yang baik dan terarah akan membantu proses
penyidikan, penyidangan serta pemutusan perkara.
Setiap dokter harus mengetahui kasus mana yang termasuk kasus mediko -
legal.setiap kasus yang berkaitan dengan hukum harus diketahui penyebab
cedera atau penyakit yang dialami pasien dan dinyatakan sebagai kasus mediko -
legal.
Jika menghadapi kasus dibawah ini sebaiknya menghubungi polisi dan
kemudian kasus tersebut diserahkan kepada polisi.Kasus mediko -legal biasanya
mencakup :
- Cedera
- Keracunan
- Luka bakar
- Pelanggaran yang bersifat tidak wajar
- Abortus kriminalis
- Kehamilan yang bermasalah
- Setiap pasien yang telah meninggal pada saat pemeriksaan
- Pasien gangguan jiwa

2.3 Saksi

2.3.1 Saksi

Ada 3 jenis saksi :

1. Saksi biasa (Ordinary witness)


2. Saksi ahli (Expert witness)
3. Saksi tidak netral (Hostile witness)

2.3.1.1 Saksi biasa

Yaitu orang yang memberikan kesaksian sesuai dengan fakta yang dilihat atau
dirasakannya.

2.3.1.2 Saksi Ahli

Adalah seseorang yang telah menjalani pendidikan dan mempunyai keahlian


professional, sehingga mampu memberikan pendapat atau menarik kesimpulan dari fakta-
fakta yang diamatinya maupun dari sejumlah fakta lainnya. Termasuk dalamkelompok ini
misalnya petugas medis, ahli kimia, ahli sidik jari, ahli menganalisa tulisan tangan, dll.

Saksi terampil (skilled witness) termasuk dalam kelompok saksi ahli, di mana
orang tersebut mempunyai pengetahuan khusus mengenai masalah teknis, tetapi biasanya
mempunyai pengetahuan khusus mengenai masalah teknis, tetapi biasanya mempunyai
pengetahuan dasar tentang kasus yang sedang diperiksa.

Petugas medis bias berperan sebagai saksi biasa maupun saksi ahli. Jika mencakup
kesaksian untuk menjelaskan dan memberikan pernyataan berupa fakta-fakta seperti
jumlah luka, ukuran luka, posisi luka, maka seorang dokter berperan sebagai saksi biasa,
karena apa yang dinyatakannya juga bisa dinyatakan oleh orang biasa. Jika dia lebih jauh
menyimpulkan dan menyatakan pendapat tentang sebab kematian, maka dokter itu
berperan sebagai saksi ahli. Sebagai saksi ahli, yang dibutuhkan hakim dari seorang dokter
adalah kesimpulannya. Karena itu sangat penting untuk mempunyai alasan yang tepat dan
berhati-hati dalam mengambil kesimpulan.

2.3.1.3 Saksi yang tidak netral

Adalah seseorang yang dianggap mempunyai maksud atau motif tertentu,


sehingga bias menutupi sebagian dari fakta yang benar atau dengan memberikan
pernyataan palsu. Seorang saksi biasa atau saksi ahli bisa menjadi saksi yang tidak netral.

2.3.2 Pencatatan Kesaksian

Setelah diambil sumpah, dapat dimulai mencatat kesaksian yang diberikan.


Pencatatannya bisa dilakukan dengan cara seperti dibawah ini :

(1) Pemeriksaan utama

Pemeriksaan ini dilakukan oleh pihak penuntut, misalnya dari kepolisian


atau oleh jaksa yang ditugaskan untuk mengusut perkara tersebut.

Pertanyaan diajukan kepada para saksi dan dijawab serta dicatat di


pengadilan. Pertanyaan yang menjurus kearah tuduhan utama belum
diperbolehkan pada tahap ini.

Bagi para saksi yang tergolong tidak netral, pihak penuntut boleh
menanyakan mengenai tuduhan utama setelah mendapatkan persetujuan hakim.

(2) Pemeriksaan silang

Pemeriksaan ini dilakukan oleh pihak pembela. Pihak pembela akan


berusaha semaksimal mungkin untuk melemahkan kesaksian para saksi dengan
mengajukan beberapa pertanyaan yang bisa juga merupakan pertanyaan inti. Para
saksi harus sangat hati-hati dalam menjawab, dan sebaiknya hanya menjawab
pertanyaan yang benar-benar sudah ia mengerti.

Para saksi juga bisa ditanyakan berbagai jenis pertanyaan untuk


mengetahui sejauh mana pengetahuannya tentang bidangnya, pengetahuan umum
dan bahkan untuk mengetahui kepribadiannya.

(3) Pemeriksaan ulang

Pemeriksaan ini dilakukan oleh pihak penuntut untuk menjernihkan


permasalahan jika muncul perbedaan-perbedaan selama dilakukan pemeriksaan
silang. Tetapi dalam pemeriksaan ini tidak boleh memunculkan hal-hal baru yang
tidak ada disinggung pada pemeriksaan sebelumnya, tanpa persetujuan hakim.
Setelah pemeriksaan ini juga akan dilakukan pemeriksaan silang kembali.

(4) Pertanyaan oleh hakim

Hakim berhak mengajukan pertanyaan apa saja kepada para saksi, dalam
setiap tahapan pemeriksaan tersebut diatas.

Beberapa petunjuk penting bagi dokter ketika memberikan kesaksian dalam sidang
pengadilan.

1. Mengungkapkan kebenaran
2. Usahakan berbicara lambat, jelas dan tegas agar dapat didengar oleh semua
pihak.
3. Bersikap tidak berpihak, tetapi berusaha membantu pengadilan untuk
memperoleh kebenaran.
4. Jika memungkinkan, usahakanlah untuk tidak menggunakan bahasa medis,
agar terhindar dari pertanyaan tambahan untuk memperjelas istilah medis yang
digunakan.
5. Usahakan jawaban yang singkat, jika mungkin jawab dengan ‘Ya’ atau
‘Tidak’.
6. Berikan jawaban yang tepat dan singkat.
7. Jangan berdebat dengan pengacara pihak pembela.
8. Jika diperlihatkan suatu buku atau paragraf untuk dibaca, lalu ditanya apakah
dokter setuju dengan pernyataan yang ditulis oleh pengarang, sebaiknya
dokter juga membaca bagian atas dan bawah dari paragraf yang ditunjukkan
dan jika perlu memnadingkannya.
9. Jangan membuat pertanyaan yang cakupannya terlalu luas.
10. Hindari penggunaan gaya bahasa yang berlebih-lebihan.
11. Jangan sampai kehilangan kendali emosi walaupun pertanyaan yang diajukan
menyinggung harga diri anda. Bila pertanyaan yang diajukan sangat keras,
mintalah kepada sidang pengadilan agar pengacara menarik pertanyaan
tersebut. Jangan menjawab dengan sinis.

2.4 Visum Et Repertum

2.4.1 Laporan Tertulis

Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan
adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan visum et repertum (VeR) atau lebih sering
disingkat ‘visum’ saja. Melalui jalur inilah umumnya terjalin hubungan antara pihak yang
membuat dan memberi bantuan dengan pihak yang meminta dan menggunakan bantuan.
Visum adalah jamak (plural) dari visa, yang berarti dilihat dan repertum adalah jamak dari
repere yang berarti ditemukan atau didapati, sehinggan terjemahan langsung dari VeR
adalah ‘yang dilihat dan ditemukan’.

Walaupun istilah ini berasasla dari bahasa Latin namun sudah dipakai sejak zaman
Hindia Belanda dan sudah demikian menyatu dalam bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari. Jangankan kalangan hukum dan kesehatan, masyarakat sendiri pun akan
segera menyadari bahwa visum pasti berkaitan dengan surat yang dikeluarkan dokter
untuk kepentingan polisi dan pengadilan. Di Belanda sendiri istilah ini tidak dipakai.
Ada usaha untuk mengganti istilah VeR ini ke bahasa Indonesia seperti yang
terlihat dalam KUHAP, dimana digunakan istilah ‘keterangan’ dan keterangan ahli’ untuk
pengganti visum. Namun usaha demikian tidak banyak berguna karena sampai saat ini
ternyata istilah visum tetap saja dipakai oleh semua kalangan.

Dari rumah sakit pemerintah maupun swasta sampai ke puskesmas, setiap bulan
ada ratusan pemeriksaan yang harus dilakukan dokter untuk membuat visum yang diminta
oleh penyidik. Yang paling banyak adalah visum untuk luka karena perkelahian,
penganiayaan dan kecelakaan lalu lintas, selanjutnya visum untuk pelanggaran kesusilaan
atau perkosaan, kemudian diikuti visum jenazah. Visum yang lain seperti visum psikiatri,
visum untuk korban keracunan, atau penentuan keraguan siapa bapak seorang anak
(disputed paternity), biarpun tidak banyak namun merupakan pelayanan yang dapat
dilakukan dokter juga.

Masalah visum adalah masalah utama yang menghubungkan dokter dengan


kalangan penyidik atau kelangan peradilan, maka pemahaman mengenai masalah ini harus
dikuasai dengan baik, tidak saja untuk kalangan dokter tetapi juga untuk penyidik,
penuntut umum, pembela dan hakim pengadilan.

2.4.2 Pengertian

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, visum adalah istilah asing, namun sudah
menyatu dalam bahasa Indonesia sehingga orang awam sekalipun biasanya mengetahui
bahwa visum berkaitan dengan surat yang dikeluarkan dokter untuk polisi dan pengadilan.

Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung


tentang Visum et Repertum, yaitu pada Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1937 No.
350 yang menyatakan:

Pasal 1:

Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan pada
waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat
bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan
keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang
diperiksa.

Pasal 2:

1) Pada dokter yang tidak pernah mengucapakan sumpah jabatan baik di Negeri
Belanda ataupun di Indonesia, sebagai dalam pasal 1 di atas, dapat mengucapkan
sumpah sebagai berikut:
“Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan membuat
pernyataan-pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk
kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang
sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang
melimpahkan kekuatan lahir dan batin”.

Bila rincian isi Staatsblad ini mengandung makna:

1. Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di Negeri


Belanda ataupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan sumpah
khusus atay (2) dapat membuat VeR.
2. VeR mempunyai daya bukti yang syah/alat bukti yang syah dalam perkara pidana.
3. VeR berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada benda-
benda/korban yang diperiksa.

Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi


masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah
tiap kali sebelum membuat visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan
disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan di bawah sumpah. Dengan adanya
ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan
pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat
VeR,biarpun lafal dan maksudnya berbeda. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian
akhir visum, masih dicantumkan ketentuan hukum ini untuk mengingatkan yang membuat
maupun yang menggunakan visum, bahwa dokter waktu membuat visum akan bertindak
jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
korban menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Pada seminar/lokakarya VeR di Medan tahun 1981 pengertian visum dirumuskan


lebih jelas, yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan
sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat
pemberitahuan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti
berupa tubuh manusia (hidup atau mati) atau benda yang berasal dari tubuh manusia
yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat
mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut. Dalam KUHAP laporan
dokter atas pemeriksaan pada korban yang dibuat oleh ahli kedokteran kehakiman (SpF)
disebut ‘Keterangan Ahli’ dan bila dibuat oleh dokter yang bukan SpF disebut
‘Keterangan’. Tampaknya penyusun undang-undang ini ingin menegaskan bahwa ada
perbedaan antara ‘keterangan ahli’ dan ‘keteangan’. Pada visum jenazah sebutan
‘Keterangan ahli’ ini telah tepat, tetapi untuk visum yang lain seperti pemeriksaan korban
perkosaan yang dibuat oleh Sp. OG disebut ‘keterangan’, pengertian ini menjadi rancu,
karena pada masa ini SpOG yang lebih ahli dalam melakukan pemeriksaan korban
perkosaan. Demikian pula dengan visum psikiatri.

2.4.3 Nilai VeR

Dalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah salah satu alat bukti yang syah.

KUHAP pasal 184.

Alat bukti yang syah adalah:

a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Yang dimaksud dengan keterangan ahli dijelaskan dalam KUHAP pasal 186.

KUHAP pasal 186 : Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli menyatakan di sidang
pengadilan.

Sedangkan laporan atas hasil pemeriksaan dokter yang selama ini disebut VeR
digolongkan ke dalam alat bukti “surat” dan ini dijelaskan dalam pasal 187.

KUHAP pasal 187 : Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf (c), dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya dan tegas
tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perudang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.

Terlihat bahwa keterangan pada (c) mirip dengan pengertian yang terdapat pada
Staatsblad 1937 No. 350 tentang VeR.

2.4.4 Jenis VeR

1. Untuk orang hidup


Yang termasuk visum orang hidup adalah visum yang diberikan untuk korban
luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain.
Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk orang hidup dapat dibedakan atas:

a. Visum seketika (definitive). Visum yang langsung diberikan setelah korban selesai
diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.
b. Visum sementara. Visum yang diberikan pada korban yang masih dalam
perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan
kenis kekerasan, sehingga dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam
menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini belum ditulis kesimpulan.
c. Visum lanjutan. Visum ini diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan
merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya.
Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu
dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang
terakhir merawat penderita.

2. Visum Jenazah.
VeR jenazah dapat dibedakan atas:
a. Visum dengan pemeriksaan luar
b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam.

Jenis visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan
masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam (autopsy). Masalah
di sini adalah adanya hambatan daru keluarga korban bila visum harus dibuat
melalui bedah mayat. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan di atas, telah
beberapa kali diselenggarakan seminar dan temu ilmiah yang melibatkan semua
pihak yang berkaitan dengan visum jenazah, tetapi sampai saat ini belum
ditemukan penyelesaiannya yang memuaskan.

Dalam KUHAP pasal 134 terlihat bahwa pemeriksaan mayat untuk


kepentingan peradilan dapat dilakukan melalui pemeriksaan luar ‘saja’ dan hanya
‘bila perlu’ dilakukan pemeriksaan bedah mayat.
KUHAP 134 : dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban. Dalam hal keluarga korban keberatan,
penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan
perlunya dilakukan pembedahan tersebut.

Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak
yang perlu diberi tahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 undang-undang ini.

Yang menentukan apakah mayat harus di autopsi atau hanya pemeriksaan luar saja
adalah penyidik.

KUHAP pasal 133 ayat 2: permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud


dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Pasal ini menghilangkan keragu-raguan, siapa sesungguhnya yang menentukan


apakah mayat harus dibedah atau tidak perlu menjadi jelas, yaitu oleh penyidik.
Pasal ini akan mengatasi masalah dalam menghadapi keluarga korban yang
keberatan dilakukan autopsy, di mana penyidik masih berdalih ‘terserah kepada
dokter mau di autopsy atau tidak’.

Keragu-raguan di atas berasal dari ketentuan dalam hukum acara pidana


yang lama pasal 69 RIB yang menyatakan :

‘ dalam hal mati ruda paksa (mati tergagah), atau mati yang mendatangkan syak,
sedemikian juga dalam hal luka parah, percobaan nmeracuni dan maker lain akan
membinasakan nyawa orang, hendaklah pegawai penuntut umum membawa serta
1 atau 2 orang dokter yang akan member laporan tentang sebab-sebab kematian
atau perlukaan dan tentang mayat itu atau badan orang yang dilukai dan di mana
perlu menjalankan pemeriksaan mayatnya, atau membuat visum menurut keadaan
luka pasien pada saat permintaan visum datang.
Keragu-raguan ini telah diatasi dengan Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75
tentang Tatacara Permohonan/ Pencabutan Visum et Repertum, yang menyatakan bahwa
dengan visum atas mayat harus berdasarkan pemeriksaan luar dan dalam.

Pasal 3.

Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak
dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.

Pasal 6.

Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah
kewajiban petugas Polisi cq pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan
tentang perlunya dan pentingnya autopsy untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu
bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP.

Walaupun Instruksi Kapolri tahun 1975 menyatakan untuk visum jenazah harus dilakukan
melalui pemeriksaan luar dan dalam, namun setelah diundangkannya KUHAP penyidik
mempunyai wewenang untuk menentukan hanya dilakukan pemeriksaan luar saja dan bila
sangat diperlukan baru bedah mayat dilakukan.

2.4.5 Bentuk dan Susunan VeR

Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran
kehakiman yaitu Prof Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokro
negoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman,
edisi Kedua, 1992).

Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari:

1. Pro-Yustitia

2. Pendahuluan

3. Pemeriksaan
4. Kesimpulan

5. Penutup

1. Pro-Yustitia

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas
materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuatnya harus
memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis
Pro-Yustitia di bagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro-Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar
pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi
keadilan (Pro-Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang
arti sebenarnya kata Pro-Yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan
yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam
menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari
bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu biarpun Pro-Yustitia hanya kata-kata
biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya, maka
kata-kata ataua tulisan ini menjadi sangat penting artinya.

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa,
saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas
permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum
dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan

Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang
dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada
bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif.
Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban
seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu
luka berbentuk panjang, dengan pangjang 10cm, lebar luka 2cm dan dalam luka 4 cm,
pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut
penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian
seperti di atas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dan lain-lain.

Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan
yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya
penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya sederhana saja, karena
lampiran foto atau sketsa pemakai visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang
ditulis dengan kata-kata dalam visum. Pada masa kini ini foto bukanlah hal yang langka
dan mahal lagi.

4. Kesimpulan

Untuk pemakai visum, ini adalh bagian yang penting, karena diharapkan dokter
dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada
korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab-akibat dari
kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana
harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang


tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur
korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikahwini).

Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat
perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5. Penutup

Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut
dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah.

Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan Staatsblad 1937 no 350,


atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHAP.

Lampiran Foto

Lampiran foto terutama puntuk memudahkan pemakai visum memahami laporan


yang disampaikan dalam visum. Pada luka yang sulit disampaikan dengan kata-kata,
dengan lampiran foto akan memudahkan pemakai visum memahami apa yang ingin
disampaikan dokter. Tentu akan timbul beberapa masalah dengan pemakaian foto ini,
terutama mengenai biaya, tehnik pengambilan, pemrosesan foto dan juga mengenai
keabsahan foto di pengadilan.
BAB 3

KESIMPULAN

Ilmu kedokteran forensik adalah pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan


hukum dan peradilan. Kebijakan di Indonesia bahwa setiap dokter harus dapat
memberikan pelayanan Kedokteran Forensik dimanapun bertugas, artinya dari
rumah sakit sampai ke puskesmas hanya untuk pelayanan autopsi dan
pemeriksaan korban perkosaan terdapat kendala. Dalam ketentuan hukum
KUHAP dijelaskan bahwa pemeriksaan Kedoketran Forensik dil akukan oleh
spesialis forensik atau oleh “dokter”(umum atau spesialis lainnya). Dalam hal
ini diperlukan keberanian, ketelitian dan kesungguhan dokter melakukan
pemeriksaan dan memberikan laporan dalam bentuk visum et repertum, sehingga
bantuan pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai pedoman atau alat bukti
bagi penyidikan, penuntunan dan pemutusan perkara. Hasil pemeriksaan dan
laporan tertulis akan digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dan alat bukti
dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara pid ana maupun perdata.
Dalam hal demikian tampak bahwa laporan pemeriksaan dan kesaksian dokter
di sidang pengadilan turut berperan dalam proses penegakan hukum. Oleh
karena itu dokter sebagai pemberi jasa di bidang Kedokteran Forensik, dari
semula harus menyadari bahwa laporan hasil pemeriksaan dan kesimpulan serta
keterangan di sidang pengadilan yang baik dan terarah akan membantu proses
penyidikan, penyidangan serta pemutusan perkara.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.P.V.Chadha. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi V.Jakarta:


1995.Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 14-15.

2. Amir A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Medan:


Ramadhan.2005.

3. Budiyanto A. Widiatmaka w. Sudiono S, dkk.Ilmu Kedokteran Forensik.Jakarta:


Bagian Kedokteran Forensik FKUI.1997.

Anda mungkin juga menyukai