PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar
matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan
penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara geografis, pterigium
tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. 1,2 Dari hasil
penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas
recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain itu, pterigium
1
dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan
yang mengalami penurunan penglihatan yang sedang hingga berat. Semua pasien
dari 6 juta orang mengalami gangguan penglihatan. Lebih dari 75% pasien yang
penyesuaian diri terhadap usia dan dapat mempunyai beberapa efek pada kualitas
penglihatan dan kualitas hidup. Satu kasus presbiopi tanpa koreksi optik
“Kegagalan penglihatan yang tidak dapat diubah, serta merupakan perubahan yang
mungkin menjadi tidak cukup untuk melakukan tugas yang biasa dilakuan pasien.
Efek dari proses ini berbeda – beda pada setiap orang. Mereka yang sering
kesulitan. Karena kebutuhan untuk membaca di jarak dekat dan jarak menengah
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis Pterigium Grade II OD
pada pasien yang datang berobat ke Poliklinik Mata RS. Bhayangkara Manado.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Mata
Bola mata memiliki diameter yang tidak lebih dari 25 mm, terbentuk dari 2
segmen sferis dengan ukuran yang berbeda: segmen anterior yang transparan,
menonjol, dan membentuk satu per enam bagian dari bola mata dengan segmen
posterior yang opak dan membentuk lima per enam bagian dari bola mata. Bola
mata terbentuk dari 3 lapisan jaringan: lapisan luar fibrosa, lapisan tengah
vaskular (uvea), dan lapisan dalam neural (retina).10
3
1. Lapisan luar fibrosa
Tersusun atas bagian anterior yang transparan, kornea dan bagian posterior yang
opak, sklera. Kornea dan sklera berhubungan di perifer pada limbus mata. Sklera
adalah jaringan ikat kenyal yang memberikan bentuk pada mata, merupakan
bagian terluar yang melindungi bola mata dan tempat insersi otot ekstraokular
mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera. Saraf optik menembus
di bagian posterior dengan lapisan dura yang berhubungan.10
2. Lapisan tengah vaskular (uvea)
- Koroid adalah membran vaskular tipis yang melapisi bagian dalam sklera.
- Badan siliar tersusun atas otot siliar, cincin otot dengan lapisan luar yang
tersusun secara radial dan lapisan dalam yang tersusun secara sirkular
dengan fungsi untuk akomodasi lensa; prosesus siliaris, epitel yang tersusun
- Iris merupakan cincin kontraktil yang membentuk pupil. Iris terbentuk dari 4
lapis jaringan.10
Kelompok serat otot halus yang tersusun secara radial, otot dilatator
siliar.
4
3. Lapisan dalam neural (retina)
Terdiri dari dua lapisan, lapisan luar berpigmen dan lapisan dalam neural yang
memiliki reseptor visual dan saraf terkait. Lapisan berpigmen menyerap sinar
fotoreseptor retina. Lapisan berpigmen terdapat pada badan siliar dan iris,
sedangkan lapisan neural terbatas sampai ora serata. Pada retina neural terdapat
bagian yang kaya akan sel kerucut, tetapi tidak memiliki sel batang yang disebut
sebagai forniks.
selama akomodasi.
3. Badan kaca (vitreous humor). Bahan gelatin yang jernih dan avascular yang
membentuk dua per tiga dari volume dan berat mata, berisi 99% air, sisanya 1%
meliputi kolagen dan asam hialuronat sehingga mirip gel yang membantu
5
2. Proses Melihat
Berkas cahaya akan berbelok/ berbias (mengalami refraksi) apabila berjalan dari
satu medium ke medium lainnya dengan kepadatan yang berbeda kecuali apabila
berkas cahaya tersebut jatuh tegak lurus permukaan. Cahaya bergerak lebih
cepat melalui udara daripada melalui media transparan lainnya seperti air atau
kaca. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium yang densitasnya lebih
yang terdiri dari empat tahap, yaitu tahap pembiasan, tahap sintesa fotokimia,
tahap pengiriman sinyal sensoris dan tahap persepsi di pusat penglihatan. Tahap
pada panjang sumbu bola mata. Sedangkan proses fotokimia terjadi pada fovea
di makula. Proses kimia yang terjadi akan merangsang dan menimbulkan impuls
listrik potensial. Selanjutnya impuls listrik ini akan diantar oleh serabut saraf ke
informasi tersebut ke otak melalui saraf optik. Semua bagian tersebut harus
Pada mata normal, otot siliar melemas dan lensa mendatar untuk melihat
jauh, tetapi otot siliar akan berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi
6
B. KONJUNGTIVA
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal
bulbi.1,8,9
7
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh
Fisiologi Konjungtiva
oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan
dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme
imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
8
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.1,8,9
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus
bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata
asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip
9
berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak ditepi atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari
cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang
mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang
Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
a. Epitel
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
barrier.
10
b. Membran Bowman
c. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
d. Membrane descement
tebal 40µm.2
e. Endotel
zonula okluden.2
11
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
terjadi dalam waktu 3 bulan.2 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana
PTERIGIUM
12
patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3,11
a. Radiasi Ultraviolet
b. Faktor Genetik
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium.
13
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,11
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti
paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang
dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada
fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan
pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal
vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.11,12
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
14
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.12,13
pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan
pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas
matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka,
growth factor-β) berbeda dengan jaringan konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast
growth factor) yang berlebihan, TNF-α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini
menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan
peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama
fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada
(substance P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor)
pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini
mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang melalui produksi sitokin lokal dan
sistemik.11,12
15
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan
proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel meluas
intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas
ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel
DIAGNOSIS PTERIGIUM
1. Anamnesis
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-
30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3
2. Pemeriksaan Fisik
16
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus
disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap.
Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterigium.1,3,9,11
kelompok yaitu:
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
17
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
mengganggu penglihatan12
Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari
pseudopterigium.
18
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
stromanya konjungtiva
19
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium8
3. Penatalaksanaan Pterigium
obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan
udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata
buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri
air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
20
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.10,12
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan
kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
21
Teknik Pembedahan
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang
dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
teknik ini.1
22
3. Cangkok Membran Amnion
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
pemberian:
23
3. Sinar Beta.
21 Mei 2010)
4. Komplikasi
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
24
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira
graft.
atas pterigium.15
5. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah
24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran
amnion.15
PRESBIOPI
1. Definisi Presbiopia
Hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada
25
kesalahan refraksi) akan mulai merasakan ketidakmampuan membaca huruf
kecil atau membedakan benda-benda kecil yang terletak berdekata pada usia
sekitar 44-46 tahun.18 Gagal penglihatan dekat akibat usia, berhubungan dengan
2. Epidemiologi Presbiopia
Prevalensi presbiopi lebih tinggi pada populasi dengan usia harapan hidup yang
onsetnya yang lambat, tetapi bisa dilihat bahwa insiden tertinggi presbiopia
terjadi pada usia 42 hingga 44 tahun. Studi di Amerika pada tahun 2006
3. Etiologi Presbiopia
4. Patofisiologi Presbiopia
Cahaya masuk ke mata dan dibelokkan ( refraksi ) ketika melalui kornea dan
struktur-struktur lain dari mata ( kornea, humor aqueus, lensa, humor vitreus )
yang mempunyai kepadatan berbeda-beda untuk difokuskan di retina.
26
Pada mata presbiopia yang dapat terjadi karena kelemahan otot
akomodasi atau lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya,
menyebabkan kurang bisa mengubah bentuk lensa untuk memfokuskan mata
saat melihat. Akibat gangguan tersebut bayangan jatuh di belakang retina.
Karena daya akomodasi berkurang, maka titik dekat mata makin menjauh.
Akomodasi suatu proses aktif yang memerlukan usaha otot, sehingga
dapat lelah. Jelas musculus cilliary salah satu otot yang terlazim digunakan
dalam tubuh. Derajat kelengkungan lens yang dapat ditingkatkan jelas terbatas
dan sinar cahaya dari suatu objek yang sangat dekat individu tak dapat dibawa
ke suatu focus di atas retina, bahkan dengan usaha terbesar. Titik terdekat
dengan mata, tempat suatu objek dapat dibawa ke fokus jelas dengan akomodasi
dinamai titik dekat penglihatan. Titik dekat berkurang selama hidup, mula-mula
pelan-pelan dan kemudian secara cepat dengan bertambanya usia, dari sekitar 9
cm pada usia 10 tahun sampai sekitar 83 cm pada usia 60 tahun. Pengurangan ini
terutama karena peningkatan kekerasan lens, dengan akibat kehilangan
akomodasi karena penurunan terus-menerus dalam derajat kelengkungan lens
yang dapat ditingkatkan. Dengan berlalunya waktu, individu normal mencapai
usia 40-45 tahun, biasanya kehilangan akomodasi, telah cukup menyulitkan
individu membaca dan pekerjaan dekat.20
27
- Obat-obatan, penurunan akomodasi adalah efeksamping dari obat
nonprescription dan prescription (contoh : alkohol, klorprozamin,
hidroklorotiazid, antidepresan, antipsikotik, antihistamin, diuretik).
- Lain-lain : Kurang gizi, penyakit dekompresi.18
6. Klasifikasi Presbiopia
a) Presbiopia insipient
b) Presbiopia Fungsional
c) Presbiopia Absolut
a) Presbiopia Prematur
b) Presbiopia nokturnal
28
Presbiopia nokturnal adalah kondisi dimana terjadi kesulitan
untuk melihat dekat disebabkan oleh penurunan amplitudo akomodasi di
cahaya redup. Peningkatan ukuran pupil, dan penurunan kedalaman
menjadi penyebab berkurangnya jarak penglihatan dekat dalam cahaya
redup.18
7. Gejala Presbiopia
8. Diagnosa Presbiopia
a). Anamnesa
29
Anamnesa gejala – gejala dan tanda presbiopi. Keluhan pasien terkait
presbiopi dapat bermacam-macam, misalnya pasien merasa hanya mampu
membaca dalam waktu singkat, merasa cetakan huruf yang dibaca kabur atau
ganda, kesulitan membaca tulisan huruf dengan cetakan kualitas rendah, saat
membaca membutuhkan cahaya yang lebih terang atau jarak yang lebih jauh,
saat membaca merasa sakit kepala dan mengantuk.
9. Penatalaksanaan Presbiopia
a). Kacamata
30
memungkinkan untuk koreksi kalainan refraksi yang lain. Kacamata trifokus
mengoreksi penglihatan jauh disegmen atas, penglihatan sedang di segmen
tengah, dan penglihatan dekat di segmen bawah. Lensa progresif juga
mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh tetapi dengan perubahan
daya lensa yang progresif dan bukan bertingkat.17
b). Pembedahan
BAB III
31
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. YM
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : IRT/SMP
Anamnesis
Keluhan Utama :
Seorang ibu 52 tahun datang ke Poliklinik Mata RS. Bhayangkara Manado dengan
keluhan kedua mata terasa mengganjal sejak 2 bulan yang lalu disertai dengan mata
berair. Ibu merasakan seperti ada sesuatu ketika berkedip. Sebelumnya ibu belum
32
Riwayat memakai kacamata (-)
Status Gizi :
Berat Badan : 62 Kg
Status Ekonomi:
Cukup
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36,2oC
33
Status Oftalmologi
OD OS
Segmen Anterior
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Jernih
Diagnosis
34
Pterigium grade II OD
Diagnosis Banding
Pinguekula ODS
Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
lebih lanjut
2. Medikamentosa
Prognosis
35
BAB IV
PEMBAHASAN
anamnesis Ny. YM berusia 52 tahun dengan keluhan mata kanan mata terasa
didapatkan visus mata kanan dan kiri normal. Pasien juga merasa akhir-akhir ini
mata semakin berair, tampak merah, dengan sensasi benda asing. Pada
pinguekula memiliki bentuk yang tidak beraturan. Pterygium pada pasien ini
melewati limbus dan lama – kelamaan dapat mengganggu penglihatan jika telah
mencapai pupil.
36
BAB V
KESIMPULAN
oftalmologis pasien ini didiagnosis dengan pterigium grade 2 OD. Pada hasil
mengurangi gejala dan mencegah perburukan. Prognosis kasus ini adalah dubia
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
Consensus Panel on Care of the Patient with Myopia, AOA Clinical Guidelines
5. Ilyas, S., Mailangkay, Hilman T, Raman R. S., Monang S dan Purbo S. W. Ilmu
Penyakit Mata. Edisi kedua cetakan ke-1. Jakarta : CV. Sagung Seto. Hlm 47.
6. Saw SM, Husain R, Gazzard GM, Koh D, Widjaja D, Tan DTH. Causes of low
7. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :
EGC. 2013;h.392-98.Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-5.
38
8. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
9. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
10. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata
11. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher.
2007. p: 443-457
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
specialists/pterygium.htm
17. American Academy of Opthalmology. Presbyopia. USA. 2010. Diunduh pada: Mei
18. Whitcher JP, Paul RE. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC.
2009; 20:392-393
39
19. Khurana AK. Opthalmologi. New Delhi: New Age International Publishers. 2005.
3: 60-65
20. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1995: 14: 45
40