KONJUNGTIVITIS
Disusun Oleh:
Sebastian Ivan Kristianto (112019058)
Taridha Vania Christy Emmanuella (112019191)
Dian Yulita Sarapang (112019190)
Arditya Destian (112019115)
Pembimbing :
dr. Rossada Adiarti, Sp.M
2020
A. PENDAHULUAN
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang
menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut maupun kronik. Penyebab
konjungtivitis antara lain bakteri, klamidia, alergi, viral toksik, ataupun berkaitan dengan
penyakit sistemik
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini,mata
sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya
mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak,
berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya,
selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal.Gatal ini juga seringkali
dirasakan dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair.
Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata
terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata,
air mata berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus
biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari.
Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati
konjungtivitis bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi di bagian
tubuh lain. Pada konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan kompres hangat di
daerah mata untuk meringankan gejala. Tablet atau tetes mata antihistamin cocok
diberikan pada konjungtivitis alergi. Selain itu, air mata buatan juga dapat diberikan agar
mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata dari paparan alergen, atau
mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata. Untuk konjungtivitis papiler raksasa,
pengobatan utama adalah menghentikan paparan dengan benda yang diduga sebagai
penyebab, misalnya berhenti menggunakan lensa kontak. Selain itu dapat diberikan tetes
mata yang berfungsi untuk mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata.
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa
kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu perlu penanganan yang tepat
dalam penatalaksanaannya.
B. ANATOMI MATA
Bola Mata
Bola mata (Gambar 1.) adalah struktur kistik yang selalu mengembung dengan
tekanan di dalamnya. Bola mata orang dewasa normalnya berbentuk seperti bola, dengan
diameter anteroposterior rata-rata 24,2 mm.4
Bola mata terdiri dari tiga lapis: luar (lapisan fibrous), tengah (lapisan
vaskular) dan bagian dalam (lapisan saraf).4
Humor Aquos
Humor aquos diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah memasuki bilik mata
belakang, humor aquos melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke
perifer menuju sudut bilik mata depan. 2
Traktus Uvea
Uveal tract terdiri dari korpus siliaris, iris, dan koroid. Lapisan ini adalah
lapisan vaskular di tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera. Lapisan ini
memberikan kontribusi pasokan darah ke retina. 2
Korpus Siliaris
Korpus siliaris pada potongan melintang berbentuk segitiga dengan panjang
sekitar 6 mm. yang membentang dari pangkal iris sampai ora serrata. Korpus siliaris
dibagi menjadi dua bagian yaitu pars plikata yang terletak dibagian anterior yang
panjangnya 2 mm dan pars plana dibagian posterior dangan panjang 4 mm. 2
Processus ciliaris terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena
vertikulosa. Kapiler-kapilernya besar dan lapisan endotelnya berlubang. Muskulus
ciliaris tersusun oleh serat-serat longitudinal, sirkular dan radial. Serat sirkular berfungsi
mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di lembah diantara prosesus
ciliaris. Otot ini mengubah ketegangan pada kapsul lensa sehingga dapat mempunyai
fokus yang baik untuk obyek dekat maupun obyek jauh. Sedangkan yang longitudinal
menyisip kedalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya. 2
Pembuluh darah korpus ciliaris berasal dari sirkulus arteriosus mayor iris.
Persarafan sensoris berasal dari saraf-saraf siliaris. 2
Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa permukaan
pipih dengan aperture bulat yang terletak di tengah pupil. Iris terletak bersambungan
dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata
belakang, yang masing – masing berisi humor aquos. Di dalam stroma iris terdapat
spingter dan otot – otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan
posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina kearah
anterior. 2
Perdarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler – kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya
intravena. Persarafan sensoris iris melalui serabut – serabut dalam nervi ciliares. 2
Pupil mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas
parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan
oleh aktivitas simpatis. 2
Koroid
Koroid adalah bagian posterior uveal tract, terletak di antara retina dan sclera.
Koroid terdiri dari tiga lapisan pembuluh darah koroid: besar, menengah, dan kecil.
Semakin dalam pembuluh darah dalam koroid, semakin luas lumennya. Bagian internal
pembuluh darah koroid dikenal sebagai choriocapillaris. Darah dari pembuluh darah
koroid mengalir melalui empat pusaran vena terdapat satu di masing-masing empat
kuadran posterior. Koroid dibatasi di internal oleh membran Bruch dan di eksternal oleh
sklera. Ruang suprakoroidal terletak di antara koroid dan sklera. Koroid terikat kuat di
posterior dengan tepi saraf optik dan di anterior, koroid bergabung dengan korpus
siliaris.2
Keseluruhan pembuluh darah koroidal berfungsi untuk memelihara bagian
terluar dari retina. 2
Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak bewarna, dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa tergantung
pada zonula di belakang iris; zonula menghubungkannya dengan korpus siliaris. Di
sebelah anterior lensa terdapat humor aquos; di sebelah posteriornya, vitreous. Kapsul
lensa adalah suatu membran semipermeabel (sedikit lebih permeabel daripada dinding
kapiler) yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk. 2
Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal
sebagai zonula zinii, yang tersusun atas banyak fibril; fibril – fibril ini berasal dari
permukaan korpus siliaris dan menyisip ke dalam ekuator lensa. 2
Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air, sekitar 35 % nya protein
(kandungan proteinnya tertinggi di antara jaringan – jaringan tubuh). Selain itu, terdapat
sedikit sekali mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan
kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan
glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,
pembuluh darah, atau saraf di lensa. 2
Korpus Vitreous
Korpus vitreous merupakan strukrur menyerupai agar-agar yang jernih,
avaskuler, yang merupakan dua-pertiga dari volume dan berat mata. Korpus vitreous
mengisi ruang yang dibatasi oleh lensa, retina, dan optik disk. Permukaan luar vitreous
tersebut (membrana hyaloid) normalnya berhubungan dengan struktur sebagai berikut:
kapsul lensa posterior, serat zonula, epitel pars plana, retina, dan kepala saraf optik.
Dasar vitreous mempertahankan keterikatan kuat sepanjang hidup dengan epitel pars
plana dan retina langsung di belakang serrata ora. Keterikatan pada kapsul lensa dan
kepala saraf optik kuat dalam awal kehidupan tetapi segera menghilang. 2
Retina
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisasi, dengan
kemampuan untuk memulai pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi
tersebut ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual.4
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina membentang
ke anterior hampir sejauh corpus siliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang
tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis
Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensoris
bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan
membran Bruch, koroid dan sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen
retina mudah terpisah hingga terbentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada
ablasi retina. Namun pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina
saling melekat kuat sehingga perluasan cairan subretina pada ablasi retina dapat dibatasi.
Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang terbentuk antara koroid dan sklera,
yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian, ablasi koroid akan meluas melampaui ora
serrata, di bawah pars plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan
dalam corpus ciliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel
pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan vitreous.2
Makula ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang secara
histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari
satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm
yang mengandung pigmen luteal kuning xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini
merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea
ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan
parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring
(lapisan serabut henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan
dalam retina lepas secara sentrifugal. Di tengah makula, 4 mm lateral dari diskus optikus,
terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak jelas dengan
oftalmoskop sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan
bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut.
Gambaran histologis fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang
tajam, foveola memberikan ketajaman visual yang optimal. Fovea centralis adalah bagian
tengah makula, berdiameter sekitar 1,5 mm dan merupakan bagian paling sensitif dari
retina. Di pusatnya terdapat lubang bersinar disebut foveola (0,35 - mm diameter) yang
terletak sekitar 2 diameter disc (3 mm) dari margin temporal disk dan sekitar 1 mm di
bawah meridian horisontal. Areal seluas 0,8 mm (termasuk foveola dan beberapa daerah
sekitarnya) tidak mengandung kapiler retina dan disebut zona avaskular foveal (FAZ).
Sekitar fovea adalah parafoveal dan daerah perifoveal. 4 Ruang ekstraseluler retina yang
normalnya kosong cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan
penumpukan bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan daerah ini
(edema makula).2
C. EPIDEMIOLOGI
Virus merupakan penyebab hingga 80% dari semua kasus konjungtivitis akut.
Tingkat akurasi klinis dalam mendiagnosis konjungtivitis virus kurang dari 50%
dibandingkan dengan konfirmasi laboratorium. Banyak kasus yang salah didiagnosis
sebagai konjungtivitis bakteri. Antara 65% dan 90% kasus konjungtivitis virus disebabkan
oleh adenovirus, dan mereka menghasilkan 2 dari entitas klinis umum yang terkait dengan
konjungtivitis virus, faringokonjungtiva, dan keratokonjungtivitis epidemik. Angka
kejadian bakteri konjungtivitis akut adalah 135 kasus per 10000 populasi di US, yang
merupakan 18,3%-57% dari seluruh kasus konjungtivitis di US, sementara konjungtivitis
viral 9%-30% dan herpes simpleks virus pada 1.3%-4.8%.5
D. ETIOLOGI
Konjungtivitis Bakteri
Terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcuspneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Neiserria gonorrhoeae.
Penularan umumnya terjadi melalui kontak langsung dengan secret konjungtiva
penderita lain
Trachoma
Merupakan konjungtivitis folikular kronik yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis. Masa inkubasi dari trachoma adalah 7 hari (5-14 hari). Trachoma dapat
mengenai segala umur, terutama dewasa muda dan anak-anak. Cara penularannya
melalui kontak langsung dengan secret atau alat-alat pribadi yang digunakan
Konjungtivitis Viral
Jenis konjungtivitis ini adalah akibat infeksi human adenovirus. Virus lain yang bisa
menyebabkan konjungtivitis adalah virus Herpes Simplex (HSV), virus Varicella
zoster (VZV), dan Picornavirus
Konjungtivitis Alergi
Disebabkan karena adanya pajanan terhadap allergen, baik itu debu, perubahan cuaca
atau yang lainnya. Secara umum konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi akan
menyebabkan mata gatal dan berair, dapat disertai dengan kemosis. Yang termasuk
konjungtivitis alergi adalah keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis atopic.
Konjungtivitis papilar raksasa (GPC, giant papillary conjunctivitis) dalam beberapa
kepustakaan termasuk dalam konjungtivitis alergi. Selain itu, konjungtivitis seasonal
juga merupakan bagian dari konjungtivitis alergi tetapi biasanya terjadi di negara
dengan empat musim.
E. PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan invasi.
Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang dimediasi oleh
protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya mikroorganisme untuk
menembus pertahanan sistem imun. Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi
bila terdapat kerusakan epitel kecuali beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan
Shigella spp. Pada infeksi virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui
interaksi molekul virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul adenovirus dengan
integrin sel hospes yang menyebabkan proses endositosis virus oleh sel.
Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan tubuh dan
bereplikasi seperti pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes zoster namun sebagian
besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem imun tubuh.
F. GEJALA KLINIS
Keluhan pasien konjungtivitis biasanya berupa lakrimasi, rasa berpasir, dan perih.
Keluhan gatal pada umumnya mengindikasikan adanya alergi. Adanya rasa nyeri,
penurunan tajam pengelihatan, fotofobia, dan sensasi benda asing kemungkinan
menunjukkan keterlibatan kornea. Tanda klinis khas adalah mata merah yang ditandai
dengan injeksi konjungtiva (hiperemia konjungtiva), yang sering disertai dengan
timbulnya sekret dalam berbagai konsistensi. Pada beberapa kasus, peradangan
konjungtiva bisa sedemikian berat sehingga timbul sebagai kemosis (edema konjungtiva),
pembentukan membran, reaksi limfoid berupa tonjolan-tonjolan folikel dan papil pada
konjungtiva tarsal. Limfadenopati preauricular merupakan salah satu tanda khas yang
dapat ditemukan pada konjungtivitis adenoviral.
G. KLASIFIKASI
Konjungtivitis dapat diklasifikasikan sesuai dengan gejala yang ditimbulkan oleh
penderita. Klasifikasi ini juga dapat bertujuan untuk penatalaksaan yang sesuai dengan
gejala yang muncul serta indikasi penentuan prognosis.
Konjungtivitis Bakteri
Penyebabnya antara lain Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan
Staphylococcus pneumoniae. Gambaran klinisya adalah kejadiannya akut, terdapat
hiperemia, sensasi benda asing, sensasi terbakar, dan sekret mukopurulen. Fotofobia
muncul bila kornea terlibat. Saat bangun tidur mata terasa lengket. Kejadiannya
bilateral walaupun kedua mata tidak terinfeksi bersamaan. Visus tidak terganggu pada
konjungtivitis. 60% kasus sembuh spontan tanpa terapi.
Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis virus sering terjadi dan dapat disebabkan oleh berbagai virus. Beratnya
penyakit berkisar dari infeksi ringan yang cepat self-limited sampai penyakit yang berat
dan menimbulkan kelemahan. Jenis konjungtivitis ini adalah akibat infeksi human
adenovirus. Kondisi ini bisa dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penyebabnya.
Demam Faringokonjungtiva
Penyebabnya adalah adenovirus tipe 3 dan 7. Sebanyak 30% kasus akan terjadi
keratitis. Tiga tanda kardinal pada demam faringokonjungtiva adalah demam,
faringitis, dan konjungtivitis. Terdapat limfadenopati preaurikular tanpa rasa nyeri
tekan adalah ciri khasnya. Lebih sering pada anak-anak dari pada dewasa.
Keratokonjungtivitis Epidemika
Penyebabnya adalah adenovirus tipe 8 dan 19. Sebanyak 80% kasus akan terjadi
keratitis. Karakteristik penyakit ini adalah adanya limfadenopati preaurikular
dengan nyeri tekan. Gambaran klinisnya bersifat akut dengan hiperemia, nrocos
(mata berair terus), rasa tidak nyaman, dan terdapat limfadenopati preaurikular.
Terdapat gambaran bercak-bercak keputihan pada kornea. Pada kasus berat
terdapat perdarahan subkonjungtiva karena eksudat yang sangat banyak sehingga
sel-sel darah merah ikut ekstravasasi, timbul kemosis, dan pseudomembran.
Pengelolaan hingga saat ini tidak memuaskan, namun demikian perbaikan spontan
bisa terjadi dalam 2 minggu, tergantung status gizi penderita. Steroid dihindarkan
kecuali inflamasi sangat berat dan infeksi virus herpes simpleks dapat disingkirkan.
Konjungtivitis Klamidia
Konjungtivitis Inklusi Dewasa
Penyebabnya adalah Chlamydia trachomatis serotipe D -K. Secara klinis kondisi
ini terjadi unilateral, kronis, sekretnya mukoporulen, dan terdapat folikel pada
forniks (pada kasus yang berat folikel banyak pada palpebra superior, limbus, dan
konjungtiva palpebra). Dapat terjadi kemosis, limfadenopati preaurikular, keratitis
epitel marginal, infiltrat, dan mikropannus superior.
Trakoma
Penyebabnya adalah Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba dan C. Banyak
terjadi pada daerah dengan hygiene dan sanitasi yang buruk. Pemyakit ini termasuk
penyebab kebutaan utama di dunia. Secara klinis ditemukan folikel pada
konjuntiva bulbi dan konjungtiva palpebra, infiltrasi papil yang difus, sikatriks
konjungtiva, trikiasis (bulu mata masuk kedalam mata. Terjadi karena sikatrix pada
tarsus palpebranya mengkerut, dan ini bisa merusak kornea), dan Herbert’s pits
pada kornea. (Herbert’s pits adalah folikel-folikel di limbus yang pecah kemudian
menjadi sikatriks)
WHO mendeskripsikan trakona dengan tanda-tanda berikut ini. (i) TF (trakoma
folikel): lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal superior. (ii) TI (trakoma
infiltrasi): infiltrasi difus dan hipertrofi papilar pada konjungtiva tarsal superior
sedikitnya pada 50% vasa profunda. (iii) TS (trakoma sikatriks): parut konjungtiva
trakomatosa. (iv) TT (trakoma trikiasis): trikiasis atau entropion. (v) CO (corneal
opacity): kekeruhan kornea.
TF dan TI mengindikasikan infeksi aktif trachoma. TS merupakan bukti kerusakan
dari penyakit ini. TI yaitu potensial menjadi buta dan indikasi untuk operasi
koreksi palpebra. CO berarti buta total.
Konjungtivitis Alergika Akut
Gambaran klinisnya : akut, gatal, lakrimasi, hiperemia, kemosis ringan, dan reaksi
papilar yang difus. Pada kasus yang berat terdapat edema palpebra. Kornea tidak
terkena. Keadaan ini dikelola dengan pemberian stabilisator sel mast topikal yaitu
sodium kromoglikat 2% dan iodoxamin 0,1%.
Konjungtivitis Vernalis
Konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang mengenai kedua mata dan
kondisi ini bersifat rekuren, bilateral terutama pada musim panas, mengenai anak-
anak serta dewasa muda, dan lebih sering pada laki-laki. Individu dengan keadaan ini
memiliki riwayat atopi positif. Gambaran klinisnya : gatal, lakrimasi, fotofobia,
sensasi benda asing, rasa terbakar, sekret mukus yang tebal, dan ptosis. Palpebra
terasa berat bila diangkat dan di bagian konjungtiva palpebra superior ada reaksi
papilar raksasa / giant papillae yang dikenal dengan istilah Cobble Stones. Oleh
karena itu lebih tepat disebut peudoptosis karena bukan masalah otot. Penyakit ini
bisa diikuti keratitis dan infeksi palpebra superior. Terdpat 3 bentuk : palpebral,
limbal dan campuran.
- Discharge
- Reaksi konjungtiva (1-8)
Beberapa tipe discharge meliputi discharge berair (watery) terdiri dari eksudat
serosa dan air mata, dan terjadi pada konjungtivitis virus akut atau alergi akut, discharge
berlendir (mukoid) khas dari konjungtivitis alergi kronis dan mata kering, discharge
mukopurulen biasanya terjadi di klamidia atau infeksi bakteri akut, discharge purulen
terjadi pada konjungtivitis bakteri akut, discharge purulen parah mengarah kepada infeksi
gonokokal
I. DIAGNOSIS
J. PENATALAKSANAAN
Konjungtivitis bakteri
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter dapat memulai terapi
dengan antimikroba topikal spektrum luas (mis. polymyxin-himethoprim). Pada setiap
konjungtivitis purulen yang pulasan Gram-nya menunjukkan diplokokus gram-
negatif, sugestif neisseria, harus segera dimulai terapi topikal dan sistemik. Jika
kornea tidak terlibat, ceftriaxone 1 g yang diberikan dosis tunggal per intramuskular
biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat. Jika kornea terkena, dibutuhkan
ceftriaxone parenteral, 1-2 gper hari selama 5 hari. Pada konjungtivitis purulen dan
mukopurulen, saccus conjunctivalis harus dibilas dengan larutan saline agar dapat
menghilangkan sekret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pasien
dan keluarga diminta memperhatikan higiene perorangan secara khusus.7
Konjungtivitis virus
Pengobatannya hanya suportif karena dapat sembuh sendiri. 7
Konjungtivits klamidia
Infeksi ini berespons terhadap amphotericin B (3-8 mg/rnL) dalam larutan air
(bukan garam) atau terhadap krim kulit nystatin (100.000 U/g) empat sampai enam
kali sehari. Obat ini harus diberikan secara hati-hati agar benar-benar masuk dalam
saccus conjunctivalis dan tidak hanya menumpuk di.tepian palpebra. 7
Konjungtivitis alergika
Pengobatan dilakukan dengan penetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal.
Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal, dan antihistamin per oral hanya
sedikit manfaatnya. Respons langsung terhadap pengobatan cukup memuaskan, tetapi
kekambuhan sering ditemukan kecuali bila antigennya dihilangkan. Untungnya,
frekuensi serangan dan beratnya gejala cenderung menurun dengan meningkatnya
usia.7
Konjungtivitis vernalis
Karena keratokonjungtivitis vernal adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu
diingat bahwa medikasi yang dipakai untuk meredakan gejala dapat memberi
perbaikan dalam waktu singkat, tetapi dapat memberi kerugian jangka-panjang.
Steroid topikal atau sistemik, akan dapat menyeambuhkan tetapi pada pemakaian
jangka panjang sangat merugikan. Kombinasi antihistamin penstabil sel mast yang
lebih baru bermanfaat sebagai agen profilaktik (lodoxamide dan sodium kromolin)
dan terapeutik pada kasus sedang hingga berat. Vasokonstriktor-antihistamin topical
(antazoline dan cendo vasacon-A), kompres dingin, dan kompres es ada manfaatnya;
tidur (jika mungkin juga bekerja) di ruang sejuk ber-AC membuat pasien nyaman.
Kemungkinan besar, pemulihan terbaik dicapai dengan pindah ke tempat beriklim
sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini setidaknya membaik bila tidak sembuh
total.
Gejala akut pada seorang pasien yang sangat fotofobik hingga tidak dapat
berbuat apa-apa sering kali diatasi dengan steroid sistemik atau topikal jangka pendek,
diikuti dengan vasokonstriktor, kompres dingin, dan pemakaian teratur tetes mata
yang memblok histamin. Obat-obat antiinflamasi non-steroid yang lebih baru, seperti
ketorolac dan lodoxamide, cukup bermanfaat untuk mengurangi gejala, tetapi bisa
memperlambat reepitelisasi ulkus "perisai". Seperti telah disinggung sebelumnya,
penggunaan steroid berkepanjangan harus dihindari. Studi klinis baru-baru ini
menunjukkan bahwa tetes mata topikal cyclosporine 2% efektif untuk kasus-kasus
berat yang tak responsif. Penyuntikan depot kortikosteroid supratarsal dengan atau
tanpa eksisi papilaraksasa terbukti efektif untuk ulkus "perisai" vernal. 7
Konjungtivitis neonatal (Oftalmika Neonatorum)
Konjungtivitis kimiawi
Pengobatan terdiri atas penghentian agen penyebab dan pemakaian tetesan
yang ringan atau sama sekali tanpa tetesan. Sering kali, reaksi konjungtiva menetap
sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya setelah penyebabnya
dihilangkan. Saccus conjunctivalis harus dibilas segera dan menyeluruh dengan air
atau larutan garam, dan setiap materi padat harus disingkirkan secara mekanis. Jangan
memakai antidot kimiawi. Tindakan lanjutannya, yaitu dengan steroid topikal intensif,
tetes mata askorbat dansitrat, sikloplegik terapi antiglaukoma seperlunya, kompres air
dingin dan analgesik sistemik. Konjungtivitis bakterial dapat diobati dengan agen
antibakteri yang sesuai. 7
Pada kasus trauma akibat perkerjaan, parut kornea mungkin memerlukan
transplantasi kornea, dan simblefaron mungkin memerlukan bedah plastik pada
konjungtiva. Luka bakar berat pada konjungtiva dan kornea prognosisnya buruk
meskipun dibedah tetapi dengan pengobatan memadai yang dimulai segera, parut
yang terbentuk akan minimal dan prognosisnya lebih baik. 7
K. KOMPLIKASI
Pada konjungtivitis bakteri, kasus blefaritis marginal kronik sering menyertai
konjungtivitis yang diakibatkan bakteri stafilokok, kecuali pada pasien sangat muda yang
bukan sasaran blefaritis. Parut konjungtiva dapat mengikuti konjungtivitis
pseudomembranosa dan membranosa, dan pada kasus tertentu diikuti oleh ulserasi kornea
dan perforasi. Ulserasi kornea marginal dapat terjadi pada infeksi N gonorrhoeae, N
kochii, N meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis; jika produk toksik N
Gonorrhoeae berdifusi melalui komea masuk ke bilik mata depan, dapat timbul iritis
toksik.7
L. PROGNOSIS
KESIMPULAN
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian
berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis
terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat
dan biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang
dengan sendiri, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhardjo dan Agni AN. Buku ilmu kesehatan mata. Ed 3.Yogyakarta; Departemen Ilmu
Kesehatan Mata fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta; 2017.h.35-43
2. Riordan-Eva P, Augsburger J. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. Ed 19. EGC.
Jakarta; 2019. h 95-119
3. Ilyas Sidarta, Yulianti Sri Rahayu, Buku ilmu penyakit mata. Ed 5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta; 2014. h 124-143
4. Khurana, A. K., Khurana, A. K., & Khurana, B. (2015). Comprehensive ophthalmology.
New Delhi: Jaypee, The Health Sciences Publisher.
5. Azari, Amir A, and Neal P Barney. “Conjunctivitis: a systematic review of diagnosis and
treatment.” JAMA vol. 310,16 (2013): 1721-9. doi:10.1001/jama.2013.280318
6. Sitorus, R., Sitompul, R. Buku Ajar Oftalmologi Edisi Pertama. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta; 2020. h 109-117
7. Riordan-Eva P, Augsburger J. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. Ed 17. EGC.
Jakarta; 2012. h 97-121