Anda di halaman 1dari 32

1.

PENDAHULUAN
Kelainan refraksi adalah suatu keadaan dimana ketika cahaya masuk ke
mata yang sedang tidak melakukan akomodasi, bayangan tidak tepat fokus pada
retina. Keluhan visual dari kelainan refraksi adalah mata kabur. 1 Hasil pembiasan
sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea,
humor akuos, lensa, humor vitreus.. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di makula
lutea.2
Menurut Riskesda estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di
seluruh dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi, sebesar
0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang
mengalami low vision. Penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh
dunia adalah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi, diikuti oleh katarak dan
glaukoma. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Lampung (1,7%),
diikuti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%).
Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh Papua Barat dan Papua (masing-masing 0,4%).3
Mata yang normal disebut emetropia dan akan menempatkan bayangan
benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau
istirahat melihat jauh. Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya
kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal. Bila terdapat
kelainan pembiasan sinar oleh kornea atau perubahan panjang bola mata, maka
sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia
yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma.2
Prosedur dalam menemukan dan mengoreksi kesalahan bias disebut
dengan refraksi. Pemeriksaan refraksi terdiri dari dua metode, yaitu objektif dan
subjektif. Metode pemeriksaan refraksi objektif yaitu retinoskopi, refraktometri
dan keratometri. Metode pemeriksaan refraksi subjektif dimasudkan untuk
menemukan lensa yang tepat untuk dipakai. 4 Metode pemeriksaan refraksi
subjektif bergantung kepada respon pasien saat dilakukan pemeriksaan.
5
Pemeriksaan subjektif lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan objektif.
Pemeriksaan subejktif terdiri dari 3 tahap yaitu verifikasi subjektif refraksi,
penyempurnaan fraksi pembiasan dan menyeimbangkan binokular subjektif. 4

2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Anatomi Media Refraksi
Media refraksi terdiri atas kornea, humor akuos, lensa, humor vitreus.
Selain itu panjangnya bola mata yang mempengaruhi pada refraksi.2

b. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus,
lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 550 μm di pusatnya (terdapat variasi menurut ras),
diameter horizontalnya sekitar 11,5 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang
berbatasan dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma,
membran Descemet, dan lapisan endotel. Lapisan epitel mempunyai lima atau
enam lapis sel, endotel hanya satu lapis. Lapisan Bowman merupakan lapisan
jernih aseluler, yang merupakan bagian stroma yang berubah. Stroma kornea
mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Bagian ini tersusun dari lamella
fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 10-250 µm dan tinggi 1-2 μm yang
mencakup hampir seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan
permukaan kornea dan karena ukuran dan periodisitasnya menjadi jernih secara
optis. Membran Descemet, yang merupakan lamina basalis endotel kornea,
memiliki tampilan yang homogen, dengan mikroskop cahaya tetapi tampak
berlapis-lapis dengan mikroskop elektron akibat perbedaan struktur antara bagian
pra dan pascanasalnya. Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-
pembuluh darah limbus, Humor Akuos, dan air mata. Kornea superfisialis juga
mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea
didapat dari percabangan pertama dari nervus trigeminus.5
Gambar 1. Anatomi Kornea6

3. Humor Akuos
Humor Akuos diproduksi oleh Badan Siliaris. Setelah memasuki bilik
mata belakang, Humor Akuos melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan,
kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan.5

4. Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa
digantung di belakang iris oleh zonula yang menghubungkannya dengan corpus
ciliare. Di anterior lensa terdapat Humor Akuos, di sebelah posteriornya terdapat
Humor Akuos. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel (sedikit
lebih permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memungkinkan air dan
elektrolit masuk. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus
lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-
serat lamellar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa semakin lama menjadi
lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamella
kosentris yang panjang. Garis-garis persambungan yang terbentuk dengan
persambungan lamella ini ujung-ke-ujung berbentuk huruf Y bila dilihat dengan
slitlamp. Huruf Y ini tampak tegak di anterior dan terbalik di posterior. Masing-
masing serat lamellar mengandung sebuah inti gepeng. Pada pemeriksaan
mikroskopik, inti ini jelas dibagian perifer lensa didekat ekuator dan berbatasan
dengan lapisan epitel subkapsular. Lensa difiksasi ditempatnya oleh ligamentum
yang dikenal sebagai zonula (Zonula Zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari
permukaan corpus ciliare dan menyisip kedalam ekuator lensa. Enam puluh lima
persen lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein (kandungan protein tertinggi
diantara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di
jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di
kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk
teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau saraf di
lensa.5

Gambar 3. Anatomi Lensa6

5. Humor Vitreus
Humor Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga dari volume dan berat mata. humor vitreus mengisi
ruangan yang dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar
humor vitreus membran hialois-normalnya berkontak dengan struktur-struktur
berikut: kapsul lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina
dan papil optik. Basis humor vitreus mempertahankan penempelan yang kuat
sepanjang hidup ke lapisan epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora
serrata. Di awal kehidupan, humor vitreus melekat kuat pada kapsul lensa dan
papil optik, tetapi segera berkurang dikemudian hari. humor vitreus mengandung
air sekitar 99%. Sisanya 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam
hialuronat, yang memberikan bentuk dan konsistensi mirip gel pada humor vitreus
karena kemampuannya mengikat banyak air.5
Gambar 4. Badan Vitreus2

Gambar 5. Indek Refraktif dan Kekuatan Refraktif1


6. Kelainan Refraksi
Emetropia adalah keadaan refraktif di mana sinar cahaya paralel dari
benda jauh dibawa untuk fokus pada retina pada mata yang tidak berakomodasi.
Titik jauh mata emetropia tak terhingga. Ametropia mengacu pada tidak adanya
emetropia dan dapat diklasifikasikan dengan etiologi presumtif sebagai aksial atau
refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata luar biasa panjang (miopia) atau
pendek (hipermetropia). Pada ametropia refraksi, panjang mata secara statistik
normal, namun kekuatan refraksi mata (kornea dan/atau lensa) tidak normal,
berlebih (miopia) atau kurang (hipermetropia).1
Ametropia dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma. 2
Ametropia juga bisa diklasifikasikan berdasarkan ketidaksesuaian antara kekuatan
optik dan panjang dari mata. Pada miopia, mata memiliki kekuatan optik yang
terlalu besar untuk ukuran panjang aksialnya, dan berkas cahaya dari objek
bertemu terlalu cepat dan berfokus di depan retina yang menghasilkan gambar
yang kabur; titik terjauh mata berada di depan retina. Pada hipermetropia, mata
tidak memiliki kekuatan optik yang cukup untuk panjang aksialnya, dan objek
berusaha untuk fokus dibelakang retina sehingga menghasilkan gambar yang tidak
fokus pada retina; titik terjauh berada dibelakang retina.1

Gambar 6. Gambaran Cahaya Pada Emetropia (garis hitam).


Pada hiperopia (garis hijau). Pada miopia (garis merah)7
7. Miopia
Miopia terjadi bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan didepan
retina oleh mata yang tidak berakomodasi, mata tersebut mengalami miopia.1
Lensa sferis konkaf (minus) biasanya digunakan untuk mengoreksi bayangan pada
miopia. Lensa ini memundurkan bayangan ke retina. 2 Gejalanya berupa
penglihatan jauh yang tidak jelas. Pada anak-anak biasanya kesulitan dalam
melihat papan tulis dengan jelas. Dapat juga terlihat bintik hitam yang
mengambang di depan mata, ketidaknyamanan mata setelah melalukan pekerjaan
yang melihat dekat, dan dapat terlihat kilatan cahaya.8

Gambar 8. Miopia1

8. Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak dibelakang retina.1 Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan
di belakang makula lutea. Pada pasien dengan hipermetropia diberikan lensa sferis
positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.2 Gejalanya terlihat khusus
di malam hari setelah bekerja dekat. Terdapat pandangan kabur, sakit kepala di
bagian frontal, rasa tegang pada mata, panas dan mata kering. Pada orang dewasa,
presbiopia dimulai pada usia yang lebih muda. 8
Gambar 9. Hipermetropia1

9. Astigmatisma
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan
tajam pada retina, akan tetapi pada 2 garis titik api yang tegak lurus yang terjadi
akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea.1 Pada mata dengan
astigmatisma lengkungan jari-jari meridian yang tegak lurus padanya. Kelainan
astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali dikombinasi
dengan lensa sferis.2 Gejalanya berupa ketajaman penglihatan yang sangat
berkurang, terdapat tekanan pada mata dan sakit kepala setelah bekerja dan
tampak huruf-huruf pada buku "berjalan bersama". 8

Gambar 10. Gambaran Iregularitas pada Media Refraksi (a) dan Koreksi
Astigmatisma dengan Kontak Lensa Rigid7

10. Epidemiologi Kelainan Refraksi


Estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di seluruh dunia pada
tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi, sebesar 0,58% atau 39 juta
orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang mengalami low vision.
65% orang dengan gangguan penglihatan dan 82% dari penyandang kebutaan
berusia 50 tahun atau lebih. Penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh
dunia adalah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi, diikuti oleh katarak dan
glaukoma. Sebesar 18% tidak dapat ditentukan dan 1% adalah gangguan
penglihatan sejak masa kanak-kanak. Orang-orang yang berusia 50 tahun dan
lebih merupakan kelompok usia di mana gangguan penglihatan dan kebutaan
banyak terjadi.3
Prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun ke atas secara
nasional sebesar 0,9 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di
Lampung (1,7%), diikuti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (masing-
masing 1,6%). Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah adalah
Daerah Istimewa Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh Papua Barat dan Papua (masing-
masing 0,4%).3
11. Teknik Pemeriksaan Refraksi
Salah satu alasan yang paling umum ketika pasien datang mencari
perawatan mata adalah untuk mengoreksi kesalahan refraktif mereka. Namun,
pembiasan juga dijadikan sebagai alat diagnostik yang digunakan untuk menilai
penurunan ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh belum dikoreksinya atau
pengkoreksian bias yang tidak sempurna.9 Penentuan koreksi refraktif seorang
pasien dapat diperoleh dengan cara objektif atau subjektif dan paling baik dicapai
melalu kombinasi kedua metode tersebut. 5

12. Teknik Pemeriksaan Refraksi Objektif


Retinoskopi merupakan keahlian penting dan alat untuk menentukan
kelainan refraksi sferosilindris pada mata. Sebuah retinoskop juga dapat
membantu pemeriksa dalam mendeteksi abrasi retina, irregularitas, dan opasitas,
bahkan melalui pupil kecil. Retinoskopi berguna untuk pemeriksaan pada bayi,
anak dan dewasa yang tidak kooperatif.19
Merupakan retinoskop modern yang berbeda dengan spot retinoskop pada
dua aspek: 1. Menggabungkan lensa konkaf (sinar konvergen) dengan lensa
plano dan 2. Sumber cahaya yang dibentuk oleh streak lebih besar dari spot.Efek
lensa konkaf adalah menempatkan dengan efektif sumber cahaya dari depan
daripada dibelakang plane mirror, sehingga jika instrument ini digerakkan,
iluminasi pada pada retina akan bergerak berlawanan dengan retinoskop, hasil ini
disebut ‘against’ movement atau searah dengan gerakan retinoskop (streak)
disebut ‘with’ movement. Keuntungan dari lensa konkaf ini adalah penguji dapat
mengkonfirmasi tipe movement yang ada dengan melakukan switching lensa dari
posisi satu ke posisi yang lain. Sebagai contoh, jika seorang pemeriksa
menggunakan lensa plano dan terlihat ‘with’ movement, kita dapat
mengkonfirmasi dengan lensa konkaf dan akan didapatkan ‘against’
movement.22,23
Retinoskop yang digunakan secara luas adalah Copeland dan Welch Allen.
Keduanya terdiri dari Head (kepala), Sleeve (leher) dan Battery handle (tempat
baterei). Bagian optik kepala memancarkan sinar berbentuk slit yang disebut
dengan streak pada salah satu sisi kepala dan di sisi lain kepala terdapat lubang
pengintip. Sleeve yang terdapat pada retinoskop dapat membuat sinar streak
berkonvergensi (memipih) atau berdivergen (melebar) dengan cara menggeser
sleeve retinoskop keatas atau ke bawah. Sleeve retinoskop juga digunakan untuk
memutar arah dari sinar streak. 23,24,25
Lampu dari retinoskop streak dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk
suatu cahaya berbentuk streak yang lebih besar dari pada bentuk spot. Instrument
dibuat dengan suatu mekanisme (biasanya suatu knurled ring) yang
memungkinkan untuk rotasi pada suatu meridian yang diinginkan. Orientasi dari
streak akan melewati wajah pasien selalu pada sudut kanan terhadap meridian dari
mata yang akan diperiksa. Jika yang diperiksa adalah meridian vertikal, pemeriksa
menggerakkan instrument ke vertikal, dengan streak di orientasikan secara
horizontal. Jika yang diperiksa meridian horizontal, instrument digerakkan secara
horizontal dan streak diorintasikan secara vertikal.23,24,25
Sebagai tambahan untuk mekanisme rotasi streak, retinoscop streak juga
mempunyai mekanisme yang bervariasi dalam hal luasnya streak. Mekanisme ini
memudahkan pemeriksa dengan cepat mengubah lensa dari lensa plano ke lensa
konkaf dan sebaliknya. Ketika streak yang digunakan adalah yang paling luas,
inisama dengan waktu menggunakan retinoskop spot. Pada lebar yang
dipersempit, akan memudahkan pemeriksa untuk menemukan letak dari dua
principal meridians.22,23
Metode retinoskopi yang akan dipaparkan berikut menggunakan apa yang
disebut posisi sleeve up dan sleeve down. Penting untuk diketahui, bahwa kedua
alat retinoskop di Copeland dan Welch Allen tidak berfungsi dengan cara yang
sama. Retinoskop Copeland membuat efek sleeve up dengan cara menggeser leher
retinoskop ke posisi paling atas, namun retinoskop Welch Allen menimbulkan
efek sleeve up dengan menggeser leher retinoskop ke posisi paling bawah.
Demikian pula sebaliknya retinoskop Copeland membuat efek sleeve down
dengan cara menggeser retinoskop ke posisi paling bawah dan sebaliknya pada
retinoskop Welc Allen digeser ke posisi paling atas. Pada posisi sleeve up dari
retinoskop Copeland dan sleeve down pada Welch Allen digunakan untuk
mendapatkan plano position. Dan posisi sebaliknya untuk mendapatkan konkaf
position. 27

Gambar 11. Retinoskop streak26


Gambar 12. Posisi sleeve up dan sleeve down dari retinoskop Welch Allen26

1. Sistem Projection Retinoskop19


Terdiri dari:
 Sumber cahaya : Sebuah lampu dengan suatu filamen linear yang
memproyeksikan cahaya berbentuk garis atau streak. Pengaturan sleeve
pada instrument dapat merotasi lampu. Pengaturan sleeve dan rotasi
cahaya streak disebut “meridian control”.
 Condensing bulb : Diletakkan pada jalan lewatnya cahaya, berfungsi
memfokuskan cahaya ke lensa
 Mirror : Ditempatkan pada bagian kepala dari retinoskop, berfungsi
membelokkan cahaya pada sudut kanan aksis dari handle retinoskop, dan
cahaya akan diproyeksikan ke mata pasien.
 Sleeve : Mengatur besarnya cahaya yang keluar dar retinoskop, dengan
cara mengatur jarak dari lensa ke sumber cahaya, sehingga dapat terjadi
cahaya divergen (efek lensa plano) atau konvergen (efek lensa konkaf),
sehingga sleeve ini disebut juga “Vergence control.
 Sumber listrik : Sumber listrik dapat berasal dari suatu transformer
stepped down 2,5 V – 3,5 V atau dengan battery handle.

Gambar 13. Meredian control26

Gambar 14. Sistem projeksion dari retinoskop26

2. Sistem Observation Retinoskop19


Cahaya akan dipantulkan oleh iluminasi retina kembali ke retinoskop,
melewati suatu apertura dari lensa dan keluar melewati peephole (lubang intip)
pada bagian belakang kepala retinoskop. Jika retinoskop digerakkan, kita akan
melihat pergerakan streak/spot yang diproyeksikan pada retina dan dapat dilihat
melalui peephole ini.
Gambar 7. Sistem observation pada retinoskop26

3. Konsep “Far Point”19


Sebelum kita memahami prinsip kerja dari retinoskopi, pemahaman
tentang konsep “far point” sangat diperlukan. Far point pada suatu mata
didefinisikan sebagai titik pada suatu ruang yang berkonjugasi dengan fovea,
dengan mata tanpa akomodasi.19
Jika far point berada diantara pemeriksa dan pasien, maka berkas sinar
akan bertemu pada satu titik sebelum mencapai fovea dan akan tersebar kembali,
dan memberikan gambaran yang berlawanan dengan gerakan retinoskop (against
movement). Dan sebaliknya, jika titik terjauh tidak berada antara pemeriksa dan
pasien maka berkas sinar tidak akan bertemu pada satu titik meskipun telah
melewati fovea, dan pada retinoskopi memberikan gambaran yang searah dengan
gerakan retinoskop (with movement). Proses netralisasi yang dilakukan
sebenarnya merupakan proses membawa far point ke pupil pemeriksa (di jelaskan
pada bagian lain dari sari pustaka ini).27

Gambar 8. Area against motion dan with motion berdasarkan far pointnya28
Gambar 9. Ilustrasi with motion dengan far point diluar pemeriksa dan
pasien28

Gambar 10. Far point terletak antara pemeriksa dan pasien didapatkan
against movement28
4. Perlengkapan Retinoskopi19,21
a) Suatu ruang redup, lebih baik kalau besar ruangan jaraknya 6 meter.
b) Trial Box yang terdiri dari lensa spheris dan silinder dengan variasi plus
dan minus dengan berbagai ukuran, pinhole, okluder dan prisma
c) Trial F`2rame, lebih baik yang dapat disesuaikan dapat untuk anak-anak
maupun orang dewasa
d) Vision Box. Suatu snellen dalam bentuk box dengan iluminasi sendiri
tapi dapat diganti dengan kartu snellen
e) Retinoskop.

5. Working Distance (Jarak Kerja)


Jarak dari retinoskop ke mata pasien dikenal dengan jarak kerja.
Komponen ini sangat menentukan ketika melakukan retinoskopi. Jarak kerja yang
biasa dipakai adalah 66 cm sesuai dengan rata-rata panjang lengan manusia tapi
dapat saja dipakai jarak kerja yang lain. Jarak kerja ini harus tetap konstan selama
pemeriksaan. Jarak kerja ini nantinya diequivalentkan dengan besar lensa kerja
berdasarkan rumus D = 1(m)/F, jadi bila jarak kerja 66 cm maka lensa kerjanya
adalah 1,50 D, dan bila jarak kerjanya 1 m maka lensa kerjanya adalah 1,00 D.
Jarak 66 cm merupakan jarak kerja universal yang paling sering dipakai karena
penyimpangan hasil pengukuran minimal.19,22,27,28

Gambar 12. Korelasi antara jarak kerja dan lensa kerja26


6. Cara Pemeriksaan Retinoskopi
Retinoskopi dilakukan di dalam ruangan yang redup. Pasien duduk di kursi
dan berada didepan pasien, dengan jarak kerja sesuai yang diinginkan. Pasien
diminta untuk melihat ke suatu obyek dengan jarak 6 m (20 kaki) atau lebih yang
searah. Pemeriksa menggunakan mata kanan jika akan memeriksa mata kanan,
dan mata kiri untuk memeriksa mata kiri pasien. posisi mata pemeriksa setinggi
posisi mata pasien .20,21,24
Untuk memeriksa mata kanan pemeriksa duduk agak sedikit ke kanan
pasien. Retinoskop dipegang dengan tangan kanan dan mata kanan mengintip
melalui retinoskop, ibu jari atau telunjuk digunakan untuk menahan pada posisi
sleeve down (jika yang digunakan retinoskop Welch Allen) dan untuk memutar
sleeve. Tangan kiri digunakan untuk memanipulasi foropter atau trial lens.
Begitupun sebaliknya untuk memeriksa mata kiri pasien. 20,24,25
Pada saat pemeriksaan ada beberapa hal yang perlu diberitahukan pada
pasien:
- Pemeriksaan ini untuk membantu mendapatkan ukuran kaca mata dengan
tepat
- Ke dua mata dibuka dan di instruksikan untuk melihat ke kartu atau objek
jauh meskipun kabur.
- Pasien tidak melihat ke cahaya retinoskop
- Pasien dapat berkedip bila diperlukan
- Jika pemeriksa menghalangi penglihatan untuk melihat jauh, beritahukan
pemeriksa.20
Gambar 13. Posisi pemeriksa dan pasien26

Refraktometri
Refraktometri (optometri) adalah sebuah metode objektif untuk
menemukan kelainan refraksi dengan menggunakan alat yang disebut
refraktometer atau optometri. Refraktometer digunakan dalam penilaian
optalmoskopi indirek. Saat ini, autorefraktometer digunakan. Autorefraktometer
memberikan informasi yang cepat dalam menilai kelainan refraksi pada pasien
dengan sferis, silinder dengan axis dan jarak interpupil. Metode ini merupakan
alternatif yang baik bila dibandingkan dengan retinoskopi. Alat ini juga berguna
dalam skrining, program penelitian dan studi epidemiologi.4,11
Pada pemeriksaan dengan autorefraktometer teknik refraksi dilakukan
secara cepat, sederhana dan tidak menyakitkan. Pasien duduk dan menempatkan
dagunya pada tempat yang tersedia di autorefraktometer. Lalu, pada satu waktu
satu mata diperiksa dengan mata fokus melihat kedalam mesin dan terdapat
gambar. Nantinya gambar tersebut akan bergerak masuk dan keluar sehingga
fokus akan diambil untuk pembacaan kapan gambar tepat jatuh di retina.1
Gambar 14. Autorefraktometer4

Keratometri
Keratometri adalah sebuah metode objektif dalam memperkirakan
astigmatisma kornea. Keratometri tidak terlalu berguna dalam pemeriksaan
refraksi rutin. Tetapi efektif dalam persepan kontak lensa dan menilai kekuatan
lensa intraokuler yang akan diimplantasikan. Keratometri bergantung pada
permukaan anterior kornea yaitu kaca konveks sehingga ukuran gambar
bergantung pada kelengkungan. 4

Gambar 15. Keratometer Bausch dan Lomb4


Keratometri adalah alat utama untuk mengukur kelengkungan kornea
dengan cara memfokuskan cahaya pada kornea dan diukur refleksinya.
Keratometri sendiri dibagi menjadi keratometri manual dan auto keratometri,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Minwook Chang et al tahun 2012
mengatakan bahwa keratometri manual memiliki tingkat akurasi paling tinggi
dibanding yang lain tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara keratometer
tersebut.. Penelitian lain yang dilakukan oleh Reshma Ramakrishnan et al tahun
2014 juga mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara manual
dan auto keratometri, hanya saja keunggulan auto keratometri yaitu lebih cepat
dalam melakukan evaluasi dan lebih baik digunakan untuk memeriksa anak-
anak.12,14

Biometri
Biometri adalah metode penerapan matematika untuk biologi. Istilah ini
awalnya digunakan oleh Whewell pada awalnya di tahun 1800-an untuk
menghitung harapan hidup. Kekuatan refraktif mata terutama bergantung pada
kornea, lensa, media okular, dan panjang aksial mata. Saat merencanakan operasi
katarak, untuk mencapai refraksi post-operatif yang diinginkan, daya implan lensa
intraokuler yang dibutuhkan dapat dihitung jika daya refraksi kornea, jenis media,
dan panjang aksial diketahui.15

Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah alat yang diperlukan untuk menentukan kekuatan
lensa intraokuler (biometri), memeriksa segmen posterior, perdarahan pada
vitreous, pembedaan massa di okuli dan benda asing di intraokuli.16
 Scan-A
Scan-A (A untuk amplitudo) ditampilkan dengan sumber ultrasound
tunggal menghasilkan evaluasi amplitudo waktu satu dimensi dalam bentuk
puncak vertikal sepanjang garis dasar terhadap kuatnya echo. Semakin besar jarak
ke kanan semakin besar pula jarak antara sumber suara dan permukaan refleksi.
Jarak antara masing-masing puncak dapat diukur secara tepat. Digunakan
terutama untuk mengukur kedalaman camera oculi anterior, ketebalan lensa dan
panjang aksial.16
Teknik pemeriksaan:
Pemeriksaan penyaringan digunakan untuk mendeteksi lesi. Pemeriksaan
dilakukan dengan pasien berbaring atau duduk. Setelah diberikan anastesi topikal
yang diteteskan pada kedua mata dan penutup mata tidak diperlukan. Pemeriksa
duduk dengan peralatan pemeriksaan yang disediakan di satu sisi dari pasien.
Probe ultrasound pertama kali digunakan pada jam 6 dari limbus melalui bagian
tengah bola mata bertujuan untuk memeriksa lapisan chorioretinal berlawanan
pada meridian jam 12. Pasien diinstruksikan untuk melihat jauh dari probe
terhadap meridian yang diperiksa untuk menghindari scan melalui lensa. Probe
digeser dari limbus ke fornix selalu mengarah ke tengah bola mata, juga screening
meridian utama dari kutub posterior ke ora serata. Sorotan ultrasound selalu dijaga
perpendicular ke retina yang berlawanan. Prosedur yang sama diulangi di
meridian jam 8, menggeser probe secara sementara disekitar bola mata.16
Ultrasonografi scan-A diindikasikan untuk mengevaluasi segmen posterior
pada keadaan opak menyeluruh ataupun sebagian dari segmen anterior atau
posterior. Dapat juga dihunakan untuk melihat posisi, mengukur tumor dan
evaluasi pertumbuhannya, juga untuk mendeteksi benda asing intraokular dan
memperhitungkan luas dari kerusakan intraokular pada kasus trauma. Biometri
merupakan indikasi penting lainnya dari scan-A untuk pengukuran panjang lensa
yang tepat yang diperlukan pada kalkulasi kekuatan lensa intraokuler.16

Gambar 16. Pemeriksaan Scan-A5


.

 Scan-B
Scan-B (B untuk Brightness), tampilan scan-B pada struktur okular
tersebut tidak diperlihatkan sebagai defleksi-defleksi vertikal pada layar tetapi
lebih sebagai titik-titik cahaya. Semkain banyak suara yang kembali dari struktur
okular, maka semakin padatlah titik-titik cahaya. Transduser USG untuk tampilan
scan-B di scan pada mata, baik secara manual maupun dengan dorongan mata.
Scanning ini menghasilkan suatu seri banyak titik-titik yang terangnya bervariasi
dari struktur okular maupun orbital dan secara esensial menggambarkan potongan
silang dua dimensi orbital dan bola mata.16
Teknik pemeriksaan:
a. Mata diberikan anastesi topikal dan pasien ditempatkan pada posisi duduk
atau berbaring.
b. Pemeriksa sebaiknya duduk disamping kepala pasien dan melakukan
pemeriksaan dengan tangan.
c. Methylselulosa atau gel ophtalmic diletakkan pada ujung dari probe yang
berfugsi sebagai alat coupling
d. Scan vertikal dilakukan dengan penanda pada probe berorientasi superior.
e. Scan horizontal dilakukan dengan penandaan titik mengarah ke hidung.
f. Kemudian mata diperiksa dengan posisi pasien melihat lurus ke depan, ke
atas, bawah, kiri dan kanan. Untuk setiap posisi scan vertikal dan horizontal
bisa dilakukan.
g. Kemudian pemeriksa memindahkan alat pemeriksaan pada arah berlawanan
dengan gerakan mata.16

Gambar 17. Pemeriksaan Scan-B1

Teknik Pemeriksaan Refraksi Subjektif


Pemeriksaan refraksi subjektif biasanya dilakukan setelah didapatkan
riwayat bahwa sebelumnya penglihatan pasien baik-baik saja lalu dinilai
gambaran gejala penglihatan dan gambaran setelah pasien diberikan koreksi
gangguan refraksi.8,13 Pemeriksaan refraksi subjektif dimaksudkan untuk
menemukan lensa yang paling tepat untuk peresepan. Pada pemeriksaan refraksi
subjektif untuk mengoreksi kelainan refraksi, pemeriksa bergantung kepada
respon pasien. Walaupun begitu, mengoreksi astigmatisma akan lebih kompleks
dan beragam pemeriksaan subjektif dapat dilakukan. Pemeriksaan cross cylinder
Jackson merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan dalam mengoreksi
astigmatisma. Tetapi teknik kipas astigmatisma lebih mudah dipahami. 1 Terdapat
tiga tahap dalam melakukan pemeriksaan subjektif pada kelainan refraksi:4
1. Verifikasi subjektif pembiasan
Verifikasi subjektif pembiasan dapat dilakukan dengan metode trial-and-
error.
a. Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari Snellen’s Chart.
b. Trial frame dipakai di wajah pasien dan dilakukan pemeriksaan ketajaman
visual pada kedua mata, secara terpisah.
c. Lalu pasang okluder didepan satu mata dan pasang kombinasi lensa yang
tepat (sesuai pemeriksaan pada retinoskopi atau refraktometer otomatis)
pada mata lainnya. Dengan menaikkan atau menurunkan kekuatan dari
lensa mata untuk menentukan lensa sferis yang terbaik.
d. Lalu lakukan perbaikan sumbu silinder hingga menemukan kekuatan yang
tepat dengan menggunakan metode trial-and-error.
e. Lakukan hal yang sama pada mata lainnya.
f. Dan lakukan pencatatan.4
Gambar 15. Vision Box Snellen’s Chart4

2. Penyempurnaan fraksi pembiasan


Setelah memilih lensa yang tepat, sebelum dilakukan peresepan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan silinder dan sferis.4
a. Penemuan silinder
Dapat dilakukan dengan tes Jackson crosscylinder atau dengan tes kipas
astigmatisma.

Tes Jackson crosscylinder


Tes ini dilakukan untuk memverifikasi kekuatan dan axis dari silinder.
Crosscylinder adalah sebuah kombinasi dari dua silinder dengan kekuatan yang
sama tetapi dengan tanda yang berlawanan ditempatkan dari axis pada sudut
kanan masing-masing dan dipasang di pegangan. Crosscylinder yang sering
digunakan adalah ±0,25 D sampai ±0,5 D.

Verifikasi kekuatan dari silinder


Untuk memeriksa kekuatan silinder, cross cylinder ±0,25 D diletakkan
paralel dengan axis dari silinder pada kacamata percobaan dengan tanda yang
sama lalu dengan tanda yang berlawanan. Pada posisi pertama, koreksi silindris
0,25 D dan kedua berkurang dengan jumlah yang sama. Ketika ketajaman visual
tidak berubah, posisi silinder pada kacamata percobaan benar. Tetapi jika terdapat
perubahan ketajaman visual, koreksi harus dilakukan hingga menemukan koreksi
final yang tepat.4

Gambar 16. Jackson Crosscylinder4


Verifikasi axis dari silinder
Cross cylinder 0,5 D diletakkan didepan mata dengan sudut 45º ke sudut
silinder dalam trial frame (awalnya dengan silinder -0,5 D lalu hingga silinder
+0,5 D). Bila pasien mengatakan tidak ada perbedaan antara kedua posisi, axis
pada trial frame adalah benar. Tetapi jika ada perubahan pada satu posisi, lakukan
penambahan koreksi silinder harus dirotasikan pada arah komponen silinder plus
dari cross cylinder. Tes ini dilakukan berulang kali hingga menemukan poin netral
yang tepat.4

Teknik kipas astigmatisma


Langkah-langkah yang dilakukan pada pemeriksaan astigmatisma dengan
teknik kipas astigmatisma:
 Dapatkan visus terbaik dengan menggunakan lensa sferis positif atau negatif.
 Dilakukan fogging (pengaburan) dengan menggunakan lensa sferis positif
sehingga visus menjadi 20/50.
 Dengan menggunakan kipas astigmatisma, penderita diminta memperhatikan
dimana garis yang tampak lebih hitam dan tajam.
 Ditambahkan lensa silinder negatif pada aksis yang tegak lurus garis yang
lebih hitam dan tajam (pada aksis yang kabur) sehingga seluruh kipas
astigmatisma tampak sama hitam dan tajam.
 Diturunkan perlahan ukuran lensa sferis positif (atau tambah minus) sehingga
didapatkan visus terbaik pada Snellen’s chart. 1

Gambar 17. Kipas Astigmatisma. (A) Emetropi, (B) Astigmatisma4

Teknik Slit Stenopeic


Slit stenopeic adalah lensa percobaan yang opak dengan celah persegi
panjang yang lebarnya membentuk sebuah pinhole untuk membentuk tegak lurus
terhadap celah. Jika pemeriksa sulit untuk menyimpulkan astigmatisma dengan
menggunakan retinoskop biasa akibat keiregularitasan mata atau media yang
keruh, pemeriksa dapat mengkoreksi kelainan refraksi dengan lensa sferis dan
sebuat slit untuk menentukan koreksi sferosilindris. Teknik ini berguna pada
pasien dengan pupil mata yang kecil dan lentikular atau opasitas kornea. Jika
pasien dapat mengakomodasi, lakukan fog dan unfog dengan menggunakan lensa
sferis positif untuk menemukan power yang tepat. Lalu ubah posisi slit stenopeic
hingga pasien mengatakan tampak gambaran yang tajam.1
Gambar 18. Slit Stenopeic4

Koreksi sferis
Koreksi sferis dilakukan untuk penyempurnaan setelah dilakukan
perbaikan kekuatan dan axis. Penyempurnaan sferis dilakukan dengan:

Teknik fogging
Setelah kekuatan silinder dan axis diperbaiki dengan tes kipas
astigmatisma atau cross cylinder, tahap akhir dalam mengoreksi monocular
adalah penemuan sferis. Dengan penambahan sferis plus terkuat atau sferis minus
terlemah yang menghasilkan ketajaman penglihatan terbaik. Ketika teknik cross
cylinder dipakai dalam mengkoreksi kekuatan silinder dan axis, kelainan refraksi
dianggap satu poin. Tambahkan sferis positif 0,25 D sampai pasien melaporkan
penurunan penglihatan. Jika tidak ada penambahan sferis, tambahkan sferis minus
0,25 D sampai pasien melaporkan ketajaman visual maksimal. Dengan daya
akomodasi, pasien dapat mengkompensasi jenis minus. Hal penting bahwa sferis
minus penting dalam mendapatkan ketajaman penglihatan. Semakin
ditambahkannya minus, pasien diminta untuk membaca huruf apakah semakin
kecil dan jauh. Pasien diminta untuk melaporkan huruf yang dilihatnya apakah
semakin tajam, terang, kecil atau gelap. Jika dilakukan dengan metode kipas
astigmatisma mata masih berkabut, penambahan sferis plus hanya akan semakin
menambah kabur. Maka gunakan sferis minus untuk mengurangi kekuatan sferis
hingga ketajaman penglihatan didapat.4
Tes Duochrome
Pasien diminta untuk membaca huruf dengan warna merah dan hijau. Pada mata
dengan emetropia, warna hijau akan jatuh pada bagian anterior retina dan warna
merah pada posterior dari retina. Pada orang dengan emetropia, ketajaman kedua
warna tersebut sama. Ketika pasien mengatakan warna merah lebih jelas daripada
warna hijau maka pasien tersebut diindikasikan miopia.4

Gambar 19. Tes Duochrome1

Tes Pinhole
Tes ini membantu apakah koreksi lensa pada kacamata percobaan sudah
tepat atau belum. Perubahan ketajaman visual pada pemeriksaan pinhole
mengindikasikan adanya kesalahan koreksi pada kacamata percobaan.4

Gambar 20. Pinhole4


Penyeimbangan teropong subjektif
Tahap akhir pada pemeriksaan refraksi subjektif adalah memastikan
bahwa akomodasi telah relaks pada kedua mata. Terdapat beberapa metode dalam
menilai ketajaman visual pada kedua mata. Salah satu metode yang sering dipakai
adalah Prism Dissociation. Prism Dissociation berguna dalam menilai
keseimbangan binokular, tes ini merupakan tes yang sensitif. Pada tes ini, akhir
poin refraktif dikaburkan dengan +1,0 D sferis dan prisma vertikal dari 4 atau 5
prisma diopter yang diletakkan pada satu mata. Penggunakan prisma membuat
pasien melihat 2 bagian, satu diatas yang lainnya. Pada baris pertama, biasanya
20/40 (6/12) terisolasi pada grafik. Pasien akan melihat 2 garis terpisah. Pasien
dapat membaca dan mengidentifikasi perbedaan antara kedua gambaran yang
kabur tersebut pada kedua mata dengan lensa terkecil 0,25 D. Pada prakteknya,
lensa sferis +0,25 D diletakkan pada satu mata sebelum mata lainnya. Jika
seimbang, pasien akan mengatakan bahwa dengan penambahan +0,25 D
gambaran akan kabur. Setelah dilakukan penyeimbangan pada kedua mata,
lepaskan prisma dan kurangi kabur binokular hingga ketajaman visual terbaik
didapatkan.1

Gambar 21. Prism Dissociation dari perspektif pasien1


DAFTAR PUSTAKA

1. Introductory Optics, In: American Academy Of Opthalmology section 3rd


Clinical Optic. US: American Academy Of Opthalmology; 2018-2019. P4
2. The Eye, In: American Academy Of Opthalmology section 2 th Fundamental
and Princhiples of Opthalmology. US. American Academy Of Opthalmology
2018-2019. P141
3. Ilyas S, Yulianti S. Kelainan Refraksi, Dalam : Ilyas S, Yulianti S,
Penyunting. Ilmu Penyakit Mata FK UI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2012. h73 – 84.
4. Khurana AK, A Textbook of Oftalmologi 4th Edition. Darkroom Procedurer,
Chapter 23, India : CBS Publishers & Distributors, 2007, pp 547 – 557.
5. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum 17th
Edition. Chapter 2: Oftalmologi Examination. Jakarta: EGC. 2009. Pp 8-14,
397-398.
6. Remington, L.A. 2005. Ocular Adnexa and Lacrimal System. Clinical
Anatomy of The Visual System. Philadelphia : Elsevier. pp 10,88,94.
7. Lang, G., K., dan Lang, G., E. Ophtalmology a Short Textbook. Newyork:
Thieme; 2000. pp 423-443.
8. Jogi, R. 2009. Examination of The Eye. Basic Ophtalmology 4th Edition. New
Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. pp 47-53.
9. Dutton, JJ. 2014. Clinical Anatomy of Eyelids. Yanoff & Duker:
Ophthalmology 4th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier.p1257
10. Siregar N. H.. Retinoskopi. Pendahuluan, Medan: Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , 2008.
11. Crick R.P.. A Textbook of Clinical Ophthalmology, 3rd Edition. Chapter 4
Optics and Refraction, United Kingdom: World Scientific Publishing Co,
2003. Page 67-71
12. Olver J., Cassidy L. Ophthalmology at a Glance. Section 3 Correction of
Refractrory Errors, London: Blackwell Science, 2005. pg 23
13. Yunus B. K. Referat Kelainan Refraksi Mata. Bab 2 Tinjauan Pustaka,
Sukabumi: Kepaniteraan Klinik Stase Mata Rsud Sekarwangi Sukabumi,
2009.
14. Samantha O. I. Angka kejadian dan besar rata-rata astigmatisma pra operasi
katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diukur dengan keratometri di RS.
PHC Surabaya. Bab I Pendahuluan, Surabaya : Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Widya Mandala, 2016.
15. Shahzad F. S. Biometry for Intraocular Lens (IOL) power calculation. Eye
Wiki. American Academy of Ophtalmology. 2018. Accesed:
http://eyewiki.aao.org/Biometry_for_IntraOcular_Lens_(IOL)_power_calcula
tion
16. Lubis R. R. Cara dan Pembacaan Scan A/B. Repository Universitas Sumatera
Utara. Medan: 2009.
17. Harris Petal.Retinoscopy. Aviable from :http://www.oepf.org/VTAids/
Retinoscopy.pdf.
18. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan, Dalam : Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Diunduh dari
http://www.kemkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-penglihatan.pdf . Diakses
Desember 2019.
19. Natchiar G. A Text Book on Optics and Refraction. Aravind Eye Hospital
and Postgraduate institute of Opthalmology. Tamilnadu India. September
2010.p46-52.
20. Stenberg Li. Correlation between Retinoscopy and Monocular and Binocular
Subjective Refraction. Sweden: University of Kalmar.2009.p1
21. Grosvenor T. Retinoscopy in Primary Care Optometry. 5th edition. St.Louis,
Missouri: Butterworth Heinemann Elseiver.2007. p.191-200.
22. Furlan W D. Muñoz-Escrivá L, et al. Analysis of lens aberrations using a
retinoscope as a Foucault test. Burjassot Spain: Universitat de València. 2000.
P:408-411
23. Gallimore, Gary. Basic consept in retinoscopy in Retinoscopy in minus
cylinder. 2014. Available from http://www.eyetec.net/group2/M6s1.htm.
Accessed on July 5th 2014.
24. Duckman Robert. Quantification of refractive error in visual development,
diagnosis and treatment of the pediatric patient. 3rd edition. New York :
Lippincott Williams and Wilkins. 2010.
25. Madge S.N. Clinical techniques in Ophthalmology. Philadelphia: Churchil
Livingstone Elsevier.2006.p:30-35
26. Skuta L Gregory, et.al. Retinoscopy in Clinical Optics Basic and Clinical
Science Course. Section 3. San Francisco : American Academy of
Ophthalmology. 2011.p.125- 34.
27. Jonathan D. Retinoscopy in : Duane’s Clinical Ophalmologi (CD-ROM).
Philadelphia Lippincot William and Wilkins Publisher. 2013.
28. Harvey B, Franklin A. Retinoscopy in Routine eye examination. Toronto:
Butterworth Heineman Elseiver. 2009.p.81-91.
29. Paul Riordan Eva. Optic an refraction in Vaughan and Asbury’s general
ophthalmology. 14th edition. London: Mc Graw-Hill. 2004.p.405.

Anda mungkin juga menyukai