Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab gangguan penglihatan dan
kebutaan kedua di dunia. Sebanyak 2,2 miliar penduduk dunia diperkirakan memiliki gangguan
penglihatan atau kebutaan dengan 123,7 juta di antaranya disebabkan oleh kelainan refraksi yang
tidak terkoreksi. Sebanyak 19 juta anak secara global memiliki gangguan penglihatan dengan 12
juta di antaranya disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi.1,2,3
Data kelainan refraksi anak berbasis populasi di Indonesia masih terbatas, tetapi
prevalensinya cukup tinggi. Studi yang dilakukan oleh Mahayana dkk. Di Yogyakarta dan Jawa
Tengah menunjukkan prevalensi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak sekolah dasar
di daerah urban dan suburban yaitu sebesar 10,1% dan 12,3%. Studi Halim dkk. menunjukkan
prevalensi kelainan refraksi pada anak usia 11 – 15 tahun di daerah suburban di Bandung sebesar
15,9% dengan kasus yang tidak terkoreksi sebesar 12,1%..4,5
Astigmatisme adalah salah satu kesalahan refraksi yang paling umum ditemui dalam
praktek mata. Astigmatisme sisa yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan berbagai macam
gejala visual andokular, seperti penglihatan kabur, astenopia (kelelahan mata), silau, sakit kepala,
dan diplopia monokular.6 Astigmatisme dapat terjadi akibat kelainan kelengkungan kornea
ataupun kelainan pada lensa.. Astigmatisme pada anak umumnya terjadi pada usia 3 hingga 6
tahun, dan penelitian yang dilakukan Lyle melaporkan astigmatisme banyak tarjadi pada anak-
anak usia 5-10 tahun.7 Proses akomodatif alami mata menyababkan diagnosis refraksi menjadi
tidak akurat. Mekanisme akomodasi meningkatkan ketebalan lensa dan akhirnya mengarah pada
daya refraksi akomodatif dengan penglihatan dekat yang tajam. untuk memungkinkan
pengukuran refraksi yang akurat, tetes sikloplegik secara farmakologis digunakan untuk
melumpuhkan otot siliaris mata dan akibatnya mencegah respons akomodasi okular.7
1.2 Batasan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Manfaat Penulisan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Media Refraksi8,9,10

Refraksi mata adalah perubahan jalan cahaya yang diakibatkan oleh media refraksi mata.
Media refraksi mata terdiri dari permukaan kornea, aqueous humor, permukaan anterior dan
posterior lensa serta korpus vitreus.
1. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan kristal
sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lekuk melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di
tengah, sekitar 0,65 mm di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior,
kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda mulai dari epitel, membrana Bowman, stroma,
membrana Descemet dan endotel.
2. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh badan siliaris. Setelah memasuki kamera okuli posterior,
aqueous humor melalui pupil dan masuk ke kamera okuli anterior dan kemudian ke perifer
menuju ke sudut kamera okuli anterior. Aqueous humor difiltrasi dari darah, dimodifikasi
komposisinya, baru disekresikan oleh badan siliaris di kamera okuli posterior. Aqueous humor
diproduksi dengan kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi kamera okuli anterior sebanyak 250 μL
serta kamera okuli posterior sebanyak 60 μL.
Aqueous humor mengalir di sekitar lensa dan melewati pupil ke ruang anterior. Sebagian
air keluar mata melalui lorong-lorong dari trabecular meshwork. Trabecular meshwork adalah
saluran seperti saringan yang mengelilingi tepi luar dari iris dalam sudut ruang anterior, dibentuk
di mana menyisipkan iris ke dalam badan siliaris. Jumlah yang lebih sedikit masuk ke dalam
badan siliaris yang terbuka dan ke iris, di mana ia akhirnya berdifusi ke dalam pembuluh darah
di sekitar bola mata.
3. Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir transparan
sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa digantung di belakang iris oleh
zonula yang menghubungkannya dengan badan siliare. Di anterior lensa terdapat humor aqueous,
di sebelah posteriornya terdapat vitreus. Kapsul lensa adalah membran semipermeabel (sedikit
lebih permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memungkinkan air dan elektrolit masuk.
Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-
serat lamellar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa semakin lamamenjadi lebih besar dan
kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae kosentris yang panjang. Garis-garis
persambungan yang terbentuk dengan persambungan lamellae ini ujung-ke-ujung berbentuk {Y}
bila dilihat dengan slitlamp. Lensa difiksasi ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai
zonula (zonula Zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari permukaanbadan siliaris dan
menyisip kedalam ekuator lensa. Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 35%
protein (kandungan protein tertinggi diantara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral
yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk
teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau saraf di lensa. Lensa
memiliki kekuatan refraksi 15-10 D.
4. Korpus Vitreus
Korpus vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk
dua pertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh lensa, retina
dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus membran hialois - normalnya berkontak dengan
struktur-struktur berikut: kapsula lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel,
retina dan caput nervi optici. Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat sepanjang
hidup ke lapisan epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora serrata. Perlekatan ke kapsul
lensa dan nervus optikus kuat pada awal kehidupan tetapi segera hilang. Vitreus berisi air sekitar
99%. Sisanya 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberikan
bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air.

2.2 Fisiologi Refraksi11,12


Mata dapat dianggap sebagai kamera, dimana sistem refraksinya menghasilkan bayangan
kecil dan terbalik di retina. Rangsangan ini diterima oleh sel batang dan kerucut di retina, yang
diteruskan melalui saraf optik (CN II), ke korteks serebri pusat penglihatan. Supaya bayangan
tidak kabur, kelebihan cahaya diserap oleh lapisan epitel pigmen di retina. Bila intensitas cahaya
terlalu tinggi maka pupil akan mengecil untuk menguranginya. Daya refraksi kornea hampir
sama dengan humor aqueous, sedang daya refraksi lensa hampir sama pula dengan badan kaca.
Keseluruhan sistem refraksi mata ini membentuk lensa yang cembung dengan fokus 23 mm.
Dengan demikian, pada mata yang emetrop dan dalam keadaan mata istirahat, sinar yang sejajar
yang datang di mata akan dibiaskan tepat di fovea sentralis dari retina. Fovea sentralis
merupakan posterior principal focusdari sistem refraksi mata ini, dimana cahaya yang datang
sejajar, setelah melalui sitem refraksi ini bertemu. Letaknya 23 mm di belakang kornea, tepat
dibagian dalam makula lutea.
Mata mempunyai kemampuan untuk memfokuskan benda dekat melalui proses yang
disebut akomodasi. Penelitian tentang bayangan Purkinje, yang merupakan pencerminan dari
berbagai permukaan optis di mata, telah memperlihatkan bahwa akomodasi terjadi akibat
perubahan di lensa kristalina. Kontraksi otot siliaris menyebabkan penebalan dan peningkatan
kelengkungan lensa, mungkin akibat relaksasi kapsul lensa.
Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2 media (semakin besar
perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya berkas cahaya di
medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan). Dua struktur yang paling
penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea, struktur
pertama yang dilalui cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan besar dalam
reftraktif total karena perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari pada
perbedaan densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Kemampuan refraksi kornea
seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya
kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan mengubah kelengkungannya sesuai
keperluan untuk melihat dekat atau jauh.
2.3 Definisi Astigmatisme8,9
Astigmatisme adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis pandang oleh
mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik. Pada
astigmatisme, mata menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel, dimana
berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis
titik fokus yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea.
Astigmatisme juga dapat terjadi akibat jaringan parut pada kornea atau setelah
pembedahan mata. Jahitan yang terlalu kuat pada bedah mata dapat mengakibatkan perubahan
pada permukaan kornea. Bila dilakukan pengencangan dan pengenduran jahitan pada kornea
maka dapat terjadi astigmatisme akibat terjadi perubahan kelengkungan kornea.
Gambar 2.1 Perbandingan mata normal dan mata penderita astigmatisme9
2.4 Etiologi 9
1. Kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media refrakta yang
memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea, yaitu mencapai 80-90%
dari astigmatisme. Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan
lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anter-
posterior bola mata. Perubahan lengkung ini terjadi karena kelainan kongenital,
kecelakaan, luka atau parut, peradangan serta pembedahan kornea.
2. Kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin bertambah umur
seseorang maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin berkurang dan lama
kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan
astismatisme.
3. Intoleransi lensa
4. Trauma pada kornea
5. Tumor
2.5 Klasifikasi 8,9,12
 Berdasarkan posisi garis fokus di retina, astigmatisme dibagi sebagai berikut :
a. Astigmatisme regular
Didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang saling tegak
lurus pada bidang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang yang lain. Astigmatisme regular dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu :
 Astigmat Lazim (Astigmatisme with the rule)
Astigmatisme ini merupakan dua meridian yang membentuk sudut satu sama lain secara
horizontal (180° ±20° ) atau vertikal (90° ±20°) with in the rule astigmatism. Dimana meridian
vertikal mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian horizontal.
Astigmatisme ini dapat dikoreksi –axis 180) atau +axis 90.
 Astigmat tidak lazim (Against the rule astigmatism)
Suatu kondisi dimana meridian horizontal mempunyai kurvatura yang lebih kuat
(melengkung) dari meridian vertikal. Astigmatisme jenis ini dapat dikoreksi dengan +axis 180°
±20° atau –axis 90° ±20°.
 Oblique Astigmatism
Merupakan suatu astigmatisme regular dimana kedua principle meridian tidak pada
meridian horizontal atau vertikal. Principle meridian terletak lebih dari 20° dari meridian vertikal
atau horizontal.
 Biobligue Astigmatism
Suatu kondisi dimana kedua principle meridian tidak membentuk sudut satu sama lain.
b. Astigmatisme Ireguler
Suatu keadaan refraksi dimana setiap meridian mempunyai perbedaan refraksi yang tidak
teratur bahkan mempunyai perbedaan pada meridian yang sama. Principle meridian tidak tegak
lurus satu dengan lainnya. Biasanya astigmatisme irregular ini dikoreksi dengan lensa kontak
kaku.
 Berdasarkan letak titik vertikal dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi sebagai
berikut:
a. Astigmatisme Miopia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titik A berada didepan retina sedangkan titik B berada tepat pada
retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias terkuat sedangkan titk B adalah titik fokus
dari daya bias terlemah). Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl –
Y atau Sph –X Cyl + Y dimana X dan Y memiliki angka yang sama.

Gambar 2.2 Astigmatisme Miopia Simpleks


b. Astigmatisme Hipermetropia Simpleks
Astigmatisme jenis ini, titk A berada tepat pada retina sedangkan titik B berada di
belakang retina.

Gambar 2.3 Astigmatisme Hipermetropia Simpleks


c. Astigmatisme Miopia Kompositus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada didepan retina sedangkan titik B berada diantara
titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph-X Cyl-Y.

Gambar 2.4 Astigmatisme Miopia Kompositus


d. Astigmatisme hipermetropia Kompositus
Astigmatisme jenis ini, titik B berada dibelakang retina sedangankan titik A berada
diantara titik dan retina. Pola koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.
Gambar 2.5 Astigmatisme Hipermetropia Kompositus
e. Astigmatisme Mixtus
Titik A berada di depan retina sedangkan titik B berada di belakang retina. Pola ukuran
lensa koreksi astigatisme jenis ini adalah Sph +X Cyl –Y atau Sph –X Cyl +Y, dimana ukuran
tersebut tidak dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol atau rotasi X dan Y menjadi sama -
sama – atau +.

Gambar 2.6 Astigmatisme Mixtus

 Berdasarkan tingkat kekuatan dioptri:


a. Astigmatisme Ringan
Astigmatisme yang ukuran powernya <0,50 dioptri. Biasanya astigmatisme rendah
tidak perlu menggunakan koreksi kacamata, tetapi jika timbul kelainan pada penderita maka
koreksi kacamata sangat diperlukan.
b. Astigmatisme Sedang
Astigmatisme yang ukuran powernya berada pada 0,75 - 2,75 D. Pada astigmatisme ini
pasien sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
c. Astigmatisme Berat
Astigmatisme yang ukuran powernya > 3,00 dioptri. Pada astigmatisme ini pasien
sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.

2.6 Patogenesis 13
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan sinar
pada satu titik. Pada astigmatisme, pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada
astigmatisme dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu
titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian
sinar lain difokuskan di belakang retina.
2.7 Manifestasi Klinis12
Pada nilai koreksi astigmatisme kecil, hanya terasa pandangan kabur. Melihat ganda
dengan satu atau kedua mata, melihat benda yang bulat menjadi lonjong, penglihatan akan kabur
untuk jauh ataupun dekat, bentuk benda yang dilihat berubah, mengecilkan celah kelopak mata,
sakit kepala, mata tegang dan pegal.

2.9 Diagnosis
Diagnosis astigmatisma ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Karena astigmatisma adalah suatu kondisi dimana bias permukaan kornea tidak bulat, dapat
menurunkan ketajaman visual dengan membentuk gambar yang terdistorsi karena gambar cahaya
fokus pada 2 titik terpisah di mata.Maka manifestasi klinis astigmatisma adalah penglihatan yang
kabur.Gejala lain yang umum adalah fenomena streak atau sinar di sekitar titik sumber cahaya,
yang paling nyata dalam lingkungan gelap. Jika besarnya astigmatisma tinggi, hal itu dapat
membayangi atau mencoreng tulisan; dalam jumlah yang sangat tinggi, dapat menyebabkan
diplopia.8Pasien dengan astigmatisma, melihat segala sesuatu terdistorsi. Upaya untuk
mengimbangi kesalahan bias oleh akomodasi dapat menyebabkan gejala asthenopic seperti
sensasi terbakar di mata atau sakit kepala.12,14

2.8 Refraksi Siklopegik

Astigmatisme adalah salah satu kesalahan refraksi yang paling umum ditemui dalam
praktek mata. Astigmatisme sisa yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan berbagai macam
gejala visual andokular, seperti penglihatan kabur, astenopia (kelelahan mata), silau, sakit kepala,
dan diplopia monokular. Orientasi sumbu astigmatisme merupakan faktor penting yang secara
dramatis mempengaruhi frekuensi dan keparahan gejala subjektif. Ketika kesalahan orientasi
sumbu dalam peresepan menjadi lebih besar, keluhan subjektif sering menjadi lebih banyak.
Penentuan sumbu silinder yang tepat sangat penting untuk mengurangi astenopia yang diinduksi
astigmatisme dan mencegah ambliopia meridional. Berbagai metode seperti retinoskopi,
autorefraksi, dan fotorefraksi dapat digunakan untuk mengevaluasi bentuk silinder dari
komponen refraksi.6
Astigmatisme pada anak umumnya terjadi pada usia 3 hingga 6 tahun, dan penelitian
yang dilakukan Lyle melaporkan astigmatisme banyak tarjadi pada anak-anak usia 5-10 tahun.15
Saat lahir, anak-anak menunjukkan insiden tinggi astigmatisme yang berasal dari kornea. Seiring
bertambahnya usia anak-anak, kornea menjadi rata dengan astigmatisme yang berkurang secara
signifikan. Ada berbagai jenis koreksi untuk astigmatisme termasuk menggunakan lensa korektif
dengan resep kaca, lensa kontak, dan Orthokeratology. Meskipun menggunakan kacamata, lensa
kontak, dan ortokeratologi untuk sementara dapat mengobati efek astigmatis, berbagai jenis
operasi adalah cara untuk memperbaiki astigmatisme secara permanen. Keratotomi radial (RK)
adalah prosedur bedah yang sangat populer untuk astigmatisme yang benar di tahun 90-an. Pada
tahun-tahun berikutnya, photorefractive keratectomy (PRK) dan laser dibantu in situ
keratomileusis (LASIK) lebih dapat diterima dalam koreksi astigmatisme. Operasi refraktif laser
telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun untuk memperbaiki astigmatisme dan ada laporan
ilmiah yang mencatat hasil jangka panjang.7
Proses akomodatif alami mata menyababkan diagnosis refraksi menjadi tidak akurat.
Mekanisme akomodasi meningkatkan ketebalan lensa dan akhirnya mengarah pada daya refraksi
akomodatif dengan penglihatan dekat yang tajam. untuk memungkinkan pengukuran refraksi
yang akurat, tetes sikloplegik secara farmakologis digunakan untuk melumpuhkan otot siliaris
mata dan akibatnya mencegah respons akomodasi okular. Kesalahan refraksi astigmatik secara
konvensional dilaporkan dengan dua nilai: kekuatan lensa silindris dan sumbu lensa silindris.
kekuatan silinder menunjukkan diopter lensa silinder korektif dan sumbu menunjukkan derajat
sudut di mana silinder ditempatkan. nilai astigmatis ini saling bergantung satu sama lain.
Misalnya, setiap perubahan pada lensa kristal karena sikloplegia dapat mempengaruhi kekuatan
silinder dan sumbunya di waktu yang sama.7 Refraksi siklopegik merupakan gold standard
pemeriksaan refraksi pada anak karena dapat mencegah akomodasi sehingga dapat menghindari
terjadinya kesalahan hasil pemeriksaan refraksi pada anak.16
Kontrol akomodasi pada anak-anak usia pra-sekolah lebih sering
dicapai dengan cara farmakologis, menggunakan agen sikloplegik seperti siklopentolat dan
tropikamida; atropin hanya dapat digunakan oleh terapi praktisi yang berkualitas. Semua obat ini
adalah penghambat reseptor muskarinik, sehingga mereka bekerja dengan memblokir muskarinik
reseptor di badan siliar, yang pada gilirannya mencegah akomodasi. Efek midriatik secara
bersamaan dicapai dengan menghambat muskarinik stimulasi otot sfingter iris. Sikloplegik yang
ideal tidak akan memiliki efek samping okular dan sistemik.cycloplegia, memblokir akomodasi
sepenuhnya untuk jangka waktu yang memadai, sebelum dengan cepat memulihkan kemampuan
akomodatif.Beberapa penelitian telah melaporkan efek samping okular dan sistemik (terutama
menggunakan atropin) pada anak-anak yang memiliki refraksi sikloplegik,selain midriasis yang
diharapkan dan sikloplegia.17

2.9 Pemilihan obat siklopegik

Siklopegik adalah teknik invasif yang bisa membuat tidak nyaman, atau bahkan
menyusahkan, bagi anak.Beberapa praktisi menganjurkan penggunaan aanestesi lokal sebelum
pemberian agen sikloplegik; proxymetacaine0,5% adalah obat pilihan. Namun, ini tidak selalu
disarankan karena risiko terhadap kornea. Untuk memfasilitasi penerapan sikloplegik,
siklopentolat telah ditanamkan dalam bentuk semprotan ke bulu mata dan kelopak mata atas
yang tertutup.17

1. Siklopentolat
Siklopentolat 0,5% atau 1,0% adalahumum digunakan oleh praktisi sebagai agen
sikloplegik pilihan untuk pemeriksaan pediatrik. Sikloplegia yang dicapai tidak terlalu dalam,
dibandingkan dengan atropin, tetapi onsetnya lebih cepat, sering dicapai setelah 30 menit dari
pemberiannya. Pemulihan dari akomodasi biasanya antara enam 12 jam, sementara midriasis
sembuh dalam 24 jam. Untuk anak-anak di bawah usia tiga bulan, disarankan bahwa dua tetes
siklopentolat 0,5%. Ini karena penyerapan obat melalui epitel konjungtiva dan kulit lebih cepat
pada bayi dibandingkan dengan orang dewasa karena sistem enzim metabolik yang belum
matang pada neonatus dan anak kecil, yang dapat memperpanjang efek obat. Efek samping
utama dari cyclopentolate adalah bicara tidak koheren, halusinasi dan disorientasi, psikosis dan
gangguan visual.17
2. Tropicamide
Tropicamide adalah obat antimuskarinik dengan efek jangka pendek pada pupil
(midriasis) dan akomodasi (sikloplegia) pada konsentrasi 1%. Meskipun tropicamide sebagian
besar digunakan untuk midriasis, untuk memeriksa media optik dan fundus okular, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat digunakan untuk efek sikloplegik. Secara khusus,
ini adalah agen sikloplegik yang setidaknya dapat mendeteksi hipermetropia laten, misalnya pada
anak-anak sekolah, remaja dan mereka yang berusia awal 20-an, dengan kondisi normal status
refraksi dan/atau sedang hipermetropia, serta untuk anak-anak selama periode pasca kelahiran.
Pada pasien dewasa yang menjalani operasi refraktif, sebuah penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam refraksi sikloplegik antara tropicamide 1% dan cyclopentolate
1%. Namun, pada pasien yang sama, penelitian menunjukkan bahwa siklopentolat lebih efektif
daripada tropikamida dalam mengurangi akomodatif pada miop dewasa.17

3. Sulfat Atropin

Sulfat Atropin adalah alkaloid alami yang diekstrak dari tanaman nightshade (Atropa
belladonna) yang mematikan. Pemberiannya dibenarkan pada anak-anak usia preverbal atau
ketika agen sikloplegik lainnya gagal menghasilkan tingkat sikloplegia yang memuaskan.
Atropin diberikan tiga kali sehari selama tiga hari sebelum pemeriksaan mata. Midriasis terkait
menurun dalam dua minggu setelah pemeriksaan refraksi. Obat ini merupakan antagonis reseptor
asetilkolin muskarinik, sehingga menghambat mediasi sistem saraf parasimpatis. Akibatnya,
penyerapan sistemik atropin dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan (efek berlawanan
dari saraf vagus), penghambatan kelenjar ludah yang menyebabkan mulut kering, dan
pengurangan keringat. Atropin juga dapat meningkatkan pelepasan nodus sino-atrial (SA) dan
konduksi melalui nodus atrio-ventrikular (AV) jantung, menyebabkan takikardia. Ini juga
mengurangi sekresi bronkial, yang dapat membuat sulit bernapas.17
Efek samping lain yang telah dilaporkan termasuk pusing, mual dan sensasi tidak
seimbang dan reaksi alergi pada kelopak mata dan konjungtiva.Atropin mampu melewati sawar
darah-otak dan mengubah keadaan kesadaran anak. Karena itu,untuk meminimalkan penyerapan
atropin secara sistemik, praktisi dapat dengan lembut menekan punctum kedua mata dan
menjaga kepala pasien tetap miring ke belakang. Sebuah studi baru-baru ini membandingkan
kemanjuran sikloplegik dari homatropin 2% dan atropin 1% pada anak-anak antara usia empat
dan 10 tahun dengan retinoskopi dan refraksi otomatis. Seperti yang diharapkan, penelitian ini
melaporkan bahwa homatropin menghasilkan efek sikloplegik yang jauh lebih rendah daripada
atropin, dengan akomodasi sisa yang lebih besar (1,80±0,40D dengan atropin vs 3,10±0,50D
dengan homatropin). Studi lain membandingkan efek sikloplegik diperoleh pada 90 menit setelah
pemberian dua tetes atropin 0,5% dengan yang diperoleh setelah pemberian atropin 0,5% tiga
kali sehari selama tiga hari, pada anak-anak strabismik. Ditemukan bahwa meskipun akomodasi
residual lebih besar pada 90 menit setelah pemeberian (1,00D) dibandingkan dengan atropinisasi
tiga hari (0,50D).17
Tabel 1. Perbandingan Karakteristik, dosis dan komplikasi agen siklopegik.17

2.10 Indikasi pemberian refraksi sikloplegik


Ada beberapa contoh ketika refraksi sikloplegik diindikasikan:17
1. Hipermetropia di atas +5.00 D
2. Anisometropia lebih dari 1,50 D
3. Riwayat keluarga dengan strabismus, hipermetropia tinggi, dan ambliopia
4. Esoforia yang tidak stabil, pseudomiopia, dan astenopia
5. Fiksasi anak yang buruk
6. Ketika refleks retina selama retinoskopi mengubah gerakan atau kecerahan karena
dinamis status akomodatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. World report on vision. Switzerland; 2019.


2. Dhanesha U, Polack S, Bastawrous A, Banks LM. Prevalence and causes of visual
impairment among schoolchildren in Mekelle, Ethiopia. Cogent Med. 2018;5(1):1554832.
3. Harrington SC, Stack J, Saunders K, O’Dwyer V. Refractive error and visual impairment
in Ireland schoolchildren. Br J Ophthalmol. 2019;103(8):1112-1118.
4. Halim A, Suganda R, Sirait SN, et al. Prevalence and associated factors of uncorrected
refractive errors among school children in suburban areas in Bandung, Indonesia. Cogent
Med. 2020;7(1).
5. Mahayana IT, Indrawati SG, Pawiroranu S. The prevalence of uncorrected refractive error
in urban, suburban, exurban and rural primary school children in Indonesian population. Int
J Ophthalmol. 2017;10(11):1771-1776.
6. Asharlous A, Hashemi H, Jafarzadehpur E, et al. Does astigmatism alter with cycloplegia?
J Curr Ophthalmol. 2016;28(3):131-136.
7. Zareei A, Abdolahian M, Bamdad S. Cycloplegic Effects on the Cylindrical Components
of the Refraction. J Ophthalmol. 2021;2021.
8. Khurana AK . Comprehensive Ophthalmology 4ed. New Delhi: New Age International (P)
Limited Publishers. 2007.
9. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. Edisi 17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Goes JF. Refractive Errors Dalam The Eye In History. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Limited Publisher. 2013.
11. AAO. Clinical Optics. American Academy of Ophthalmology Section 3. San Fransisco:
Italia.2014.
12. Ilyas S. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI.2010.
13. Kaimbo D, Kaimbo W. Classification , Diagnosis and Non-Surgical Treatment. 2014;
(May).
14. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.2008.
15. Dobson V, Fulton AB, Sebris SL. Cycloplegic refractions of infants and young children:
The axis of astigmatism. Investig Ophthalmol Vis Sci. 1984;25(1):83-87.
16. Julita J. Pemeriksaan Tajam Penglihatan pada Anak dan Refraksi Siklopegik: Apa,
Kenapa, Siapa? J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 1):51.
17. Bonci F, Lupelli L. Retinoscopy in infancy : 2012;(April 2012).

Anda mungkin juga menyukai