Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

TULI SENSORINEURAL MENDADAK


PASCA KATETERISASI JANTUNG

Oleh:
Luh Witari Indrayani, Eka Putra Setiawan, Komang Andi Dwi Saputra

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

I. Pendahuluan
Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai sensasi subjektif
hilangnya pendengaran pada satu atau kedua telinga, umumnya unilateral,
berlangsung cepat dalam periode 72 jam atau kurang dengan kehilangan
pendengaran lebih dari 30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi audiometri
1
berturut-turut.
Tuli sensorineural mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan
yang memerlukan penanganan segera walaupun beberapa kepustakaan menyatakan
bahwa tuli sensorineural mendadak dapat pulih spontan. Angka pemulihan pasien
yang tidak mendapat pengobatan adalah 28-65%, sebagian besar dalam 2 minggu
2
setelah munculnya gejala. Masalah yang umum ditemukan pada kasus tuli
sensorineural mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga pengobatan
tertunda yang akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Oleh sebab
itu, penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat
menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup
3,4
pasien.
Penyakit arteri koroner atau yang dikenal juga sebagai penyakit jantung
arteriosklerosis atau penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit yang terjadi
ketika ada penyumbatan parsial aliran darah ke jantung. Pada penyakit jantung
koroner (PJK) terjadi pengendapan plak aterosklerosis di dalam pembuluh darah

1
koroner. Prevalensi penyakit ini mencapai 213 kasus dari tiap 100.000
5
orang berusia di atas 30 tahun. Pengendapan plak tersebut menyebabkan
penyempitan hingga oklusi total dari pembuluh darah koroner dan
memperlihatkan spektrum klinis yang luas dari angina atau nyeri dada
sampai serangan jantung (infark miokard akut). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner
menjadi penyebab kematian yang cukup besar di Indonesia, yaitu 5,1% dari
seluruh kematian pada semua golongan usia. Presentase tersebut meningkat
6
menjadi 8,7% pada rentang usia 45-54 tahun.

II. Tinjauan Pustaka


2.1. Anatomi telinga dan fisiologi pendengaran
Telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga
luar terdiri dari daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Telinga tengah terdiri dari
membran timpani, maleus, inkus, stapes, muskulus tensor timpani dan muskulus
stapedius. Terdapat korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan
melintasi kavum telinga tengah membawa serabut pengecap. Tuba Eustachius
menghubungkan kavum telinga tengah dengan faring yang akan membuka oleh kontraksi
1,7
muskulus tensor veli palatini.

A B

7
Gambar 1. A. Gambar skematik telinga, B. Penampang melintang koklea
2
Telinga dalam terdiri dari koklea dan organ vestibuler yang berada pada tulang

temporal. Koklea merupakan tabung yang mengandung organ sensori untuk

pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala

vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media berada di koklea bagian tengah,

dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh

membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan

7
skala media berisi cairan endolimfe.

Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal

pada kavum kranii melalui akuaduktus koklearis, yang menghubungkan ruang

perilimfe dengan ruang cairan kranial. Membran Reisnner memiliki komplians yang

sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat

menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan

keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan gangguan

1,7
pendengaran dan keseimbangan.
Organon Corti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel

sensori, sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar

dan sel rambut dalam terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris

sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks koklea

memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stereosilia sel rambut

dalam pada basal koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks koklea.

Stria vaskularis beradadiantara ruang perilimfe dan endolimfe di sepanjang dinding

koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan mitokondria pada

7
selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik.

Membran basiler berukuran panjang sekitar 150 μm di basal koklea dan lebar

450 μm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada

bagian basal, membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan

apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai

3
telinga menghasilkan gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal menuju
7
ke apeks koklea.
Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditoris, eferen dan autonomik. Koklea
diperdarahi oleh arteri labirintin yang berasal dari arteri serebelum anterior inferior dan
berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus. Arteri labirintin
merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak ada suplai
7
pembuluh darah kolateral ke koklea.

Proses mendengar dimulai dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Setelah
memasuki meatus eksterna, bunyi akan menggetarkan membran timpani selanjutnya
dirambatkan melalui osikula auditiva. Tulang pendengaran akan mengamplifikasi getaran
melalui gaya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran
timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang akan menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli
bergerak. Gerakan diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektorial. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel–sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius sampai ke korteks pendengaran pada area 39-40 di
7
lobus temporalis.

2.2. Tuli sensorineural mendadak


Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai sensasi subjektif hilangnya
pendengaran pada satu atau kedua telinga, umumnya unilateral, berlangsung cepat dalam
periode 72 jam atau kurang pada 3 frekuensi audiometri berturut-turut. Di Amerika
Serikat kejadian tuli sensorineural mendadak ditemukan
4
pada 5-20 tiap 100.000 orang per tahun dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya. Pada
8
beberapa penelitian didapatkan sebanyak 7500 kasus di Amerika, Eropa dan Jepang.

Distribusi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Tuli sensorineural mendadak
dapat ditemukan pada semua kelompok usia, umumnya pada rentang usia 40-50 tahun,
dengan puncak insidensi pada dekade keenam.Gejala vestibular didapatkan pada 28-57%
3,8
pasien.
Penyebab tuli sensorineural mendadak sampai saat ini belum dapat diketahui
secara pasti. Dilaporkan etiologi dari ketulian mendadak hanya dapat ditegakkan pada 10
% kasus tersebut. Beberapa teori terjadinya tuli sensorineural mendadak idiopatik adalah
rusaknya nervus vestibulokoklearis oleh infeksi virus, kelainan vaskular, atau ruptur
8,9
membran labirin. Dugaan penyebab ketulian mendadak idiopatik antara lain infeksi
virus, imunologis, kelainan vaskuler dan ruptur membran intra koklearis namun tidak
satupun diantaranya yang dapat menjelaskan dengan pasti proses patofisiologi dari
1,3,8,9
ketulian mendadak idiopatik.
Infeksi virus diduga sebagai salah satu penyebab tuli sensorineural mendadak.
Wilson menyajikan data dengan pemeriksaan serokonversi virus pada pasien tuli
sensorineural mendadak, kebanyakan tuli sensorineural mendadak disebabkan oleh virus
Herpes. Pemeriksaan serologis terhadap pasien dengan ketulian sensorineural mendadak
idiopatik menunjukkan adanya peningkatan titer antibodi terhadap sejumlah virus.
Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pada pasien tuli sensorineural mendadak ini
ditemukan kerusakan koklea akibat luka dari infeksi tersebut, kehilangan sel-sel rambut
1
dan sel-sel pendukung, atropi membran tektorial, atropi stria vaskularis.
Teori gangguan vaskular merupakan teori yang paling banyak berkembang.
Pembuluh darah koklea merupakan end artery dengan sirkulasi yang tidak kolateral dan
fungsinya secara halus untuk mengubah supply darah sehingga bila terjadi gangguan pada
pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan dan terjadi iskemik.
Gangguan pembuluh darah ini dapat disebabkan seperti emboli,
5
trombosis, kurangnya aliran darah, vasospasme dan hiperkoagulasi atau viskositas yang
meningkat. Iskemia mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis
dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan
3,8
penulangan.
Pada teori kerusakan membran intrakoklea dikatakan terdapat membran tipis yang
memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada membran halus yang memisahkan
ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu atau kedua
membran tersebut secara teoritis dapat menyebabkan tuli sensorineural. Kebocoran cairan
perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan tingkap lonjong didalilkan
sebagai penyebab ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau
menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea
memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah
1,9
potensial endokoklea.
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh
1
McCabe pada tahun 1979. Pada kondisi ini ditemukan adanya kehilangan pendengaran
progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori ini. Gangguan
pendengaran pada sindrom Cogan, SLE dan kelainan reumatik autoimun lainnya telah
3
lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat sebuah studi prospektif pada
51 pasien tuli sensorineural mendadak dan ditemukan beberapa kelainan yang berkaitan
3,9
dengan sistem imun (multiple immune-mediated disorders).
Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan THT, audiometri nada murni, pemeriksaan penunjang lainnya.
Pada anamnesis didapatkan keluhan pasien berupa penurunan pendengaran secara tiba-
tiba, dalam beberapa jam atau hari, biasanya unilateral. Selain itu juga dapat disertai
dengan keluhan tinitus dan vertigo tipe vestibuler perifer. Riwayat penyakit terdahulu
perlu ditanyakan terutama penyakit yang dapat menjadi faktor resiko serta riwayat
penggunaan obat-obatan yang bersifat
6
1,9
ototoksik. Pada pemeriksaan THT tidak didapatkan kelainan pada kanalis akustikus
eksterna dan membran timpani. Melalui pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne
positif, Weber lateralisasi ke arah telinga yang sehat dan Scwabach memendek. Pada
pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan kelainan tuli sensorineural derajat ringan
10
sampai berat, baik pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau pada seluruh frekuensi.
Pemeriksaan penunjang perlu dikerjakan untuk dapat menyingkirkan setiap
kemungkinan penyebab tuli sensorineural mendadak. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan kecurigaan diagnosis seperti contohnya
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, profil lipid, faal hemostasis, rontgen dada, dan
10
Elektrokardiografi.

2.3 Kateterisasi jantung


Penyakit Kardiovaskuler adalah penyebab kematian paling utama saat ini. Salah
satu penyakit sistem kardiovaskuler yang paling sering terjadi adalah penyakit jantung
koroner (PJK). Pembuluh darah koroner merupakan pembuluh darah yang mensuplai
8
oksigen dan nutrisi ke otot jantung
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi penyakit
jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di
seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta sedangkan di negara berkembang terdapat 39
juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002 memperkirakan di seluruh dunia setiap
13
tahunnya sebanyak 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal karena PJK.
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan karena
penyempitan arteri koroner akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi
keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada namun berdasarkan
penelitian 50 persen dari pasien jantung koroner tidak mengalami gejala tersebut
sehingga PJK sulit dideteksi secara dini. Untuk memastikan apakah pasien dengan gejala
tersebut positif mengalami PJK perlu dilakukan pemeriksaan lebih

7
12,14
lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik
noninvasif ataupun pemeriksaan invasif. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan berbagai
alat. Mulai alat sederhana seperti EKG dan treadmill sampai alat yang canggih yaitu MS-
CT(multi-slice computer tomography). Pemeriksaan secara invasif yang dilakukan adalah
kateterisasi jantung. Prosedur kateterisasi jantung bertujuan untuk mengevaluasi anatomi
pembuluh darah koroner yang disebut dengan tindakan
15
Coronary angiography.

Gambar 2. Pembuluh darah arteri koroner yang normal dan yang


aterosklerosis.
Pada tahun 1998 diperkirakan 1429 prosedur kateterisasi jantung dilakukan per 1
juta populasi di Inggris. Di Amerika lebih dari 1,5 juta angiogram dilakukan setiap tahun
dan pada tahun 1995 lebih dari 1,6 juta prosedur kateterisasi dilakukan di Amerika. Pada
tahun 2010 diperkirakan jumlahnya akan meningkat hingga 3 juta prosedur kateterisasi
jantung dilakukan setiap tahunnya (Gray, Dawkins, Simpson & Morgan, 2002). Di
Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, telah melakukan
tindakan kateterisasi jantung sebanyak 650 tindakan pada tahun 2006 dan 1125 tindakan
12,15
pada tahun 2007.
Kateterisasi jantung merupakan teknik yang diakui dunia internasional sebagai
teknik terbaik dan terakurat untuk mendeteksi adanya sumbatan di pembuluh darah
koroner. Kateterisasi jantung adalah tindakan yang dilakukan untuk
8
mendeteksi adanya penyumbatan di pembuluh darah koroner jantung dengan tingkat
15
keakuratan tertinggi. Angiografi koroner adalah prosedur diagnosa dan intervensi yang
dilakukan untuk menilai fungsi jantung dan pembuluh darah secara komprehensif dimana
satu atau lebih kateter berdiameter ± 2 mm dimasukkan melalui sayatan kecil ke
pembuluh darah perifer di lengan seperti vena dan arteri antecubital atau dari tungkai,
vena dan arteri femoralis dengan panduan pesawat fluoroskopi. Prosedur dilakukan
dengan bius lokal, lalu kateter dimasukkan melalui jalur pembuluh darah sampai ke
jantung, dengan bantuan zat kontras yang disuntikkan dapat diketahui adanya kelainan
anatomi jantung, penyempitan atau sumbatan pembuluh koroner, gangguan fungsi pompa
16
jantung, dsb.

Gambar 3. Prosedur kateterisasi jantung.

Kateterisasi jantung bertujuan untuk mendapat gambaran dan data objektif secara
pasti tentang perubahan anatomis dan fisiologis akibat berbagai kelainan pada jantung
dan pembuluh darah. Dengan kateterisasi jantung dapat diketahui ada tidaknya kelainan
jantung, jenis kelainan jantung, derajat kelainan tersebut, cara pengobatan yang tepat dan
menilai hasil pengobatan. Selain itu, kateterisasi jantung juga dapat digunakan untuk
mengetahui tekanan pada ruang-ruang di jantung, melihat bagaimana darah melewati
jantung, mengambil sampel darah, menginjeksikan zat kontras untuk melihat adanya
hambatan pada pembuluh darah
9
atau abnormalitas dari ruang jantung serta melakukan koreksi pada kelainan jantung
17,18
tersebut. Kontraindikasi dari kateterisasi jantung ini sangat bervariasi. Hal ini
bergantung pada kemajuan teknik, peralatan serta ketrampilan operator. Seiring
berkembangnya pengetahuan mengenai kateterisasi jantung, hampir dikatakan tidak ada
18
lagi kontraindikasi absolut yang ada hanya kontraindikasi relatif.
Pada kateterisasi jantung, injeksi zat kontras dilakukan untuk mengetahui adanya
hambatan maupun penyempitan pada pembuluh darah. Adapun zat kontras yang
digunakan pada kateterisasi jantung adalah Iohexol, Iodixanol, Diatrizoate
meglumine/sodium, kombinasi Diatrizoate meglumine/sodium dengan Iohexol, serta
19
kombinasi Diatrizoate meglumine/sodium dengan Iodixanol.
Lama prosedur kateterisasi jantung bervariasi. Hal ini bergantung pada
kemampuan operator dan kompleksnya kondisi pasien yang dikateterisasi. Berdasarkan
penelitian pada tahun 1997, kateterisasi jantung kiri membutuhkan waktu rata-rata 64
menit untuk waktu lab, termasuk 25 menit waktu prosedur. Sedangkan untuk kateterisasi
jantung kanan membutuhkan waktu rata-rata 84 menit untuk waktu lab dan waktu
prosedur sekitar 32 menit. Untuk prosedur intervensi, dibutuhkan waktu rata-rata 117
17
menit, dengan waktu prosedur sekitar 70 menit.
Pada prosedur kateterisasi terdapat beberapa komplikasi, seperti terjadinya luka
pada arteri dan vena pada tempat dilakukannya kateterisasi dan terbentuknya emboli pada
pembuluh darah. Lebam disertai perubahan warna kulit pada tempat punksi pembuluh
darah. Komplikasi yang paling jarang terjadi adalah infeksi pada lokasi pemasangan
kateter. Injeksi dari zat kontras dapat menyebabkan mual dan muntah, rasa gatal dan
reaksi alergi. Pada pasien yang mempunyai fungsi ginjal yang abnormal, injeksi zat
kontras ini dapat memperburuk kondisi penyakit tersebut. Komplikasi mayor seperti
kematian, serangan jantung dan stroke yang terjadi dalam 24 jam setelah prosedur
dilakukan ditemui pada 0,2-0,3% pasien. Kematian dapat dikarenakan perforasi dari
jantung maupun pembuluh darah, abnormalitas irama jantung, serangan jantung dan
18
reaksi alergi yang parah akibat injeksi kontras.
10
Pada populasi kateterisasi jantung lebih dari 50% emboli mempengaruhi sirkulasi
vertebrobasilar. Sekitar 20% dari aliran darah otak melintasi sirkulasi posterior dan
emboli bahkan sangat kecil dapat menyebabkan gejala defisit neurologis yang
12
signifikan. Gangguan sirkulasi vertebrobasilar termasuk parestesia wajah, disfagia,
dysarthria, suara serak, gejala hemisensorik ekstremitas, kelemahan motorik, diplopia dan
14
tuli sensorineural mendadak.

2.4 Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak.


Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak seharusnya berdasarkan
penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural mendadak
1,3,4
adalah idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah
dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade inflamasi
kematian sel pada pasien tuli mendadak yang dimodifikasi oleh terapi steroid.
Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena dan/atau
intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid
diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran
darah koklea. Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison oral yang
direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari
selama 10-14 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan metilprednisolon 48
3
mg dan deksametason 10 mg. Sebuah data yang representatif menggunakan regimen
pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua
3,8
hari.
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai
pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada pasien yang tidak
3,8
mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. Keuntungan terapi kortikosteroid
intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target
2-4
(perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal.
Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan
11
3
kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani.
Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan
kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara
20
signifikan. Steroid intratimpani yang biasa diberikan adalah deksametason atau
metilprednisolon. Konsentrasi kortikosteroid yang digunakan bervariasi, sebagian besar
studi menganjurkan deksametason 10-24 mg/mL dan metilprednisolon 30 mg/mL atau
1,3,20
lebih.
Terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak.
Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere
3
absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe,
sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih
3,21
tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik.
Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas
tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu
1
terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema. Menurut guideline
AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3
bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih
3
baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun). Hal
penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen hiperbarik ini adalah manfaat
dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek samping berupa kerusakan pada
telinga, sinus dan paru akibat perubahan tekanan, miopia yang memburuk sementara,
3,4
klaustrofobia, dan keracunan oksigen.
Selain infeksi virus, penyebab tuli mendadak lainnya adalah iskemia koklea
akibat kelainan vaskular, seperti perdarahan, emboli, dan vasospasme. Agen vasoaktif,
trombolitik, vasodilator atau antioksidan telah dicoba untuk meningkatkan aliran darah
koklea, tetapi belum ada bukti keberhasilan terapi. Ekstrak Ginkgo biloba yang
mengandung flavones dan terpenes dapat mencegah perkembangan
12
radikal bebas dan berperan sebagai vasodilator. Pentoksifilin menghambat agregasi
trombosit dan meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit sehingga memperbaiki
viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat memperbaiki mikrosirkulasi
karena memiliki efek antitrombotik. HES (hydroxyethylstarch) mengurangi hematokrit
1,3
dan agregasi platelet.

2.5 Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu usia,derajat
gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai pengobatan,
22-3
ada tidaknya gejala vestibular dan faktor predisposisi lainnya. Usia lanjut, gangguan
pendengaran sangat berat dan adanya gejala vestibular subjektif dikaitkan dengan
23
rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia
berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang merupakan faktor prognosis
buruk. Saat mulai pengobatan lebih dini berhubungan dengan prognosis baik bagi
pemulihan fungsi pendengaran. Derajat gangguan pendengaran awal mempengaruhi
22
potensi pemulihan pendengaran. Vertigo dapat digunakan sebagai indikator tingkat
22-3
keparahan lesi dan berkaitan dengan prognosis yang buruk. Namun 28-65% pasien
tuli mendadak yang tidak diobati dapat mengalami pemulihan spontan. Pasien tuli
mendadak yang telah mendapat pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan
2
menimbulkan kecacatan, membutuhkan rehabilitasi auditorik.

II. LAPORAN KASUS


Pasien PWD, laki-laki, usia 61 tahun, Suku Bali, alamat Jembrana Bali,
pekerjaan pensiunan PNS datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 28
September 2015. Pasien dikonsulkan oleh Bagian Kardiologi dengan Coronary Arterial
Disease dan telinga mendenging serta penurunan pendengaran secara tiba-tiba. Pasien
mengeluh penurunan pendengaran sebelah kiri secara tiba-tiba sejak 1 hari yang lalu.
Selain itu pasien juga mengeluh mendenging pada telinga kiri tanpa disertai rasa pusing
berputar. Riwayat gangguan pendengaran sebelumnya disangkal.
13
Riwayat batuk, pilek, keluar cairan dari telinga dan riwayat trauma kepala disangkal.
Pasien menjalani tindakan kateterisasi jantung pada tanggal 26 September 2015. Dua
tahun yang lalu pertama kalinya pasien merasakan keluhan nyeri dada kiri. Riwayat
merokok ada sejak pasien masih SMA dengan konsumsi rata-rata 2 bungkus per hari.
Pasien telah berhenti merokok sejak 2 tahun yang lalu dan rutin kontrol ke poliklinik
Jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 84x/mnt, respirasi 22x/mnt, temperatur aksila
0
36,5 C. Status lokalis THT-KL, pemeriksaan telinga tidak didapatkan kelainan, kanalis
akustikus eksterna kanan kiri lapang, kedua membran timpani intak dan refleks cahaya
kedua telinga positif. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada
pemeriksaan tes penala menggunakan garputala 512 Hz didapatkan Rinne positif pada
kedua telinga dan Weber didapatkan lateralisasi ke telinga kanan. Pada pemeriksaan
Timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga.

Gambar 4. Timpanogram tanggal 28 September 2015


Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan Audiometri dan didapatkan hasil normal
hearing pada telinga kanan (AC=21,25dB/BC=12,5dB) dan tuli sensorineural sangat
berat pada telinga kiri (AC=92,25dB/BC=83,75dB).

14
Gambar 5. Audiogram tanggal 28 September 2015

Pasien didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak sinistra. Pasien kemudian


dirawat inap dan tirah baring total. Pasien diberikan Oksigen 2-4 liter per menit selama
15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc selama 4 jam kemudian
dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit, Metylprednisolon 2x62,5 mg
intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr
dan BioATP 3x1 tablet.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, foto rontgen Thorak PA
dan EKG untuk mengetahui adanya faktor risiko. Pada pemeriksaan darah lengkap
3
didapatkan hasil leukosit 6,56x10 /µL, hemoglobin 12,3 g/dL, hematokrit 32,7 %,
3
trombosit 245x10 /µL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 17,8 U/L, SGPT
12,2 U/L, albumin 3,93 g/dL, glukosa acak 134 mg/dL, BUN 9 mg/dL, kreatinin 1
mg/dL, kolesterol total 126 µg/dL, kolesterol HDL 46 mg/dL, kolesterol LDL 71 mg/dL,
trigliserida 90 mg/dL dan natrium 126 mmol/L, kalium 4,17 mmol/L. Foto thorak PA
didapatkan cor dan pulmo dalam batas normal. EKG didapatkan irama sinus.
15
Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian Penyakit Dalam dan Kardiologi untuk
evaluasi sebelum dilakukan terapi hiperbarik. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan
adanya kontraindikasi untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien kemudian dirawat
bersama bagian Kardiologi. Oleh bagian Kardiologi pasien mendapat terapi oral yaitu
Asetosal 1x80 mg, Clopidogrel 1x75 mg, Micardis 1x80 mg, Bisoprolol 1x2,5 mg,
Simvastatin 1x20 mg dan ISDN 5 mg jika perlu. Pada tanggal 1 Oktober 2015 pasien
mengeluh gangguan pendengarannya belum membaik namun keluhan mendengingnya
sudah berkurang. Terapi oksigen hiperbarik seri I dilakukan pada tanggal 3 sampai
dengan 8 Oktober 2015 dan dilakukan sebanyak 5 sesi setiap serinya. Pada tanggal 9
Oktober 2015 dilakukan pemeriksaan Audiometri evaluasi setelah pasien menjalani terapi
oksigen hiperbarik seri I dengan hasil normal hearing pada telinga kanan
(AC=18,75dB/BC=13,75dB) dan tuli sensorineural sedang berat pada telinga kiri
(AC=66,25dB/BC=57,5dB).

Gambar 6. Audiogram tanggal 9 Oktober 2015

Pada tanggal 10 Oktober 2015 pasien diperbolehkan pulang dan mendapatkan


terapi oral yaitu Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr, BioATP 3x1 tablet dan
Metylprednison 3x4 mg. Pasien disarankan untuk menjalani terapi oksigen
16
hiperbarik seri II lewat poliklinik. Pada tanggal 22 Oktober 2015 pasien telah
menyelesaikan terapi oksigen hiperbarik seri II dan kontrol ke poliklinik THT-KL. Pasien
mengatakan bahwa pendengarannya semakin membaik dan keluhan mendengingnya telah
hilang. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan Audiometri evaluasi dengan hasil normal
hearing pada telinga kanan (AC=16,25dB/BC=13,75dB) dan tuli sensorineural ringan
(AC=35dB/BC=23,75dB).

Gambar 7. Audiogram tanggal 22 Oktober 2015


17
III. PEMBAHASAN
Definisi tuli sensorineural mendadak menurut De Kleyn adalah tuli
sensorineural lebih dari 30 dB yang terjadi secara mendadak dalam waktu kurang dari 72
1,3
jam, minimal terjadi pada tiga frekuensi yang berurutan.
Pada pasien PWD didapatkan keluhan penurunan pendengaran secara tiba-tiba
sejak 1 hari lalu, yang terjadi pada telinga kiri. Pasien juga mengeluhkan kedua telinga
mendenging tanpa disertai rasa pusing berputar. Insiden kasus ini terjadi pada puncak
usia 50-60 tahun dengan distribusi jenis kelamin sama antara perempuan dan laki-laki.
Pada laporan kasus ini pasien berusia 61 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Diagnosis
tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
THT, pemeriksaan audiometri nada murni dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dari hasil
pemeriksaan fisik pada pasien tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan audiometri
didapatkan normal hearing pada telinga kanan dan tuli sensorineural derajat sangat
berat/profound hearing loss pada telinga kiri (AC= 92,5 dB/BC=83,75dB). Dimana
terjadi penurunan pendengaran lebih dari 30 dB pada frekuensi 500Hz, 1000Hz, 2000Hz
dan 4000Hz.
Etiologi tuli sensorineural mendadak sebagian besar adalah idiopatik, hanya 10-
15% saja yang diketahui sebagai kemungkinan penyebab terjadinya tuli sensorineural
mendadak. Terdapat empat teori utama yang menyebabkan terjadinya tuli sensorineural
mendadak yaitu kelainan vaskular, virus, ruptur membran koklea dan penyakit
1,3
autoimun.
Teori gangguan vaskular merupakan teori yang paling banyak berkembang.
Pembuluh darah koklea merupakan end artery dengan sirkulasi yang tidak kolateral, dan
fungsinya secara halus untuk mengubah supply darah, sehingga bila terjadi gangguan
pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan dan terjadi iskemik.
Gangguan pembuluh darah ini dapat disebabkan seperti emboli, trombosis, kurangnya
aliran darah, vasospasme, dan hiperkoagulasi atau viskositas yang meningkat. Iskemia
mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria
18
1,3-4

vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan
3,8
penulangan.
Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak umumnya dilakukan secara empiris
karena sebagian besar penyebab tuli sensorineural mendadak adalah idiopatik. Hingga
saat ini belum didapatkan suatu protokol terapi yang diterima

sebagai penanganan baku terhadap tuli sensorineural mendadak. Pentoksifilin

menghambat agregasi trombosit dan meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit


sehingga memperbaiki viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat
memperbaiki mikrosirkulasi karena memiliki efek antitrombotik. HES (hydroxyethyl
starch) mengurangi hematokrit dan agregasi platelet. Sebuah studi mengenai terapi
kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani
20
menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. Terapi oksigen
hiperbarik sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak. Terapi ini
memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute).
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe sehingga
diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke
3
jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. Pada pasien ini
dilakukan perawatan di rumah sakit dan tirah baring total. Pasien diberikan terapi
Oksigen 2-4 liter per menit selama 15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10%
500 cc selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit,
Metylprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400
mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP 3x1 tablet. Pasien juga telah melakukan terapi
oksigen hiperbarik sebanyak 2 seri atau 10 sesi hiperbarik.
Topuz dkk. dalam Barthelemy melakukan penelitian untuk membandingkan
kelompok yang hanya diberikan terapi medikamentosa dengan kelompok yang diberikan
terapi medikamentosa bersamaan dengan terapi oksigen hiperbarik. Terapi
medikamentosa yang digunakan meliputi steroid, dextran dan pentoksifilin. Rerata

19
peningkatan pendengaran pada kelompok yang diberikan terapi medikamentosa dan
terapi oksigen hiperbarik secara signifikan lebih baik dibandingkan kelompok tanpa
24 3
terapi oksigen hiperbarik. Stachler dkk menyimpulkan bahwa sekitar 50% penderita
mengalami perbaikan yang signifikan setelah melalui terapi oksigen hiperbarik, rata-rata
penderita mendapatkan 5-10 sesi terapi oksigen hiperbarik. Perbaikan pendengaran akan
lebih baik bila terapi oksigen hiperbarik dimulai sebelum 2 minggu setelah onset. Pada
pasien ini terjadi perbaikan ambang dengar setelah terapi oksigen hiperbarik sebanyak 10
sesi.

V. KESIMPULAN
Tuli sensorineural mendadak merupakan salah satu kegawatdaruratan di
bidang THT-KL yang membutuhkan penanganan segera karena kerusakan yang terjadi
pada koklea dapat bersifat permanen. Sebagian besar penyebab tuli sensorineural
mendadak adalah idiopatik. Hubungan antara prosedur tindakan kateterisasi jantung
dengan tuli mendadak masih belum diketahui secara pasti. Oleh karenanya
penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak umumnya dilakukan secara empiris.
Sampai saat ini belum didapatkan suatu protokol terapi yang diterima sebagai
penanganan baku terhadap tuli sensorineural mendadak. Telah dilaporkan satu kasus
pasien dengan tuli sensorineural mendadak sinistra pasca tindakan kateterisasi jantung
pada laki-laki usia 61 tahun yang mendapatkan terapi konservatif berupa rawat inap di
rumah sakit dan tirah baring total, terapi oksigen hiperbarik dan terapi medikamentosa
dimana diperoleh perbaikan ambang dengar.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Hashisaki. Sudden Sensory Hearing Loss. Dalam Bailey’s: Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 5th edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins. 2014;
h.2589-94.
2. Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK, et al. Combined
intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic sudden sensorineural
hearing loss. Otol Neurotol. 2011;32:393-7.
3. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs DM,
et al. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head
Neck Surg. 2012;146:S1.
4. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP, Gantz BJ, et al. Oral vs
intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing loss:
A randomized trial. JAMA. 2011;305(20):2071-9.
5. Homoud MK. Coronary Artery Disease.Tufts-New England Medical Center Spring.
2008.
6. Hanafi,Idrus Alwi, Muin Rahman,S Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid III.
Penyadapan jantung (Cardiac Catheterization) Jakarta: FKUI. 2006; h.1491-6.
7. Weber C, Khariwala S. Anatomy and Physiology of Hearing. Dalam Bailey’s:
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Volume two. 5th edition. Philadelphia.
Lippincott Williams and Wilkins. 2014; h.2253-65.
8. Rauch SD. Idiopathic sudden sensorineural hearing loss. The New England Journal of
Medicine. Harvard university. October 12,2008;359:833-40.
9. Chau JK, Lin JR, Atashband S, Irvine RA, Westerberg BD. Systematic review of the
evidence for the etiology of adult sudden sensorineural hearing loss. Laryngoscope.
2010; 120(5):1011-5.
21
10. Toubi E, Ben-David J, Kessel A, Hallas K, Sabo E, Luntz M. Immune-mediated
disorders associated with idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Ann Otol
Rhinol Laryngol. 2004;113(6):445-9.
11. Art H.A. Sudden Sensorineural Hearing Loss. Dalam: Cummings Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 4th edition. Philadelphia. Mosby Inc. 2005; h. 409-13.
12. Libby P, Theroux P. Pathophysiology of Coronary Artery Disease. Basic science for
clinicians. Brigham’s and women hospital, Boston. American Heart Association.Inc.
October 15,2015;3481-8.
13. Simoons ML, Boersma E, Zwan CVD, Deckers JW. The challenge of acute coronary
syndromes. Lancet. 2009; 353(supplII):1-4.
14. Libby P. Molecular basis of the acute coronary syndromes. Circulation.
1995;91:2844-50.
15. Hollinger I, Mitinach A. Cardiac catheterization and other radiographic
th
examination. Pediatric cardiac anesthesia. 4 edition. Lipincot William and Wilkins.
2005;7:112-135.
16. Lock JE, Rome JE, Davis R, et al. Transcatheter closure of atrial septal defects.
Experimental studies. Circulation. 2001;79:1091-99.
17. Selzer A, Anderson WL, March HW. Indications for coronary for arteriography risks
vs benefits. California medicine. The Western Journal of Medicine.2001.
18. Zieve D, Michael A. Cardiac catheterization. Division of cardiology, Harborview
Medical Center, University of Washington Medical School, Seattle, Washington.
National Institutes of Health (U.S Department of health and human services).
Diunduh dari url:www.nlm.nih.gov./midlineplus/ency/article/003149.htm. Diakses
tanggal 12 Oktober 2015.
19. Kozak M, Robertson BJ, Chambers CE. Cardiac catetherization laboratory:
diagnostic and therapeutic procedures in the adults patient. Kaplans cardiac
th
anesthesia. Saunder elsevier.5 edition. Philadelphia. 2006;12:299-354.

22
20. Battaglia A, Burchette R, Cueva R. Combination therapy (intratympanic
dexamethasone+high dose prednisone taper) for the treatment idiopathic
sensoryneural hearing loss. Otol Neurootol. 2008;29(4):453-60.
21. Korpinar S, Alkan Z, Yigit O, Gor AP, Toklu AS, Cakir B, et al. Factors influ-encing
the outcome of idiopathic sudden sensorineural hearing loss treated with hyperbaric
oxygen therapy. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2011;268(1):41-7.
22. Conlin AE, Parnes LS. Treatment of sudden sensorineural hearing loss, II: A meta-
analysis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;133(6):582-6.
23. Harada H, Kato T. Prognosis for sudden sensorineural hearing loss: A retrospective
study using logistical regression analysis. Int Tinnitus J. 2005;11(2):115-8.
24. Barthelemy A. & Rocco M. 2006. Sudden Deafness. Dalam: Mathieu Daniel,
penyunting. Handbook on Hyperbaric Medicine C2.2.11. Netherland.Springer. h.451-
462.
23

Anda mungkin juga menyukai